7
Juru Penatu yang Bahagia
*
Dan Masuklah Kano
Aku membawa blus dan rok
Kumiko ke penatu di dekat stasiun. Biasanya, aku membawa cucian kami ke penatu
di sekitar pojok jalan rumah kami. Bukan karena aku lebih menyukai penatu yang
itu, melainkan karena lebih dekat. Kumiko kadang menggunakan penatu dekat
stasiun sekalian pergi-pulang kerja. Ia menaruh cucian pagi-pagi sembari
berangkat ke kantor lalu mengambilnya ketika pulang. Menurut Kumiko, tempat
yang ini agak lebih mahal, tetapi hasilnya lebih baik daripada penatu di dekat
rumah. Pakaiannya yang bagus-bagus selalu ia bawa ke sana. Itulah sebabnya pada
hari itu aku memutuskan untuk bersepeda ke stasiun. Kubayangkan ia lebih suka
pakaiannya dibersihkan di sana.
Aku meninggalkan rumah dengan
membawa blus serta rok Kumiko. Aku mengenakan celana katun hijau tipis, sepatu
tenis yang biasa kupakai, serta kaus promosi Van Halen berwarna kuning yang
diperoleh Kumiko dari perusahaan rekaman. Pemilik penatu menyalakan boom box JVC miliknya keras-keras,
seperti saat kunjunganku yang terakhir kali. Pagi ini ia memutar kaset Andy
Williams. “Hawaiian Wedding Song” baru saja berakhir ketika aku masuk, lalu
dimulailah “Canadian Sunset”. Sembari bersiul dengan riangnya mengiringi lagu
itu, si pemilik menulisi buku catatan dengan bolpoin. Gerakannya selincah kala
kunjunganku terakhir. Pada tumpukan kaset di rak, aku melihat nama-nama seperti
Sergio Mendes, Bert Kaempfert, serta 101 Strings. Jadi dia ini penggemar musik easy-listenin’. Mendadak terlintas di
pikiranku bahwa pemuja sejati jaz aliran keras—Albert Ayler, Don Cherry, Cecil
Taylor—tidak mungkin menjadi pemilik penatu di mal-mal seberang stasiun kereta
api. Atau mungkin saja sih. Hanya saja mereka tidak akan menjadi juru penatu yang bahagia.
Begitu aku meletakkan blus
hijau bermotif kembang-kembang serta rok berwarna tumbuhan sage pada konter, ia membentangkan pakaian tersebut untuk
mencermatinya sepintas, kemudian menuliskannya pada kuitansi, “Blus dan Rok”.
Tulisannya jelas dan dibentuk dengan hati-hati. Aku suka juru penatu yang
tulisannya jelas. Apalagi kalau mereka suka Andy Williams, lebih baik lagi itu.
“Pak Okada, ya?” Kuiyakan
dia. Ia menuliskan namaku, merobek salinan karbon kuitansi, lalu memberikannya
kepadaku. “Cuciannya jadi Selasa besok, jadi kali ini jangan lupa diambil, ya.
Punya Bu Okada, kan?”
“He eh.”
“Cantik betul,” ujarnya.
Selapis kusam awan mengisi
langit. Prakiraan cuaca meramalkan akan terjadi hujan. Waktu telah pukul
setengah sepuluh lebih, namun masih ada banyak pria dengan tas kantor serta
payung terlipat terburu-buru menuju tangga stasiun. Para komuter yang
terlambat. Pagi itu panas lagi lembap, namun tidak ada bedanya bagi pria-pria
ini, yang semuanya mengenakan setelan, dasi, dan sepatu hitam sebagaimana
mestinya. Aku menyaksikan banyak pria sebaya diriku, namun tidak seorang pun
mengenakan kaus Van Halen. Tiap orang mengenakan pin lapel perusahaan masing-masing
dan lengannya mengepit satu kopi Nikkei
News. Lonceng berbunyi, dan banyak di antara mereka berderap menaiki
tangga. Sudah lama aku tidak melihat pria-pria seperti mereka.
Selagi pulang bersepeda,
kudapati diriku menyiulkan “Canadian Sunset”.
*
Malta Kano menelepon pada
pukul sebelas. “Halo. Apakah betul ini kediaman Pak Toru Okada?” ucapnya.
“Iya, ini Toru Okada.” Aku
sudah tahu ia Malta Kano sejak ia berucap halo.
“Nama saya Malta Kano. Anda
baik benar telah sudi menemui saya kemarin. Apakah Anda kebetulan memiliki
acara siang ini?”
Tidak ada, kataku. Acaraku
siang ini tidak lebih banyak daripada aset agunan yang dimiliki burung migrasi.
“Kalau begitu, adik saya, Kano,
akan datang mengunjungi Anda pukul satu.”
“Kano?” suaraku datar.
“Ya,” sahut Malta Kano. “Saya
kira telah menunjukkan fotonya pada Anda kemarin.”
“Tentu, saya ingat dia. Hanya
saja—“
“Namanya Kano. Ia akan
mewakili saya mengunjungi Anda. Apakah pukul satu tidak apa-apa?”
“Baiklah,” ucapku.
“Ia akan datang,” sahutnya,
lalu mengakhiri sambungan.
Kano?
Aku membersihkan lantai
dengan alat pengisap debu lalu merapikan rumah. Aku membundel koran lama dalam
satu berkas lalu melemparkannya ke lemari. Aku memasukkan kaset-kaset yang
berserakkan ke wadahnya masing-masing lalu membariskannya di samping stereo.
Aku mencuci perabot yang menumpuk di dapur. Lalu aku membersihkan diri: mandi
pancuran, sampo, pakaian bersih. Aku menyeduh kopi dan makan siang: roti lapis ham
serta telur rebus matang. Aku duduk di sofa, membaca Home Journal dan memikirkan menu makan malam. Aku menandai resep
Salad Tofu dan Rumput Laut lalu menuliskan bahan-bahannya pada daftar belanja.
Aku menyalakan radio FM. Michael Jackson menyanyikan “Billy Jean”. Aku memikirkan
Malta Kano dan Kano bersaudari. Nama macam apa itu untuk sepasang kakak beradik!
Kedengarannya seperti grup lawak. Malta Kano. Kano.
Sudah pasti, hidupku tengah
menuju arah baru. Kucing kabur. Telepon-telepon aneh yang berdatangan dari
seorang wanita asing. Aku berjumpa seorang gadis yang ganjil dan mulai
menyambangi rumah kosong. Noboru Wataya memerkosa Kano. Malta Kano meramalkan
aku akan menemukan dasiku. Kumiko bilang aku tidak usah bekerja.
Aku mematikan radio,
mengembalikan Home Journal ke rak
buku, lalu meminum secangkir kopi baru.
*
Kano membunyikan bel rumah
pada pukul satu tepat. Ia terlihat persis seperti yang ada di fotonya: wanita
kecil berusia awal hingga pertengahan dua puluhan tahun bertipe pendiam. Ia
melestarikan penampilan ala awal enam puluhan dengan baik sekali. Rambutnya
disasak serupa yang kulihat pada foto, dengan ujungnya melengkung ke atas.
Rambut pada dahinya ditarik lurus ke belakang dan ditahan dengan jepit besar
berkilap. Alisnya dibentuk runcing dengan pensil, maskara membubuhkan bayang
misterius pada matanya, dan lipstiknya dengan sempurna menghidupkan kembali
jenis warna yang populer pada saat itu. Seandainya tangannya diberi mik,
tampaknya ia sudah siap mendendangkan “Johnny Angel”.
Gaunnya jauh lebih simpel
daripada riasannya. Pakaiannya praktis dan efisien, sama sekali tidak khas:
blus putih, rok span hijau, dan bisa dibilang tanpa aksesori. Lengannya
mengapit tas kulit paten putih dan kakinya mengenakan sepatu bertumit rendah
berujung runcing berwarna sama. Sepatunya mungil. Tumitnya tipis dan dan tajam
seperti timah pensil, terlihat menyerupai sepatu boneka. Hampir-hampir aku
hendak menyelamatinya karena telah berdandan sedemikian.
Jadi ini Kano. Aku
mempersilakan ia masuk dan duduk di sofa, menghangatkan kopi, dan menghidangkan
secangkir. Apakah ia sudah makan siang? Aku bertanya. Ia kelihatan lapar.
Tidak, jawabnya, ia tidak makan.
“Tidak usah repot-repot,” ia
cepat-cepat menambahkan, “Kalau siang saya tidak makan banyak.”
“Anda yakin?” tanyaku. “Tidak
repot kok kalau cuma menyiapkan roti lapis. Jangan bersikap formal. Saya sudah
biasa membuat nyamikan dan segala macam. Sama sekali tidak merepotkan kok.”
Ia menanggapi dengan
menggeleng pelan. “Anda baik sekali sudah menawari. Tetapi saya benar-benar
tidak lapar kok. Tidak usah repot-repot. Secangkir kopi saja sudah lebih
daripada cukup.”
Meski begitu, untuk jaga-jaga
aku mengeluarkan sepiring kue kering. Kano memakan empat potong dengan
kegirangan yang kentara. Aku makan dua potong lalu menyesap kopi.
Setelah mengudap kue kering
dan kopi, ia terlihat agak lebih santai. “Saya kemari hari ini untuk mewakili
kakak saya, Malta Kano,” ucapnya. “Tentu saja itu bukan nama asli saya. Nama
asli saya Setsuko. Saya menggunakan nama itu ketika mulai bekerja sebagai
asisten kakak saya. Untuk kepentingan profesional saja. Itu nama kuno untuk
Pulau Kreta, tetapi saya tidak ada hubungan dengan Kreta. Saya belum pernah ke
sana. Kakak saya Malta yang memilihkan nama itu supaya serasi dengan namanya.
Barangkali saja, Anda pernah ke Pulau Kreta, Pak Okada?”
Sayangnya belum, kataku. Aku
belum pernah ke Kreta dan tidak ada rencana mengunjunginya dalam waktu dekat
ini.
“Kapan-kapan saya ingin ke
sana,” ucap Kano, seraya mengangguk, dengan raut sungguh serius. “Kreta itu
pulau di Yunani yang paling dekat dengan Afrika. Pulaunya besar, dan dahulu
merupakan tempat tumbuhnya peradaban besar. Kakak saya Malta sudah ke sana. Ia
bilang tempatnya bagus. Anginnya besar, dan madunya enak. Saya suka madu.” Ia mengangguk.
Aku tidak segila itu pada madu.
“Saya kemari hari ini untuk
minta tolong,” ucap Kano. “Saya mau mengambil sampel air di rumah Anda.”
“Air?” tanyaku. “Maksudmu air
dari keran?”
“Itu tidak apa-apa,” katanya.
“Kalau kebetulan ada sumur di dekat sini, saya juga ingin sampel air dari
sana.”
“Sepertinya tidak ada. Maksud
saya, di sekitar sini ada sumur, tetapi itu properti orang lain, dan sudah
kering. Airnya sudah tidak ada.”
Kano menampakkan kebingungan.
“Anda yakin?” tanyanya. “Anda yakin sumur itu tidak ada airnya?”
Aku mengingat suara gedebuk
yang terdengar ketika si gadis melemparkan bongkah bata ke dalam sumur di rumah
kosong itu. “Ya, sumurnya kering, memang. Saya yakin betul.”
“Begitu, ya,” ucap Kano.
“Tidak apa-apa. Saya ambil sampel air dari keran saja, kalau begitu, kalau Anda
tidak keberatan.”
Aku menunjukkan dapur padanya.
Dari tas kulit paten putih miliknya, ia mengeluarkan dua botol kecil dengan
model yang sepertinya biasa digunakan untuk wadah obat. Ia mengisi satu botol
dengan air lalu mengencangkan penutupnya dengan sangat berhati-hati. Lalu ia
bilang hendak mengambil air dari saluran ke bak mandi. Aku menunjukkan kamar
mandi padanya. Tanpa terusik oleh pakaian dalam dan kaus kaki yang dijemur
Kumiko di sana, Kano menyalakan keran dan mengisi botol satunya. Setelah
menutupnya, ia membalik botol itu untuk memastikan tidak ada kebocoran. Tutup
botol itu ditandai dengan warna: biru untuk air bak, dan hijau untuk air dapur.
Setelah kembali ke sofa ruang
tamu, ia memasukkan dua botol kecil itu ke kantong plastik kecil lalu
merapatkan zip lock. Ia meletakkan
kantong itu dengan berhati-hati di tas kulit paten putih miliknya. Pengancing
logam tas menutup diiringi klik datar. Kedua tangannya bergerak dengan
keefisienan yang terlatih. Mestilah ia sudah sering melakukan ini.
“Terima kasih banyak,” ucap
Kano.
“Begitu saja?” tanyaku.
“Ya, untuk hari ini,”
ujarnya. Ia merapikan roknya, mengepit tas di bawah lengan, lalu bersiap-siap
berdiri.
“Tunggu sebentar,” kataku,
dengan bingung. Aku tidak memperkirakan kepergiannya sedadakan ini. “Apakah
bisa ditunda sebentar perginya? Istri saya ingin tahu yang terjadi pada
kucingnya. Kucing itu sudah hampir dua minggu hilang. Kalau-kalau ada yang Anda
ketahui, tolong saya diberi tahu.”
Sembari masih mengapit tas
putihnya, Kano menatapku sesaat, lalu ia mengangguk cepat beberapa kali. Ketika
kepalanya bergerak, ujung rambutnya yang mengikal terayun-ayun dengan
kelincahan awal era enam puluhan. Tiap kali matanya berkedip, bulu mata
palsunya yang panjang naik turun perlahan, seperti kipas bergagang panjang yang
diayunkan para budak di film-film Mesir kuno.
“Sejujurnya, kakak saya
bilang ceritanya lebih panjang daripada kelihatannya.”
“Ceritanya lebih panjang
daripada kelihatannya?”
Frasa “ceritanya lebih
panjang” menimbulkan dalam pikiran sebatang sula jangkung di padang pasir,
tempat tidak ada selainnya yang tegak sejauh mata memandang. Seiring dengan
terbenamnya matahari, bayangan sula itu tumbuh semakin panjang, sampai puncaknya
terlalu jauh untuk terlihat oleh mata telanjang.
“Begitulah yang dikatakannya,”
lanjut Kano. “Cerita ini akan lebih daripada sekadar tentang kucing yang
hilang.”
“Saya bingung,” kataku. “Saya
kan cuma minta tolong dicarikan kucing. Cuma itu. Kalau kucingnya mati, kami
ingin ada kepastian. Kenapa mesti jadi ‘ceritanya lebih panjang’ segala? Saya
tidak mengerti deh.”
“Saya juga,” sahutnya.
Tangannya diangkat ke jepit berkilauan di kepalanya lalu memundurkan barang itu
sedikit. “Tetapi tolong percaya pada kakak saya. Saya tidak mengatakan ia
mengetahui segalanya. Tetapi jika ia bilang ceritanya lebih panjang, Anda bisa
memastikan bahwa ceritanya memang lebih panjang.”
Aku mengangguk tanpa mengucap
apa pun. Tidak ada lagi yang dapat kukatakan.
Seraya memandang tepat ke
mataku dan mengucapkannya dengan keformalan yang berbeda, Kreta Kano bertanya, “Anda
sibuk, Pak Okada? Apakah Anda ada rencana sehabis ini?” Tidak, kataku, aku
tidak ada rencana.
“Kalau begitu, apakah Anda
keberatan jika saya menceritakan beberapa hal tentang diri saya?” tanya Kreta
Kano. Ia meletakkan tas kulit paten putih yang dipegangnya ke sofa lalu
menumpukan kedua tangannya, satu di atas yang lain, pada rok span hijau yang
dikenakannya, pada kedua lutut. Kuku-kukunya dicat dengan warna jambon yang
elok. Tanpa cincin.
“Silakan,” kataku. “Berceritalah
sesuka Anda.” Maka demikianlah aliran hidupku—yang telah diramalkan sedari
ketika Kreta Kano membunyikan bel pintu rumahku—dibawa ke arah yang lebih aneh.
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar