Yang saya coba sampaikan dalam bab ini adalah bahwa kesilapan kita dalam memaknai dirilah yang merupakan akar dari banyaknya krisis pribadi, sosial, dan ekologi yang kita alami kini, dan bahwa uang membantu memelihara dan memperkuat delusi ini.
Demi memiliki harapan dalam menguraikan permasalahan yang kita hadapi secara memadai, kita perlu menghadapi delusi akan keterpisahan yang telah menerobos dan merembesi pemaknaan diri kita secara fundamental. Demi menjaga tanah, masyarakat, dan pada akhirnya, diri egosentris kita dengan lebih baik, kita perlu bersambung kembali dengan pemahaman akan alam semesta yang saling bergantung. Demi melakukan ini kita perlu mempertanyakan dan meragukan kisahan-kisahan yang mendukung delusi kita. Musuh terbesar yang kita hadapi dalam berbuat demikian ialah alat pemisah itu, uang.
Uang merayapi dan menjiwai semua informasi budaya kita: hubungan kita, makanan kita, pendidikan kita, kesehatan kita, permainan kita, media kita. Lewat semua interaksi ini kita dihargai atas kemandirian dan konformitas kita. Kita didorong untuk hanya melihat harga, serta memutuskan hubungan dengan segala makna lain. Pikirkanlah pertempuran yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita—pertempuran antara integritas dan kemudahan, hasrat dan konformitas, rasa iba dan hiburan. Berapa sering uang menjadi faktor penentu dalam pertempuran-pertempuran ini? Ini semata bagian dari perang tanpa henti melawan pengalaman akan kemanunggalan, melawan pengalaman akan sifat liar kita. Kita diajarkan untuk menjinakkan diri supaya menjadi lebih baik dalam melayani institusi-institusi yang kita bangun—institusi-institusi yang sendirinya melayani uang.
Dan hasilnya? Pikirkanlah perbedaan antara banteng liar dan sapi perah. Pikirkanlah tatapan di mata mereka, pola hidup mereka, pilihan yang harus mereka jalani. Pikirkanlah keadaan hidup mereka, serta pandangan mereka terhadap dunia. Pikirkanlah yang dianggap penting oleh masing-masingnya untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pikirkanlah suku-suku yang tersisa di sekeliling dunia yang masih hidup di batas luar kebudayaan kita—masyarakat-masyarakat yang selama ribuan tahun tidak memerlukan banyak perubahan.
Seperti yang barangkali telah ditegaskan seluruh kehidupan Anda sejauh ini, kita berbeda. “Peradaban”—kebudayaan bersuasana kota—berdiri dengan sendirinya, kuat dan angkuh, dan bukanlah kebetulan, bukan apa-apa sama sekali, bahwa kita orang-orang yang sambil mengeyel berderap menuju kebobrokan ekologis, tuli terhadap jeritan mereka yang kita bantai, lupa pada nyeri yang menusuk-nusuk hati sanak saudara kita. Uang sekadar alat, salah satu senjata dalam peperangan melawan alam liar. Namun uang merupakan senjata ampuh, barangkali yang paling ampuh yang kita miliki. Uang fundamental untuk memastikan kita tidak mengalami alam liar kita, fundamental untuk mempertahankan putusnya hubungan kita dengan yang kita kerjakan, fundamental untuk memastikan masyarakat kita tetap berupa sekumpulan orang yang asing bagi kita. Hanya dengan menggunakan uang kita memperlihatkan kesadaran bahwa kemanunggalan itu tidak ada. Hanya dengan menggunakan uang kita memperkukuh dan mempertahankan ilusi keterpisahan. Uang membutakan kita akan keadaan jasadi yang kelangsungan hidup kita bergantung padanya.
Tentu saja seluruh bab ini juga sekadar kisahan, tidak mesti lebih nyata daripada kisahan mengenai uang itu sendiri. Terserah pada Anda untuk memutuskan apakah kisahan tersebut lebih masuk akal daripada kisahan yang kita lihat dewasa ini, dan apakah kisahan tersebut dapat membawa pada ritus yang bermaslahat bagi kita semua, alih-alih membahayakan pada taraf apa pun yang terbayangkan, yang tidak ayal lagi demikianlah yang diperbuat sistem moneter dewasa ini.
Pilihan Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar