“Apa, apa?” ia
berkomat-kamit, sambil membuka separuh mata yang disebutnya penerawang-segala.
“Aku sudah bangun kok.”
“Enggak lah, kamu ini gampang
ketiduran, tahu.”
Sambil mengerang ia
mengangkat dirinya dari tanah. “Lo, sampean belum mati?”
“Belum—sialan kamu,
MacGillycuddy, enggak bisa, ya, kamu ini berjaga barang sejam saja?”
“Videonya berhasil, kan?”
jawabnya bersungut-sungut, sambil menariki ranting-ranting kecil dari
punggungnya.
“Yah, ada yang tertangkap,” sahutku. “Tetapi ini tuh enggak masuk akal
banget. Menurut rekaman ini Frank sama sekali enggak bersalah dan malah Mbok P
yang ada di balik segalanya, dengan bantuan semacam makhluk, boleh jadi makhluk halus.” Aku menyodorkan kamera ke
tangannya. “Lihat sendiri deh.”
Ia memutar ulang rekaman itu. “Bagaimana nih,” ia berujar sesudahnya.
Ia memutar ulang rekaman itu. “Bagaimana nih,” ia berujar sesudahnya.
“Yah, apa yang mesti kulakukan?
Kamu enggak berpikiran Mbok P tuh terhubung dengan makhluk halus, kan?”
“Sulit menjelaskannya ….”
MacGillycuddy menggaruk-garuk kepala tanpa menyatakan pendapat apa pun.
“Berengsek, bukankah kamu
menerawang segalanya? Aku membayarmu supaya memantau, kan? Kenapa kamu bukannya
memantau?”
“Enggak mungkin aku memantau
dengan penerangan lilin, kan? Aku bukan Bruder Cadfael[1].”
“Apa?” sahutku.
Lagi pula, sambungnya masam,
jika makhluk halus yang ada di balik pencurian perabot ini, maka lebih baik aku
menghubungi pendeta. Ia menambahkan bahwa kemungkinan aku bakal sulit menemukan
pendeta yang sudi menerima cek yang tidak tentu jumlahnya dari diriku. Aku
menjawab bahwa jika masalahnya yaitu kekurangan duit, itu karena ada anak-anak
yang berulang tahun besok namun kartu ucapannya dia tahan. Ia menanggapi dengan
ucapan menjijikkan tentang perkawinan sekerabat. Aku menonjok telinganya. Ia
membalas dengan menjotos ginjalku, dan sebelum aku sempat menginsafi
keberadaanku kami bergumul di atas ranting dan lumpur di antara semak belukar.
MacGillycuddy itu tipe orang kurus tetapi liat dan serangannya bengis. Boleh
jadi aku sudah kelengar sekiranya tidak melihat, dari bawah ketiaknya, dua
sosok besar lagi tegap—sosok serupa yang menjadi bintang tamu dalam video tadi,
aku yakin—terseok-seok melintasi rerumputan membawa piano. “Lihat itu!” kataku
tersendat.
“Ah, trik kuno itu,” gertak
MacGillycuddy. “Akan kuajari sampean caranya melihat—“
“Masyaallah!” raungku
begitu jari-jari MacGillycuddy menggali rongga mataku. “Malingnya! Mereka di
belakangmu!”
Seketika itu MacGillycuddy
menang tipis sehingga ia sempat melihat sekilas ke belakang. “Jancuk!”
desisnya, sambil melepaskan leherku.
“Hei, ayo dong!” Aku berdiri
sempoyongan. “Kejar mereka!”
Bayang-bayang itu bergerak ke
arah Folly, dalam kecepatan sedang mengingat beban mereka yang berat. Aku
terhambat oleh pergelangan kakiku, yang remuk gara-gara MacGillycuddy tadi, dan
ia sendiri tampak malas berlari mengejar mereka. Walau begitu, situasi
menjadi-jadi saat ada pihak ketiga mengadang kami. Tubuhnya lebih kecil,
pendek, dan gempal dibandingkan makhluk-makhluk tadi, dengan wajah berjendul,
bonyok di mana-mana.
“Malem,” ucapnya.
“Dengar, ya,” aku menggagap,
sambil memijat-mijat batang leherku. “Aku enggak berkeberatan kamu mengambil
ottoman, atau … atau mangkuk-mangkuk ramekin[2], tetapi piano—entah apakah kamu sendiri senang
musik, tetapi ada semacam ikatan
antara seorang pria dan—“
“Aku mah enggak tahu apa-apa
soal ramekin,” si pendatang baru menyela. “Aku cuma mau ngomong sama Frank.”
“Sama Frank …?” Sontak bola mataku berputar kembali ke tempat mereka
biasanya berada dan aku menyadari siapa orang ini. Ia bajingan dari pub itu.
Tatapan sarat iktikad mematikan berkobar di matanya. Ia kemari untuk balas
dendam.
“Sekarang kalau bisa lu
masuk,” kata si bajingan kalem, “terus minta Frank keluar sebentar saja.”
Kami terjebak dalam perang
geng! Mungkinkah keadaan menjadi semakin hina? Aku menatap MacGillycuddy.
MacGillycuddy menatapku.
“Lari!” ujar MacGillycuddy.
Pintu terbanting di belakang
kami seiring dengan hadirnya lebih banyak sosok bertampang bajingan dari balik
pepohonan. Kami menyeruak masuk terengah-engah ke dapur, sementara Laura masih
mengoceh pada Frank sedang Bel berusaha membujuk Mbok P beranjak dari kursinya.
Bel bangkit, terkejut.
“Kukira kamu sudah tidur. Ada
apa? Siapa ini?”
“Namanya MacGillycuddy,
Ignatius MacGillycuddy.”
“Bukankah kamu tukang pos?”
“Enggak ada waktu lagi,”
potongku. “Sebenarnya—“ bel pintu mulai berdering tak putus-putus.
“Ooh, itu pasti taksiku.”
Laura mengayunkan tas kecilnya ke pundak dan tergesa-gesa ke pintu, sehingga
aku terpaksa menyergap dan menggaet lengannya.
“Kalau saja pada mau mendengarkan. Sebenarnya, rumah ini
sedang diserang, oleh si bajingan dan komplotannya—“
“Orang itu dah enggak bisa
dikasih pelajaran,” Frank berkata.
“Ya, yah, terserahlah, aku
enggak mau gadis-gadis rusuh gara-gara ini, jadi Bel, sekiranya kamu bawa Laura
dan Mbok P turun ke gudang, lalu aku, Frank, dan MacGillycuddy bisa mencoba dan—mana MacGillycuddy?”
“Tadi dia di sini.”
“Oh, sialan …. Baiklah,
Frank, tampaknya—“
“Charles,” pipi Bel terbakar
tiap kali ia melihat padaku, “kalau kamu kira aku mau turun ke gudang apak
mengerikan itu cuma karena ada orang cebol menjijikkan—“
“Orang cebol menjijikkannya
bukan cuma satu, mereka berdua puluhan.”
“Yah tetap saja, dan lagi
pula, bagaimana dengan Mbok P?” Di samping kiri Bel tangan Mbok P terkepal dan
terbuka berulang-ulang. “Apa menurutmu keadaannya memungkinkan untuk duduk di
tempat dingin, kumuh—“
“Dia juga enggak siap buat
jotos-jotosan, kan, Bel—“ Aku terdiam dan mendengarkan. Dering bel telah
berhenti dan sebagai gantinya terdengar gebukan sengit, pukulan bertalu-talu
pada pintu depan bak genderang hutan, hingga lemari dan perabot berdengung
simpati.
“Mungkin mereka bukannya mau
berantem,” ujar Laura. “Mungkin mereka cuma mau menumpang telepon, atau pinjam
apalah.”
Api lilin dalam botol
berkelip-kelip sengit, mencampakkan bayangan kami ke sana kemari.
“Sialan, Frank, mereka kan
musuhmu, bisa enggak kamu keluar dan berunding dengan mereka?”
“Barangkali kamu ada tripleks yang enggak
kepakai, Charlie? Atau pistol paku?”
Bel berdiri. “Ini konyol.
Akan kutelepon polisi.”
“Jangan, Bel—“ sambil menyusulnya ke lorong,
di mana dari ujung tangga tampak pintu depan berdebar-debar, seperti jantung, seiring
dengan setiap hantaman, bingkainya mulai menyerpih dan engselnya retak. Di luar
suara jahat kian menjadi-jadi. Bel terhenti, bergumam, lantas, sambil
mengelabui diri agar tak menggubris, terus maju ke arah meja anyaman tempat
telepon berada, beberapa langkah dari pintu yang gaduh itu: “Halo? Aneh
nih—halo?”
Lantas—tepat ketika aku
melompat-lompat dan berdiri gemetaran menghalangi Bel dari pintu, sedang Frank
tergopoh-gopoh keluar dari dapur sambil memanggul cetakan wafel paling berat
kepunyaan Mbok P—suara itu terhenti, lalu timbul kesunyian bagai di ruang hampa
udara, sementara kami berdiri dan mengejap-ngejap pada satu sama lain seperti
baru terjaga dari tidur. Lalu muncul dengkingan dari luar, disusul yang lain,
kemudian erangan dan derak yang terdengar menyakitkan. Kami berpacu ke jendela
ruang tamu. Di pekarangan lima orang bersetelan olahraga dari bahan
poliester terlontar ke mana-mana oleh dua sosok bayang-bayang raksasa yang
beberapa waktu lalu dikejar olehku dan MacGillycuddy.
“Wow ….”
Pemandangan yang memesona,
bahkan menyerupai pertunjukan balet. Dalam jarak terpisah sekitar lima meter,
keduanya melempar para bajingan itu dengan enteng dari yang satu ke yang lain,
lalu menangkap dan meletakkan mereka dengan lembut ke tanah. Gerakan keduanya
teramat selaras hingga sepanjang waktu ada saja bajingan yang melayang. Para
bajingan itu menyerapah dan melolong. Selagi terbang raut mereka menyerupai
kartun, seolah-olah terbebas dari ancaman. (“Dua orang itu enggak bener-bener ngehajar mereka,” Frank berucap muram,
sembari mengangkat cetakan wafelnya.) Sesekali salah seorang bajingan bangkit
lantas mengempaskan dirinya sendiri ke kegelapan. Tiap kali itu—walau kami
sungguh tidak mengerti kejadiannya—si bajingan akan tertangkis tanpa
penyok-penyok. Selama lima menit sosok-sosok yang luar biasa besar itu
meloloskan diri dari penyerang yang mondar-mandir, terdengar suara nyaring lagi
merdu yang kompak—“mereka menyanyi”—bak
pesulap bermain lempar gada di Sirkus Rusia.
“Siapa mereka itu?” Bel menahan napas.
“Makhluk,” sahutku parau.
“Apa maksudmu, makhluk?”
“Yah, tahulah, makhluk
halus.”
“Oh ya ampun, Charles.”
“Aku tahu ini kedengarannya
gila, tetapi Bel kalau saja kamu menyaksikan mereka tadi, berkeliaran
menggotong-gotong piano—beraksi, menandai dirimu—“ Aku juga hendak menceritakan
tentang penglihatanku, penampakan sepintas dari jendela kamar tidurku pada
larut malam, saat Laura memekik pilu, “Mereka lari!”
Seperti yang sudah
diperkirakan, para bajingan itu—yang sejujurnya telah berjuang secara nekat, walaupun
sia-sia, melawan kedua raksasa tersebut—akhirnya melarikan diri berpencaran di
jalan halaman. Seusai menunaikan tugasnya, para penyelamat kami menyeka diri
dan berlari-lari ke arah yang berlawanan dengan berondongan tepuk tangan
antusias dari sekelompok orang di jendela, kecuali Frank, yang sedang
menggumamkan bahwa tidaklah sulit
melontarkan orang kalau kita memang tahu cara memegangnya.
“Menurutmu mereka benar-benar
seperti makhluk halus?”
“Enggak sangsi lagi. Enggak
mungkin ada manusia sebesar itu.”
“Jangan konyol,” sentak Bel.
“Jangan dengarkan Charles, Laura.”
“Hei, kamu pernah mencoba
mengangkat piano Steinway[3]?”
“Hei!” Laura menekankan
hidungnya pada kaca jendela. “Bukankah itu pembantumu?”
Mbok P, kentara benar dengan
gaun longgar putihnya, tengah tergopoh-gopoh melintasi pekarangan menuju
tempat para rekan penolong kami mengundurkan diri tadi. Awalnya kukira ia pasti
sedang berjalan-jalan sambil tidur lagi, tetapi tampaknya ia betul-betul
terjaga. Malah ia terlihat sedang memarahi kedua makhluk itu,
mengibas-ngibaskan jari sambil berkata-kata sengit yang tidak dapat kutangkap
dengan jelas.
“Ini mustahil,” ucap Bel,
seraya lekas berbalik dan berderap keluar dari pintu. “Aku akan mencari tahu
ada apa ini.”
“Aku mengerti maksudmu,” kata
Laura padaku.
“Hah?” sahutku.
“Yah, bahwa rumah ini
menarik.”
“Enggak ada sepinya,” Frank
menepuk-nepuk bahuku sepenuh hati, “ada aku sama Charlie lagi mabuk-mabukan
mah, ya kan Charlie?”
“Ah, iya, betul, betul banget
…” terusik oleh bunyi terseret-seret di lantai atas dan teringat bahwa
MacGillycuddy masih berkeliaran di dalam rumah ini entah di sebelah mana;
lantas menyadari bahwa aku terlupa akan bom itu, yang akan segera meledak. Aku
tidak begitu yakin akan rencanaku sebelumnya untuk bisa keluar dari tengah-tengah
kesibukan ini. Aku jadi grogi dan agak mual gara-gara banyaknya peristiwa yang
terjadi. Rasanya seperti habis makan terlalu banyak kue. Tetapi masih ada lagi
yang akan terjadi. Terdengar derap kaki melangkahi undakan dan sekarang,
dengan wajah agak merona tanda kemenangan, Bel kembali memasuki ruangan diikuti
sepasang bayang-bayang.
“Semuanya,” ia mengumumkan,
“aku ingin kalian bertemu dengan Vuk dan … siapa tadi namanya?”
“Zoran.” Mbok P menyusul
belakangan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Halo,” salah seorang dari
kedua sosok itu mencoba-coba bicara, sementara Bel menggiringnya ke kursi.
Rekannya duduk di lengan kursi. “Kami enggak bisa bahasa Inggris,” ucap orang
itu setelah sejenak menimbang-nimbang.
“Seperti yang kamu bisa
saksikan, mereka enggak gaib sedikit pun.”
Benar: dari dekat para
pendatang baru ini memang tampak serupa manusia, dan terlebih lagi sangatlah
ramah, walau mereka keterlaluan jangkungnya. Keduanya bertubuh kekar dengan
raut wajah gelap serta alis tebal melengkung. Salah seorang dari mereka (Vuk?)
sangat rupawan, dengan rambut panjang kusut, dan giginya sangat putih. Yang
satu lagi (sepertinya Zoran) berkepala bundar dan sikapnya lembut lagi anteng.
Mereka duduk amat santai, sambil acuh tak acuh mengedarkan pandang ke
sekeliling. Sementara itu, Mbok P, menatap kakinya pasrah, seperti anak sekolah
tertangkap basah menyontek saat ulangan matematika.
“Wah, bagus sekali,” ucapku
sejenak kemudian, “tetapi aku masih agak kabur tentang siapa, ah, persisnya
mereka ini ….”
“Mereka putra saya,” sahut
Mbok P, sambil meraba-raba sendu manset gaunnya.
“Putramu?”
“Wow ….”
“Ya. Sudah tiga bulan ini
mereka diam-diam tinggal di Folly.”
“Folly?”
“Charles, berhentilah
mengulang-ulang perkataannya.”
“Sori.” Dengan berat aku
duduk lagi di birai jendela. Sayup-sayup aku mendengar Laura menawarkan teh
pada setiap orang. Kemudian, selama beberapa saat, ruangan itu surut dari
diriku. Anak-anaknya Mbok P! Tinggal di Folly! Tahu-tahu banyak hal menjadi
masuk akal—hantu-hantu, sarapan misterius, celana dalam dan uang belanja yang
luar biasa, ziarah Mbok P ke Folly, surat-surat di bawah bak cuci, hilangnya
perabot rumah tangga dan kini hilangnya beberapa karya seni serta permata
berharga ribuan paun. “Mbok P,” aku kembali pada kehebohan, dengan suara bernada
galak, “aku ingin tahu maksudnya anak-anakmu tinggal di Folly.”
Mbok P berjalan gontai ke
perapian, dan mengaduk-aduk bara yang dinyalakannya petang itu di sela-sela
abu.
“Jadi?” sahutku.
“Jangan menggertaknya,
Charles.”
“Tuan Charles benar,” ujar
Mbok P pasrah. “Anak-anak saya memang tolol, mereka ingin menolong, jadinya
ketahuan dan sekarang saya harus memberi tahu Tuan.”
“Mari mulai dengan apa
persisnya yang mereka perbuat dengan pianoku.”
“Tolonglah, Tuan Charles.
Sekarang Tuan tahu, kemungkinan saya kehilangan pekerjaan dan Tuan mengusir
saya. Ini pilihan Tuan. Tetapi saya bahagia, kami berempat sudah bersama-sama.
Tetapi tolonglah, Tuan mesti mendengarkan ceritanya dari awal sekali.” Mbok P
mendesah, seakan-akan ia telah sampai di ujung perjalanan yang panjang lagi
sukar dan menyadari bahwa ia tidak dapat melanjutkannya lagi.
“Sewaktu perang mulai
terjadi,” ucap Mbok P, sementara Laura masuk membawa baki dan mengitari ruangan,
sambil menawarkan “Teh?” dengan
bisikan yang terlalu keras, “keluarga saya sudah terpisah-pisah. Anak-anak yang
laki-laki di Belgrade, kami di Krajina. Lalu, dengan adanya perang itu—“ Ia
membentangkan kedua tangannya untuk menunjukkan sesuatu terjatuh ke lantai.
“Segalanya kacau. Teman, keluarga, semuanya tercerai-berai ke seribu tempat.
Orang-orang para pemimpin kami melarikan diri. Situasinya menjadi sangat gawat
dan kami mesti melarikan diri juga. Anak-anakku entah di mana mereka. Hidup
atau mati, entahlah.” Dalam sekejap kedua tangannya terangkat dan terempas ke
pinggangnya.
“Kenapa Mbok enggak memberi
tahu kami semua ini?” tanya Bel, sambil mengusap-usap lengan Mbok P. “Barangkali
kami bisa membantumu, Bunda ada banyak kenalan ….”
“Karena perangnya tidak
berakhir.” Sebelah tangan Mbok P lunglai menutupi kedua matanya. “Perangnya
tidak ada habis-habisnya. Belum lagi menyadari itu menjadi simpul yang mengeras
di dalam diri saya, yang harus dipegang erat-erat. Saya datang ke sini, saya
mendapatkan pekerjaan, saya pun menunggu. Hanya jika saya diam saya bisa tetap
terhubung ke masa itu. Kalau saya bicara saya pikir saya akan melupakannya.
Sekarang, ketika saya membicarakannya, perang itu menjadi masa lalu, kehidupan
yang sudah berakhir. Tetapi diam-diam, hanya dengan berdoa pada diri sendiri
sehingga saya tahu, perubahan masih mungkin. Saya pun menunggu, menulis surat,
mendengar kabar dari orang-orang yang hilang dan kemudian muncul bak keajaiban,
tetapi tidak ada yang mereka bawa selain kabar buruk.”
Mbok P diam termenung. Vuk dan
Zoran meringis tidak mengerti. Frank menyerapah saat Jaffa Cake di tangannya
jatuh ke dalam cangkir tehnya.
“Akhirnya,” ia menyambung,
“kami menemukan satu sama lain, terpisah di negara yang berbeda-beda. Saya
kirim uang supaya mereka bisa ke sini. Semuanya diam-diam, kalau ketahuan
mereka akan dikembalikan. Tetapi kami beruntung. Para tukang bangunan itu
orang-orang baik, mereka membantu kami dengan memberikan makanan serta dokumen,
mereka menjadikan Folly hangat, mereka tidak memberitahukan perbuatan kami pada
Tuan. Saya tidak bangga, mencuri dari Tuan, membohongi Tuan. Tetapi saya pikir,
mungkinkah mereka mengerti. Kejadian lainnya tidak begini, ada awalnya, ada
pula akhirnya. Tetapi saat suatu kampung lenyap, dan dihapus dari peta, maka—“
“Tunggu—“ memang ini momen
yang emosional, dan aku tidak suka menyelanya, namun aku telah
menghitung-hitung dengan jemariku beberapa kali dan hasilnya masih belum juga
cocok, “jadi kalian ada berapa orang
tadi?”
“Mirela, putri saya, sedang
tidur. Dia sakit, dia perlu istirahat.”
“Oh.” Aku berpijak
pelan-pelan. “Sedang tidur di, eh …?”
“Folly,” Mbok P menggangguk.
“Baik, baik ….”
“Bagaimana ceritamu tadi, Mbok P?” Bel mendorongnya untuk melanjutkan. “Tentang kampungmu yang hilang?”
“Ya, perangnya tidak ada
habis-habisnya, sebab tanahnya sudah diambil supaya kami terus menyingkir,
sehingga mau tak mau kami ambruk dan—“
“Permisi sebentar, ya …?”
Tidak ada yang memerhatikanku sementara aku menyisi ke pintu. Begitu lepas dari
pandangan mereka, aku berjingkat-jingkat menuruni undakan dan menuju
rerumputan yang basah. Gelegak ombak di sebelah timur menandakan badai tengah
menjelang dari laut. Folly pun tampak, kukuh dan kelam, dalam kegelapan.
Bomnya berada tepat di tempat
yang diberitahukan oleh MacGillycuddy, buntel akal-akalan buatan sendiri yang
dibungkus dengan busa serta plester dan dijejalkan di antara dua batu fondasi.
Permukaan jamnya menunjukkan sisa tiga belas menit lagi: waktu yang cukup jika
aku bergegas mengeluarkan anak perempuan sialan ini dari Folly dan minggat
sebelum bangunan itu terbakar habis.
Pintu masuknya berupa ceruk
di dinding, ditahan oleh galah dalam bungkusan plastik yang berderak-derak
akibat cambukan angin. Sambil berkeringat gugup, serta ditusuk-tusuk oleh gigi
besi yang menyembul dari bangunan batu, aku menaiki tangga yang sempit. Di
mana-mana kertas kuning segi empat kecil ditempel di rangka kayu, bertulisan
pesan-pesan yang sulit dimengerti—aku yakin, itu peringatan para tukang
bangunan pada diri mereka sendiri, akan tugas-tugas yang kini tidak akan pernah
tertuntaskan. Separuh jalan ke menara aku menemukan pianoku, dijejalkan dengan
pasnya di antara tangga dan langit-langit. Aku memaksakan diri melalui piano
itu, mengangkat pintu kolong di sebelah atas dan mengulurkan kepalaku ke
ruangan di baliknya.
Selembar lidah api
terpelanting ke sana kemari oleh angin yang menyusup ke balik langit-langit
terpal. Dalam penerangan bernuansa gotik ini, barang-barang yang kulihat di
segala penjuru seakan berpindah tempat hampir-hampir secara gaib. Rasanya
seperti masuk ke tenda di pekan raya dan mendapati museum kehidupanmu sendiri.
Bangku otoman, teko, menorah; tak terhitung barang yang malah telah kulupakan:
pemberat kertas, handuk pantai, radio. Di dekat pintu kolong ada alat pemijat
kaki yang merupakan hadiah Natal patungan antara aku dan Bel untuk Bunda bertahun-tahun
lalu, yang kukira belum pernah ia keluarkan dari kotak. Di samping itu, ada
meja yang tampak familier beserta kursi-kursi yang juga tampak familier,
kemudian ada kantung tidur yang tampak familier beserta selimut yang juga
tampak familier dan boneka beruang usang yang tidak lagi kugemari seiring
dengan remajanya diriku. Di sisi
satunya lagi, yang tepat berada di tengah-tengah ruangan bundar itu, terdapat
barang-barang berharga, menumpuk tak tertata hingga menyerupai gundukan tinggi
hasil timbunan seekor naga. Koin, pistol, barang-barang dari kristal, perak,
emas, akik, dan cerpelai—semuanya dipangkalkan di pojok yang secara harfiah
membuatku merasa agak terlumpuhkan: gagasan orang mengenai kekayaan, dan yang
dapat diperbuat dengan kekayaan itu.
Semestinya kusebutkan dari
awal bahwa di kantung tidur dekat dinding ada seorang gadis, sedang duduk
membaca sebuah kumpulan drama karangan Tennessee Williams yang sudut halamannya
berlipat. Entah ia berlagak tidak memerhatikanku, atau memang terpikat oleh bukunya;
toh, aku berdeham juga: “Ehem.”
[1] Brother Cadfael hidup pada paruh awal abad kedua belas (sekitar
1135 – 1145), merupakan tokoh utama dalam serial misteri pembunuhan berlatar
sejarah karya Edith Pargeter (nama pena: Ellis Peters)
[2] Mangkuk kecil dari kaca atau
keramik berglasir untuk memasak dan menyajikan berbagai hidangan
[3] Pengrajin piano yang mendirikan
perusahaan pabrik piano terkenal di New York (1797 – 1871)