“Eh, kamu,” sahut gadis itu.
“Ya,” ujarku, merasa agak
terlampaui.
“Kemarilah,” ucapnya sopan,
sambil meletakkan buku ke sampingnya.
“Terima kasih.” Bergeming
saja ia menatapku menghela diri melewati pintu kolong. “Aku tahu kamu akan
kemari cepat atau lambat,” ucapnya. “Ada apa?”
“Oh, ada sedikit cekcok di
rumah. Saudara, ah, saudaramu baik juga mau membantu ….”
Bahkan dengan penerangan
remang-remang aku bisa menilai dia ini gadis yang menarik, dengan rambut hitam
sebagus saudara-saudaranya serta raut tegas memesona. Warna biru matanya tajam
menyetrum, dengan tatapan yang seolah-olah membenamkan dirinya dalam-dalam di
mata orang yang ia lihat tanpa menjurus langsung. Terasa agak melegakan saat ia
mengejap.
“Mungkin itu yang terbaik,” ucapnya enteng, dengan nada yang sama-sama lunak lagi samar; lantas mengangguk, seakan-akan bersepakat dengan dirinya sendiri. Aksennya lebih halus ketimbang ibunya sehingga suaranya terkesan bak beledu, menghipnotis. Mendadak aku merasa tidak lagi terburu-buru harus pergi. Ia mulai bersenandung sendiri, sambil jarinya memilin-milin rambut, lantas tahu-tahu ia terdiam, seakan-akan ada yang terpikir olehnya. “Kamu mau minum? Rupanya tahu-tahu kami punya anggur pilihan.”
“Mungkin itu yang terbaik,” ucapnya enteng, dengan nada yang sama-sama lunak lagi samar; lantas mengangguk, seakan-akan bersepakat dengan dirinya sendiri. Aksennya lebih halus ketimbang ibunya sehingga suaranya terkesan bak beledu, menghipnotis. Mendadak aku merasa tidak lagi terburu-buru harus pergi. Ia mulai bersenandung sendiri, sambil jarinya memilin-milin rambut, lantas tahu-tahu ia terdiam, seakan-akan ada yang terpikir olehnya. “Kamu mau minum? Rupanya tahu-tahu kami punya anggur pilihan.”
“Tidak,” sahutku enggan, seraya
menyenggolkan sebelah sepatuku pada pasangannya. “Begini—ini bukan kunjungan
ramah-tamah. Aku kemari untuk memberitahumu bahwa bangunan ini akan meledak.”
“Aku serius,” ujarku. “Kamu
harus keluar dari sini.”
“Berapa lama lagi waktunya?”
“Entahlah. Sebentar lagi.”
Ia mengedarkan pandang ke
ruangan itu seakan-akan baru melihat semuanya untuk pertama kali. “Sayang
sekali,” ucapnya, disertai penyesalan yang tak acuh. “Bisakah kamu berbalik
dulu? Aku harus mengenakan pakaian.”
“Tentu.” Dengan gagah aku
menyingkir ke pojok paling jauh di ruangan itu dan, sembari mengabaikan bunyi
kertak-kertuk dari belakang yang mengherankan, melihat-lihat harta temuan hasil
colongan Mbok P. Miniatur plastik Menara Eiffel beroleh tempat di sini: cendera
mata dari pelancongan ke Perancis semasa kecil, sebagian besar waktu habis di
kamar hotel menunggu Ayah kembali dari konferensi yang tak berkesudahan. Ia dan
Bunda pun bertengkar sengit. Aku penasaran siapa yang telah menyimpan miniatur
ini. “Mesti kukatakan, aku kagum pada ketenanganmu …” seruku ke belakang.
“Kurasa ada gadis yang suka
memunguti barang di jalan,” balasnya. “Selesai, sekarang kamu boleh berbalik.”
Aku pun berbalik tepat ketika lengannya yang telanjang masuk ke lengan baju
berwarna merah gelap. Ia muncul kembali dan mengedip padaku dengan gaya Lauren
Bacall. Roknya berwarna pucat, sempit, dan hampir mencapai lantai. “Bagaimana?
Rapikah aku?”
“Luar biasa.”
“Bagaimana dengan …?”
Gerak-geriknya mengisyaratkan Folly dan seluruh isinya.
Aku pun bimbang. Sudah tidak
banyak harapan untuk rencanaku sekarang. Bahkan meskipun aku masih bisa
memalsukan kematianku, yang kini terasa semakin mustahil saja, tinggal sedikit
kesempatan untuk mengasuransikan semua barang berharga yang hilang ini. Maka
tambahan apa pun dari kematianku akan dibatalkan; pengasinganku ke Cile pun
sia-sia. Kemudian terpikir olehku bahwa yang terbaik sekarang ini yaitu
mengabaikan rencana tersebut dan membatasi kerugian dengan menyambar
barang-barang berharga itu semampuku dan mengamankannya di luar. Namun kemudian
aku menyadari bahwa apa pun yang kuselamatkan hanya untuk ditawarkan di
pelelangan. Tak satu pun dari barang-barang ini milikku lagi. Barang-barang ini bukanlah milik siapa pun: setidaknya bukan milik orang
yang punya wajah dan nama, yang pada kemudian hari datang kemari dengan martini
beserta setengah kantung cokelat truffle
malam-malam dan memandangi orang-orang yang membawa anjing mereka jalan-jalan
di pantai. Barangkali ini ada hubungannya dengan gadis ini serta jampi asing
yang ia lontarkan, namun sekonyong-konyong aku nyaris merasa lebih baik
kekayaan kami meledak ketimbang menyaksikan bank menjualnya pada penawar
tertinggi. Jika kami harus melarat, maka kami pun harus
menjalaninya dengan gaya. “Lupakan saja,” aku mengangkat bahu. “We’ll always have Paris[2].”
Ia tertawa, dan melangkah ke
pintu kolong. Serta-merta aku meraih lengannya. “Aku tahu ini konyol,” kataku,
“tetapi beberapa menit lagi tempat ini bakal terbakar habis dan setelah itu
entah apakah aku bisa menjumpaimu lagi. Jadi kalau kamu enggak keberatan—maukah
kamu memberitahuku kenapa aku merasa kita sudah pernah bertemu?”
“Kita harus buru-buru,”
dengan sendirinya ia mulai, lantas terdiam. “Kalau kamu memanjat rak buku itu,”
ia menunjuk ke belakang ke arah kantung tidur, “kamu bisa membuka kain terpalnya
dan menjulurkan badan ke luar dari puncak Folly. Rasanya hampir seperti
terbang, apalagi pada malam berangin.”
“Ah … kamu si bidadari!”
seruku. “Kamu yang suka melambai padaku!”
“Kamu kira aku ini bidadari?”
“Yah … maksudku aku enggak
pernah benar-benar yakin sih ….”
“Kukira biasanya kamu mabuk.”
“Yah, iya sih ….”
“Kamu selalu terlihat kacau,”
ia tertawa lagi, kemudian ganti ia yang meraih lenganku. “Charles, apa yang
akan terjadi pada kami? Akankah ibumu menyerahkan kami pada polisi?”
“Tentu saja tidak,” sahutku
serius. “Itu enggak bakal terpikir olehnya. Nanti kita bicara padanya, jangan
khawatir. Nanti kita atasi.”
Ia tampak puas mendengarnya.
Ia mengangguk dan menarik tangannya. Ia menatap mataku, dan berkata hati-hati
“Charles, ada apa di dalam celanamu?”
Saat itu aku lupa sama sekali
pada lukisan Ayah, dan kuakui aku agak bingung dengan maksud perkataannya itu.
Kesempatan itu boleh jadi menjurus pada persetujuan bersama yang mencelakakan
seandainya seketika itu tidak muncul wajah cemas memerah dari pintu kolong.
“Hei, hei,” aku kembali
terempas ke kenyataan, “kalau saja itu bukan si tikus yang kembali demi melihat
kapal yang tenggelam untuk terakhir kali.”
“Kalian gila?” pekik
MacGillycuddy. “Ada bom! Kenapa kalian malah mengobrol?”
“Baiklah, baiklah.” Ia
kembali lenyap dan aku pun menggiring gadis itu supaya mendahuluiku—dan
terdengar lagi, bunyi kertak-kertuk itu—
“Apa di sini ada tikus?
Tikus-tikus gede?”
Ia terhenti di tepi pintu
kolong, seakan-akan tengah memperdebatkan suatu hal dengan dirinya sendiri.
“Itu bukan tikus,” sahutnya.
“Lalu apa?”
Ia setengah berbalik ke
arahku. Mata kobaltnya membenam di mataku. Ia mengangkat
rok. Semula kukira ia akan berlutut, lantas kulihat sementara kaki kanannya
bewarna perunggu dan keras, yang kiri panjangnya tepat di bawah lutut: ujungnya
dililit ban baja kesat yang tersambung dengan protese kayu yang tampak janggal.
“Oh ….”
“Benda lainnya yang kupungut
di jalan,” ucapnya. “Bom. Atau ranjau. Aku tidak ingat. Aku terbangun dan sudah
ada ini.”
“Maaf,” sahutku lemah—namun
ia sudah bersegera menuruni anak tangga. Aku tergopoh-gopoh menyusulnya,
merangkak di atas piano, entah bagaimana berpapasan dengan Frank di pintu—
“Baik-baik saja?” ucap Frank.
“Lewat sini! Ayo!”
MacGillycuddy melambai pada kami dari balik pagar semak dan anakan pohon.
Segala kekhawatiran dan keadaan mendesak yang hingga saat itu terpendam merebak
dalam diri kami berdua: kami berlari-lari melintasi rerumputan, gadis itu berpegangan
di lenganku supaya seimbang. Di atas kami langit menjadi gelap dan angin
beriak: melontarkan rambutnya ke sana kemari dan menyambar kedua pipiku
bagaikan bayi raksasa tanpa wujud. Kami ambruk di samping MacGillycuddy.
“Menurutmu kita aman di sini?”
Dada gadis itu melambung naik turun sementara ia mengambil napas.
“Jangan khawatir, melarikan
diri itu hal yang paling dikuasai MacGillycuddy, iya kan, MacGillycuddy?”
Ia berlagak tidak
mendengarku, malah berbicara pada pada si gadis. “Kuharap aku tidak menakutimu,
berteriak-teriak seperti itu,” ucapnya dengan suara menjilat. “Aku agak kaget
mendapatimu masih di sana. Kukira sampean sudah pergi dari lama.”
“Tunggu,” mata si gadis
berkilat, “dari kapan kamu tahu tentang bom ini?”
“Yah, aku yang memasangnya,
mengerti kan—sampean enggak baca pesanku?”
“Itu kamu? Kamu yang memasang bom di Folly?” Suara gadis itu jadi nyaris
dan ia pun menyerang MacGillycuddy dengan kegarangan yang amat menakutkan. “Kamu
enggak memberitahuku?”
“Aku sungguh memberitahumu,” MacGillycuddy memprotes, sambil menyusut ke
belakang sementara bayangan gadis itu menimpanya. “Aku meninggalkan Post-it di
mana-mana, pesannya sangat jelas, ‘Keluar, bom,’ begitu isinya, ‘Larilah,
ledakan pukul dua pagi.’ Aku tidak mengerti kok bisa sampean tidak melihatnya—“
“Post-it?” Mata yang
menyala-nyala itu menatap padaku.
“Itu semacam kertas catatan
yang bisa melekat sendiri,” aku mulai—“tetapi dengar, MacGillycuddy, kamu mengenal gadis ini?”
“Tidak secara intim,”
MacGillycuddy menyombong.
“Tetapi, yang kumaksud, kamu tahu bahwa Mbok P menaruh anak-anaknya di
Folly?”
“Ia membawakan surat untuk
ibuku,” si gadis tampaknya siap mencabik MacGillycuddy sampai berkeping-keping,
“dari kami, secara sembunyi-sembunyi. Kemudian setelah kami di sini ia yang
mengatur dokumen palsu untuk abang-abangku, dengan bayaran—“
“Jadi, ya, untuk jawaban atas
pertanyaanmu—“
“Ah—sialan—“ menyadari
sikapnya yang bermuka dua serasa menguapi telingaku, “Maksudku—sewaktu aku
mendatangimu, dan memberitahuku ada yang mencuri perabotku—“
MacGillycuddy jelas-jelas
tampak terpojok. “Frank lancar enggak, ya,” ucapnya buru-buru, seraya bangkit
dan mengamati kegelapan.
“Jangan mengalihkan
pembicaraan—tetapi apa sih persisnya yang sedang
dilakukan Frank di sana?”
“Dia pikir dia mungkin bisa
melepas sumbu peledaknya,” sahut MacGillycuddy. “Aku harus memberi tahu mereka
tentang ini, Charlie. Tadi aku tidak memperkirakan situasi yang akan sampean jalani.”
“Itu karena kamu tadi di atas
lagi bersembunyi di kolong tempat tidur,” kataku. “Lagi pula, kenapa bukan kamu yang melepas sumbu peledaknya, toh
itu gagasanmu kan sehingga rencanaku gagal, dan itu bom sialan rakitanmu dari
awal juga—“
MacGillycuddy
menggerak-gerakan jari di dalam
telinganya. “Merakit bom itu persoalan yang sama sekali lain,” ucap
MacGillycuddy, sambil memeriksa hasilnya, “dengan mematikannya.” Ia
menangkupkan sebelah tangannya ke mulut dan melenguh: “Bukankah begitu,
Francy?”
Frank, yang berupa noktah
redup di kaki Folly, menghentikan pekerjaannya. “Apa?” serunya balik.
“Kubilang, bagaimana bomnya?”
Frank merunduk ke sela
lututnya. “Ah, masih ada dua menit lagi,” teriaknya, “tetapi kalian mungkin
sudi menjauh dari jendela.”
“Dia akan terbunuh!” Jemari putih mungil gadis itu
terseret menuruni wajahnya.
“Enggak lah. Dulu kan dia di
PBB. Dia sudah sering melakukan ini.” MacGillycuddy kembali meletakkan tangan
di mulutnya: “Benar kan, Francy?”
“Apa?” Frank berhenti lagi
dan memalingkan kepalanya ke arah kami.
“Aku baru saja memberi tahu
Charles, sampean sudah sering melakukan ini.”
“Matikan saja bomnya!”
jeritku.
“Kubilang juga ini seperti
mengendarai sepeda, ya kan? Sekali belajar, sampean enggak bakal lupa.”
Frank berjeda dan memikirkan
ini sementara giginya tampak mengapit sehelai kawat.
“Sebenernya,” sahutnya dengan
penuh pertimbangan, “ini lebih kayak nyopot beha—lu tahu caranya, lu udah
pernah ngelakuin itu berjuta kali, tapi tetep aja pas ngadepin tuh cewek di
belakang van—“
“Demi—bisa enggak sih kamu
berhenti mengganggu dia!”
“Merunduk, Charles!” Gadis itu menyambar kakiku dan menarikku ke
sisinya.
MacGillycuddy menatap jam
tanganya. “Mestinya tinggal delapan menit lagi,” ucapnya. “Lima … empat ….”
Kami mencampakkan diri ke
tanah.
Segumpal awan mengapung
meliputi bulan.
“Nah,” ucap Frank.
“Kan?” sahut MacGillycuddy.
Perlahan kami pun bangkit.
Follynya utuh.
Aku dan gadis itu bertatapan
lalu tertawa dungu lagi girang. Frank tertawa juga, seraya bangkit dan berjalan
menghampiri kami. Tanpa suara, listrik menyala di rumah di belakang kami, dan
jendela-jendela pun memancarkan cahaya ke rerumputan, sehingga segalanya, setelah
berjam-jam kegelapan, tampak riang gembira secerah kartun Disney. Kami berempat
berkumpul di pekarangan, tertawa-tawa dan menepuk-nepuk bahu Frank. “Sampean berhasil!” ucap MacGillycuddy.
“Lu utang minuman,” balas
Frank. Gigi-giginya yang pengkol tampak selagi ia tersenyum. Walaupun ada yang
terasa sangat tidak wajar dengan perubahan keadaan ini, aku mengabaikannya saja
dan turut mengucap selamat sementara, ibarat pasukan yang kembali dengan jaya
dari perang panjang berdarah-darah, kami berjalan ke rumah. Lewat jendela ruang tamu aku melihat Bel
menatap ke luar, pucat dan kurang tidur, didampingi Mbok P. Kutatap matanya,
namun ia berpaling sebelum aku sempat mengacungkan kedua jempol padanya. Tidak
apa-apa, batinku, karena walau tidak ada satu pun kejadian yang berlangsung
sesuai dengan rencana malam itu, namun rasanya ini sudah yang terbaik. Toh
Follynya masih tegak, tentu ini artinya kami pun bakal unggul, tidak saja atas
kuasa-kuasa yang bergerak melawan kami, namun juga atas hasrat-hasrat kami sendiri
yang keliru, tujuan-tujuan kami yang terbaik. Entah ia menyukainya atau tidak,
Bel bagian dari keluarga—ke mana pun hidup menggiring kami, aku tidak bisa
kehilangan dirinya lama-lama.
Inilah yang terpikir olehku saat, tepat di hadapanku, Frank berhenti dan menunjuk ke langit. “Lihat deh tuh burung aneh deh,” ucapnya sambil lalu.
“Oh iya,” kataku, seraya menyipitkan mata sementara benda itu membubung mendekati kami. Namun sebelum aku dapat memberi tahu Frank bahwa dipikir-pikir lagi bongkahan batu atau semacamnya itu sama sekali tidak menyerupai burung, kami diliputi gemuruh memekakkan. Kemudian barulah aku sempat berpaling dan melihat bahwa entah bagaimana Folly itu tidak berada di tempatnya semula—
Inilah yang terpikir olehku saat, tepat di hadapanku, Frank berhenti dan menunjuk ke langit. “Lihat deh tuh burung aneh deh,” ucapnya sambil lalu.
“Oh iya,” kataku, seraya menyipitkan mata sementara benda itu membubung mendekati kami. Namun sebelum aku dapat memberi tahu Frank bahwa dipikir-pikir lagi bongkahan batu atau semacamnya itu sama sekali tidak menyerupai burung, kami diliputi gemuruh memekakkan. Kemudian barulah aku sempat berpaling dan melihat bahwa entah bagaimana Folly itu tidak berada di tempatnya semula—