Ada alasan di balik
kecantikannya. Ia punya rahasia yang tidak dapat diberitahukannya kepada siapa
pun, dan rahasia itulah yang menjadikan dia cantik.
Ia tidak punya ibu. Ibunya
meninggal ketika ia masih kecil, sehingga ia dibesarkan oleh ayahnya. Ayahnya
kini punya keluarga baru. Ayahnya menikah lagi pada saat ia berusia lima belas
tahun. Ia tahu bahwa ayahnya telah menemui wanita yang lain ini ketika ibunya
masih hidup. Ia tidak pernah mengecam ayahnya karena itu. Jangan mengkhawatirkan aku, katanya, Aku hanya ingin Ayah bahagia. Ayahnya pun pergi, dan sejak itu
tidak pernah bersinggungan lagi dengan dia.
Ia tumbuh menjadi wanita muda
yang cantik dan menjadi model. Dengan mengenakan aneka macam pakaian, ia
tertawa dengan pandangan menerawang, ia menjerit dan mencium orang-orang. Ia
tampil di berbagai majalah serta baliho terang benderang di atas toko-toko,
sehingga kebanyakan orang mengenali dia. Mereka mungkin tidak tahu namanya,
namun telah melihat wajahnya. Berkat keglamoran profesinya, serta
kecantikannya, orang-orang berkumpul di sekitarnya: wanita dan pria,
orang-orang berduit serta orang-orang yang tidak banyak duit. Mereka datang,
kemudian mereka pergi lagi, seolah-olah kabur dari dia. Pada akhirnya,
kecantikannya menakuti mereka.
Wajahnya bukan jenis yang
memikat ataupun penuh semangat. Saat orang memandang matanya, mereka merasa
seperti diterawang, diculik, diisap menuju suatu kemalangan yang teramat celaka.
Maka mereka pergi, dengan sembunyi-sembunyi, tanpa penjelasan. Orang-orang yang
bergeming hanyalah mereka yang tidak banyak merasa—pria-pria tanpa perasaan,
serta wanita-wanita tanpa perasaan. Ia tidak memiliki seorang pun yang dapat
disebutnya teman. Ia tidak tahu sebabnya dikelilingi orang-orang tanpa perasaan,
namun ia menganggapnya positif. Ia pikir, kalaupun aku dikeliling orang-orang
yang bukan temanku, aku tidak perlu memberi tahu siapa pun rahasiaku.
Hanya sekali ia jatuh cinta.
Kepada kekasihnya itu ia memberitahukan rahasianya.
Ibuku mati di danau ketika aku kecil. Aku lari ke hutan
untuk mengambil bola dan melihat ibuku. Aku melihat ibuku, masuk semakin jauh
ke danau. Aku memanggil ibuku, dan ia menoleh. Sementara air mencapai
pinggangnya, ibuku tersenyum kepadaku, dan melambaikan tangan. Selamat tinggal,
ucapnya, Ibu akan pergi.
Kenapa, tanya
kekasihnya. Kenapa? Aku tak tahu. Mungkin
karena ayahku punya pacar. Tetapi kalaupun bukan itu persoalannya, kurasa ibuku
kesepian, begitulah jawabnya.
Lalu apa yang kau lakukan, tanya kekasihnya, dan ia
menjawab, Aku menonton. Aku berdiri saja menonton rambut ibuku masuk sedikit
demi sedikit ke bawah permukaan air. Aku tidak berlari mencari bantuan. Apa kau
merasa syok? Tidak. Apa kau merasa terlalu sedih, saat menonton ibumu? Tidak.
Apa kau merasa itu pemandangan yang indah? Ya. Aku tidak bisa menguasai diriku.
Sebaiknya kau berusaha untuk
secepatnya melupakan itu, kata kekasihnya. Ibumu memutuskan untuk mati, dan
bagaimanapun juga, anak kecil tidak dapat berbuat apa-apa mengenai itu. Bukan
berarti kau membiarkan dia mati atau apa.
Itulah yang dikatakan
kekasihnya, namun lelaki itu meninggalkan dia. Lelaki itu pergi begitu saja,
seakan-akan kabur dari dia. Mestilah kecantikannya lenyap dari matanya saat ia
menceritai kekasihnya. Ia tidak mencari kekasihnya, dan tidak pula menangis, namun
memang ia sungguh menyesal telah membeberkan rahasianya kepada lelaki itu. Ia
bahkan tidak pernah membicarakan tentang rahasia tersebut kepada ayahnya. Aku tidak pernah ingin berbagi pemandangan
itu, pemandangan yang milikku seorang, dengan seorang pria yang akan
menghilang. Sekarang ibuku, yang berdiri di danau itu, akan melambaikan
tangannya bukan hanya kepadaku, namun juga kepada ayahku. Ayah akan terus
menyaksikan pemandangan itu, berkali-kali, seperti aku. Pikiran tersebut
memualkan dia.
Pikiran itu mestilah memualkan
dia.
Ia berbicara denganku mengenai
segala hal kecuali rahasianya. Aku merupakan orang kepercayaannya sejak ia masih
muda, dan satu-satunya orang yang ia percaya. Mengapa aku tahu rahasianya kalau
ia tidak pernah membicarakan tentang itu kepadaku? Yah, sebab aku di sana ketika
peristiwa itu terjadi. Hari itu, aku bercakap sedikit dengan ibunya, dan
kemudian kami berpisah. Aku mendengar anak perempuan itu memanggil ibunya. Topiku terbang, Bu, kata si anak
perempuan, dengan suara nyaris berteriak, ambilkan!
Si ibu masuk ke danau untuk mengambil topi anak perempuan itu. Kakinya mestilah
tersangkut sesuatu. Si ibu bukan melambaikan tangan, melainkan meminta bantuan.
Si anak perempuan cuma berdiri menonton ibunya sementara air danau menelan
wanita itu. Aku juga cuma berdiri dan menonton.
Maka aku memiliki rahasia yang
sama dengan dia. Rahasia itu menjadikan aku cantik. Rahasia itu menjadikan
seolah-olah sesungguhnya aku dan dia yang anak dan ibu. Ia tidak tahu itu,
tetapi aku tahu.
Terjemahan ini berdasarkan versi Inggris Polly Barton atas cerpen Mitsuyo
Kakuta “KIOKU” yang terdapat dalam Words Without
Borders edisi Maret 2015 dengan judul “The Memory”.
Mitsuyo Kakuta lahir pada 1967 di Prefektur Kanagawa, Jepang. Ia lulus dari Fakultas
Sastra Universitas Waseda. Pada 1990, novel debutnya Kōfuku na yūgi (Waktu Lengang yang Membahagiakan) memenangi Anugerah Kaien
untuk Penulis Baru. Buku-bukunya yang berikut telah memenangi rangkaian
penghargaan dan anugerah, termasuk Anugerah Noma untuk Kesusastraan pada 1996
untuk Madoromu yoru no UFO (UFO Malam Lelap), Penghargaan Sastra Tsubota Jōji pada 1998 untuk Boku wa kimi n onii-san (Aku Kakakmu),
Penghargaan Sankei Fuji TV untuk Buku Anak-anak serta Penghargaan Sastra
Robo-no-Ishi pada 2000 untuk Koddonappu tsuā (Tamasya Penculikan), Anugerah
Sastra Fujin Kōron untuk Kūchū teien (Taman Gantung), Anugerah Naoki
pada 2005 untuk Woman On the Other Shore, serta Anugerah Kawabata
Yasunari pada 2006 untuk Rokku haha (Ibu Rok), Anugerah Chūō Kōronsha pada 2007 untuk The Eight Day, Anugerah Sastra Itō Sei pada 2011 untuk Tsurīhausu (Rumah Pohon), Penghargaan Shibata Renzaburō untuk Kami no tsuki (Bulan Kertas) serta
Anugerah Izumi Kyōka untuk
kumpulan cerpennya Kanata no ko (Anak
dari Akhirat) pada 2012, dan Anugerah Cerpen Kawai Hayao pada 2014 untuk Watashi no naka no kanojo (Wanita dalam
Diriku). Ia juga sering tampil sebagai dewan juri untuk anugerah sastra.
Karya-karya lainnya yang terkenal termasuk Sangatsu
no shōtaijō (Undangan
Maret), Mori no nemuru snake (Ular-ular yang Tidur di Hutan), dan Kuma-chan.
Banyak di antara karyanya yang telah diadaptasi ke televisi serta dibuat
menjadi film. Akun Twitter miliknya: https://twitter/com/kakutamitsuyo.
Polly Barton adalah
penerjemah nonfiksi dan sastra Jepang. Ia lahir di London dan mempelajari
filosofi sebelum pergi ke Jepang. Sekarang ia tinggal dan bekerja di Osaka. Ia
bergelar MA dalam Teori dan Praktik Penerjemahan dari SOAS, University of
London, serta dianugerahi hadiah pertama dalam inaugurasi Kompetisi
Penerjemahan JLPP berkat karya terjemahannya atas Natsuki Ikezawa dan Kobo Abe.
Karya terjemahannya baru-baru ini termasuk kumpulan cerpen oleh Aoko Matsuda
dan Naocola Yamazaki, novel Sawako Ariyoshi, serta berbagai proyek nonfiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar