“Kau dengar suara itu?” si istri berbisik, sambil
bersanggakan sebelah sikunya di kasur, dan membelalakkan mata.
“Suara apa?” tanya suaminya yang mengantuk.
“Suara itu sepertinya dari halaman. Ada orang di atap,
atau di dapur,” ujar si istri ketakutan.
“Bangun. Periksa anak-anak, aku mau ambil pistol,”
perintah si suami, nadanya menyuruh diam. Ia sudah bangun betul-betul.
Sementara si istri berjingkat cepat menuju kamar
anak-anak, si suami mengeluarkan pistol dari lemari, memastikannya terisi dan
siap untuk ditembakkan. Si suami mengenakan selopnya, lantas mendengar dengan
lebih jelas bahwa ada orang di bagian belakang rumah, barangkali di dapur.
Lampu belum dinyalakan dan sepasang suami-istri itu bergerak sehening mungkin.
Dari pintu kamar, si suami memberi isyarat pada istrinya untuk tetap
bersembunyi. Si suami menunggu, lalu, saat mengira saatnya sudah pas,
pelan-pelan ia bergerak menuju dapur dan mendapati seseorang tengah memunggunginya, sekitar
empat meter di depannya, dan membukai laci serta memasukkan apa pun yang
ditemukannya ke sebuah kantong. Seketika si suami berpikir bahwa jika ia
bersuara, lelaki itu mungkin akan menyerangnya. Jadi tanpa pikir panjang lagi,
si suami membidik dan menembak punggung lelaki itu dua kali. Si istri mendengar
dua ledakan keras, bagai mercon dalam kegelapan entah di mana, dan berlari
mencari suaminya.
“Ada apa?” tanya si istri, suaranya terdengar seperti mau
menangis. “Kau baik-baik saja?”
“Ya. Jangan khawatir, tetapi kurasa aku telah membunuh
bajingan ini,” ujar si suami, sambil melangkahi tubuh yang terbaring di lantai
itu dan menyepaknya.
“Jadi apa yang mesti kita lakukan? Menelepon polisi?”
“Kau gila? Kau ingin aku dipenjara gara-gara seonggok
sampah ini? Ganti bajumu lalu kita buang dia di Las Guacamayas.”
Si istri memandang suaminya dan, sambil menahan keluh,
menuju kamar, lalu mengenakan celana jin belel, sweter, dan sepatu kets yang biasa
dipakainya untuk senam aerobik. Pikirannya kelu. Suaminya, setelah memastikan
bahwa tak ada pembantu ataupun tetangga yang terbangun, masuk ke kamar dan
berganti pakaian.
“Kita akan membungkusnya dengan kantong sampah lalu
memasukkannya ke mobil,” ucap si suami pada istrinya, yang menatapnya bak
mesin.
“Baik,” sahut si istri, dan merasa agak merinding.
Setelah kembali ke dapur, tanpa berisik, si suami
mengangkat tubuh lelaki itu dari lantai, sementara si istri berjalan
mendahuluinya, sambil membukakan pintu demi pintu, hingga akhirnya mereka
sampai di garasi. Si istri membuka bagasi BMW dan mendengar, serta merasakan,
tubuh yang tak bernyawa itu berdebuk di lapik.
“Kau ingin ditemani?” tanya si istri, dalam hatinya
memohon agar suaminya menjawab tidak.
“Mana mungkin aku pergi sendirian. Buka pagarnya, dan
setelah aku keluar, kunci lalu masuk ke mobil,” sahut suaminya.
Si istri menurut. Ia terdesak oleh suara yang bukan
berasal dari dirinya sendiri dan tak akan membiarkannya memikirkan akibat
perbuatannya. Setelah mengunci pagar, ia memasukkan kunci ke saku depan celana
jin dan memandangi jalanan yang senyap. Dengan cepat dan berhati-hati ia
memasuki mobil lalu suaminya menyetir ke ujung jalan. Setelah melalui dua
jalan, si suami menyalakan lampu depan. Keduanya tak berkata-kata hingga mereka
tiba di tepi jurang.
“Kau yakin tak ada orang di sekitar sini?”
“Jangan khawatir, lalat pun tak ada yang berkeliaran di
sini.”
“Kau sudah memerhatikan benar-benar? Adakah mobil
lainnya?”
“Tidak, hei, tidak ada apa-apa, tidak ada orang, kubilang
juga.”
“Aku takut sekali.”
“Aku juga, tetapi kita harus melakukannya. Mau bagaimana
lagi.”
“Semua ini salahmu. Kalau saja kau tidak ….”
“Ya, ya, aku tahu. Kalau saja aku tidak sesengit itu,
barangkali sekarang, saat ini juga, ada yang sedang membuang mayat kita, atau
anak-anak.”
“Kau benar, maaf. Tetapi aku masih takut sekali. Aku
hampir-hampir histeris.” Si istri meremas-remas kedua tangannya yang dingin dan
lembap serta merapikan rambutnya dengan gerak kaku.
“Jam berapa sekarang?” tanya si suami.
“Dua lewat sepuluh. Aku kedinginan. Gigiku gemeletukan.”
“Cobalah tenang,” sahut si suami. “Kau membuatku tambah
gelisah saja.”
“Bagaimana jika ada orang yang tahu?”
“Tidak ada, dengar, ya, tidak ada orang yang mendengar
atau menyaksikan apa-apa,” suara si suami terdengar mengancam. “Sekarang tolong
diamlah.”
“Aku tidak ingat apakah sudah mengunci pintu. Bagaimana
jika anak-anak bangun dan menangis?”
“Bisa diam tidak sih! Aku kan sudah bilang, tidak akan
kenapa-kenapa.”
Si istri menatap suaminya lekat-lekat dan mendapati raut
gusar yang selalu membuatnya terkelu. Ia memalingkan matanya ke luar jendela
dan mengawasi dengan cermat keadaan di sekitar. Segalanya senyap.
“Kita sudah di sini,” ucap si suami, suaranya terdengar
memantul balik padanya. Ia melirik si istri dan, seraya menepuk bahunya dengan
lembut, seakan hendak menguji reaksinya, memberi instruksi, “Kita keluar.”
Malam gulita. Tak terdengar suara apa pun. Bulan tak
timbul. Tempat itu tampak telantar. Si suami memarkir mobil di sela sesemakan
yang hampir menutupi kendaraan itu seluruhnya. Mereka baru berhasil memaksa
satu sama lain keluar dengan saling menyorot pandang terus-terusan. Suara
mereka menjadi berbisik-bisik pelan, bagai kersik dedaunan yang amat lirih dan nyaris
tak terlihat.
“Kuncinya jangan sampai bunyi,” pinta si istri.
“Diamlah,” sahut suaminya.
Mereka berjingkat-jingkat ke bagasi dan, sebelum
memutuskan untuk membukanya, mengedarkan pandang ke segala arah. Tidak ada
apa-apa. Mereka merasa seolah-olah waktu telah berhenti dan mereka tengah
mengarungi keabadian.
“Tidak ada siapa-siapa di sini,” bisik si istri.
“Tidak ada orang,” si suami membeo tanpa mengangkat
rahangnya yang terkatup.
“Ayo buka.”
Si suami membuka bagasi dan keduanya melongok ke dalam.
“Ambil kakinya. Aku yang pegang pundaknya. Kita gotong dia
lalu tinggalkan dia di sesemakan sebelah sana,” ucap si suami.
“Jangan,” sahut si istri. “Mereka akan langsung
menemukannya. Lebih baik kita bawa dia ke jurang. Ke dasarnya.”
“Aku bilang, kita tinggalkan dia di sini.” Si suami
jengkel.
“Kalau kita hendak membuang dia,” si istri berbisik tegas,
“tuntaskanlah dengan sebaik-baiknya. Kalau kita tidak membawanya ke jurang, aku
pergi sekarang juga.”
“Jangan bodoh. Diamlah atau kutinggalkan kau bersama dia.”
Si suami menatap istrinya dengan amat benci.
Si istri pun bungkam. Ia mengenal suaminya cukup baik
sehingga menyadari saat lelaki itu benar-benar serius.
“Kau sudah memegangnya?” tanya si suami.
“Sudah.”
“Siap?”
“Aku bilang sudah.”
“Oke. Satu, dua, tiga.”
Keduanya mengangkat buntelan itu dan menyadari bahwa beban
mereka berat juga.
“Berat sekali,” erang si istri terputus-putus.
“Pegang erat-erat nanti jatuh.”
“Kau duluan,” ujar si istri. Lalu imbuhnya takut-takut,
“Bagaimana kalau ada ular?”
“Ah, diam sajalah, jalan sana,” sahut si lelaki. Ia
berpaling sehingga wajahnya menghadap sesemakan. Jurangnya dalam dan makan
waktu dua puluh menit hingga mereka sampai ke dasarnya. Mereka melangkah
pelan-pelan, sambil berusaha supaya tidak tersandung oleh sebongkah batu pun. Keduanya
tak dapat mendengar apa pun selain napas satu sama lain yang terengah-engah.
Begitu sampai di dasar jurang, mereka menjatuhkan buntelan itu, menyeka
pakaian, dan memandang satu sama lain dengan lega. Keduanya yakin tak seorang
pun menyaksikan mereka. Si suami menggandeng tangan istrinya dan keduanya
bergegas mendaki lereng hingga sampai kembali di sesemakan. Mobil mereka masih
seperti semula. Mereka berjalan beriring dan, saat si suami menghampiri bagasi,
ia menahan istrinya. Keduanya bergeming, seakan-akan kena hipnotis. Di bagasi
ada satu mayat lagi, lebih besar dan gempal ketimbang yang telah mereka
tinggalkan di dasar jurang. Dalam keletihan, mereka bertatapan dan tak sepatah
kata pun terucap. Siapa yang meletakkan itu di sana? Apakah ada yang melihat
mereka? Si istri mulai terisak, disertai rintihan tanpa cucuran air mata.
“Diamlah, ambil kakinya,” perintah si suami, lupa
merendahkan suaranya. Nadanya tak mungkin dibantah.
“Satu, dua, tiga, angkat,” ucap si suami seraya mengangkat
jasad itu, membawanya ke luar dari mobil dengan bantuan si istri lantas
melemparkannya ke sisi. Ia menutup bagasi. Mereka mengangkat tubuh itu lagi,
dan, tanpa berkata-kata lagi, mulai menuruni jalan yang tadi. Kali ini mereka
tidak seawas sebelumnya dan tiba lebih cepat di dasar jurang. Mereka
menjatuhkan jasad yang kedua beberapa meter dari yang pertama. Mereka
mengedarkan pandang dan, karena tidak mendapati yang macam-macam, kembali ke
atas nyaris berlari. Mereka berhati-hati tidak meninggalkan jejak kaki. Mereka
sampai kembali ke atas di dekat sesemakan dan mengedarkan pandang untuk
terakhir kali.
Mereka memantau situasi dan mendapati segalanya baik-baik
saja. Mereka masuk ke mobil. Si suami menyalakan mobil, mundur, dan melaju
pergi. Ia mempercepat lagi laju mobilnya hingga jurang tersebut tinggal noktah
jauh di belakang.
Di jalanan kota mereka tak berpapasan dengan satu mobil
pun. Sebelum mereka sampai di rumah, hujan lebat turun deras sekali. Keduanya
merasa hujan itu bagaikan pembebasan yang menyucikan. Mobil berbelok di simpang
terakhir lalu si istri keluar di depan rumah mereka untuk membukakan pagar.
Mereka masuk ke rumah dan segalanya tenang-tenang saja. Pagi-pagi mereka akan
membakar baju mereka, mencuci mobil, dan tidur lagi sebentar.
Mereka pun mengunci semua pintu. Di kamar si istri melepas
pakaian dan mengenakan baju tidurnya. Ia menenggak dua butir obat penenang.
Suaminya muncul dengan segelas besar rum.
“Ah bagus,” ucap si suami saat melepas pakaiannya dengan
santai seraya duduk di tempat tidur. “Aku tidak perhatikan tadi aku mengenakan
baju favoritku.”
“Jangan khawatir,” sahut si istri, yang sudah mengantuk,
“besok kubelikan kau baju yang baru.”[]
Mildred Hernández penulis Guatemala yang telah menerbitkan sejumlah buku
kumpulan cerpen. Cerpen yang aslinya berjudul “Paranoica City” dan ditulis
dalam bahasa Spanyol ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Anne McLean
dalam Words Without Borders edisi Oktober
2014: “New Writing from Guatemala”.