Aku sedang berbaring di kasur ketika mendapat kabar tentang kematian si novelis.
Karena baru
terjaga dari mimpi panjang yang hanya terdiri dari kegelapan membingungkan,
benakku masih kabur ketika aku menggapai iPhone di samping bantal untuk melihat
jam. Begitu mataku berlabuh di layar kecil itu, aku menemukan berita tersebut
di seksi Top Stories.
Hanya satu
kalimat dengan huruf-huruf mungil. Aku mengerti kata-kata tersebut, namun tidak
benar-benar menangkap artinya. Kucoba berucap keras-keras “Hmmm”—lalu, “Jadi
dia meninggal.” Aku merasa ingin membicarakan ini dengan orang lain, tanpa tahu
siapa yang mesti ditelepon atau bagaimana mengangkat topik ini. Aku cuma diam
memandangi layar.
Si novelis
tampaknya telah menjalani perawatan selama beberapa waktu. Berita itu
melaporkan bahwa pemakaman dihadiri hanya oleh keluarga dekat serta beberapa
kerabat karib. Padahal si novelis dibaca oleh banyak orang—semua orang pasti
sedang membicarakan tentang kabar kematiannya sekarang. Pikiran itu entah
bagaimana membuatku sedih. Mestinya aku keluar rumah dua jam lagi, tetapi aku
merasa tidak ingin pergi kerja, menonjok-nonjok angka di mesin kasir, berurusan
dengan orang-orang, membongkar dus-dus, meretur barang-barang, menyortir uang,
dan semacamnya. Aku menelepon kantor untuk izin sakit, seraya meminta maaf dan
mengatakan bahwa aku demam, kemudian lanjut berbaring di kasur. Ketika aku
bangun lagi, aku telah tidur selama hampir lima jam.
Hampir malam
ketika akhirnya aku turun dari tempat tidur. Tanpa ada urusan mendesak, aku berjalan
ke dapur untuk mencuci beras, kemudian mulai memikirkan apa yang hendak
kulakukan nanti malam.
Aku punya
semua buku yang ditulis si novelis. Aku sudah membaca semuanya. Ketika aku
masih muda, atau malah lebih muda lagi, aku telah membacai buku-bukunya
berkali-kali dari awal sampai akhir. Yah, begitu pula banyak orang lainnya,
sebab si novelis itu tipe penulis yang dibaca dan dicintai sebagian besar
populasi pembaca di Jepang. Namun, entah kenapa aku masih merasa terusik oleh
kabar itu. Persisnya bukan sedih atau frustrasi—melainkan seperti ada yang
menohok melubangi diriku. Mungkin aku sedang mengalami semacam shock. Bagaimana mengatakan “shock” dalam
bahasa Jepang? Terpukul? A sense of damage? Kata “damage” juga bukan
bahasa Jepang, aku membatin sementara mencuci beras. Mungkin “anxiety” kata yang tepat untuk
menggambarkan perasaan gelisah ini, keadaan seperti tenggelam—perasaan anxiety karena tidak sepenuhnya mengerti
sebab berada di tengah kegalauan. Yang kuketahui hanyalah kenyataan bahwa aku
tidak mengerti. Dipikir lagi, perasaan ini sudah mengaribiku sejak masa
kanak-kanak—perasaan terimpit sendirian dalam kabut yang tidak akan terangkat.
Aku menyetel
pengatur waktu pada alat penanak nasi kemudian duduk di sofa. Kupandangi rak
buku untuk menentukan bukunya yang mana yang akan kuambil. Entah bagaimana
terasa ada yang salah. Aku pun berdiri dan kembali ke dapur untuk membuat teh.
Tinggal ada
satu kantung teh. Di dalam mug, air berputar dalam aneka rona cokelat. Selagi
melamun memandangi warna-warna itu, aku teringat pada perkataan-perkataan,
kover-kover buku … apa pun itu pada masa remajaku saat aku pertama kali
membacai buku-buku si novelis. Bagaimana menjelaskannya, ya? Bukan aroma atau
pemandangan khusus yang teringat oleku—bukan juga seragam sekolah atau
percakapan tertentu. Melainkan cuplikan-cuplikan berbagai hal dari sana-sini
yang memang terjadi namun tidak dapat diraih lagi—seperti jalan yang kami
susuri, pertama kali ia menceritakan tentang si novelis kepadaku, sekian
banyaknya jam dan hari yang kami lalui bersama, surat-surat yang kami kirim
untuk satu sama lain. Begitu kuangkat kantung teh dari mug dan menaruhnya di
piring kecil, aku teringat pada Amamiya.
“Yeah, lumayan bagus.”
Kami teman
sekelas sewaktu SMA. Di perjalanan pulang dengan kereta dari tamasya sekolah,
aku memerhatikan Amamiya duduk sendiri larut dalam sebuah buku. “Kamu baca apa
itu? Bagus?” tanyaku, dan begitulah jawaban dia, seraya agak mendongak dengan
ekspresi yang berlainan dengan ucapannya barusan.
Sejak saat
itu, Amamiya meminjamiku buku-buku karangan si novelis yang namanya baru pernah
kudengar. Serta-merta aku terpikat, dan kami pun mulai membicarakan segala
macam hal—novel-novel karangan si novelis, novel-novel lainnya, musik favorit
kami. Kami mendapati bahwa kami sama-sama suka membaca sejak kecil. Sama-sama
tidak terbayangkan oleh kami akan bertemu orang yang bisa diajak mengobrolkan
buku, apalagi dari sekolah.
Dengan
segera, tidak cukup lagi hanya mengobrol di sekolah setiap hari. Kami saling
menelepon, menulis surat. Tidak sampai lama kemudian kami menjadi lebih
daripada sekadar teman, dan kami mulai berkencan sekitar akhir tahun senior si
SMA. Kami putus pada musim panas saat kami berusia dua puluh satu tahun.
Suatu kali,
saat aku dan Amamiya sedang berjalan-jalan di taman botani seperti yang sering
kami lakukan, kami membuat janji untuk bertemu lagi ketika si novelis
meninggal. Di mana pun kita berada saat
itu? Ya. Bahkan meskipun kita sudah
mengencani orang lain? Eh heh. Begitu juga kalau kita sama-sama sudah menikah? Yep. Oke. Terus bagaimana kalau kita sudah
tua renta dan mau mati? Ya. Kami memutuskan untuk bertemu di pintu masuk taman botani
itu, pada pukul dua Minggu pertama setelah si novelis meninggal. Taman botani
itu merupakan taman yang terlihat menyedihkan, nyaris tidak ada tanaman yang
luar biasa atau lanskap yang menarik untuk diobrolkan, sudah begitu kurang
terurus. Taman itu terlihat siap untuk ditutup sewaktu-waktu. Tetapi
karena terletak di kota pedalaman yang menyempil di jalan pegunungan, taman itu
besar sekali dan kami bisa berjalan sampai berjam-jam—benar-benar berjam-jam
tanpa henti—sama sekali asyik dengan diri kami sendiri, berbagi cerita yang
hanya dimengerti oleh berdua. Pada lahan yang luas ini ada padang rumput bahkan
gunung kecil. Ketika mendaki ke puncak yang rendah itu dan melihat ke kaki
bukit, tampak kolam teratai yang ditutupi daun-daun hijau tebal terentang tanpa
batas. Taman itu selalu kosong pada waktu kapan pun. Yang menemani
hanya pohon-pohon yang tidak diketahui namanya, atau pot raksasa yang diisi
rerumputan kering, atau kadang-kadang ledakan warna dari bunga-bunga yang
sedang kembang. Ketika kami duduk memandang ke jendela rumah kaca, yang retak
di sana sini dan warnanya telah menjadi kecokelatan, kami mengalami suatu sensasi
menyenangkan bawa kamilah dua orang terakhir di bumi. Kami tidak tahu apa-apa
tentang tumbuhan, tetapi kami menyukai taman botani itu yang serasa ada hanya
untuk kami.
Hari ini
Selasa. Tidak terbayangkan olehku Amamiya akan mengingat janji yang kami buat
pada hari itu empat belas tahun yang lalu, tetapi jika ia masih hidup dan
baik-baik saja di suatu tempat, pastinya ia telah mendengar kabar kematian si
novelis. Sekiranya ia ingat pada janji kami … maka, mungkin saja … ia akan
datang.
Aku menyesap
teh yang hangat-hangat kuku dan meneguknya dengan lembut seraya mendongak pada
kalender di dinding. Empat hari lagi, kemudian Minggu. Aku melalui empat pagi
dan malam berikutnya dengan antisipasi yang tidak pernah kualami sebelumnya.
Aku masih khawatir, namun kekhawatiran ini kini diwarnai rasa nostalgia,
diterangi cahaya yang menjangkau ke arahku dari jauh sekali. Sekaligus, dapat
kurasakan kegelapan menggaung di suatu tempat yang teramat dalam di bawah sana.
Ketika Minggu pagi tiba, aku memberi pelembap pada wajah dan
menggambar alisku secara lebih berhati-hati daripada biasanya. Aku mengenakan
rok yang sangat kusukai namun jarang kupakai. Aku naik ke kereta, disertai
perasaan agak malu akan semangatku ini. Aku telah pindah ke prefektur Shikoku
saat menikah, dan setelah perceraianku lima tahun lalu, aku pindah lagi ke
suatu kota kecil dekat pegunungan dan mengambil kerja kantoran di suatu
universitas di Kyoto. Pekerjaan tersebut juga tidak bertahan lama. Aku
penasaran apakah Amamiya masih tinggal di kota itu. Waktu itu ia kuliah di
universitas di Kyoto, jadi ada kemungkinan ….
Aku
satu-satunya orang yang turun di stasiun. Dari awal kereta sudah hampir-hampir
tidak ada orangnya, dan ketika aku sampai di pintu keluar stasiun tidak ada
petugas. Aku berpikiran untuk membunyikan bel supaya ada orang muncul, namun
malah keluar dari stasiun kecil itu tanpa suara dan melangkah pelan-pelan
menyusuri jalan yang mengarah ke taman botani.
Aku merasa
kewalahan akan segala yang menyambut indra-indraku. Semuanya serasa terurai
seiring dengan setiap langkah yang kuambil, sehingga aku tidak lagi menyadari
taraf hidup yang kujalani kini. Pola gaun yang kukenakan, sepatu baru yang
menjepit kakiku. Saat ketika aku berpura-pura marah supaya dia galau. Daun-daun
pohon besar yang melemparkan bayangan biru teduh ke tanah, kering oleh panasnya
matahari. Dahaga. Betapa pada waktu itu aku berharap bahwa aku tidak akan
pernah lupa. Semuanya kembali kepadaku kini. Sekali lagi aku menyusuri jalan
yang familier ini menuju taman botani, seakan-akan rentang panjang waktu di
antara saat ini dan kali terakhir itu tidak pernah ada. Amamiya akan sedang
menungguku di taman itu. Apakah ia sudah menjejaki langkah ini? Atau akankah
ia?
Kami putus
sebab Amamiya jatuh cinta pada gadis lain. “Aku tidak sengaja.” Ia menundukkan kepalanya,
meminta maaf terus-terusan. “Aku tidak berdaya.” Dengan naifnya, dulu aku
menyakini bahwa kami akan menjadi salah satu dari pasangan-pasangan yang dapat
bersama hingga akhir hayat. Barangkali perasaan demikian itu lumrah pada usia
itu, tetapi aku sungguh-sungguh yakin kami spesial di antara berjuta-juta
pasangan lain di dunia ini. Tidak pernah tebersit olehku bahwa Amamiya dapat
jatuh cinta pada orang lain, maka aku sulit menerima perkataannya. “Maksudmu
apa, kamu tidak sengaja? Apa yang mungkin terjadi selain tentang kita?” Ia
tidak menjawab. Ketika mengamati dia, aku mulai merasa seolah-olah aku tengah
memainkan peran di suatu drama putus cinta yang klise. Pada akhirnya, aku diam
saja. Namun semua itu nyata, dan ketika Amamiya mengatakan tidak ada yang dapat
dilakukannya lagi, tidak ada yang dapat kuperbuat selain berlarut-larut dalam
kesedihanku selama bertahun-tahun setelah itu.
Setelah semua
itu, aku akan bertemu dengan dia hari ini … atau mungkin semestinya kukatakan, karena semua itu. Aku akan bertemu dia …
lantas? Tentu saja, aku sudah tidak ada perasaan romantis. Semuanya sudah lalu.
Hatiku masih tersentak saat melihat ke belakang, tetapi merasakan kepedihan
ketika mengenang momen tertentu itu wajar. Tentu saja ini tidak ada
sangkut-pautnya dengan Amamiya. Aku menghela napas dalam dan membatin. Betapa luar biasanya bahwa kami dapat
bertemu lagi setelah sekian lama, setelah begitu banyak yang terjadi. Kami akan
melihat bahwa kami sama-sama bahagia dan baik-baik saja, dan bercakap-cakap
menyenangkan sembari minum teh dengan senyum di wajah. Bukankah itu fantastis? Aku
mengembuskan napas keras-keras.
Tiba pukul
dua. Sepuluh menit berlalu, kemudian dua puluh lima menit. Tidak terjadi
apa-apa. Aku berdiri di depan gerbang yang berkarat, memainkan
iPhone dan menggulirkan berita seolah-olah menyangkal kenyataan bahwa tidak ada
seorang pun di dunia ini yang mau menemuiku. Aku mengeklik tautan demi tautan,
memindai apa pun yang muncul pada layar. Aku tidak
lagi tahu apa yang mau kulakukan di sini. Aku mendongak melihat seekor kucing perlahan
melintasi sepeda terbengkalai yang penuh baret. Sekonyong-konyong, aku merasa
diliputi kesepian. Kesepian yang berupa gabungan semua perasaan sepi yang
pernah kualami, dan entah kenapa aku merasa begini. Mau setua apa pun diriku, aku akan terus merasa begini, tanpa mengerti. Pastinya, ada suatu kenyamanan
dalam perasaan itu. Sebab dalam kenaifanku kurasakan kenyamanan bahwa aku dapat
mengulang hal yang sama terus-terusan. Aku
akan menjadi tua dengan perasaan begini, terabaikan di tempat yang itu jua,
sendiri terus, selamanya. Aku menunduk. Ketika mengangkat kaki, terlihat
olehku bahwa sol di tumitku lepas. Padahal
tadi pagi ketika keluar rumah tidak begini. Ketika aku mengecek jam lagi,
dua jam telah berlalu. Lima menit lagi,
batinku.
Kereta hampir
kosong. Aku merosot di tempat dudukku di ujung gerbong, melamun dengan
pandangan ke luar jendela. Setelah melewati beberapa stasiun, seorang pria
dengan ransel sangat besar melampaui kepalanya naik ke kereta. Suara sepatu bot
pendaki-gunung cokelat miliknya bergema di seluruh gerbong. Ia duduk di
sampingku, mengeluarkan buku kecil dari kantung belakangnya, kemudian mulai membaca
dengan asyik. Buku yang dibacanya karangan si novelis. Ia duduk dengan
menggenggam buku itu, yang warnanya pudar lagi sobek-sobek saking sering
dibaca, dan sejenak kemudian ia mendongak sembari mengeluarkan desah. Kami
bertatapan. “Sayang sekali, ya,” ucapnya dan memperlihatkan kover buku itu ke
arahku. Aku terkejut karena diajak bicara oleh orang asing, namun menjawab,
“Ya, sayang sekali.” Tahu-tahu saja, aku melanjutkan, “Saya berharap ia masih
dapat terus berkarya.” “Saya juga.” Pria itu tersenyum padaku samar-samar,
sembari menatap kembali pada bukunya. “Tetapi ia sudah banyak menulis, mungkin
itu sudah cukup.” Ia mendongak lagi dan berkata diiringi tawa. “Novel karyanya
banyak sekali. Semua yang ia tinggalkan itu, kita dapat menghabiskan sisa hidup
kita dengan membacanya. Begitu banyak yang ditinggalkannya untuk kita.”
Setelah itu,
pria tersebut terdiam dan kembali membaca. Setelah setengah jam berlalu, tiga
perhentian sebelum stasiunku ia berdiri, kemudian mengangkat tangannya
seolah-olah mengisyaratkan perpisahan. Aku mengangkat sedikit tanganku sebagai
balasan. Ketika pintu menutup dan kereta melanjutkan pergerakan, dengan segera
pria itu menghilang tanpa menoleh ke belakang.
Kereta
menembus lanskap familier dengan kecepatan biasanya dan berhaluan ke arah
stasiun yang biasanya. Meski begitu, aku merasa seolah-olah tengah dibawa ke
suatu tempat dan waktu yang bukan saat ini. Tiga
stasiun lagi, tiga stasiun lagi, batinku berulang-ulang dan kupejamkan
mata, tak sanggup menahan gelombang kelelahan yang sekonyong-konyong melandaku.
Aku menyadari diriku tertarik ke dalam tidur yang lelap, namun tidak sanggup
terus membuka mata. Kalau aku ketiduran,
di manakah aku bakal bangun? Mungkinkah aku bangun di suatu tempat yang sama
sekali asing dan baru? Pikiranku mulai berkelana, namun aku tahu bahwa
ketika membuka mata, aku akan tiba di stasiun yang biasanya. Dari sana, aku
akan menyusuri jalan yang sama pulang ke apartemenku, memasukkan kunci ke kenop
pintu, kembali ke ruangan yang sama. Tempat yang baru dan asing—tempat yang
tidak diketahui siapa pun. Tidak mungkin sampai ke sana, sebab tempat seperti
itu tidak ada di mana pun di dunia ini.
Terjemahan
ini berdasarkan versi bahasa Inggris Hitomi Yoshio, “Where Have All the Sundays Gone” dalam Words Without Borders edisi Maret 2015.
Mieko Kawakami (1976-) lahir di Osaka. Pada
awalnya ia sempat menjadi musisi. Debutnya dengan label mayor pada 2002 dan
berlanjut pada rilis tiga album. Akhirnya ia bercabang ke kepenulisan, awalnya
mengirim puisi ke majalah-majalah sastra kemudian memperoleh nominasi Hadiah
Akutagawa untuk cerpen “Watakushiritsu in ha-a, mata wa sekai” (Aku dan Sakit Gigi) pada 2007, yang diterbitkan di
jurnal Waseda bungaku yang bergengsi.
Ia memenangkan Akutagawa pada tahun berikutnya dengan karyanya selanjutnya,
novela Chichi to ran (Payudara
dan Ovum). Pada 2010 Kawakami mengukuhkan reputasi kepenulisannya dengan
menerima Penghargaan MEXT untuk Seniman Baru serta Hadiah Kesusastraan Murasaki
Shikibu untuk novel panjangnya yang pertama, Hevun (Heaven), kisah cinta
di antara dua anak SMP yang dirundung di sekolah. Penghargaan miliknya
bertambah pada 2013 dengan memenangkan Hadiah Takami Jun untuk kumpulan
puisinya Mizugame (Botol Air), kemudian Hadiah Tanizaki Jun’ichiro untuk
kumpulan cerpennya Ai no yume toka.
Hitomi Yoshio merupakan asisten profesor
sastra Jepang di Florida International University. Minat penelitiannya meliputi
sastra Jepang modern dan kontemporer dengan fokus pada tulisan perempuan.
Terjemahannya atas karya-karya Mieko Kawakami telah muncul di Monkey Business: New Writing from Japan,
dan yang lainnya akan diterbitkan oleh Denver
Quarterly. Ia memperoleh PhD dari Columbia University pada 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar