Usiaku tiga puluh sembilan tahun. Aku
ahli kimia lulusan universitas *********. Sudah dua belas tahun ini aku bekerja
sebagai teknisi lab di suatu perusahaan farmasi. Boleh dibilang, aku ini cuma
tenaga bayaran, sebab bagian kreatif dari pekerjaan ini seluruhnya milik atasan
kami, para ilmuwan serta profesor kenamaan yang merancang rencana penelitian
menurut kebutuhan perusahaan. Bahkan salah seorang di antara para cendekiawan
yang bekerja bersama kami itu pemenang Penghargaan Nobel yang belum pernah
kujumpai secara langsung. Kolaboratornya, yang dipilih dari teman-teman
sejawatku yang paling haus karier, mengatakan bahwa ia mengarahkan penelitian lewat telepon dan
surel. Ia bahkan menelepon mereka malam-malam, juga pada hari Minggu. Orang-orang yang
bekerja di tempat ini pada jam kantor biasa, seperti aku, tahunya hanya
kejemuan. Kami melakukan pengujian dan eksperimen pada marmot, serta mengisi
kuesioner. Satu-satunya yang membangkitkan gairah kami hanyalah rencana akhir
pekan dan menggunakan sebagian jam kerja untuk merancang jadwal liburan. Adakalanya,
suasana frustrasi berikut langkanya kepuasan kerja yang menyedihkan ini membangkitkan kisah asmara. Banyak perempuan
yang bekerja di laboratorium kami, dan sebagiannya masih muda serta cukup
manis. Pada musim semi tiap tahunnya ada saja yang menikah dan berbulan madu ke
tempat yang dikunjungi banyak orang, maksudku seperti Amerika atau pulau di Samudra
Hindia atau Pasifik. Ketika kami menikah, perusahaan memberi kami cuti khusus
selama lima belas hari dan bulan madunya pun dibayari. Nantinya, ketika
karyawan masa depan (anak-anak kami) telah lahir, perusahaan menawari kami
berbagai keuntungan tambahan yang dapat diakumulasikan dengan insentif dari
pemerintah pusat maupun daerah bagi pasangan produktif. Dewasa ini menjadi
produktif itu masih disamakan dengan bersikap patriot. Bukan karena ras kami
dianggap istimewa, seperti pada masanya Hitler, melainkan karena (menurutku)
kami harus tanggap terhadap meningkatnya jumlah orang asing yang datang dari
seluruh penjuru dunia untuk ikut menikmati kemakmuran masyarakat kami, dan
yang, menurut statistik, lebih produktif daripada kami.
Kembali ke ceritaku. Aku ini bujangan
dan sepertinya aku tidak akan pernah kawin, apalagi punya anak. Bukan berarti
aku tidak tertarik pada lawan jenis, seperti semua rekan pria dan wanita di
tempat kerjaku, atau aku tidak normal. Aku normal menurut standarku dan bukan
menurut standar orang lain dan aku tidak akan menukar kenormalanku dengan
kenormalan orang yang berkawin dan melahirkan anak ke dunia ini, banyak anak,
supaya tanggungan pajak mereka lebih rendah. Tipu daya apaan itu! Penampilanku
pun selayaknya orang normal. Aku lelaki dengan tinggi rata-rata dan postur
ramping, bermata biru dan berkulit terang. Kepalaku plontos karena aku selalu
mencukur helai-helai yang ada dan, boleh dibilang, tidak ada lagi rambut yang
tersisa. Masalah kebotakanku ini sudah ada sejak usiaku belum dua puluh tahun,
dan awalnya aku sangat terusik. Tiap kali aku bercermin kutanya diriku, kenapa
orang lain pada punya rambut sedang rambutku pada rontok? Sekarang aku tidak
mengindahkannya lagi—sebaliknya, kurasa aku lebih ganteng begini. Hal lain yang
menyebalkan dalam beberapa tahun belakangan ini yaitu membuncitnya perut. Aku
terlalu sering makan, terlalu jarang berjalan kaki, dan tidak suka berolahraga.
Aku agak terlalu banyak merokok, dan terlalu banyak minum wiski. Kalau kau
tinggal di kota besar seperti aku, dan hidup seperti aku, cepat atau lambat
lingkar pinggangmu bakal melebar. Tak terelakkan lagi. (Atau setidaknya
begitulah menurutku.)
Masa kecilku bahagia dan ada
album-album penuh foto yang membuktikannya. Aku pergi ke sekolah sebagaimana lazimnya.
Aku bermain bersama anak-anak lain sebagaimana lazimnya. Saat musim panas aku
berlibur bersama ayahku, yang pada waktu itu sudah berpisah dengan ibuku dan
ingin menularkan kegemarannya berlayar padaku. Kami biasa pergi ke Italia, atau
Yunani. Aku putra satu-satunya ayahku, tetapi aku berusaha mengecewakan dia,
sebab aku tidak berminat pada perkapalan sehingga apa yang disuruhnya aku
berbuat sebaliknya. Akhirnya ia tidak mau lagi bersama diriku. Pada usia tiga
belas tahun, ketika bocah paling pendiam sekali pun mulai bangkit hasrat
seksualnya, aku mulai memata-matai ibu dan kakak-kakak perempuanku, terutama
yang sulung. Aku senang mengamati mereka dari balik pintu yang separuh terbuka
atau lewat lubang kunci, ketika mereka melepas pakaian untuk bersiap tidur. Ketika
mereka mandi. Ketika mereka berganti pakaian. Di bawah perut dan di antara
kedua paha ibuku, ada segitiga indah yang disaputi rambut merah. Namun yang
paling elok dari kelaminnya adalah tonjolan kulit berwarna merah muda, semacam
bilah bibir yang terlihat di bawah bulu-bulu halus. Bisa sampai berhari-hari
aku membayangkannya. Akan tetapi, sayangnya, aku cuma berhasil mengintip itu
beberapa kali saja, selama sepersekian detik, dan selalu sambil gelisah. Suatu
kali, ketika aku berusia sekitar lima belas tahun, aku melihat kakakku
bermasturbasi, dengan mengangkangkan kakinya lebar-lebar dan sama sekali tidak
acuh sebab ia yakin tidak ada siapa-siapa lagi di rumah. Ia mengerang,
memejamkan mata dan membukanya lagi. Ia menggumamkan kata-kata yang tidak
jelas. Sambil mengamati dia, aku juga bermasturbasi, tetapi aku langsung keluar
dan, sebenarnya, rasanya tidak seenak yang kuhendaki. Sejak itu, aku tidak
pernah lagi mengintip kakakku bermasturbasi. Suatu hari, ketika kami sudah
dewasa, kami mulai mengobrol tentang seks dan berbagi rahasia. Ketika aku mulai
mengangkat topik tentang masturbasi, kakakku berpura-pura tidak mengerti dan
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gusar. Lalu ia berkata tanpa ragu, “Aku
tidak mengerti yang kau katakan. Aku tidak pernah mencobanya.”
Di sisi lain, aku sendiri,
seumur-umur, tidak pernah berusaha untuk berhubungan seks secara menyeluruh
dengan perempuan, atau lelaki, atau dengan siapa pun lah. Rasanya berlebihan
saja. Membayangkan meraba orang lain, atau membiarkan diriku diraba, rasanya
membuatku ingin muntah saja. Tentu aku sudah memikirkan ini dalam waktu lama
dan dengan sangat hingga aku sampai pada kesimpulan bahwa alat kelamin itu
memualkan, serta menjijikkan, karena suatu alasan yang amat sederhana: karena
semua orang punya. (Tanpa mesti berbuat apa pun sehingga mereka pantas
memilikinya.) Seandainya saja hanya sedikit orang yang memiliki alat kelamin,
seandainya saja hanya satu orang pria dan satu orang wanita di antara seribu,
atau sejuta, yang terlahir dengan titit dan puki, maka dengan begitu seks pun
akan menjadi sesuatu yang betul-betul istimewa! Akan ada jembatan di antara
Tuhan dan manusia. Alih-alih, alat kelamin merupakan dasar persamaan manusia,
dan juga dasar kecabulan manusia. Di luar sana di dunia ini, semua orang pada
punya alat kelamin dan bersanggama. Tetapi ada suatu cara untuk lari dari
kecabulan: biar orang lain saja yang melakukannya. Tanpa ikut campur dengan
urusan mereka dan tanpa turut serta dalam perbuatan mereka. Dalam komedi
kehidupan nan tiada habisnya ini, apa sih bedanya jika aku menggunakan
kelaminku untuk diriku seorang saja, dengan jika aku merangsang diriku lewat
upaya dan kecabulan orang lain?
Aku menyukai hal yang jarang dimiliki
orang. Aku sudah mengatakannya tadi. Selain itu, aku menyukai hal yang di
antara milyaran orang cuma aku yang melakukannya. Misalkan saja, memelihara
belalang sembah. Tidak ada orang lainnya di dunia ini yang kukenal yang
memelihara serangga ini selayaknya kura-kura, kenari, atau jenis piaraan
lainnya. Aku tinggal di lantai teratas bangunan yang menghadap bulevar yang
didereti pepohonan. Berandaku kututupi dengan panel-panel kaca. Aku mengubah
berandaku menjadi suatu rumah kaca tempat aku menyimpan banyak belalangku dalam
wadah-wadah plastik tembus pandang yang biasanya digunakan untuk ikan tropis
atau reptil. Belalang itu serangga darat besar, berwarna hijau atau kuning
kecokelatan tergantung pada lingkungan hidupnya, dengan panjang tujuh-delapan
sentimeter atau lebih, dan disebut belalang “sembah” karena bagian atas
tubuhnya yang selalu tegak bersama-sama kedua kaki depannya seolah-olah sedang menyembah.
Sebetulnya, itu sikapnya saat berburu dan tidak ada hubungannya dengan
sembah-sembahan. Aku menyukai segala sesuatunya pada belalang-belalangku. Aku
menyukai penampakan luar mereka, dan aku juga menyukai pembawaan serta
kebiasaan hidup mereka. Mereka itu serangga pemakan daging yang memakan
mangsanya hidup-hidup dan dalam keadaan tertentu bahkan bisa mengganyang
sesamanya. Yang paling terkenal dari keadaan kanibal itu adalah perilaku kawin
mereka, kala betina bersiap-siap meletakkan telur dan si jantan harus tahu itu
saatnya untuk kabur, sebab ia telah melaksanakan tugasnya dan tidak diperlukan
lagi. Sebagian jantan, yang mengerti keadaan ini, lalu pergi. Sebagian lagi,
yang kurang cerdas atau mungkin terlalu letih sehabis terus-terusan
menunggangi, tetap berada di dekat si betina, yang membunuh dia setelah
berkelahi sebentar. Kemudian, sembari meletakkan telur-telurnya, si betina
mengudap sedikit-sedikit mayat pasangannya itu. Setelah memanfaatkan si jantan
untuk melestarikan spesies, si betina menggunakannya lagi untuk memulihkan
kekuatan. (Contoh bagus dari kodrat efisiensi organisasi dan eksploitasi sumber
daya.)
Memelihara belalang di rumah tidaklah
mudah, sebab mereka itu serangga yang habitatnya tidak sesuai dengan iklim
kami, juga karena di toko-toko tidak tersedia produk yang tepat untuk
mengembangbiakkan jenis ini. Aku tinggal di sebuah kota besar, tempat
tersedianya toko-toko yang menjual segala kebutuhan untuk memelihara piton dan
tarantula, iguana serta buaya, ataupun segala jenis ikan tropis. Tetapi jika
kau menanyakan belalang sembah pada mereka, pramuniaganya cuma menggelengkan
kepala …. Aku memperoleh belalang pertamaku ketika sedang berjalan-jalan ke
Italia dan tanpa direncanakan, sebab sebelum itu aku mengetahui hewan ini cuma
lewat gambar-gambar di ensiklopedia. Aku harus mengangkut
percobaan awalku dalam kardus biasa, dan aku harus memberi makan mereka dengan
apa pun yang dapat kuperoleh. Agas, berbagai serangga kecil. Dengan mata kepala sendiri
aku mengamati perkawinan mereka sementara si jantan dimakan sedikit demi
sedikit. (Pada awalnya, ini tidak terelakkan mengingat
belalang-belalang itu mesti bertahan hidup di tempat yang sempit. Sekarang
tempatnya sudah lega, sehingga beberapa jantan dapat menyelamatkan diri.) Seperti
hampir semua orthoptera, misalnya saja belalang hijau, belalang sembah kawin
dalam posisi yang aneh, mirip pengendara motor sedang balapan. Si jantan, yang berukuran
lebih kecil, memanjat ke punggung si betina lalu bergeming berjam-jam. Si betina
meletakkan telur dalam gundukan-gundukan kecil yang ia lekatkan pada bilah
rumput atau ranting di semak-semak tempat tinggalnya. Bayi belalang sembah
lahir dari telur, serupa dengan belalang sembah dewasa namun jauh lebih kecil.
Lalu kau harus memindahkan mereka ke akuarium lain untuk memastikan supaya si
ibu, yang sudah memakan ayah mereka, tidak terkuasai oleh dorongan kasih untuk memakan anak-anaknya
juga.
Belalang
sembahku seringnya makan larva lalat daging, yang biasa digunakan untuk umpan fly fishing dan dapat dibeli di toko
peralatan olahraga. Kemudian mereka makan berbagai serangga lain, tentunya yang
masih hidup, yang berhasil kuperoleh dengan harga mahal dari toko yang menjual
binatang eksotis, biasanya untuk makanan laba-laba besar atau ular kecil. Ketika
aku berlibur, atau kapan pun aku jauh dari rumah, Frau Inge memberi makan dan
merawat mereka serta merapikan akuarium. Boleh jadi ia lebih telaten daripada
aku. Frau Inge itu yang mengurus rumahku. Usianya
sekitar lima puluh tahun. Ia datang tiap sore untuk bersih-bersih dan
memasakkan makan malam. Ia menjadi akrab dengan piaraanku seakan-akan mereka
itu anak anjing atau anak kucing. Ia memberi mereka nama. Ia membawakan mereka
makanan berupa laba-laba kecil, atau berbagai serangga kecil yang ia temukan di
taman pada musim panas. Ia memberikan nama bintang film terkenal pada seekor
belalang sembah betina, dan suatu hari ia memintaku untuk mengeluarkannya dari
akuarium sehingga bisa bermain sebentar dengan binatang itu. Tetapi, tentu saja
aku menolak dan bahkan mencoba untuk menakuti dia. Kukatakan bahwa belalang
sembah itu beracun. Kukatakan bahwa gigitan mereka sangat menyakitkan, selain
itu, di negara-negara tempat belalang sembah hidup di alam liar, orang takut
pada mereka. (Tidak satu pun yang benar, tetapi aku berharap ini berhasil
menghalangi dia supaya tidak mengeluarkan seranggaku dari kotak kaca dan
membiarkan mereka menjelajahi rumah ketika aku tidak ada.)
Belalang
sembah itu satu-satunya hiburanku. Aku tidak punya teman. Sesekali ada rekan di
kantor yang menanyakan rencanaku pada malam hari. Mengapa tidak aku ikut makan
malam di rumahnya? (Untuk membujukku, ia bilang istrinya dapat membuat rol
daging kuda yang sangat enak, atau rebusan lezat domba muda dengan bubur jagung
yang dapat menghidupkan kembali orang mati.) Mengapa tidak
aku mengunjungi klubnya saat malam atau akhir pekan? (Doktor X dan Doktor Y,
dua manajer dari perusahaan kami, merupakan anggota klub itu dan siapa pun yang
bermain tenis dengan mereka harus mengalah, tetapi kemajuan karier terjamin.) Kadang
kala ada rekan wanita yang bermain mata padaku, hingga terpaksa aku mengambil
langkah seribu. Akan tetapi, untungnya, kejadian semacam itu jarang ada dan
semakin jarang saja. Sekarang ini, aku telah mengukuhkan reputasi sebagai
pembenci orang, baik di tempat kerja maupun di mana saja, dan tidak ada yang
mengusikku. Banyak wanita maupun pria menganggapku homoseksual. Betapa
sempitnya imajinasi manusia bila menyangkut soal seperti ini! Aku juga
jarang menonton televisi. Aku lebih tertarik pada
belalang sembah di akuarium daripada berita mancanegara, dan aku capek dengan program
pornografi “berat” di saluran bayar-per-tayang sehingga aku membatalkan semua
langgananku. Menurutku, seks di layar televisi ataupun komputer itu seperti
kopi instan, macam menyeduh bubuk dengan air panas. Kalau cuma itu yang kau
dapatkan, kau meminumnya sekali, dua kali, sepuluh kali. Lantas kau muak dan
tidak pernah meminumnya lagi.
Aku ini
pencinta damai. Hidupku baik-baik saja. Aku bisa
berlibur, yang kuhabiskan sebagaimana nanti kuceritakan. Aku punya
pekerjaan. Aku punya piaraan kecil di akuarium. Hidup
sendirian tidaklah mengusikku. Justru hidupku terusik, sangat
terusik, jika ada orang lain di rumah yang mencerewetiku soal mana yang jangan
dan mana yang boleh. Belalang sembah berwujud manusia yang mesti diurusi dan
ditunggangi, yang akan memakanku dan memenuhi apartemenku dengan bayi-bayi belalang
sembah. Membayangkan naik ke ranjang tiap malam sebagaimana pergi
ke kantor tiap pagi, dengan tugas yang mesti dilaksanakan, membuatku bergidik. Aku
naik ke ranjang untuk tidur, dan kurasa hidupku sudah mencapai keseimbangan,
tetapi, aduh, hidupku tidak selalu begini. Ada masanya ketika aku harus
membuktikan pada diriku, dan terutama pada ibuku, bahwa aku ini manusia
“normal”. Pria sejati! Pada masa yang tragis itu aku
punya dua pacar. Yang pertama, Bertha, merupakan pengalaman terburuk yang
pernah terjadi padaku. Ia teman sekampus yang sedang mencari suami. Kami
berjumpa setiap hari di kelas, belajar bersama. Awalnya, Bertha mengira aku ini
pemalu dan ia pun berusaha untuk mempermudah keadaan. Ia mengajakku
ke rumahnya ketika orang tuanya sedang tidak ada. Ia memintaku membantunya
melepaskan pakaian. Lalu ia mulai ragu. Setelah
skandal Hotel Zodiak ia mencampakkanku. Waktu itu aku
merasa seluruh dunia akan roboh menimpaku. Aku berpikir untuk kabur ke negara
yang tidak seorang pun penduduknya mengenalku, aku juga berpikir untuk bunuh
diri, tetapi untungnya aku tidak jadi berbuat apa-apa. Hotel Zodiak
itu hotel murah di dekat stasiun pusat, tempat pelacur menyambut langganan. Satu-satunya
keunggulan hotel itu ialah karena menyediakan ruangan untuk orang-orang seperti
aku, yang senang menonton orang lain melakukan hal begituan. Kau hanya
tinggal meminta “kamar untuk satu orang dengan pemandangan”, lalu selama
beberapa jam kau dapat menonton (dan mendengarkan) apa pun yang terjadi di
kamar sebelah. Segala macam orang mengunjungi hotel itu, bahkan penjahat dan
penjual narkoba. Maka, suatu hari, aku kena razia polisi, dan ibuku pun
mengetahuinya.
Pacarku yang
kedua, Margaretha, dipaksakan padaku oleh ibu dan kerabatku setelah peristiwa
Hotel Zodiak itu. Ketika mereka menganggapku jelas-jelas tidak “normal”. Mereka
memaksaku supaya punya pacar dan menjalani perawatan dengan psikiater, yang
mencekokiku dengan obat-obatan psikotropika seolah-olah sedang menggemukkan
angsa. Karena aku enggan menceritakan tentang si psikiater, aku
akan menceritakan tentang si pacar saja. Margaretha
bekerja (masih sampai sekarang) di toko roti yang dikelola oleh ayah dan
saudara-saudaranya. Tingginya sekitar 150 senti, bobotnya hampir 80 kilogram,
dan teteknya sebesar melon. Selama beberapa tahun ia pacar
sekaligus perawatku. Ia berusaha supaya aku jatuh cinta pada dia dan ia bahkan
berusaha memperkosaku, atas instruksi si psikiater. (Baru kemudian aku
mengetahui bahwa mereka berdua sesekali berbincang lewat telepon.) Ia berhasil
membuatku jijik sekaligus tergugah. Bisa dibilang, ia mencintaiku dan, bisa
dibilang, aku juga mencintai dia. Ia satu-satunya manusia yang dapat membuatku
merasa cukup bersalah. Ketika akhirnya ia memutuskan
untuk meninggalkan aku karena telah menemukan teman lain, seorang “pria sejati”
yang mau menyanggamai dia, aku menanyakan kalau-kalau aku boleh menonton selagi
mereka berbuat itu, tetapi pada waktu itu Margaretha diam saja. Segalanya pun berantakan.
Tinggallah aku sendiri bersama ibuku dan si psikiater, dan akhirnya aku
menyadari yang mesti kuperbuat. Aku menyadari, pertama: bahwa
aku harus punya rumah sendiri, sebab jika aku terus tinggal bersama ibuku,
masalahku alih-alih terpecahkan malah akan terus bertambah parah, dan aku tidak
akan pernah mencapai akar penyebabnya. Kedua: bahwa aku harus berhenti
meminum obat-obatan psikotropika, serta mengunjungi si dokter imbesil yang
sebaiknya mengobati dirinya sendiri alih-alih orang lain! Ketiga,
sekaligus yang terpenting, aku menyadari bahwa tidak ada kenormalan sebagaimana
yang dipahami ibuku, dan setiap orang harus punya pandangannya sendiri-sendiri.
Aku telah menjadi normal menurut pandanganku sendiri dan bukan menurut
pandangan orang lain. Aku telah menemukan belalang
sembah dan pulau harta karun (pulauku, yang nanti akan kuceritakan secara
singkat). Aku telah belajar untuk mencintai diriku apa adanya, serta
hidup damai dengan diriku. Berapa banyak sih manusia yang katanya normal yang
dapat menyatakan, sebagaimana aku, bahwa hidup mereka telah mencapai
keseimbangan?
Beberapa
tahun lalu, aku merasa ingin memelihara jenis serangga baru, yaitu orong-orong.
Aku pun keranjingan mencarinya. Namun percobaan itu begitu mengecewakan hingga
aku tidak lagi berminat untuk mengupayakannya. Orong-orong
itu hampir sebesar belalang sembah, namun penampakannya cukup feminin, terutama
karena rupanya yang elegan dan caranya bergerak. Di sisi lain,
orong-orong itu dempak, kekar, dan konsentrat sifat jantan, sehingga sulit
diambil dan sangat sulit dipelihara. Pertama-tama, hewan ini nyaris
tidak dapat dikendalikan. Kau tidak bisa membuatkan
orong-orong habitat, sebab hewan ini akan menghancurkannya. Hewan ini
cerdas sekaligus dungu, persis seperti kebanyakan jantan dari ras manusia. Perilaku
vulgarnya tertandingi hanya oleh “pria sejati”. Hewan ini
tidak membiarkanmu tidur saat malam karena ia terus-terusan membentur dinding
akuarium, tidak henti-hentinya menimbulkan suara menjengkelkan, ketukan
kastanyet yang adakalanya melindap lalu mengeras lagi tanpa pernah betul-betul
berhenti. Setelah beberapa minggu memelihara hewan ini di rumah, aku
tidak tahan lagi dengan mereka dan aku pun menyingkirkan mereka dengan
membuangnya ke jalan, ke bulevar di bawah terasku. Saat itu
pukul tiga pagi dan tidak ada seorang pun yang lewat, selain beberapa mobil. Orong-orong
itu benar-benar kuat dan aku merasa, bukan, aku meyakini, bahwa hewan
percobaanku itu dapat melalui musim gugur, dan bahwa mereka tengah berkembang
biak di saluran air kotor serta ruang bawah tanah permukiman sekitar sini. Aku tidak
akan kaget kalau-kalau suatu hari mendapati ada orong-orong di garasi, atau di
elevator apartemenku ….
Aku suka
melihat sesama manusia lewat sebilah kaca, seakan-akan mereka itu serangga
dalam akuarium. Aku suka melihat mereka tanpa busana berikut segala hal
lain yang mereka gunakan sebagai pelindung: karier, keluarga, urusan bisnis. Hubungan
sosial. Aku suka melihat mereka bugil selagi bersetubuh, dan tidak
hanya ketika mereka bersetubuh tetapi juga sewaktu mereka melakukan hal
tertentu di luar naluri yang wajar, yang merupakan hasil imajinasi manusia. Aku pencuri
hawa nafsu. Aku mendengarkan erangan dan jeritan orang lain.
Adakalanya, aku bahkan melihat darah mengucur dan aku tidak berbuat apa-apa
untuk serta dalam kesenangan (atau kesakitan) mereka. Aku tidak berbuat
apa pun untuk menyenangkan diriku. Aku makhluk yang bebas dari
desakan ragawi; jiwa yang murni. Perkelaminanku adalah perkelaminan orang lain.
Kecarutanku, yang pastilah ada, juga ada pada orang lain.
Usiaku tiga
puluh sembilan tahun dan hidupku tenteram. (Aku sudah mengatakannya tadi). Aku punya
rumah, pekerjaan, belalang sembah, serta kehidupan rahasia yang berada jauh
dari sini di belahan lain dunia. Kapan pun sempat, aku naik
pesawat dan mengunjungi sebuah pulau di Laut Tengah tempat beberapa ribu orang
sebangsaku hidup sehari-sehari, dan banyak pula yang mengunjunginya saat libur
atau akhir pekan yang panjang. Kebanyakan di antara
orang-orang ini, baik pria maupun wanita, merupakan babi-babi cabul yang harus
saling berkawin dengan cara apa pun yang mungkin, tetapi ada juga
makhluk-makhluk tanpa desakan ragawi seperti aku yang membenci seks bebas serta
persinggungan antartubuh. Ada orang dari berbagai ras. Pulau
tersebut merupakan tanah yang dijanjikan bagi kami, surga dunia kami, tempat
kami merupakan orang yang betul-betul normal, dan bukan tempat bagi orang
normal yang selainnya. Pulau ini memiliki hotel-hotel seperti Hotel Zodiak,
kawasan lampu merah dan semua warna lainnya, serta klub-klub privat bagi segala
penyimpangan. Pulau itu memiliki segalanya yang kubutuhkan untuk hidup
bagagia dan, ketika akhirnya aku dapat meninggalkan pekerjaanku, kupikir aku
akan tinggal di sana. Aku akan membeli rumah di pulau
impianku itu dan membawa serta belalang sembahku ke sana. Lalu kupikir
aku akan memelihara beberapa jenis serangga lainnya juga, di samping belalang
sembah, yang benar-benar sangat kusukai tetapi yang, sebagaimana kejadian yang
telah kusampaikan, betinanya yang lebih berkuasa. Kupikir aku
akan memelihara kalajengking. Menurutku, kalajengking itu
tidak secantik belalang sembah, tetapi sama-sama elegan dan menarik. Serangga ini
memiliki enam mata alih-alih cuma dua. Gerakannya lebih cepat dan perkawinannya
lebih ringkas lagi spektakular, dengan pertempuran di antara kedua jenis
kelamin yang separuh bertarung separuh berdansa. Bahkan
betinanya memiliki sifat jantan, dan bukan hanya karena alat penyengatnya. Ini
merupakan bagian dari diriku yang masih belum tersibak, dan hendak kukembangkan
dengan memelihara serangga ini. Begitu pindah ke pulau harta karunku, akhirnya
aku akan memiliki segalanya yang kuinginkan: belalang sembah, kalajengking,
sensasi, dan aku akan menjadi manusia yang bahagia. Apa lagi yang kuinginkan
dari dunia ini? Apakah yang lebih normal daripada itu?[]
Cerpen ini diterjemahkan dari
versi bahasa Inggris Gregory Conti, “Horst”, dalam Words Without Borders edisi April 2012 “Sex”.
Sebastiano Vassalli lahir di Genova, Italia, dan tinggal di provinsi Novara. Ia telah mengarang lebih dari dua puluh buku, termasuk La notte della cometa, Sangue e suolo, L'alcova elettrica, L'oro del mondo, La chimera, Marco e Mattio, Il Cigno, 3012, Cuore di pietra, Un infinito numero, Archeologia del presente, Dux, Stella avvelenata, Amore lontano, La morte di Marx e altri racconti, L'Italiano e Dio il Diavolo e la Mosca nel grande caldo dei prossimi mille anni.
Gregory Conti mengajar Bahasa Inggris di University of Perugia dan merupakan kontributor tetap Raritan. Karya terjemahannya yang terbaru yaitu “Seven Poems” oleh Elisa Biagini serta The Fault Line oleh Paolo Rumiz (Rizzoli USA, 2015). www.gregoryconti.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar