Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (274) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Budaya Uang (Mark Boyle, 2012)

Berlawanan dengan kerangka waktu linear yang dicekokkan narasi kebudayaan kini pada kita, hidup adalah serangkaian siklus. Terlebih lagi, s...

20201206

Jendul (Sebastiano Vassalli, 2012)

Usiaku tiga puluh sembilan tahun. Aku ahli kimia lulusan universitas *********. Sudah dua belas tahun ini aku bekerja sebagai teknisi lab di suatu perusahaan farmasi. Boleh dibilang, aku ini cuma tenaga bayaran, sebab bagian kreatif dari pekerjaan ini seluruhnya milik atasan kami, para ilmuwan serta profesor kenamaan yang merancang rencana penelitian menurut kebutuhan perusahaan. Bahkan salah seorang di antara para cendekiawan yang bekerja bersama kami itu pemenang Penghargaan Nobel yang belum pernah kujumpai secara langsung. Kolaboratornya, yang dipilih dari teman-teman sejawatku yang paling haus karier, mengatakan bahwa ia mengarahkan penelitian lewat telepon dan surel. Ia bahkan menelepon mereka malam-malam, juga pada hari Minggu. Orang-orang yang bekerja di tempat ini pada jam kantor biasa, seperti aku, tahunya hanya kejemuan. Kami melakukan pengujian dan eksperimen pada marmot, serta mengisi kuesioner. Satu-satunya yang membangkitkan gairah kami hanyalah rencana akhir pekan dan menggunakan sebagian jam kerja untuk merancang jadwal liburan. Adakalanya, suasana frustrasi berikut langkanya kepuasan kerja yang menyedihkan ini membangkitkan kisah asmara. Banyak perempuan yang bekerja di laboratorium kami, dan sebagiannya masih muda serta cukup manis. Pada musim semi tiap tahunnya ada saja yang menikah dan berbulan madu ke tempat yang dikunjungi banyak orang, maksudku seperti Amerika atau pulau di Samudra Hindia atau Pasifik. Ketika kami menikah, perusahaan memberi kami cuti khusus selama lima belas hari dan bulan madunya pun dibayari. Nantinya, ketika karyawan masa depan (anak-anak kami) telah lahir, perusahaan menawari kami berbagai keuntungan tambahan yang dapat diakumulasikan dengan insentif dari pemerintah pusat maupun daerah bagi pasangan produktif. Dewasa ini menjadi produktif itu masih disamakan dengan bersikap patriot. Bukan karena ras kami dianggap istimewa, seperti pada masanya Hitler, melainkan karena (menurutku) kami harus tanggap terhadap meningkatnya jumlah orang asing yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk ikut menikmati kemakmuran masyarakat kami, dan yang, menurut statistik, lebih produktif daripada kami.

Kembali ke ceritaku. Aku ini bujangan dan sepertinya aku tidak akan pernah kawin, apalagi punya anak. Bukan berarti aku tidak tertarik pada lawan jenis, seperti semua rekan pria dan wanita di tempat kerjaku, atau aku tidak normal. Aku normal menurut standarku dan bukan menurut standar orang lain dan aku tidak akan menukar kenormalanku dengan kenormalan orang yang berkawin dan melahirkan anak ke dunia ini, banyak anak, supaya tanggungan pajak mereka lebih rendah. Tipu daya apaan itu! Penampilanku pun selayaknya orang normal. Aku lelaki dengan tinggi rata-rata dan postur ramping, bermata biru dan berkulit terang. Kepalaku plontos karena aku selalu mencukur helai-helai yang ada dan, boleh dibilang, tidak ada lagi rambut yang tersisa. Masalah kebotakanku ini sudah ada sejak usiaku belum dua puluh tahun, dan awalnya aku sangat terusik. Tiap kali aku bercermin kutanya diriku, kenapa orang lain pada punya rambut sedang rambutku pada rontok? Sekarang aku tidak mengindahkannya lagi—sebaliknya, kurasa aku lebih ganteng begini. Hal lain yang menyebalkan dalam beberapa tahun belakangan ini yaitu membuncitnya perut. Aku terlalu sering makan, terlalu jarang berjalan kaki, dan tidak suka berolahraga. Aku agak terlalu banyak merokok, dan terlalu banyak minum wiski. Kalau kau tinggal di kota besar seperti aku, dan hidup seperti aku, cepat atau lambat lingkar pinggangmu bakal melebar. Tak terelakkan lagi. (Atau setidaknya begitulah menurutku.)

Masa kecilku bahagia dan ada album-album penuh foto yang membuktikannya. Aku pergi ke sekolah sebagaimana lazimnya. Aku bermain bersama anak-anak lain sebagaimana lazimnya. Saat musim panas aku berlibur bersama ayahku, yang pada waktu itu sudah berpisah dengan ibuku dan ingin menularkan kegemarannya berlayar padaku. Kami biasa pergi ke Italia, atau Yunani. Aku putra satu-satunya ayahku, tetapi aku berusaha mengecewakan dia, sebab aku tidak berminat pada perkapalan sehingga apa yang disuruhnya aku berbuat sebaliknya. Akhirnya ia tidak mau lagi bersama diriku. Pada usia tiga belas tahun, ketika bocah paling pendiam sekali pun mulai bangkit hasrat seksualnya, aku mulai memata-matai ibu dan kakak-kakak perempuanku, terutama yang sulung. Aku senang mengamati mereka dari balik pintu yang separuh terbuka atau lewat lubang kunci, ketika mereka melepas pakaian untuk bersiap tidur. Ketika mereka mandi. Ketika mereka berganti pakaian. Di bawah perut dan di antara kedua paha ibuku, ada segitiga indah yang disaputi rambut merah. Namun yang paling elok dari kelaminnya adalah tonjolan kulit berwarna merah muda, semacam bilah bibir yang terlihat di bawah bulu-bulu halus. Bisa sampai berhari-hari aku membayangkannya. Akan tetapi, sayangnya, aku cuma berhasil mengintip itu beberapa kali saja, selama sepersekian detik, dan selalu sambil gelisah. Suatu kali, ketika aku berusia sekitar lima belas tahun, aku melihat kakakku bermasturbasi, dengan mengangkangkan kakinya lebar-lebar dan sama sekali tidak acuh sebab ia yakin tidak ada siapa-siapa lagi di rumah. Ia mengerang, memejamkan mata dan membukanya lagi. Ia menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Sambil mengamati dia, aku juga bermasturbasi, tetapi aku langsung keluar dan, sebenarnya, rasanya tidak seenak yang kuhendaki. Sejak itu, aku tidak pernah lagi mengintip kakakku bermasturbasi. Suatu hari, ketika kami sudah dewasa, kami mulai mengobrol tentang seks dan berbagi rahasia. Ketika aku mulai mengangkat topik tentang masturbasi, kakakku berpura-pura tidak mengerti dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gusar. Lalu ia berkata tanpa ragu, “Aku tidak mengerti yang kau katakan. Aku tidak pernah mencobanya.”

Di sisi lain, aku sendiri, seumur-umur, tidak pernah berusaha untuk berhubungan seks secara menyeluruh dengan perempuan, atau lelaki, atau dengan siapa pun lah. Rasanya berlebihan saja. Membayangkan meraba orang lain, atau membiarkan diriku diraba, rasanya membuatku ingin muntah saja. Tentu aku sudah memikirkan ini dalam waktu lama dan dengan sangat hingga aku sampai pada kesimpulan bahwa alat kelamin itu memualkan, serta menjijikkan, karena suatu alasan yang amat sederhana: karena semua orang punya. (Tanpa mesti berbuat apa pun sehingga mereka pantas memilikinya.) Seandainya saja hanya sedikit orang yang memiliki alat kelamin, seandainya saja hanya satu orang pria dan satu orang wanita di antara seribu, atau sejuta, yang terlahir dengan titit dan puki, maka dengan begitu seks pun akan menjadi sesuatu yang betul-betul istimewa! Akan ada jembatan di antara Tuhan dan manusia. Alih-alih, alat kelamin merupakan dasar persamaan manusia, dan juga dasar kecabulan manusia. Di luar sana di dunia ini, semua orang pada punya alat kelamin dan bersanggama. Tetapi ada suatu cara untuk lari dari kecabulan: biar orang lain saja yang melakukannya. Tanpa ikut campur dengan urusan mereka dan tanpa turut serta dalam perbuatan mereka. Dalam komedi kehidupan nan tiada habisnya ini, apa sih bedanya jika aku menggunakan kelaminku untuk diriku seorang saja, dengan jika aku merangsang diriku lewat upaya dan kecabulan orang lain?

Aku menyukai hal yang jarang dimiliki orang. Aku sudah mengatakannya tadi. Selain itu, aku menyukai hal yang di antara milyaran orang cuma aku yang melakukannya. Misalkan saja, memelihara belalang sembah. Tidak ada orang lainnya di dunia ini yang kukenal yang memelihara serangga ini selayaknya kura-kura, kenari, atau jenis piaraan lainnya. Aku tinggal di lantai teratas bangunan yang menghadap bulevar yang didereti pepohonan. Berandaku kututupi dengan panel-panel kaca. Aku mengubah berandaku menjadi suatu rumah kaca tempat aku menyimpan banyak belalangku dalam wadah-wadah plastik tembus pandang yang biasanya digunakan untuk ikan tropis atau reptil. Belalang itu serangga darat besar, berwarna hijau atau kuning kecokelatan tergantung pada lingkungan hidupnya, dengan panjang tujuh-delapan sentimeter atau lebih, dan disebut belalang “sembah” karena bagian atas tubuhnya yang selalu tegak bersama-sama kedua kaki depannya seolah-olah sedang menyembah. Sebetulnya, itu sikapnya saat berburu dan tidak ada hubungannya dengan sembah-sembahan. Aku menyukai segala sesuatunya pada belalang-belalangku. Aku menyukai penampakan luar mereka, dan aku juga menyukai pembawaan serta kebiasaan hidup mereka. Mereka itu serangga pemakan daging yang memakan mangsanya hidup-hidup dan dalam keadaan tertentu bahkan bisa mengganyang sesamanya. Yang paling terkenal dari keadaan kanibal itu adalah perilaku kawin mereka, kala betina bersiap-siap meletakkan telur dan si jantan harus tahu itu saatnya untuk kabur, sebab ia telah melaksanakan tugasnya dan tidak diperlukan lagi. Sebagian jantan, yang mengerti keadaan ini, lalu pergi. Sebagian lagi, yang kurang cerdas atau mungkin terlalu letih sehabis terus-terusan menunggangi, tetap berada di dekat si betina, yang membunuh dia setelah berkelahi sebentar. Kemudian, sembari meletakkan telur-telurnya, si betina mengudap sedikit-sedikit mayat pasangannya itu. Setelah memanfaatkan si jantan untuk melestarikan spesies, si betina menggunakannya lagi untuk memulihkan kekuatan. (Contoh bagus dari kodrat efisiensi organisasi dan eksploitasi sumber daya.)

Memelihara belalang di rumah tidaklah mudah, sebab mereka itu serangga yang habitatnya tidak sesuai dengan iklim kami, juga karena di toko-toko tidak tersedia produk yang tepat untuk mengembangbiakkan jenis ini. Aku tinggal di sebuah kota besar, tempat tersedianya toko-toko yang menjual segala kebutuhan untuk memelihara piton dan tarantula, iguana serta buaya, ataupun segala jenis ikan tropis. Tetapi jika kau menanyakan belalang sembah pada mereka, pramuniaganya cuma menggelengkan kepala …. Aku memperoleh belalang pertamaku ketika sedang berjalan-jalan ke Italia dan tanpa direncanakan, sebab sebelum itu aku mengetahui hewan ini cuma lewat gambar-gambar di ensiklopedia. Aku harus mengangkut percobaan awalku dalam kardus biasa, dan aku harus memberi makan mereka dengan apa pun yang dapat kuperoleh. Agas, berbagai serangga kecil. Dengan mata kepala sendiri aku mengamati perkawinan mereka sementara si jantan dimakan sedikit demi sedikit. (Pada awalnya, ini tidak terelakkan mengingat belalang-belalang itu mesti bertahan hidup di tempat yang sempit. Sekarang tempatnya sudah lega, sehingga beberapa jantan dapat menyelamatkan diri.) Seperti hampir semua orthoptera, misalnya saja belalang hijau, belalang sembah kawin dalam posisi yang aneh, mirip pengendara motor sedang balapan. Si jantan, yang berukuran lebih kecil, memanjat ke punggung si betina lalu bergeming berjam-jam. Si betina meletakkan telur dalam gundukan-gundukan kecil yang ia lekatkan pada bilah rumput atau ranting di semak-semak tempat tinggalnya. Bayi belalang sembah lahir dari telur, serupa dengan belalang sembah dewasa namun jauh lebih kecil. Lalu kau harus memindahkan mereka ke akuarium lain untuk memastikan supaya si ibu, yang sudah memakan ayah mereka, tidak terkuasai oleh dorongan kasih untuk memakan anak-anaknya juga.

Belalang sembahku seringnya makan larva lalat daging, yang biasa digunakan untuk umpan fly fishing dan dapat dibeli di toko peralatan olahraga. Kemudian mereka makan berbagai serangga lain, tentunya yang masih hidup, yang berhasil kuperoleh dengan harga mahal dari toko yang menjual binatang eksotis, biasanya untuk makanan laba-laba besar atau ular kecil. Ketika aku berlibur, atau kapan pun aku jauh dari rumah, Frau Inge memberi makan dan merawat mereka serta merapikan akuarium. Boleh jadi ia lebih telaten daripada aku. Frau Inge itu yang mengurus rumahku. Usianya sekitar lima puluh tahun. Ia datang tiap sore untuk bersih-bersih dan memasakkan makan malam. Ia menjadi akrab dengan piaraanku seakan-akan mereka itu anak anjing atau anak kucing. Ia memberi mereka nama. Ia membawakan mereka makanan berupa laba-laba kecil, atau berbagai serangga kecil yang ia temukan di taman pada musim panas. Ia memberikan nama bintang film terkenal pada seekor belalang sembah betina, dan suatu hari ia memintaku untuk mengeluarkannya dari akuarium sehingga bisa bermain sebentar dengan binatang itu. Tetapi, tentu saja aku menolak dan bahkan mencoba untuk menakuti dia. Kukatakan bahwa belalang sembah itu beracun. Kukatakan bahwa gigitan mereka sangat menyakitkan, selain itu, di negara-negara tempat belalang sembah hidup di alam liar, orang takut pada mereka. (Tidak satu pun yang benar, tetapi aku berharap ini berhasil menghalangi dia supaya tidak mengeluarkan seranggaku dari kotak kaca dan membiarkan mereka menjelajahi rumah ketika aku tidak ada.)

Belalang sembah itu satu-satunya hiburanku. Aku tidak punya teman. Sesekali ada rekan di kantor yang menanyakan rencanaku pada malam hari. Mengapa tidak aku ikut makan malam di rumahnya? (Untuk membujukku, ia bilang istrinya dapat membuat rol daging kuda yang sangat enak, atau rebusan lezat domba muda dengan bubur jagung yang dapat menghidupkan kembali orang mati.) Mengapa tidak aku mengunjungi klubnya saat malam atau akhir pekan? (Doktor X dan Doktor Y, dua manajer dari perusahaan kami, merupakan anggota klub itu dan siapa pun yang bermain tenis dengan mereka harus mengalah, tetapi kemajuan karier terjamin.) Kadang kala ada rekan wanita yang bermain mata padaku, hingga terpaksa aku mengambil langkah seribu. Akan tetapi, untungnya, kejadian semacam itu jarang ada dan semakin jarang saja. Sekarang ini, aku telah mengukuhkan reputasi sebagai pembenci orang, baik di tempat kerja maupun di mana saja, dan tidak ada yang mengusikku. Banyak wanita maupun pria menganggapku homoseksual. Betapa sempitnya imajinasi manusia bila menyangkut soal seperti ini! Aku juga jarang menonton televisi. Aku lebih tertarik pada belalang sembah di akuarium daripada berita mancanegara, dan aku capek dengan program pornografi “berat” di saluran bayar-per-tayang sehingga aku membatalkan semua langgananku. Menurutku, seks di layar televisi ataupun komputer itu seperti kopi instan, macam menyeduh bubuk dengan air panas. Kalau cuma itu yang kau dapatkan, kau meminumnya sekali, dua kali, sepuluh kali. Lantas kau muak dan tidak pernah meminumnya lagi.

Aku ini pencinta damai. Hidupku baik-baik saja. Aku bisa berlibur, yang kuhabiskan sebagaimana nanti kuceritakan. Aku punya pekerjaan. Aku punya piaraan kecil di akuarium. Hidup sendirian tidaklah mengusikku. Justru hidupku terusik, sangat terusik, jika ada orang lain di rumah yang mencerewetiku soal mana yang jangan dan mana yang boleh. Belalang sembah berwujud manusia yang mesti diurusi dan ditunggangi, yang akan memakanku dan memenuhi apartemenku dengan bayi-bayi belalang sembah. Membayangkan naik ke ranjang tiap malam sebagaimana pergi ke kantor tiap pagi, dengan tugas yang mesti dilaksanakan, membuatku bergidik. Aku naik ke ranjang untuk tidur, dan kurasa hidupku sudah mencapai keseimbangan, tetapi, aduh, hidupku tidak selalu begini. Ada masanya ketika aku harus membuktikan pada diriku, dan terutama pada ibuku, bahwa aku ini manusia “normal”. Pria sejati! Pada masa yang tragis itu aku punya dua pacar. Yang pertama, Bertha, merupakan pengalaman terburuk yang pernah terjadi padaku. Ia teman sekampus yang sedang mencari suami. Kami berjumpa setiap hari di kelas, belajar bersama. Awalnya, Bertha mengira aku ini pemalu dan ia pun berusaha untuk mempermudah keadaan. Ia mengajakku ke rumahnya ketika orang tuanya sedang tidak ada. Ia memintaku membantunya melepaskan pakaian. Lalu ia mulai ragu. Setelah skandal Hotel Zodiak ia mencampakkanku. Waktu itu aku merasa seluruh dunia akan roboh menimpaku. Aku berpikir untuk kabur ke negara yang tidak seorang pun penduduknya mengenalku, aku juga berpikir untuk bunuh diri, tetapi untungnya aku tidak jadi berbuat apa-apa. Hotel Zodiak itu hotel murah di dekat stasiun pusat, tempat pelacur menyambut langganan. Satu-satunya keunggulan hotel itu ialah karena menyediakan ruangan untuk orang-orang seperti aku, yang senang menonton orang lain melakukan hal begituan. Kau hanya tinggal meminta “kamar untuk satu orang dengan pemandangan”, lalu selama beberapa jam kau dapat menonton (dan mendengarkan) apa pun yang terjadi di kamar sebelah. Segala macam orang mengunjungi hotel itu, bahkan penjahat dan penjual narkoba. Maka, suatu hari, aku kena razia polisi, dan ibuku pun mengetahuinya.

Pacarku yang kedua, Margaretha, dipaksakan padaku oleh ibu dan kerabatku setelah peristiwa Hotel Zodiak itu. Ketika mereka menganggapku jelas-jelas tidak “normal”. Mereka memaksaku supaya punya pacar dan menjalani perawatan dengan psikiater, yang mencekokiku dengan obat-obatan psikotropika seolah-olah sedang menggemukkan angsa. Karena aku enggan menceritakan tentang si psikiater, aku akan menceritakan tentang si pacar saja. Margaretha bekerja (masih sampai sekarang) di toko roti yang dikelola oleh ayah dan saudara-saudaranya. Tingginya sekitar 150 senti, bobotnya hampir 80 kilogram, dan teteknya sebesar melon. Selama beberapa tahun ia pacar sekaligus perawatku. Ia berusaha supaya aku jatuh cinta pada dia dan ia bahkan berusaha memperkosaku, atas instruksi si psikiater. (Baru kemudian aku mengetahui bahwa mereka berdua sesekali berbincang lewat telepon.) Ia berhasil membuatku jijik sekaligus tergugah. Bisa dibilang, ia mencintaiku dan, bisa dibilang, aku juga mencintai dia. Ia satu-satunya manusia yang dapat membuatku merasa cukup bersalah. Ketika akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan aku karena telah menemukan teman lain, seorang “pria sejati” yang mau menyanggamai dia, aku menanyakan kalau-kalau aku boleh menonton selagi mereka berbuat itu, tetapi pada waktu itu Margaretha diam saja. Segalanya pun berantakan. Tinggallah aku sendiri bersama ibuku dan si psikiater, dan akhirnya aku menyadari yang mesti kuperbuat. Aku menyadari, pertama: bahwa aku harus punya rumah sendiri, sebab jika aku terus tinggal bersama ibuku, masalahku alih-alih terpecahkan malah akan terus bertambah parah, dan aku tidak akan pernah mencapai akar penyebabnya. Kedua: bahwa aku harus berhenti meminum obat-obatan psikotropika, serta mengunjungi si dokter imbesil yang sebaiknya mengobati dirinya sendiri alih-alih orang lain! Ketiga, sekaligus yang terpenting, aku menyadari bahwa tidak ada kenormalan sebagaimana yang dipahami ibuku, dan setiap orang harus punya pandangannya sendiri-sendiri. Aku telah menjadi normal menurut pandanganku sendiri dan bukan menurut pandangan orang lain. Aku telah menemukan belalang sembah dan pulau harta karun (pulauku, yang nanti akan kuceritakan secara singkat). Aku telah belajar untuk mencintai diriku apa adanya, serta hidup damai dengan diriku. Berapa banyak sih manusia yang katanya normal yang dapat menyatakan, sebagaimana aku, bahwa hidup mereka telah mencapai keseimbangan?

Beberapa tahun lalu, aku merasa ingin memelihara jenis serangga baru, yaitu orong-orong. Aku pun keranjingan mencarinya. Namun percobaan itu begitu mengecewakan hingga aku tidak lagi berminat untuk mengupayakannya. Orong-orong itu hampir sebesar belalang sembah, namun penampakannya cukup feminin, terutama karena rupanya yang elegan dan caranya bergerak. Di sisi lain, orong-orong itu dempak, kekar, dan konsentrat sifat jantan, sehingga sulit diambil dan sangat sulit dipelihara. Pertama-tama, hewan ini nyaris tidak dapat dikendalikan. Kau tidak bisa membuatkan orong-orong habitat, sebab hewan ini akan menghancurkannya. Hewan ini cerdas sekaligus dungu, persis seperti kebanyakan jantan dari ras manusia. Perilaku vulgarnya tertandingi hanya oleh “pria sejati”. Hewan ini tidak membiarkanmu tidur saat malam karena ia terus-terusan membentur dinding akuarium, tidak henti-hentinya menimbulkan suara menjengkelkan, ketukan kastanyet yang adakalanya melindap lalu mengeras lagi tanpa pernah betul-betul berhenti. Setelah beberapa minggu memelihara hewan ini di rumah, aku tidak tahan lagi dengan mereka dan aku pun menyingkirkan mereka dengan membuangnya ke jalan, ke bulevar di bawah terasku. Saat itu pukul tiga pagi dan tidak ada seorang pun yang lewat, selain beberapa mobil. Orong-orong itu benar-benar kuat dan aku merasa, bukan, aku meyakini, bahwa hewan percobaanku itu dapat melalui musim gugur, dan bahwa mereka tengah berkembang biak di saluran air kotor serta ruang bawah tanah permukiman sekitar sini. Aku tidak akan kaget kalau-kalau suatu hari mendapati ada orong-orong di garasi, atau di elevator apartemenku ….

Aku suka melihat sesama manusia lewat sebilah kaca, seakan-akan mereka itu serangga dalam akuarium. Aku suka melihat mereka tanpa busana berikut segala hal lain yang mereka gunakan sebagai pelindung: karier, keluarga, urusan bisnis. Hubungan sosial. Aku suka melihat mereka bugil selagi bersetubuh, dan tidak hanya ketika mereka bersetubuh tetapi juga sewaktu mereka melakukan hal tertentu di luar naluri yang wajar, yang merupakan hasil imajinasi manusia. Aku pencuri hawa nafsu. Aku mendengarkan erangan dan jeritan orang lain. Adakalanya, aku bahkan melihat darah mengucur dan aku tidak berbuat apa-apa untuk serta dalam kesenangan (atau kesakitan) mereka. Aku tidak berbuat apa pun untuk menyenangkan diriku. Aku makhluk yang bebas dari desakan ragawi; jiwa yang murni. Perkelaminanku adalah perkelaminan orang lain. Kecarutanku, yang pastilah ada, juga ada pada orang lain.

Usiaku tiga puluh sembilan tahun dan hidupku tenteram. (Aku sudah mengatakannya tadi). Aku punya rumah, pekerjaan, belalang sembah, serta kehidupan rahasia yang berada jauh dari sini di belahan lain dunia. Kapan pun sempat, aku naik pesawat dan mengunjungi sebuah pulau di Laut Tengah tempat beberapa ribu orang sebangsaku hidup sehari-sehari, dan banyak pula yang mengunjunginya saat libur atau akhir pekan yang panjang. Kebanyakan di antara orang-orang ini, baik pria maupun wanita, merupakan babi-babi cabul yang harus saling berkawin dengan cara apa pun yang mungkin, tetapi ada juga makhluk-makhluk tanpa desakan ragawi seperti aku yang membenci seks bebas serta persinggungan antartubuh. Ada orang dari berbagai ras. Pulau tersebut merupakan tanah yang dijanjikan bagi kami, surga dunia kami, tempat kami merupakan orang yang betul-betul normal, dan bukan tempat bagi orang normal yang selainnya. Pulau ini memiliki hotel-hotel seperti Hotel Zodiak, kawasan lampu merah dan semua warna lainnya, serta klub-klub privat bagi segala penyimpangan. Pulau itu memiliki segalanya yang kubutuhkan untuk hidup bagagia dan, ketika akhirnya aku dapat meninggalkan pekerjaanku, kupikir aku akan tinggal di sana. Aku akan membeli rumah di pulau impianku itu dan membawa serta belalang sembahku ke sana. Lalu kupikir aku akan memelihara beberapa jenis serangga lainnya juga, di samping belalang sembah, yang benar-benar sangat kusukai tetapi yang, sebagaimana kejadian yang telah kusampaikan, betinanya yang lebih berkuasa. Kupikir aku akan memelihara kalajengking. Menurutku, kalajengking itu tidak secantik belalang sembah, tetapi sama-sama elegan dan menarik. Serangga ini memiliki enam mata alih-alih cuma dua. Gerakannya lebih cepat dan perkawinannya lebih ringkas lagi spektakular, dengan pertempuran di antara kedua jenis kelamin yang separuh bertarung separuh berdansa. Bahkan betinanya memiliki sifat jantan, dan bukan hanya karena alat penyengatnya. Ini merupakan bagian dari diriku yang masih belum tersibak, dan hendak kukembangkan dengan memelihara serangga ini. Begitu pindah ke pulau harta karunku, akhirnya aku akan memiliki segalanya yang kuinginkan: belalang sembah, kalajengking, sensasi, dan aku akan menjadi manusia yang bahagia. Apa lagi yang kuinginkan dari dunia ini? Apakah yang lebih normal daripada itu?[]






Sebastiano Vassalli lahir di Genova, Italia, dan tinggal di provinsi Novara. Ia telah mengarang lebih dari dua puluh buku, termasuk La notte della cometa, Sangue e suolo, L'alcova elettrica, L'oro del mondo, La chimera, Marco e Mattio, Il Cigno, 3012, Cuore di pietra, Un infinito numero, Archeologia del presente, Dux, Stella avvelenata, Amore lontano, La morte di Marx e altri racconti, L'Italiano e Dio il Diavolo e la Mosca nel grande caldo dei prossimi mille anni.

Gregory Conti mengajar Bahasa Inggris di University of Perugia dan merupakan kontributor tetap Raritan. Karya terjemahannya yang terbaru yaitu “Seven Poems” oleh Elisa Biagini serta The Fault Line oleh Paolo Rumiz (Rizzoli USA, 2015). www.gregoryconti.com

Tidak ada komentar: