Di kota-kota
kecil, petugas hotel biasa menyelipkan koran daerah di bawah pintu pada pagi
hari. Karena tidak biasa dengan berita daerah, kebanyakan tamu dari kota besar
hanya melihat sepintas berita utama. Tetapi ketika pertemuan bisnismu
berlangsung baik, dan kau bangun dengan segar setelah acara minum semalam yang
menyenangkan, kisahnya berbeda. Barangkali karena kau merasakan suatu kemesraan
terhadap kota tuan rumahmu dan mulai merasa terikat, kau pun mau membaca koran
itu dari awal sampai akhir.
Begitulah
yang dirasakan Tuan Iwasaki pagi itu. Setelah mandi, ia menggeletak di tempat
tidur sambil memagut rokok dan membaca dengan teliti koran itu. Ia sedang
berada di ibu kota sebuah prefektur di Shikoku, kota kecil yang menghadap
Samudra Pasifik.
Tuan Iwasaki
perancang grafis terkenal. Ia datang dari Tokyo. Ia dibayar oleh hotel besar
yang akan dibuka di kota itu. Pada usianya yang lima puluh tahun, ia telah
membina karier yang mapan selama dua puluh enam tahun ini. Kini perusahaannya
mempekerjakan tiga puluh karyawan dan berlokasi di jantung Tokyo. Ia berwenang
atas publisitas hotel baru tersebut. Pagi itu ia bangun dengan perasaan segar,
setelah menikmati pesta semalam yang dijamu oleh pengelola hotel.
Setelah
membaca semua halaman koran itu, ia kembali pada berita yang sempat dilihatnya
sekilas tadi. Pada halaman itu ia mendapati sebuah foto yang ukurannya sedikit
lebih kecil daripada kartu nama.
Tuan Iwasaki
melonjak dari tempat tidur dan mengambil wadah kacamata dari meja di
sampingnya. Ia berdiri di samping jendela dan mengenakan
kacamata baca yang jarang ia gunakan. Sinar matahari pagi April menyoroti
ruangan itu.
Foto itu
menampakkan mantan istrinya, yang ia ceraikan dua puluh tiga tahun lalu. Rambut potongan pendek yang berani, tubuh ramping,
serta wajah oval—wanita itu tidak berubah sedikit pun. Ia dipotret bersama
seorang lelaki tua dan seorang wanita muda. Tubuhnya jangkung untuk ukuran wanita
Jepang.
“Ini pasti
dia,” ia bergumam. “Kudengar ia sudah menikah lagi. Tetapi aku tidak tahu ia
tinggal di kota ini.” Setelah mencermati berita itu dengan saksama,
keyakinannya menguat. Nama marga perempuan itu berbeda, tetapi nama kecilnya
sama. Lelaki di samping perempuan itu adalah suaminya, direktur rumah sakit
besar di kota itu. Setelah membaca lebih banyak, ia terkejut. Melihat dari
namanya, wanita muda yang tersenyum diapit pasangan itu adalah anak
perempuannya sendiri, yang ia tinggalkan lebih dari dua puluh tahun lalu.
Berita itu
melaporkan bahwa wanita muda tersebut tengah menyelenggarakan pameran
pertamanya di galeri setempat. Ia lulusan sebuah kampus seni di
Osaka berusia dua puluh empat tahun. Setelah
berpartisipasi di beberapa pameran dengan dewan juri, ia digembar-gemborkan sebagai pelukis yang sedang naik daun. Foto itu
diambil pada resepsi pembukaan pameran, ketika orang tua si seniman muda hadir
untuk menyelamati anak mereka. Diterangi cahaya pagi, Tuan Iwasaki merasa agak
pusing, jantungnya berdebar-debar.
***
Ketika ia dan
istrinya berpisah, Tuan Iwasaki berusia dua puluh tujuh tahun dan baru membuka
perusahaan rancang grafisnya sendiri. Pada waktu itu istrinya berusia dua puluh
enam tahun dan satu setengah tahun sebelumnya baru melahirkan bayi perempuan.
Barangkali karena menikah begitu lulus kuliah, mereka masih merasa seperti
mahasiswa.
Ketika
dikenang kini, Tuan Iwasaki berpikir bahwa pernikahan itu berakhir karena
mereka masih muda dan kurang berpengalaman—pada dasarnya mereka terburu-buru
menikah melawan kehendak orang tua masing-masing karena mereka masih muda dan
kurang berpengalaman.
Pada waktu
itu, setelah membuka kantor di Shibuya, Tuan Iwasaki merasa repot untuk pulang
ke apartemen di pinggir kota, di mana istri dan anaknya menanti. Awalnya ia
menyewa kantor yang jauh dari rumah karena sulit menyelesaikan pekerjaan dengan
bayi yang rewel. Ia jadi harus bekerja gila-gilaan hingga larut malam.
Ia juga malas
pulang karena alasan lain. Ia menikmati bergaul sepulang kerja, membahas ide
rancangan baru sembari minum-minum bersama rekan kerja. Ia mementingkan
acara-acara seperti itu, yang memberi dia energi untuk mencurahkan diri pada
pekerjaan.
Ketika Tuan
Iwasaki mulai hidup selayaknya bujangan, wanita-wanita muda mengerubunginya. Ia
segera akrab dengan beberapa orang di antara mereka. Ia semakin menghindari
keluarganya. Dengan menjadikan kerja sebagai alasan, kerap kali ia tidak pulang
hingga berhari-hari. Pasangan itu pun terus-menerus cekcok.
Suatu hari,
setelah lama tidak pulang, ia mendapati apartemennya kosong. Sang istri telah
kembali ke rumah orang tuanya di Osaka membawa bayi mereka. Ketika ia menyusul
istri dan anaknya, mertuanya menyodorkan dokumen perceraian padanya. “Ia tidak
menghendakimu lagi. Kami yang akan merawat bayi itu. Kalau kau setuju bercerai,
kami tidak akan meminta tunjangan apa-apa,” ucap orang tua istrinya. Mereka
juga meminta dia untuk tidak mengunjungi anak perempuan dan cucu mereka lagi.
Setelah
mengambil kembali anak dari menantu yang tidak disukai, orang tua istrinya
gembira dan tidak memberikan kesempatan untuk berembuk. Tuan Iwasaki merasa
istrinya sudah mantap dengan keputusan untuk tidak bertemu dengan dirinya.
“Aku tidak
tahan dengan pengkhianatan seperti ini. Sudah cukup kau mempermalukan aku. Aku
tidak akan pernah memaafkanmu,” sembur istrinya dengan gemetar, saat mengetahui
tentang perselingkuhannya. Istrinya mendelik padanya seakan-akan ia pakaian
kotor.
Dengan
mengingat perkataan sengit istrinya, ia merasa malu dan menandatangani dokumen
perceraian itu.
***
Tuan Iwasaki
membatalkan penerbangan pulang. Ia menelepon kantor di Tokyo dan menjadwalkan
ulang semua janji temu pada hari itu. Ia terkejut bukan hanya karena mendapati
anak perempuannya tinggal di kota itu, tetapi juga karena wanita muda itu
menuruti jejak ayahnya. Ia merasakan ikatan darah yang kuat dengan wanita muda
itu.
Lima tahun
setelah bercerai, pada usia tiga puluh dua tahun, ia menikahi sesama desainer.
Pasangan itu dikaruniai dua putra, yang kini duduk di bangku SMP dan SMA.
Mereka menyukai musik, tetapi tidak berminat pada seni lukis. Tuan Iwasaki
senang mengetahui bahwa anaknya yang perempuan sama-sama meminati seni visual.
Tuan Iwasaki
meninggalkan hotel, menunggu galeri itu dibuka. Resepsionis memberi tahu dia
bahwa galeri itu berjarak sepuluh menit berjalan kaki. Galeri itu berada di
lantai pertama sebuah gedung yang elok. Sesaat ia ragu. “Bisa-bisa aku bertemu
dengan mantan istriku,” pikirnya. Pada pintu kaca yang tampak dingin, ia
melihat pantulan dirinya—lelaki paruh baya dengan raut bingung. “Ia tidak
berubah banyak, sedang bobotku bertambah dua puluh kilogram sejak terakhir kali
kami berjumpa,” pikirnya. “Garis batas rambutku sudah menyurut. Dengan kacamata,
ia tidak akan mengenaliku.”
Pintu
bergeser membuka tanpa suara. Bagian dalam gedung lebih lapang daripada yang
terlihat dari luar, sekitar tiga puluh tsubo[1].
Karena hari masih pagi, pengunjungnya sedikit.
Di dalam,
tiga orang wanita berdiri sambil bercakap-cakap. Melihat dari figurnya, yang di
tengah pastilah mantan istrinya. Seraya menenangkan jantungnya yang berdegup,
Tuan Iwasaki mengenakan kacamata.
Sekitar empat
puluh lukisan cat minyak menutupi dinding. Sang seniman menggunakan warna-warna
cerah dan hangat, sebagian besar hijau dan kuning, yang menggambarkan anak
gadis serta binatang kecil. Lukisan-lukisan itu menghangatkan hati orang yang
memandangnya.
Saat berdiri
di hadapan lukisan ketiga, yang berupa seorang gadis dengan topi berhiaskan
bunga, Tuan Iwasaki merasakan air mata merebak di dalam dirinya. “Ia berusaha
menciptakan dunia yang sama dengan yang kuciptakan sewaktu muda. Ia toh
putriku,” pikirnya. Dadanya sesak.
Saat
memandangi lukisan keenam, yang menggambarkan seorang gadis beserta seekor anak
anjing di pantai, ia merasakan tatapan di balik punggungnya. Ketika beralih ke
lukisan berikutnya, ia melihat pantulan mantan istrinya pada kaca pembingkai.
Perlahan ia melipat kedua lengannya, bersiap untuk menghadapi wanita itu.
Selagi
berdiri menghadap lukisan kedua belas, berupa seorang gadis dengan pita putih
pada rambutnya, Tuan Iwasaki mendengar suara mantan istrinya. Wanita itu masih
bersuara sopran seperti dulu. “Aku akan keluar menemui mereka. Aku akan kembali
setengah jam lagi,” ucapnya pada kedua wanita lain. Ketika wanita itu melewati
Tuan Iwasaki, samar-samar terembus aroma parfum yang akrab.
Ketika
mencapai dinding yang terakhir, kedua wanita itu memberi jalan. Ia mengangguk
dan menatap mereka. Segera ia mengenali putrinya—wanita berwajah bundar dengan
mata yang sejuk. Tuan Iwasaki merasa roman putrinya masih seperti sewaktu dia
bayi. Wanita itu mirip dengan dirinya.
“Inilah dia.
Inilah putriku.” Ketika berbalik ke arah lukisan, Tuan Iwasaki merasa ada yang
menyumbat tenggorokannya. Jantungnya mulai berdebar liar, keringat dingin
keluar di tengkuknya. “Mungkin saja aku tidak akan punya kesempatan lagi untuk
berbicara pada dia. ‘Aku ayahmu. Aku tidak pernah melupakanmu.’ Itu saja yang
harus kukatakan. Canggungnya hanya di awal.” Sembari mengulang-ulang perkataan
tersebut di dalam kepala, ia berjalan ke tengah-tengah dinding, lalu berhenti
di depan sebuah lukisan.
Walaupun
warna dan nuansanya serupa, lukisan gadis yang tengah memegang boneka ini
berbeda dari lukisan-lukisan lainnya. Anak gadis berusia lima atau enam tahun
itu memenuhi kanvas. Matanya yang membuka lebar terpancang pada orang yang
memandangnya. Tidak seperti gadis pada lukisan-lukisan lainnya, yang ini tidak
menampakkan kelembutan.
Badut di
lengan gadis itu tampak familier. Kalau ingatannya benar, mantan istrinya
membuatkan boneka lusuh itu untuk ulang tahun pertama anak mereka. Kalau
demikian, lukisan itu merupakan lukisan diri. Mata gadis itu seolah-olah
bertanya: “Bagaimana bisa kau menyatakan diri sebagai ayahku? Ke mana saja kau
selama ini?” Tuan Iwasaki merasakan tatapan gadis itu menembus dirinya. Ia
mendesah dan beranjak ke sisa pameran itu.
Setelah
melihat lukisan yang terakhir, ia menuju meja resepsi. “Aku hendak membeli
lukisan yang di tengah dinding terakhir itu. Ya, lukisan gadis dengan boneka
itu.” Ia membayar lukisan tersebut dan menuliskan informasi kontaknya, dengan
menggunakan nama asisten serta alamat perusahaannya. Setelah menyelesaikan
transaksi, ia kembali pada dinding itu. Ia ingin melihat putrinya sekali lagi
sembari berpura-pura meneliti lukisan yang baru saja ia beli.
“Hai, terima
kasih telah membeli lukisanku,” wanita muda itu berucap di belakangnya.
Suaranya riang. Perlahan Tuan Iwasaki berbalik. Wanita muda itu memperkenalkan
diri. Ia terlihat agak gugup.
Tuan Iwasaki
tersenyum dan mengangguk. “Lukisanmu sangat bagus. Aku suka dengan caramu
menggunakan warna-warna yang hangat.”
“Terima
kasih. Lukisan ini salah satu favoritku, walau kelihatannya agak menyeramkan.”
“Begitukah?”
“Aku senang
ada orang selain teman-teman orang tuaku yang membeli lukisan.” Tiba-tiba
wanita muda itu memelankan suara dan tertawa. “Mereka membeli lukisanku karena
harus saja,” ujarnya lepas.
“Itu tidak
benar. Lukisanmu benar-benar mengagumkan. Aku yakin mereka membelinya karena suka.”
Mata wanita
muda itu berbinar-binar. Ia menautkan kedua tangannya seakan-seakan berdoa.
Tuan Iwasaki memerhatikan cincin safir pada tangan kiri wanita muda itu, lalu
ingat bahwa dia lahir pada September.
“Kau sudah
bertunangan.”
Wanita muda
itu melihat pada cincinnya dan wajahnya memerah. “Ya, aku akan menikah pada
Oktober.”
“Selamat ya.
Kuharap kau terus melukis setelah menikah.”
“Ya, aku berniat demikian.”
Ada begitu
banyak yang ingin ditanyakan Tuan Iwasaki pada wanita muda itu, namun ia tidak
kuasa. Terdengar suara dari arah pintu masuk. Mantan istrinya kembali dengan
lima atau enam orang tamu.
Wanita muda
itu tersenyum pada Tuan Iwasaki dan berbisik, “Permisi.” Sembari tersenyum
ramah pada Tuan Iwasaki, ia menuju pintu masuk.
Tuan Iwasaki
menutup mata seolah-olah hendak mencamkan bayang-bayang wanita muda itu.
Kemudian ia memandangi lukisan-lukisan itu lagi sembari melangkah
perlahan-lahan ke arah pintu masuk. Para tamu baru memapas dirinya selagi beranjak semakin jauh ke dalam galeri.
Begitu ia
hendak melangkah ke luar, ia mendengar putrinya di belakang. Ketika berpaling,
ia memerhatikan ibu dan anak itu berdiri berdampingan dan menatap padanya.
“Terima kasih banyak,” putrinya berkata, seraya agak membungkuk. Di samping
wanita muda itu, mantan istrinya memandangi dia dengan senyum lembut. Mantan
istrinya tampak mengangguk penuh pengertian. Ekspresi wanita itu menunjukkan
bahwa ia mengenali Tuan Iwasaki.
Tuan Iwasaki
keluar dari gedung dengan mengangkat sedikit tangan kanannya. Selagi ia melangkah
cepat di jalan beraspal, air matanya menetes di pipi tanpa ia hendaki. Ia
menyeka wajahnya dengan lengan baju seperti anak kecil.
Begitu sampai
di simpang jalan, akhirnya ia menoleh ke belakang. Seperti yang ia perkirakan,
mantan istrinya berdiri sendirian di depan galeri. Wanita itu membungkuk sopan
ke arahnya.
Kau
membesarkan dia dengan amat baik—itu saja yang ingin dikatakan Tuan Iwasaki
pada mantan istrinya. Sejenak ia bergeming saja, seraya memandang mantan
istrinya di kejauhan. Alih-alih berkata, ia membungkuk dalam-dalam sebelum
berbalik.[]
Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris
Toshiya Kamei, “Reunion”, dalam Words Without Borders edisi Maret 2014 “Writing from
Venezuela”.
Ryuichiro Utsumi lahir di Nagoya pada 1937 dan
besar di Ichinoseki, Iwate. Novel debutnya, Setsude
nite, memenangkan Penghargaan Bungakukai bagi Penulis Baru pada 1969. Ia
pernah dinominasikan untuk Penghargaan Akutagawa dan Penghargaan Naoki. Saat
ini ia tinggal di Niiza, Saitama. Terjemahan bahasa Inggris cerpen-cerpennya
telah terbit antara lain di Alimentum,
The Dirty Goat, dan Metamorphoses.
Toshiya Kamei memperoleh MFA untuk
Penerjemahan Sastra dari University of Arkansas. Terjemahannya meliputi The Curse of Eve and Other Stories (2008)
karya Liliana Blum, The Fox’s Window and
Other Stories (2010) karya Naoko Awa, Irlanda
(2011) karya Espido Freire, serta Silent
Herons (2012) karya Selfa Chew. Terjemahan lainnya telah terbit di The Global Game (2008), Sudden Fiction Latino (2010), serta My Mother She Killed Me, My Father He Ate Me
(2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar