Suatu kali aku menanyai Frank
kalau-kalau dia ingat akhir cerita The
Cherry Orchard. Setelah merenungkannya sejenak, ia bilang sejauh yang dapat
diingatnya, semua orang pergi.
“Mereka
semua cuma pergi?”
“Yeah,
seingatku sih.”
“Akhiran
macam apa itu?”
“Enggak
tahu, Charlie. Yang bikin cerita enggak ada ide lain, kali.”
Pada
Pemain Amaurot tidak pernah berkumpul lagi. Dokumen-dokumennya tidak jadi
ditandatangani. Si asisten pribadi berpakaian lavendel membawa Harry menyisi
setelah acara pemakaman dan memberi tahu dia bahwa Telsinor mencabut
kesepakatan. Tidak ada yang disalahkan ataupun dihakimi, kata si asisten
pribadi. Meski begitu, perusahaan punya tanggung jawab untuk mendengarkan para
pemegang saham, dan di mata para pemegang saham peristiwa yang terjadi
baru-baru ini jelas tidak mengandung semangat kaum muda dan perubahan serta
komunikasi yang direpresentasikan Telsinor.
Pada
awalnya ada wacana untuk mencari pendanaan dari tempat lain, namun segera
meredup. Sudah tidak ada lagi yang berminat soal itu. Setiap orang lantas
berpisah ke jalan masing-masing. Harry membuat semacam pernyataan yang
mengklaim bahwa teater merupakan sebentuk seni elitis sedang Internet merupakan
satu-satunya medium yang dapat mengekspresikan gagasan-gagasan revolusioner
sejati. Ia mendapat pekerjaan menulis iklan untuk situs
Snickers, dan setahuku Traktor Berkarat tidak jadi digarap.
Mirela,
terutama, yang tampaknya sulit menerima kecelakaan itu. Berminggu-minggu
setelahnya ia mengurung diri di kamar. Ia tidak mau bicara pada Harry, dan
pertunangan mereka diam-diam terlupakan. Tidak lama setelah itu, Mirela
meninggalkan rumah. Entah ke mana perginya. Mbok P tidak mau membicarakan
tentang dia. Aku tidak pernah melihat Mirela lagi, setidaknya tidak secara
langsung.
Tidak
lama setelah itu pula pengajuan suaka Vuk dan Zoran ditolak. Dalam pandangan
pemerintah Irlandia, bekas Yugoslavia sudah cukup aman sehingga tidak sepatutnya
mereka tetap di sini. Yang kami tahu selanjutnya Vuk dan Zoran kembali ke
Kroasia bersama Mbok P. Rasanya sungguh mendadak. Meski, kebenarannya, soal
kewarganegaraan hanyalah alasan. Mbok P sudah sangat rindu untuk pulang sejak
hari pertama kedatangannya kemari, dan “situasi akhir-akhir ini” hanya
menguatkan ketetapan hatinya.
“Buat
Mama, bukan soal enggak ada yang tersisa di sana,” kata Vuk padaku. “Yang Mama
pikirkan hanya ayahku, yang menghilang, dan Mama enggak mau tinggal jauh-jauh.”
“Bagaimana
dengan Mirela?” tanyaku. “Dia ikut juga?”
“Ah,
Mirela,” ia mendesah. “Mungkin dia benar. Mungkin lebih baik tinggal di sini,
supaya lupa. Tapi Mama sudah nekat.” Vuk menepuk kepalanya dan menyengir. “Kami
ikut sama Mama, memastikan Mama enggak menggila.”
Aku
tahu Bunda pasti kesepian di rumah sendirian. Aku mereweli Bunda supaya cari
suami baru, namun ia tidak mengacuhkan. Malah, aku tidak yakin seberapa sadar
Bunda akan kunjungan-kunjunganku. Hari-hari belakangan Bunda membatasi diri di
satu atau dua ruangan saja, membiarkan rumah selebihnya dilolosi embusan angin
dingin kencang. Aku biasa menemukan Bunda duduk di dekat perapian tanpa api,
dengan gelas di tangan dan sisa arang tersebar di lantai. Kami mengobrol, atau
lebih kerap aku mendengarkan sementara ia berbicara mengenang masa lalu, soal
yang itu melulu— Kolese Trinity, Hunt
Ball[1], Ayah dan bintang Bunda bergulir di produksi ini atau
itu. Kadang aku mencoba untuk mengajak dia membicarakan tentang Bel, namun
entah sungguhan atau buatan, aku tidak bisa menembus nostalgia mendung ini.
Pernah sekali, ketika aku menanyai dia tanpa tedeng aling-aling tentang malam
sandiwara sekolah itu, rasanya seolah-olah keruntuhan jaring laba-laba. Bunda
terdiam, menyapukan jarinya di seputar tepian gelas sherry-nya, lantas berkata: “Aktris sejati, Charles, tidak akan
membiarkan dirinya terlihat. Setiap kali ia berjalan di pentas, ia menciptakan
dirinya yang baru, dengan memanfaatkan sekitarnya. Ketika turun, ia melepaskan
diri dari dirinya yang baru itu begitu saja—“ seraya mengangkat kedua lengannya
dan membebaskan diri dari gaun imajiner. “Kehidupannya sekadar pasak tempat
menggantungkan ciptaannya itu. Tetapi Bel, kamu tahu, kan, Bel ….” Bunda terdiam lagi, dan tersenyum pilu.
“Bel selalu bersikeras agar hidup berjalan sesuai dengan keinginannya. Ia tidak
mau belajar pentingnya berkompromi. Persis seperti ayahnya dalam hal ini,
keadaan jadi tambah susah ….”
Jemarinya
menyapu seputar gelas. Lantas, tahu-tahu, Bunda jadi cerah. “Tetapi pada masa itu, Charles, betapa senangnya.
Sekarang, tentu saja, semuanya soal rakyat kecil dan aturan mereka. Tetapi dulu
… tetapi dulu, ketika rumah ini semarak, ketika para tukang kuda membawakan
kereta, sedang para pembantu hadir dengan baju rok, dan berlutut hormat, dan
ada pelayan, sopir, dan koki, dan setiap ruangan ramai oleh kegiatan ….”
“Enggak,
Bunda,” bantahku lembut. “Itu mah bukan di sini. Enggak pernah ada di Amaurot orang-orang
kerja begitu buat kita.”
“Maksud
Bunda bukan kita, Charles,” sahut Bunda jengkel. “Maksud Bunda tuh zaman dulu.
Abad sebelumnya, sebelum kita ada di sini. Tentu, sekarang ini kita memulai
abad baru,” imbuhnya diiringi cibiran, sedang matanya menerawang sementara ia
mengisi ulang sherry, dengan linglung
memiringkan botol semakin tinggi hingga minumannya bergolak di tepian gelas.
“Tapi betapa senangnya mesti dulu itu, betapa senangnya …” sambil menggelengkan
kepala dan tersenyum gembira tanpa menyadari aku mengangkat gerendel pintu dan
mengeluarkan diri ke ruang depan yang berangin ribut.
Aku
tidak bisa mengunjungi Bunda sesering yang semestinya, dan aku sungguh khawatir
soal dia. Aku pernah menelepon Cedars, untuk menyelidiki kemungkinan
mengembalikan Bunda ke sana, sebentar saja. Tetapi ada suatu masalah dengan cek
yang terakhir, sehingga aku tidak mengungkitnya lagi.
Demikianlah
aku menjalani kehidupanku yang baru. Jam kerjaku berarti aku jarang bicara pada
orang, dan aku cocok dengan kondisi tenang seperti itu. Rasanya seperti
berenang di bawah permukaan air, melewati reruntuhan suatu kota yang telah
tenggelam.
Lalu
pada suatu malam aku mendapat telepon.
Saat
itu malam musim dingin yang getir lagi membekukan sebagaimana biasa, saking
dinginnya di gudang hingga seragam-seragam tampak menggigil di relnya dan ingin
menggosok-gosokkan kedua tangan, seandainya mereka punya tangan. Pada waktu
istirahat pukul delapan aku pergi ke kampung mencari kopi untuk menghangatkan
diri. Ketika kembali, tidak tampak ada yang luar biasa. Rosco sedang bekerja di
ujung ruangan. Tumpukan kardus sebagaimana adanya sewaktu kutinggalkan. Namun
entah bagaimana hawa terasa menguat;
hiperreal, seakan-akan roda fokus telah bergulir dan ada kecerahan baru yang
ditambahkan. Aku menunggu sejenak di pintu, memandang ke ruang depan yang
dingin, lantas menyadari bahwa ada bunyi ponsel.
Dengan
dada terasa sesak, aku melacak suara itu, melewati kabin mandor, melewati
daun-daun pintu, menyusur gang tempat seragam perawat hingga sampailah aku di
meja tulisku, dan mengangkat setumpuk formulir pesanan untuk menemukan ponsel
Bel.
Aku
menyimpan benda itu lebih sebagai suvenir daripada apa pun selainnya, suvenir
atau piaraan. Droyd telah menunjukkan kepadaku cara kerjanya, cara membuka
kuncinya, dan mengisi tenaganya. Tetapi aku tidak pernah menggunakannya, selain
untuk mengagumi layar hijau kecilnya, dan hampir tidak ada yang seorang pun
yang pernah menelponku. Namun kali ini benda itu bernyanyi. Aku mengambilnya
dan menekan tombolnya. Sebuah suara berkata, “Charles?”
Seluruh
gudang, seluruh dunia, partikel-partikel di udara terasa membeku dan tertahan
tanpa bergerak.
“Halo?”
kata suara itu.
“Ya,
ya, ini aku,” terburu-buru.
“Sedari
tadi aku berharap kamu mengangkatnya,” kata suara itu.
Aku
tenggelam ke kursi.
“Kok
kamu diam saja?”
Jantungku
bergemuruh, itu sebabnya. Aku menyeka titik keringat yang beku di dahiku, dan
berkata, diiringi daya upaya, “Ini kamu?”
“Tentu
saja ini aku, kamu enggak mengenaliku?”
“Enggak,
aku—sial,” ponsel sialan ini kecil
banget, terus-terusan melesap dari tanganku, “sialan, kami semua mengira kamu
sudah—“
“Sepertinya
begitulah idenya.”
“Begitulah
…?” menanjak lagi, terperangkap dalam campur-aduk emosi tak keruan yang
berkisar dari lega, ke syukur, ke sawan: “kami tuh khawatir banget—bukan khawatir lagi, kami—maksudku segala
kesedihan, keegoisan ….”
Hening
di ujung sana. Untuk sesaat yang terasa penuh teror, kukira aku telah menakuti
dia. Lantas suara itu berkata: “Aku tahu. Aku minta maaf. Tapi aku enggak
menyangka kalian bakal mengira—maksudku kupikir kalian dapat menebaknya.”
“Menebak
apa?”
“Nama.”
“Nama?”
Nama,
ia mengulang, nama, ayolah, Charles: yang lambat laun melintas di benakku.
Jessica Kiddon: Jess Kiddon: Just Kidding.
Cuma bercanda.
“MacGillycuddy,”
napasku tertahan.
“Mungkin
waktu itu mending aku pakai nama Tempora Mores saja,” renung Bel.
Cuma
bercanda: itu salah satu kecongkakan McGillycuddy, aku bisa
mengenalinya seketika, dan seketika itu pula aku tidak percaya telah meluputkan
tebakan ini. Semestinya aku tahu dia terlibat. Semestinya aku tahu bahwa
menyingkirkan dia dari kehidupan kami itu umpama meminta jin agar sudi masuk
kembali ke botolnya, atau berusaha mengusir banteng beringas dengan lap merah
besar. Sebelum Bel berkata lagi, beberapa fenomena aneh lainnya
sekonyong-konyong menjadi jelas. Undangan makan malam yang tak sampai;
teman-sekolah misterius yang tak ada di buku tahunan; suara menebang yang
kudengar malam itu, rupanya sedang membersihkan jalan di antara pepohonan untuk
dilalui mobil, ke tebing yang sama yang waktu itu MacGillycuddy bersikeras agar
aku jatuh dari sana alih-alih meledakkan diri. Tidak ada kelas khusus orang
berbakat di Yalta. Tidak ada Jessica Kiddon. Bel mencuri keseluruhan ide ini
dari aku dan penerbanganku ke Cile yang gagal itu—yang mana, menimbang
kata-kata tak memuji yang dia sampaikan soal itu pada waktu itu, merupakan ide
yang cukup berharga.
Malah
rencana Bel, sebagaimana yang diterangkannya padaku pada malam itu, memang
lebih mendetail daripada rencanaku dahulu. Harus demikian, kata Bel. Ia tidak
punya uang sendiri, sehingga satu-satunya cara untuk mendanai pelariannya adalah dengan menciptakan
persona baru ini, gadis terhormat yang dapat membujuk Bunda untuk menyumbang
sejumlah yang dibutuhkan. Lebih lanjut lagi, mengakrabkan kami semua dengan
Jessica yang fiktif (di sini aku teringat akan percakapan genit kami sesudah
balapan grehon waktu itu, dan wajahku memanas) akan menyediakan Bel waktu serta
cara untuk mengaburkan jejak setelah keberangkatan awalnya. Idenya yaitu
bepergian ke Rusia dengan nama sendiri, dengan samaran perjalanan Chekhov itu.
Sejauh yang kami ketahui waktu itu, Jessica akan membersamai Bel dan segalanya
terlihat baik-baik saja. Baru ketika Bel berada di Rusia segala tipuan dokumen,
paspor, dan sebagainya yang telah disiapkan MacGillycuddy itu memainkan
peranannya. Aturannya, Bel akan punya waktu enam bulan (lama waktu kelas palsu
itu) untuk melebur jadi Jessica—Jessica, yang tanpa akar, tanpa latar belakang,
dapat menghilang dengan cukup mudah dan tidak akan terlacak—sehingga Bel meluluh, tanpa kekacauan, kesakitan, ataupun
kepusingan logistik gara-gara kematian palsu yang telah terjadi, tenggelam atau
meledak atau tabrakan mobil.
Tetapi
Bel benar-benar menabrakkan mobil,
kataku, kebingungan. Buat apa mengatur rencana sedemikian terperinci,
mengerjakan segala landasan itu, lantas pada saat-saat terakhir mengabaikannya
demi tabrakan—membebani segala kekacauan itu pada kami, segala luka itu?
“Bagaimana
teaternya?” tanyanya enteng, tahu-tahu saja mengubah topik. “Bagaimana Harry,
Mirela, dan segala rencana untuk Amaurot itu?”
Sejenak
aku merasa terempas. Karena teaternya sudah lenyap, tentu saja. Berbagai
rencana untuk Amaurot—renovasi, patung, perkawinan seni dengan niaga, pertunangan Harry dengan Mirela—segala hal ini telah hancur bersamaan dengan si
Mercedes hijau-botol. Tetapi baru kemudian terlintas olehku bahwa ini memang
disengaja: tabrakan itu memang aksi sabotase yang disengaja, untuk mencabut
rumah ini dari masa depannya dan meninggalkannya dalam kegelapan selayaknya
orang memutus listrik, atau penangguhan eksekusi, yang mana pun lah. Aku diam
saja sementara pikiran ini menguat, sementara pikiran-pikiranku selainnya
mencari tempat di seputarnya. Lantas aku berkata, “Semuanya baik-baik saja.
Semuanya sehat wal afiat.”
Aku
berdiri, dan melangkah ke pintu gudang. “Di sana bagaimana keadaannya, Bel?”
“Kamu
bakal suka,” ucapnya. “Semua orang gemar minum vodka.” Ia tertawa, dan aku
tertawa juga, seraya mengayun-ayunkan ponsel yang menempel pada rahangku serta
memindai halaman mobil di luar. Sebab di film tentang kehidupan kami, pastinya demikian adegan itu akan
tampak: aku akan sedang melihat dia memandang padaku dari boks telepon yang
cuma beberapa yar jauhnya ….
“Kamu
bakal pulang, enggak? Bolehkah aku mengingatkanmu bahwa tidak ada tempat
seindah rumah?”
“Mungkin
kapan-kapan,” ucapnya. “Atau mungkin suatu saat kamu yang kemari. Tetapi
sebaiknya aku pergi sekarang. Supaya kamu bisa kembali bekerja.”
“Yah
… terima kasih, ya, sudah menelepon.” Aku berbalik ke dalam, pada langit-langit
akrilik, garmen yang menggantung sunyi.
“Dengan
senang hati.”
“Selamat
Tahun Baru, masa lalu.”
“Selamat
Tahun Baru, Charles.”
[1] Acara tahunan yang
diselenggarakan oleh klub berburu rubah di Inggris dan Amerika Serikat. Acara
ini biasanya diadakan pada musim liburan dengan busana formal, meliputi makan
malam dan dansa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar