Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170127

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (3/6) (Paul Murray, 2003)

Enggak percaya aku,” Laura menempelkan sebelah tangan ke dadanya.

“Apa kabar, cuk?” Frank melenguh, sambil membentangkan kedua lengannya lebar-lebar.

Laura melambung ke dalam rengkuhan Frank disertai pekikan gembira. “Enggak percaya aku,” sahutnya lagi, agak teredam oleh pelukan Frank.

“Enggak percaya apa?” Bel menanyai Laura saat akhirnya muncul kembali.

Dengan wajah merah akibat kemujuran yang tak disangka-sangka, Laura mulai tak putus-putusnya menceritakan. Kepayahan aku duduk dan mulai meminum gelas anggurnya. Tampaknya Frank salah seorang penggembira-liburan yang jangak itu di Yunani: malah, ialah salah seorang penjambret-kaus kesayangan Laura.

“Aku enggak akan pernah melupakan malam itu,” tawa Laura, berulang-ulang.

“Aku juga,” Frank mengerling, seraya memandangi dada Laura yang molek.

“Ingat si pramuniaga itu ... siapa itu namanya ... yang seperti makanan pesan saji ....”

“Onion Bhaji!” raung Frank girang. “Onion Bhaji, si kontol!”

“Ingat enggak sewaktu temanku Liz mau sanggama sama dia dan dia lagi di kamarnya sanggama sama teman satu flatnya dan tahu-tahu Liz masuk terus bilang, ‘Jangan habisin sperma kamu sama dia--‘“

“Inget enggak waktu kita terus jalan-jalan terus dia ngabisin sangria terus kita lempar dia ke jurang--“
Mereka mendongak dan tertawa terbahak-bahak.

“Apa dia bilang sperma ...?” aku membisiki Bel.

Bel tengah mengawasi pasangan itu disertai senyum samar.

“Ehem, Bel--“

“Charles,” ujarnya tanpa melihatku, “kita mesti tambah anggurnya. Kemungkinan kami akan berada di sini lebih lama.”

Leganya turun ke gudang, menutup pintu dol pada kenangan cabul keduanya serta kehidupan mereka setelah itu yang jauh dari pengharapan, dan menghirup hawa lembap berlumut. Ada sesuatu pada gudang itu--bilah-bilahnya yang tanpa cat, beton pada dindingnya yang bebercak, derit gusar lantai papannya saat diinjak--yang selalu memperbarui diriku. Sambil menuruni anak tangga reyot, aku merasa betapa senangnya aku karena Bel sudah pulang, dan betapa sebenarnya makan malam tadi tidak sebegitu buruknya; bahkan mungkin aku terkikik sesekali, mengingat obrolan Laura yang tak tertahankan. Lantas aku melihat rak. Hampir semuanya kosong.

Dengan sangsi aku memindai bilah demi bilah. Label-label mubazir pada rak balas menengok padaku dengan kuyu bagaikan deretan nisan putih kecil. Awalnya, dengan tololnya, kukira botol-botol itu mungkin disimpan di tempat lain. Aku menengok ke balik tong-tong besar dari kayu ek, ke bawah kabel listrik yang menyemak, ke sela peti-peti kayu berisi botol kosong di dekat tangga. Lantas aku cuma berdiri, termangu-manggu. Yang tersisa cuma sebuah rak berisi sopi manis yang meragukan, oleh-oleh untuk keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak seorang pun, hingga sekarang, terpaksa membukanya. Yang lain semuanya sudah ada yang mengambil. Tanganku gemetar. Pertama Laura, sekarang gudang, gudang yang tidak boleh diganggu gugat--seolah-olah dunia sedang mengejekku, mengerahkan segala kuasanya yang dungu: Upayamu sia-sia, katanya. Kamilah pemenangnya.

Beberapa saat aku benar-benar kebingungan. Lalu kuhirup napas dalam-dalam. Malam belum berakhir. Aku masih punya kesempatan untuk mengakhiri teror Frank yang merajalela. Sambil mengertak-ngertakkan gigi, aku meraup serangkul sopi manis yang tak dapat dimenungkan lagi dan menyerbu balik menaiki tangga.

Frank sedang merangkum pembalasan dendamnya yang gemilang pada bajingan dari pub siang itu; Laura memandanginya kagum, mengikuti setiap perkataannya yang keji itu. Bel telah menggeser kursi demi merangkulkan lengan menyatakan kepemilikan pada Frank.

“--jadi habis kami ngempesin bannya, kami pecahin jendelanya terus ambil radionya, terus kami bakar, ngerti kan, terus kami ke rumah dia tempat dia tinggal bareng Neneknya, di kebunnya ada orang-orangan katai, jadi kami angkatin tuh mereka terus kami lemparin ke rumahnya sambil teriak, tahulah, Keluar, bajingan, sampai dia keluar. Dia ada linggis adiknya si bangsat Rory ada pompa sepeda, kami ada tripleks dua kali empat inci terus--“

“Maaf menyela, ada yang mau, ah, Rigbert’s? Ini terbuat dari loganberi asli ....”

“Kamu enggak takut?” sembur Laura.

“Enggaklah, kami langsung aja, duk, buak--selesai deh beberapa menit doang.” Frank duduk lagi, menyesap Rigbert’s bagiannya, dan mengendus-endus dengan gaya Napoleon, “Kayaknya tuh bajingan enggak bakal kedengaran lagi kabarnya.”

“Kamu ini mengagumkan, ya,” goda Bel, sambil menggelitiki siku Frank. Frank tampak dongkol.

“Tetapi bagaimana jika ia mengejarmu?” mendadak terpikir oleh Laura, sambil mendekatkan sebelah tangannya yang menciut ke mulut.

“Dia enggak bakal berani,” Frank mendengus, “kalaupun iya, tahulah dia kepalanya bakal kutendang lagi, malah lebih parah.”

Laura menanggapi dengan “Wow” yang kepanjangan seolah-olah ia sedang meleleh. Meskipun ia yang mengucapkan, kedengarannya sangat erotis dan sesaat aku merasa cemburu.

“Tinggal sama Neneknya,” Frank meremehkan, “dasar memek.”

“Charles, dari mana kamu mendapatkan ini?” Wajah Bel merengut jijik. “Ini benar-benar menjijikkan.”

“Ada di gudang bawah. Sepertinya itu pemberian bibi perawan kejam dari pihak Bunda, yang tinggal di gudang kapal itu.”

“Rasanya sangat ganjil.”

“Sepertinya itu yang dimaksud dengan ‘sentuhan kelembak liar’. Kurasa ini bisa jadi selingan--toh kedua orang ini hampir-hampir enggak bakal memerhatikan.” Aku mengangguk pada tamu kami, yang sedang asyik mengobrol, dahi nyaris bersentuhan. “Kamu enggak kesal?”

Bel tertawa congkak. “Itu mah seperti cemburu,” sahutnya, “sama sekarung butiran gabus.”

“Mmm.” Aku melipat kedua tangan dan melempar sekilas pandangan sayu pada si karung berisi butiran gabus yang gagal membuatku tertarik. “Jadi ke mana kamu tadi? Apa kamu membantu membakar rumah celaka itu?”

Charles,” ia mengibaskan tangan tak sabar. “Kuharap kamu berhenti sama sekali melebih-lebihkan segalanya seperti itu--“

“Yah dia bilang ....”

“Ah, dia sama busuknya denganmu, dia cuma mencoba mengesankan si cewek dungu itu. Separuh ceritanya cuma karangan, itu mainan bocah-bocah tolol yang cepat atau lambat bakal membosankan dan dilupakan.”

“Yang menarik dari Titanic,” kata Laura, “ialah karena itu mengesankan bagi semua orang.”

Bel menarik lengannya dari Frank dan, sambil berpura-pura sedih karena prihatin sebagai saudari, menyeret kursinya ke arahku. “Jadi,” bisiknya, “apakah ia sama sekali sesuai dengan harapanmu?”

“Jangan, Bel, aku sudah cukup menderita semalaman.”

“Sebegitu burukkah?” tanya Bel, sambil berusaha menyembunyikan kegirangannya.

“Tadi itu malapetaka. Maksudku, seenggaknya Frank itu meriah dengan gayanya sebagai bocah badung. Laura itu kayak overdosis valium.”

“Lantas, diakah yang kamu sebut-sebut Golem itu?”

“Dia itu Pemimpin Tim Golem,” sahutku pilu.

“Dia memang kelihatan semakin parah sejak kali terakhir aku bertemu dengannya,” renung Bel. “Meski begitu, Charles, ini salahmu sendiri. Maksudku beginilah yang terjadi ketika kamu memilih cewek dari buku tahunan sekolah.”

“Di fotonya dia sangat menarik ....”

“Itulah makanya--terima kasih, Mbok P,” sementara Mbok P masuk untuk beres-beres, menumpuk piring-piring di sebelah tangan dan pergi lagi dengan tangkasnya, “tetapi itulah makanya kamu harus keluar mengenal dunia nyata dan bergaul, kerjakan apalah--“

Aku bergumam tak jelas, seraya membayangkan diriku berkeluyuran di padang belukar Cile membawa-bawa tiara plastik serta Buku Pengembangan Diri--

“Serius deh, sebab, Charles, itu benar-benar enggak bakal berhasil, jatuh cinta sama orang mentang-mentang dia cantik, atau karena namanya persis seperti yang ada di filmnya Gene Tierney.”

“Itu juga alasan yang layak,” aku keberatan, mendadak merasa emosional. “Lagi pula, bagaimana jika sebagian orang memang enggak merasa cocok dengan dunia nyata, dan mereka sadar mereka enggak akan pernah merasa cocok, maka pastinya lebih baik bagi semua orang kalau sebagian orang itu tetap memencil, dan, dan ....”

Aku sampai berkeringat, dan pastilah aku sudah bersuara dengan keras. Frank tengah menggambar semacam peta untuk Laura, sehingga tampaknya mereka terlalu asik untuk menangkap-dengar; namun Bel memerhatikanku sungguh-sungguh, agak seperti pada malam kami mengetahui tentang persoalan dengan bank. Kepalaku pening. Kuhabiskan sisa Rigbert’s bagianku, merasa malu.

“ ... tinggal di biara?” ia menandaskan kalimatku.

“Sepertinya ada semacam panduan Michelin untuk biara ....”

“Di situ Pojok Baker,” Frank menunjuk tabung garam, “di sini Gang Kill, botol saus ini, ya? Jadi Ziggy di sebelah sini, di samping Texaco. Terakhir kali kami di sana aku sama ini orang Droyd, ya, dia ada empat belas gandar sedang aku ada sebelas--“

“Cowokku tadinya mau pegang Texaco situ,” ujar Laura sendu.

Jarum panjang jam kembali menapaki angka dua belas. Aku mendengar Mbok P naik ke tempat tidurnya. Sekarang mestilah MacGillyguddy sudah berjaga di luar bersama kameranya; di luar di mana aku bisa melihat bayang tajuk pepohonan lewat pantulan ruangan pada kaca.

“Charles, bagaimana kejadiannya kamu dan si Patsy itu?” Bel menggambar sketsa tak kasatmata dengan jarinya pada daun meja. “Kamu sempat benar-benar menyukai dia, kan?”

“Ah, dia ....”

“Lalu kamu berhenti bergaul dengan teman-temanmu--mengapa? Ada kejadian apa?”

“Dulu itu cuma masanya bersenang-senang. Ah, menurutmu aku seharusnya sudah berumah tangga, begitu? Memperoleh waris untuk kekayaanku yang telah raib?”

“Yah, kamu enggak mungkin bersenang-senang seterusnya, kan? Maksudku, Charles, sendirian saja di sini tuh enggak menyenangkan ....”

Sementara ia berbicara, mendadak aku merasa gelisah. Ia tidak mengangkat kepalanya, namun jarinya bergerak semakin cepat di permukaan kayu.

Kuraih botol yang labelnya bergambar gajah. “Kamu belum memberitahuku ke mana kamu pergi bersama Frank hari ini.”

“Kalau kamu mesti tahu,” sahutnya tenang, “sepanjang sore kami melihat-lihat flat.”

“Flat?” Tiram-tiram berjempalitan dalam perutku.

“Ya, kami mau tinggal bareng.” Dengan raut asing ia menyesap sopi manis yang baru dibuka, dan tersedak-- “minuman apa sih ini?”

“Entahlah,” sahutku tak jelas. “Mungkin sesuatu dari gajah.” Di benakku segalanya berpusar bagai putaran korsel yang tak terkendali.

“Ini lebih enggak enak lagi daripada yang lain, ini mah enggak bisa diminum ....” Ditenggaknya minuman itu sedikit lagi, sementara jemari di tangannya yang lain agak gemetar. “Lagi pula enggak perlulah kamu sampai bertingkah berlebihan. Tinggal bareng itu enggak mesti untuk selamanya, enggak seperti kami mau menikah atau apalah. Aku harus keluar dari sini dan aku enggak punya uang, jadi itu keputusan yang logis.”

“Tetapi ... tetapi apa ...” aku sadar tidak ada gunanya mengutarakan ini, namun aku tidak tahan: “Bel, apa sih yang kamu lihat dari dirinya?”

Wajahnya jadi kelam. “Begini ya, apa pun yang kukatakan kamu akan bersikeras memandang Frank sebagai monster. Tetapi dia bukan monster. Dia itu orang, dia manis, baik, dan enggak berpura-pura menjadi apa pun yang bukan dirinya, dan lagi pula dia enggak ada urusan dengan tempat ini, atau dengan Holy Child, Trinity, Bunda, Ayah, atau siapa pun teman-teman mereka--“

Kata-kata dan perasaan memancar di dalam diriku: aku gelisah hendak memberi tahu dia segalanya--bukan saja tentang menorah dan kursi yang dimaling serta kejadian di gudang, melainkan tentang Cile, MacGillycuddy, Folly, dan Patsy Olé--tetapi aku sadar tidak peduli yang kukatakan, pikirannya tidak akan berubah. Sikap Bel pada nasihatku ialah mempertimbangkannya secara hati-hati hingga mengarah pada tindakan yang sama sekali berkebalikan dan menjalankannya.

“Ada panel yang bisa dibuka di atapnya,” Laura tengah berkata, “tetapi kapan-kapan aku ingin memiliki salah satu jip itu, tahu kan, seperti Mitsubishi Pajero.”

“Hanya saja kamu memiliki seumur hidupmu, dan--“

Bel memukulkan tangannya ke meja. “Kenapa kamu berbuat ini padaku?” jeritnya. “Yang kamu perbuat cuma berusaha terdengar seperti yang menurutmu akan dikatakan Ayah jika ia mau repot-repot berbicara padaku!” Aku tersentak. Sejenak Frank memandang sekitarnya. “Ini lain,” ucap Bel, lebih pelan. “Ini rasanya seperti berada di dunia lain tempat kita enggak selalu tahu yang akan terjadi, waktunya makan malam dihidangkan. Ini membuatku merasa hidup.”

“Kamu mungkin saja agak meromantiskan itu, enggak sih?”

“Aku enggak berharap kamu mengerti,” sahutnya dingin.

Aku tidak berpikiran apa pun untuk menanggapinya; bisa saja ia benar. Bel membalikkan kursi ke arah Frank, dan anehnya aku merasakan nyeri yang mengherankan bahwa meskipun aku akan pergi ke Cile, namun dialah yang akan meninggalkanku.

Sopi manis itu mulai berpengaruh; Laura mengoceh sementara pipinya kembali berpijar merah jambu dan matanya berkilau pusing akibat alkohol. Omongannya bercampur dengan kikih dan tamparan kenes. Bel tersenyum sendu dan tidak mau melihatku.

“Kamu lihat?” Laura menarik kerah blusnya dan menampakkan tali behanya pada Frank. “Magenta.”

“Buatku ya merah saja kelihatannya,” Frank melirik pada batang leher Laura yang seputih tulang.

“Warna itu ada lagi namanya sendiri-sendiri,” ujar Laura. “Misalnya cerulean, warnanya semacam biru. Mata Christabel warnanya seperti itu. Semasa sekolah aku iri sekali pada matamu--aku enggak pernah bilang-bilang padamu, Bel.”

“Benarkah?” Walau cahayanya remang-remang, aku bisa tahu dari cara Bel menundukkan kepala wajahnya memerah.

“Waktu itu aku enggak tahu namanya, kukira itu cuma biru? Tetapi kemudian aku melihat-lihat pemulas mata di Boots[1] dan ada satu yang persis warna itu, cerulean .... Aku penasaran apakah matanya Charles warnanya begitu juga dan ternyata iya!” Ia menyorotiku. Mungkin wajahku juga jadi agak memerah.

“Jadi celana dalam kamu warnanya pasti sama kayak behanya?” selidik Frank dengan mimik bak antropolog.

Aku menendang Bel di bawah meja. Ia mulai tertawa.

“Aku lumayan paham,” kataku.

“Aku tahu,” sahutnya. “Minta lagi dong ramuan gajah yang mengerikan itu?”

Aku menuang segelas untuknya, dan menguap sambil lalu. “Harus segera disudahi, tetapi ....”

“Hah, kalian mau berduaan?”

“Aku ingin ke tempat tidur, memperjelas selagi obrolan soal pakaian dalam ini jelas-jelas terjadi. Lagi pula, bukankah aku sudah memberitahumu? Ia sudah punya pacar sampai lima tahun ini.”

“Masak sih!” ejek Bel jijik. “Hah, ketimbang menantimu, pria yang belum pernah dijumpainya?”

“Bukan, tetapi ... maksudku sepanjang waktu yang kuhabiskan untuk merindukannya, menulis lagu-lagu untuknya, dan seterusnya--“

“Kamu baru menulis satu lagu, Charles.”

“Yah, baiklah, tetapi biar begitu aku terus merasa--tahu kan, ketika cewek yang di­­­kenal ternyata enggak sesuai harapan--bahwa bagaimanapun juga dia itu jauh.” Aku menggeleng. “Lima tahun. Dengan karyawan SPBU bernama, bernama Dec!”

Soalnya aku enggak bisa memutuskan Dec, ialah yang berbaik hati memutuskan aku--“

“Ya, lucu sekali--oh.” Lampu-lampu padam tanpa suara.

Laura menjerit. Terdengar denting kaca. “Kenapa ini?” suaranya gemetar.

“Mati lampu,” suara Bel terdengar kecut.

“Mungkin sekringnya,” sahut Frank dengan nada cuek yang terlatih.

“Aku akan memanggil Mbok P,” kataku, seraya bangkit dan meraba-raba mencari tali lonceng. Kegelapan ini memeningkan. Di sekitarku pernak-pernik berjatuhan ke lantai.

“Ah, biar ia tidur saja, Charles, ya ampun, sekringnya bisa kita ganti sendiri lah ....”

“Gelap banget ....”

“Pasti korsleting nih.”

“Ya Tuhan--tidakkah menurutmu mereka--Charles, kamu ingat melihat tagihan listrik? Aku cukup yakin kita membayar dengan debit langsung, tetapi--“

“Aku enggak begitu ingat, ada banyak banget sih ....”

“Oh ya Tuhan,” sahutnya putus asa.

“Ah, jangan khawatir ... sini ....”

“Apa rumah-rumah lain lampunya menyala?”

“Rumah-rumah lainnya enggak bisa dilihat dari sini,” kataku, sambil cepat-cepat menghalangi Laura dari jendela.

Terdengar bunyi garukan lalu wajah Frank muncul dalam nyala geretan; Laura terhenti sebelum sampai kembali ke kursinya, mendapati Bel telah menempatkan diri di pangkuan Frank. “Ada lilin?” tanya Frank.

“Ada disimpan Mbok P di dapur,” sahut Bel, tanpa bangkit. Frank mencuri kesempatan dalam gelap untuk meremas-remas Bel secara tidak senonoh.

Gelap banget,” ucap Laura muram, sambil memeluk dirinya sendiri erat-erat dan berbalik mondar-mandir tak keruan di jendela.

“Ya ya, aku ambilkan deh,” sahutku gusar.

“Aku takut sekali,” Laura hampir-hampir berbicara sendiri--dan terpaku: “Ya Tuhan! Ada orang di luar!”

“Apa?” sahut Bel, separuh bangkit--

“Jangan konyol ah! Frank, berikan geretanmu dan akan kubereskan ini--“

Ada kok, ada orang yang berdiri di luar situ--“

“Hei, itu, itu mungkin cuma pohon atau apalah,” sambil menggiring pundaknya kuat-kuat dan memalingkannya dari jendela, “bagaimana kalau kamu ikut denganku mencari lilin?”

“Oke ...” ia mengekor keluar dengan patuhnya dan menyusuri lorong. “Oh--Charles, itu tanganmukah?”

“Oh ya, maaf--“ jelas ia tidak ingin diremas-remas--

Kami pun masuk ke dapur yang lengang. Laura menyandarkan diri pada meja sementara aku mengubrak-abrik laci yang tidak terkira banyaknya. “Jadi sudah berapa lama Christabel dan Frank berpacaran?”

“Entahlah--bisakah kamu memegangkan geretan ini, hati-hati ini panas--sekitar sebulan, mungkin?”

“Mereka serius?”

“Yah, tampaknya mereka mau tinggal bareng.”

“Oh,” sahutnya dalam-dalam.

Aku lalu berjongkok ke lemari di bawah bak cuci piring, sambil dinaungi penerangan yang tak merata mengorek-ngorek sabut Brillo, sikat-sikat yang bentuknya aneh, botol-botol plastik tebal berisi pemutih dan detergen, surat-surat bercap pos Perancis, Jerman, Slovenia, peta-peta--tunggu, surat-surat? peta-peta?--tetapi ini dia lilinnya, tidak sempat mengusut ini sekarang: “Nih, kamu ambil satu,” sambil menyalakan punyaku dari sumbu lilinnya dan bergegas kembali ke luar menuju ruang makan. Aku mulai berpikir jangan-jangan korsleting ini berkah tersembunyi. Tidak mungkin Laura dapat mengasuransikan semua barang yang lainnya, jadi sudah pasti ia akan pulang; dan kegelapan bakal semakin merangsang Frank untuk menyambar, yang karena itulah kami perlu memasang lilin-lilin ini dan menerangi ruangan sesegera mungkin--“jadi ... Charles, kamu bekerja atau ...?” wajahnya terangguk-angguk sopan ke arahku dalam cahaya lilin.

“Apa?”

“Pasti menarik sekali, ya, tinggal di rumah seperti ini?”

“Oh ...” Apakah aku sedang berkhayal, atau memang mendapati perubahan dalam nada suaranya--perhatian yang sebelumnya tidak ada? “Oh, ya, yah, memang menarik, tahulah, tetapi bisa membebani juga--“

“Oh, maaf--“ sementara ayunan tangannya menyapu tanganku--

“Enggak apa-apa--eh, ini rada seperti adegan di La Dolce Vita, ya?”

“Mmm, yeah, aku baru saja berpikiran ....”

Seakan ada yang memberi aba-aba, muncul rintihan pelan dari atas. Laura mencengkeram lenganku.

“Siapa di situ?” ada suara parau berseru. “Siapa yang lagi jalan di situ?”

“Ini kami,” aku balas berseru, sementara Laura mendesakkan dirinya padaku. “Aku dan Laura.”

“Siapa itu?” bisik Laura. Bisa kucium napasnya, sarat oleh anggur dan Rigbert’s.

“Ini Mbok P ...” Tangga itu mengerang lambat-lambat. Mbok P mengitari susuran tangga dengan gaun putih panjang agak longgar yang samar-samar menerawang dalam gelap.

“Ada korsleting,” kataku. “Kami sudah ambil lilin, Mbok tidak perlu turun.” Tangga itu terus mengerang satu demi satu. Jemari Laura mengetat di seputar lenganku. “Begini saja,” ucapku padanya, “bagaimana kalau kamu terus ke ruang makan sedang aku menyusul segera setelah aku mengembalikannya ke tempat tidur.”

Setelah sesaat bergeming saja, sambil menatap sosok putih itu, Laura melepaskanku dan memelesat dalam kegelapan. “Nah sekarang,” kutegur Mbok P, “kebetulan kami sedang ada perjamuan, seperti yang sudah Mbok ketahui, dan kukira tidak sepatutnya Mbok berkeluyuran dengan baju tidur--“

“Apa yang terjadi?” sahutnya. “Apa yang terjadi dengan rumah ini?”

“Korsleting, kan baru saja kuberi tahu,” ia mulai merisaukanku, “jadi kalau Mbok mau lilin, baiklah, dan kalau tidak maka sebaiknya Mbok mesti kembali ke tempat tidur, sebab terus terang saja Mbok mulai agak, ah, menyeramkan.” Rambutnya kusut dan menjuntai lemas di sekujur punggungnya; gaunnya ketinggalan zaman, dengan kancing pada manset dan leher. Sekarang ia berada cukup dekat denganku sehingga tampak rautnya yang dingin. “Nah, Mbok P--“

Ia menuruni beberapa anak tangga yang penghabisan sambil sebelah tangannya memegang susuran. Ia bergumam sendiri, lantas menatap tegang padaku. “Mereka datang, mereka datang kembali. Beginilah pada awalnya.”

“Awalnya apa? Mbok mau ke mana?”

Ia sampai di kaki tangga dan berjalan melewatiku, menikung ke kanan dan memanggil-manggil, “Mirela, kamu di mana? Kita mesti cepat-cepat--“

“Eh,” kusemburkan dehaman pada sosoknya yang lamat-lamat menjauh. “Eh, lihat kemari, Mbok P--aduh!” Segumpal lilin panas bergulir menuruni batang lilin ke punggung tanganku. “Eh--sialan--hei, aku benar-benar harus pergi dan meletakkan ini, jangan ke mana-mana, ya--“ sambil bergegas ke ruang makan sementara Mbok P berjalan seenaknya ke arah berlawanan, persegi putih yang merayau meredup dan mengecil.

“Dia kenapa sih?” tanya Laura sementara aku mencari-cari kandil.

“Enggak apa-apa, cuma agak--ke mana Bel dan Frank?” Laura sendirian saja di ruangan itu, terpajang lesu di depan kabinet dari kayu sonokeling. Sepertinya dialah yang mesti dipasangi lilin.

“Enggak tahu,” ujarnya, disertai kedikan bahu tersirat--seakan-akan memberi kesan bahwa kejadian ini tidak mesti dianggap buruk. “Pasti sudah ke tempat tidur.”

Aku merasa ia memberi sedikit tekanan pada kata terakhirnya; tetapi aku tidak yakin. Aku memasukkan lilin ke suatu tempat. Sekarang aku bisa melihat Laura dengan jelas. Ia sedang mengarahkan pandangannya dengan polos ke perapian, seakan termenung: namun sudah pasti telah terjadi suatu perubahan. Bahkan cara berdirinya pun lain. Ia bersandar pada kabinet dengan pinggul tersorong tak senonoh, sementara kedua tangannya masuk ke saku; kancing blusnya terbuka dan berhelai rambutnya melekat acak secara erotis pada dahinya.



[1] Toko kecantikan di Irlandia