“Enggak percaya aku,” Laura menempelkan sebelah tangan ke dadanya.
“Apa kabar, cuk?” Frank
melenguh, sambil membentangkan kedua lengannya lebar-lebar.
Laura melambung ke dalam
rengkuhan Frank disertai pekikan gembira. “Enggak
percaya aku,” sahutnya lagi, agak teredam oleh pelukan Frank.
“Enggak percaya apa?” Bel
menanyai Laura saat akhirnya muncul kembali.
Dengan wajah merah akibat
kemujuran yang tak disangka-sangka, Laura mulai tak putus-putusnya
menceritakan. Kepayahan aku duduk dan mulai meminum gelas anggurnya. Tampaknya
Frank salah seorang penggembira-liburan yang jangak itu di Yunani: malah, ialah
salah seorang penjambret-kaus kesayangan Laura.
“Aku enggak akan pernah
melupakan malam itu,” tawa Laura, berulang-ulang.
“Aku juga,” Frank mengerling,
seraya memandangi dada Laura yang molek.
“Ingat si pramuniaga itu ... siapa itu namanya ... yang seperti makanan pesan saji ....”
“Onion Bhaji!” raung Frank
girang. “Onion Bhaji, si kontol!”
“Ingat enggak sewaktu temanku
Liz mau sanggama sama dia dan dia lagi di kamarnya sanggama sama teman satu
flatnya dan tahu-tahu Liz masuk terus bilang, ‘Jangan habisin sperma kamu sama
dia--‘“
“Inget enggak waktu kita
terus jalan-jalan terus dia ngabisin sangria terus kita lempar dia ke jurang--“
Mereka mendongak dan tertawa
terbahak-bahak.
“Apa dia bilang sperma ...?” aku membisiki Bel.
Bel tengah mengawasi pasangan
itu disertai senyum samar.
“Ehem, Bel--“
“Charles,” ujarnya tanpa
melihatku, “kita mesti tambah anggurnya. Kemungkinan kami akan berada di sini
lebih lama.”
Leganya turun ke gudang,
menutup pintu dol pada kenangan cabul keduanya serta kehidupan mereka setelah
itu yang jauh dari pengharapan, dan menghirup hawa lembap berlumut. Ada sesuatu
pada gudang itu--bilah-bilahnya yang tanpa cat, beton pada dindingnya yang
bebercak, derit gusar lantai papannya saat diinjak--yang selalu memperbarui
diriku. Sambil menuruni anak tangga reyot, aku merasa betapa senangnya aku
karena Bel sudah pulang, dan betapa sebenarnya makan malam tadi tidak sebegitu
buruknya; bahkan mungkin aku terkikik sesekali, mengingat obrolan Laura yang
tak tertahankan. Lantas aku melihat rak. Hampir semuanya kosong.
Dengan sangsi aku memindai
bilah demi bilah. Label-label mubazir pada rak balas menengok padaku dengan
kuyu bagaikan deretan nisan putih kecil. Awalnya, dengan tololnya, kukira
botol-botol itu mungkin disimpan di tempat lain. Aku menengok ke balik
tong-tong besar dari kayu ek, ke bawah kabel listrik yang menyemak, ke sela
peti-peti kayu berisi botol kosong di dekat tangga. Lantas aku cuma berdiri,
termangu-manggu. Yang tersisa cuma sebuah rak berisi sopi manis yang meragukan,
oleh-oleh untuk keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak seorang pun,
hingga sekarang, terpaksa membukanya. Yang lain semuanya sudah ada yang
mengambil. Tanganku gemetar. Pertama Laura, sekarang gudang, gudang yang tidak
boleh diganggu gugat--seolah-olah dunia sedang mengejekku, mengerahkan segala
kuasanya yang dungu: Upayamu sia-sia,
katanya. Kamilah pemenangnya.
Beberapa saat aku benar-benar
kebingungan. Lalu kuhirup napas dalam-dalam. Malam belum berakhir. Aku masih
punya kesempatan untuk mengakhiri teror Frank yang merajalela. Sambil
mengertak-ngertakkan gigi, aku meraup serangkul sopi manis yang tak dapat
dimenungkan lagi dan menyerbu balik menaiki tangga.
Frank sedang merangkum
pembalasan dendamnya yang gemilang pada bajingan dari pub siang itu; Laura
memandanginya kagum, mengikuti setiap perkataannya yang keji itu. Bel telah menggeser
kursi demi merangkulkan lengan menyatakan kepemilikan pada Frank.
“--jadi habis kami ngempesin
bannya, kami pecahin jendelanya terus ambil radionya, terus kami bakar, ngerti
kan, terus kami ke rumah dia tempat dia tinggal bareng Neneknya, di kebunnya
ada orang-orangan katai, jadi kami angkatin tuh mereka terus kami lemparin ke
rumahnya sambil teriak, tahulah, Keluar, bajingan, sampai dia keluar. Dia ada
linggis adiknya si bangsat Rory ada pompa sepeda, kami ada tripleks dua kali
empat inci terus--“
“Maaf menyela, ada yang mau,
ah, Rigbert’s? Ini terbuat dari loganberi asli ....”
“Kamu enggak takut?” sembur
Laura.
“Enggaklah, kami langsung
aja, duk, buak--selesai deh beberapa
menit doang.” Frank duduk lagi, menyesap Rigbert’s bagiannya, dan mengendus-endus
dengan gaya Napoleon, “Kayaknya tuh bajingan enggak bakal kedengaran lagi
kabarnya.”
“Kamu ini mengagumkan, ya,” goda Bel, sambil menggelitiki siku Frank. Frank
tampak dongkol.
“Tetapi bagaimana jika ia
mengejarmu?” mendadak terpikir oleh Laura, sambil mendekatkan sebelah tangannya
yang menciut ke mulut.
“Dia enggak bakal berani,”
Frank mendengus, “kalaupun iya, tahulah dia kepalanya bakal kutendang lagi,
malah lebih parah.”
Laura menanggapi dengan “Wow”
yang kepanjangan seolah-olah ia sedang meleleh. Meskipun ia yang mengucapkan,
kedengarannya sangat erotis dan sesaat aku merasa cemburu.
“Tinggal sama Neneknya,”
Frank meremehkan, “dasar memek.”
“Charles, dari mana kamu
mendapatkan ini?” Wajah Bel merengut jijik. “Ini benar-benar menjijikkan.”
“Ada di gudang bawah.
Sepertinya itu pemberian bibi perawan kejam dari pihak Bunda, yang tinggal
di gudang kapal itu.”
“Rasanya sangat ganjil.”
“Sepertinya itu yang dimaksud
dengan ‘sentuhan kelembak liar’. Kurasa ini bisa jadi selingan--toh kedua orang
ini hampir-hampir enggak bakal memerhatikan.” Aku mengangguk pada tamu kami,
yang sedang asyik mengobrol, dahi nyaris bersentuhan. “Kamu enggak kesal?”
Bel tertawa congkak. “Itu mah
seperti cemburu,” sahutnya, “sama sekarung butiran gabus.”
“Mmm.” Aku melipat kedua tangan
dan melempar sekilas pandangan sayu pada si karung berisi butiran gabus yang
gagal membuatku tertarik. “Jadi ke mana kamu tadi? Apa kamu membantu membakar
rumah celaka itu?”
“Charles,” ia mengibaskan tangan tak sabar. “Kuharap kamu berhenti
sama sekali melebih-lebihkan
segalanya seperti itu--“
“Yah dia bilang ....”
“Ah, dia sama busuknya
denganmu, dia cuma mencoba mengesankan si cewek dungu itu. Separuh ceritanya
cuma karangan, itu mainan bocah-bocah tolol yang cepat atau lambat bakal
membosankan dan dilupakan.”
“Yang menarik dari Titanic,” kata Laura, “ialah karena itu
mengesankan bagi semua orang.”
Bel menarik lengannya dari
Frank dan, sambil berpura-pura sedih karena prihatin sebagai saudari, menyeret
kursinya ke arahku. “Jadi,” bisiknya, “apakah ia sama sekali sesuai dengan
harapanmu?”
“Jangan, Bel, aku sudah cukup
menderita semalaman.”
“Sebegitu burukkah?” tanya
Bel, sambil berusaha menyembunyikan kegirangannya.
“Tadi itu malapetaka.
Maksudku, seenggaknya Frank itu
meriah dengan gayanya sebagai bocah badung. Laura
itu kayak overdosis valium.”
“Lantas, diakah yang kamu
sebut-sebut Golem itu?”
“Dia itu Pemimpin Tim Golem,”
sahutku pilu.
“Dia memang kelihatan semakin
parah sejak kali terakhir aku bertemu dengannya,” renung Bel. “Meski begitu,
Charles, ini salahmu sendiri. Maksudku beginilah yang terjadi ketika kamu
memilih cewek dari buku tahunan sekolah.”
“Di fotonya dia sangat
menarik ....”
“Itulah makanya--terima
kasih, Mbok P,” sementara Mbok P masuk untuk beres-beres, menumpuk piring-piring
di sebelah tangan dan pergi lagi dengan tangkasnya, “tetapi itulah makanya kamu
harus keluar mengenal dunia nyata dan bergaul,
kerjakan apalah--“
Aku bergumam tak jelas,
seraya membayangkan diriku berkeluyuran di padang belukar Cile membawa-bawa
tiara plastik serta Buku Pengembangan Diri--
“Serius deh, sebab, Charles,
itu benar-benar enggak bakal berhasil, jatuh cinta sama orang mentang-mentang dia
cantik, atau karena namanya persis seperti yang ada di filmnya Gene Tierney.”
“Itu juga alasan yang layak,”
aku keberatan, mendadak merasa emosional. “Lagi pula, bagaimana jika sebagian
orang memang enggak merasa cocok dengan dunia nyata, dan mereka sadar mereka
enggak akan pernah merasa cocok, maka pastinya lebih baik bagi semua orang
kalau sebagian orang itu tetap memencil, dan, dan ....”
Aku sampai berkeringat, dan
pastilah aku sudah bersuara dengan keras. Frank tengah menggambar semacam peta
untuk Laura, sehingga tampaknya mereka terlalu asik untuk menangkap-dengar;
namun Bel memerhatikanku sungguh-sungguh, agak seperti pada malam kami
mengetahui tentang persoalan dengan bank. Kepalaku pening. Kuhabiskan sisa
Rigbert’s bagianku, merasa malu.
“ ... tinggal di biara?” ia
menandaskan kalimatku.
“Sepertinya ada semacam
panduan Michelin untuk biara ....”
“Di situ Pojok Baker,” Frank
menunjuk tabung garam, “di sini Gang Kill, botol saus ini, ya? Jadi Ziggy di
sebelah sini, di samping Texaco. Terakhir kali kami di sana aku sama ini orang
Droyd, ya, dia ada empat belas gandar sedang aku ada sebelas--“
“Cowokku tadinya mau pegang
Texaco situ,” ujar Laura sendu.
Jarum panjang jam kembali
menapaki angka dua belas. Aku mendengar Mbok P naik ke tempat tidurnya. Sekarang
mestilah MacGillyguddy sudah berjaga di luar bersama kameranya; di luar di mana
aku bisa melihat bayang tajuk pepohonan lewat pantulan ruangan pada kaca.
“Charles, bagaimana
kejadiannya kamu dan si Patsy itu?” Bel menggambar sketsa tak kasatmata dengan
jarinya pada daun meja. “Kamu sempat benar-benar menyukai dia, kan?”
“Ah, dia ....”
“Lalu kamu berhenti bergaul
dengan teman-temanmu--mengapa? Ada kejadian apa?”
“Dulu itu cuma masanya
bersenang-senang. Ah, menurutmu aku seharusnya sudah berumah tangga, begitu?
Memperoleh waris untuk kekayaanku yang telah raib?”
“Yah, kamu enggak mungkin
bersenang-senang seterusnya, kan? Maksudku, Charles, sendirian saja di sini tuh
enggak menyenangkan ....”
Sementara ia berbicara,
mendadak aku merasa gelisah. Ia tidak mengangkat kepalanya, namun jarinya
bergerak semakin cepat di permukaan kayu.
Kuraih botol yang labelnya
bergambar gajah. “Kamu belum memberitahuku ke mana kamu pergi bersama Frank hari
ini.”
“Kalau kamu mesti tahu,”
sahutnya tenang, “sepanjang sore kami melihat-lihat flat.”
“Flat?” Tiram-tiram
berjempalitan dalam perutku.
“Ya, kami mau tinggal bareng.”
Dengan raut asing ia menyesap sopi manis yang baru dibuka, dan tersedak-- “minuman apa sih ini?”
“Entahlah,” sahutku tak
jelas. “Mungkin sesuatu dari gajah.” Di benakku segalanya berpusar bagai
putaran korsel yang tak terkendali.
“Ini lebih enggak enak lagi
daripada yang lain, ini mah enggak bisa
diminum ....” Ditenggaknya minuman itu sedikit lagi, sementara jemari di
tangannya yang lain agak gemetar. “Lagi pula enggak perlulah kamu sampai
bertingkah berlebihan. Tinggal bareng itu enggak mesti untuk selamanya, enggak
seperti kami mau menikah atau apalah. Aku harus keluar dari sini dan aku enggak
punya uang, jadi itu keputusan yang logis.”
“Tetapi ... tetapi apa ...”
aku sadar tidak ada gunanya mengutarakan ini, namun aku tidak tahan: “Bel, apa
sih yang kamu lihat dari dirinya?”
Wajahnya jadi kelam. “Begini
ya, apa pun yang kukatakan kamu akan bersikeras memandang Frank sebagai monster.
Tetapi dia bukan monster. Dia itu orang, dia manis, baik, dan enggak
berpura-pura menjadi apa pun yang bukan dirinya, dan lagi pula dia enggak ada
urusan dengan tempat ini, atau dengan Holy Child, Trinity, Bunda, Ayah, atau
siapa pun teman-teman mereka--“
Kata-kata dan perasaan
memancar di dalam diriku: aku gelisah hendak memberi tahu dia segalanya--bukan
saja tentang menorah dan kursi yang dimaling serta kejadian di gudang,
melainkan tentang Cile, MacGillycuddy, Folly, dan Patsy Olé--tetapi aku sadar tidak peduli yang kukatakan,
pikirannya tidak akan berubah. Sikap Bel pada nasihatku ialah
mempertimbangkannya secara hati-hati hingga mengarah pada tindakan yang sama
sekali berkebalikan dan menjalankannya.
“Ada panel yang bisa dibuka
di atapnya,” Laura tengah berkata, “tetapi kapan-kapan aku ingin memiliki salah
satu jip itu, tahu kan, seperti Mitsubishi Pajero.”
“Hanya saja kamu memiliki
seumur hidupmu, dan--“
Bel memukulkan tangannya ke
meja. “Kenapa kamu berbuat ini padaku?” jeritnya. “Yang kamu perbuat cuma
berusaha terdengar seperti yang menurutmu akan dikatakan Ayah jika ia mau
repot-repot berbicara padaku!” Aku tersentak. Sejenak Frank memandang
sekitarnya. “Ini lain,” ucap Bel,
lebih pelan. “Ini rasanya seperti berada di dunia lain tempat kita enggak
selalu tahu yang akan terjadi, waktunya makan
malam dihidangkan. Ini membuatku merasa hidup.”
“Kamu mungkin saja agak
meromantiskan itu, enggak sih?”
“Aku enggak berharap kamu
mengerti,” sahutnya dingin.
Aku tidak berpikiran apa pun
untuk menanggapinya; bisa saja ia benar. Bel membalikkan kursi ke arah Frank,
dan anehnya aku merasakan nyeri yang mengherankan bahwa meskipun aku akan pergi
ke Cile, namun dialah yang akan meninggalkanku.
Sopi manis itu mulai
berpengaruh; Laura mengoceh sementara pipinya kembali berpijar merah jambu dan
matanya berkilau pusing akibat alkohol. Omongannya bercampur dengan kikih dan
tamparan kenes. Bel tersenyum sendu dan tidak mau melihatku.
“Kamu lihat?” Laura menarik
kerah blusnya dan menampakkan tali behanya pada Frank. “Magenta.”
“Buatku ya merah saja
kelihatannya,” Frank melirik pada batang leher Laura yang seputih tulang.
“Warna itu ada lagi namanya
sendiri-sendiri,” ujar Laura. “Misalnya cerulean,
warnanya semacam biru. Mata Christabel warnanya seperti itu. Semasa sekolah aku
iri sekali pada matamu--aku enggak pernah bilang-bilang padamu, Bel.”
“Benarkah?” Walau cahayanya
remang-remang, aku bisa tahu dari cara Bel menundukkan kepala wajahnya memerah.
“Waktu itu aku enggak tahu
namanya, kukira itu cuma biru? Tetapi kemudian aku melihat-lihat pemulas mata
di Boots[1] dan ada satu
yang persis warna itu, cerulean ....
Aku penasaran apakah matanya Charles warnanya begitu juga dan ternyata iya!” Ia
menyorotiku. Mungkin wajahku juga jadi agak memerah.
“Jadi celana dalam kamu
warnanya pasti sama kayak behanya?” selidik Frank dengan mimik bak antropolog.
Aku menendang Bel di bawah
meja. Ia mulai tertawa.
“Aku lumayan paham,” kataku.
“Aku tahu,” sahutnya. “Minta
lagi dong ramuan gajah yang mengerikan itu?”
Aku menuang segelas untuknya,
dan menguap sambil lalu. “Harus segera disudahi, tetapi ....”
“Hah, kalian mau berduaan?”
“Aku ingin ke tempat tidur, memperjelas selagi obrolan
soal pakaian dalam ini jelas-jelas terjadi. Lagi pula, bukankah aku sudah
memberitahumu? Ia sudah punya pacar sampai lima tahun ini.”
“Masak sih!” ejek Bel jijik.
“Hah, ketimbang menantimu, pria yang belum pernah dijumpainya?”
“Bukan, tetapi ... maksudku
sepanjang waktu yang kuhabiskan untuk merindukannya, menulis lagu-lagu
untuknya, dan seterusnya--“
“Kamu baru menulis satu lagu,
Charles.”
“Yah, baiklah, tetapi biar
begitu aku terus merasa--tahu kan, ketika cewek yang dikenal ternyata enggak sesuai harapan--bahwa bagaimanapun juga dia
itu jauh.” Aku menggeleng. “Lima
tahun. Dengan karyawan SPBU bernama, bernama Dec!”
“Soalnya aku enggak bisa memutuskan Dec, ialah yang berbaik hati
memutuskan aku--“
“Ya, lucu sekali--oh.”
Lampu-lampu padam tanpa suara.
Laura menjerit. Terdengar
denting kaca. “Kenapa ini?” suaranya gemetar.
“Mati lampu,” suara Bel
terdengar kecut.
“Mungkin sekringnya,” sahut
Frank dengan nada cuek yang terlatih.
“Aku akan memanggil Mbok P,”
kataku, seraya bangkit dan meraba-raba mencari tali lonceng. Kegelapan ini
memeningkan. Di sekitarku pernak-pernik berjatuhan ke lantai.
“Ah, biar ia tidur saja,
Charles, ya ampun, sekringnya bisa kita ganti sendiri lah ....”
“Gelap banget ....”
“Pasti korsleting nih.”
“Ya Tuhan--tidakkah menurutmu
mereka--Charles, kamu ingat melihat tagihan listrik? Aku cukup yakin kita
membayar dengan debit langsung, tetapi--“
“Aku enggak begitu ingat, ada
banyak banget sih ....”
“Oh ya Tuhan,” sahutnya putus asa.
“Ah, jangan khawatir ... sini
....”
“Apa rumah-rumah lain
lampunya menyala?”
“Rumah-rumah lainnya enggak
bisa dilihat dari sini,” kataku, sambil cepat-cepat menghalangi Laura dari
jendela.
Terdengar bunyi garukan lalu
wajah Frank muncul dalam nyala geretan; Laura terhenti sebelum sampai kembali
ke kursinya, mendapati Bel telah menempatkan diri di pangkuan Frank. “Ada
lilin?” tanya Frank.
“Ada disimpan Mbok P di
dapur,” sahut Bel, tanpa bangkit. Frank mencuri kesempatan dalam gelap untuk
meremas-remas Bel secara tidak senonoh.
“Gelap
banget,” ucap Laura muram, sambil memeluk dirinya sendiri erat-erat dan
berbalik mondar-mandir tak keruan di jendela.
“Ya ya, aku ambilkan deh,”
sahutku gusar.
“Aku takut sekali,” Laura
hampir-hampir berbicara sendiri--dan terpaku: “Ya Tuhan! Ada orang di luar!”
“Apa?” sahut Bel, separuh
bangkit--
“Jangan konyol ah! Frank,
berikan geretanmu dan akan kubereskan ini--“
“Ada kok, ada orang yang berdiri
di luar situ--“
“Hei, itu, itu mungkin cuma
pohon atau apalah,” sambil menggiring pundaknya kuat-kuat dan memalingkannya
dari jendela, “bagaimana kalau kamu ikut denganku mencari lilin?”
“Oke ...” ia mengekor keluar
dengan patuhnya dan menyusuri lorong. “Oh--Charles, itu tanganmukah?”
“Oh ya, maaf--“ jelas ia
tidak ingin diremas-remas--
Kami pun masuk ke dapur yang
lengang. Laura menyandarkan diri pada meja sementara aku mengubrak-abrik laci
yang tidak terkira banyaknya. “Jadi sudah berapa lama Christabel dan Frank
berpacaran?”
“Entahlah--bisakah kamu
memegangkan geretan ini, hati-hati ini panas--sekitar sebulan, mungkin?”
“Mereka serius?”
“Yah, tampaknya mereka mau tinggal bareng.”
“Oh,” sahutnya dalam-dalam.
Aku lalu berjongkok ke lemari
di bawah bak cuci piring, sambil dinaungi penerangan yang tak merata
mengorek-ngorek sabut Brillo, sikat-sikat yang bentuknya aneh, botol-botol
plastik tebal berisi pemutih dan detergen, surat-surat bercap pos Perancis,
Jerman, Slovenia, peta-peta--tunggu, surat-surat? peta-peta?--tetapi ini dia
lilinnya, tidak sempat mengusut ini sekarang: “Nih, kamu ambil satu,” sambil
menyalakan punyaku dari sumbu lilinnya dan bergegas kembali ke luar menuju ruang
makan. Aku mulai berpikir jangan-jangan korsleting ini berkah tersembunyi.
Tidak mungkin Laura dapat mengasuransikan semua barang yang lainnya, jadi sudah
pasti ia akan pulang; dan kegelapan bakal semakin merangsang Frank untuk
menyambar, yang karena itulah kami perlu memasang lilin-lilin ini dan menerangi
ruangan sesegera mungkin--“jadi ... Charles, kamu bekerja atau ...?” wajahnya
terangguk-angguk sopan ke arahku dalam cahaya lilin.
“Apa?”
“Pasti menarik sekali, ya,
tinggal di rumah seperti ini?”
“Oh ...” Apakah aku sedang
berkhayal, atau memang mendapati perubahan dalam nada suaranya--perhatian yang
sebelumnya tidak ada? “Oh, ya, yah, memang menarik, tahulah, tetapi bisa
membebani juga--“
“Oh, maaf--“ sementara ayunan
tangannya menyapu tanganku--
“Enggak apa-apa--eh, ini rada
seperti adegan di La Dolce Vita, ya?”
“Mmm, yeah, aku baru saja
berpikiran ....”
Seakan ada yang memberi
aba-aba, muncul rintihan pelan dari atas. Laura mencengkeram lenganku.
“Siapa di situ?” ada suara
parau berseru. “Siapa yang lagi jalan di situ?”
“Ini kami,” aku balas
berseru, sementara Laura mendesakkan dirinya padaku. “Aku dan Laura.”
“Siapa itu?” bisik Laura.
Bisa kucium napasnya, sarat oleh anggur dan Rigbert’s.
“Ini Mbok P ...” Tangga itu
mengerang lambat-lambat. Mbok P mengitari susuran tangga dengan gaun putih
panjang agak longgar yang samar-samar menerawang dalam gelap.
“Ada korsleting,” kataku.
“Kami sudah ambil lilin, Mbok tidak perlu turun.” Tangga itu terus mengerang
satu demi satu. Jemari Laura mengetat di seputar lenganku. “Begini saja,”
ucapku padanya, “bagaimana kalau kamu terus ke ruang makan sedang aku menyusul
segera setelah aku mengembalikannya ke tempat tidur.”
Setelah sesaat bergeming
saja, sambil menatap sosok putih itu, Laura melepaskanku dan memelesat dalam kegelapan.
“Nah sekarang,” kutegur Mbok P, “kebetulan kami sedang ada perjamuan, seperti
yang sudah Mbok ketahui, dan kukira tidak sepatutnya Mbok berkeluyuran dengan
baju tidur--“
“Apa yang terjadi?” sahutnya. “Apa yang
terjadi dengan rumah ini?”
“Korsleting, kan baru saja
kuberi tahu,” ia mulai merisaukanku, “jadi kalau Mbok mau lilin, baiklah, dan
kalau tidak maka sebaiknya Mbok mesti kembali ke tempat tidur, sebab terus
terang saja Mbok mulai agak, ah, menyeramkan.” Rambutnya kusut dan menjuntai
lemas di sekujur punggungnya; gaunnya ketinggalan zaman, dengan kancing pada
manset dan leher. Sekarang ia berada cukup dekat denganku sehingga tampak
rautnya yang dingin. “Nah, Mbok P--“
Ia menuruni beberapa anak
tangga yang penghabisan sambil sebelah tangannya memegang susuran. Ia bergumam
sendiri, lantas menatap tegang padaku. “Mereka datang, mereka datang kembali.
Beginilah pada awalnya.”
“Awalnya apa? Mbok mau ke
mana?”
Ia sampai di kaki tangga dan
berjalan melewatiku, menikung ke kanan dan memanggil-manggil, “Mirela, kamu di
mana? Kita mesti cepat-cepat--“
“Eh,” kusemburkan dehaman
pada sosoknya yang lamat-lamat menjauh. “Eh, lihat kemari, Mbok P--aduh!”
Segumpal lilin panas bergulir menuruni batang lilin ke punggung tanganku.
“Eh--sialan--hei, aku benar-benar harus pergi dan meletakkan ini, jangan ke
mana-mana, ya--“ sambil bergegas ke ruang makan sementara Mbok P berjalan
seenaknya ke arah berlawanan, persegi putih yang merayau meredup dan mengecil.
“Dia kenapa sih?” tanya Laura
sementara aku mencari-cari kandil.
“Enggak apa-apa, cuma
agak--ke mana Bel dan Frank?” Laura sendirian saja di ruangan itu, terpajang
lesu di depan kabinet dari kayu sonokeling. Sepertinya dialah yang mesti
dipasangi lilin.
“Enggak tahu,” ujarnya,
disertai kedikan bahu tersirat--seakan-akan memberi kesan bahwa kejadian ini
tidak mesti dianggap buruk. “Pasti sudah ke tempat tidur.”
Aku merasa ia memberi sedikit
tekanan pada kata terakhirnya; tetapi aku tidak yakin. Aku memasukkan lilin ke
suatu tempat. Sekarang aku bisa melihat Laura dengan jelas. Ia sedang
mengarahkan pandangannya dengan polos ke perapian, seakan termenung: namun
sudah pasti telah terjadi suatu perubahan. Bahkan cara berdirinya pun lain. Ia bersandar pada kabinet dengan pinggul
tersorong tak senonoh, sementara kedua tangannya masuk ke saku; kancing blusnya
terbuka dan berhelai rambutnya melekat acak secara erotis pada dahinya.
[1] Toko kecantikan di Irlandia