Jam berdentang pukul tujuh.
Untuk terakhir kali, aku meracikkan diriku gimlet yang menenangkan, dan
bergegas ke kamar. Kupasang ban leher dan kuikat dasiku; kusematkan manset dan
kusemir sepatuku. Di bawah tempat tidur menyembul tas kecil berisi barang yang
telah kusediakan untuk kubawa serta: buku ungkapan bahasa Amerika Latin,
secukupnya uang dalam dolar dan peso, celana dalam dan kaus kaki pilihan yang
sama-sama bersahaja; potret keluarga; tiara plastik kesayangan Bel pada masa ia
menjadi putri, bertahun-tahun lalu, sebagai ganti potret dirinya; cetakan
pertama kumpulan syair W. B. Yeats milik Ayah; potret ukuran 8 x 10 Gene pada
awal kariernya—sewaktu orang-orang menyebutnya the GET girl, kependekan dari Gene Eliza Tierney, sebab ia selalu
memperoleh keinginannya, atau setidaknya begitulah yang terlihat di permukaan.
Foto-foto Laura di buku
tahunan tersusun secara kronologis di alas tilam sedari aku mengamatinya awal
malam itu. Sekarang ketika mataku menjatuhi mereka, aku menyadari bahwa dengan
penataan seperti itu foto-foto tersebut hampir menyerupai rol film: tiap tahun
terpahat dalam bingkai tersendiri, yang kalau diproyeksikan sesuai urutan akan
mempertunjukkan kedatangannya—secara tersentak-sentak, remang-remang—menjelma
hidup di depan bola matamu sendiri; berlalu dari masa kanak-kanak yang polos
menjadi bintang film pujaan sungguhan yang berpendar-pendar dalam hitungan
detik saja, muncul keluar dari eter bagaikan jin seluloid …. Sekarang, dengan
sendirinya, benakku mulai memutar rol film terakhir yang hilang: adegan ketika
bel pintu berdering dan, seraya menyapu rambutku dengan mantap untuk yang
terakhir kali, aku berlari menuju tangga, dan tiba tepat ketika Mbok P mengantar
masuk seorang wanita muda ramping dengan rambut panjang sewarna madu, yang
mengangkat bahu melepaskan mantel musim dinginnya demi menampakkan bahu putih
telanjang serta gaun hitam dan berkelok-kelok serupa lidah api; di tangga,
tanpa terlihat olehnya, aku termegap-megap mengamati dirinya—hingga tahu-tahu
kami bertatapan, dan saat itulah kami terhantar ke alam lain: tempat gairah
terlepas dengan mudahnya dan mendalam serta tercetus lewat lelucon dan aksi
berani, dengan ruang sesekali untuk mengutarakan monolog penuh emosi di akhir;
ketika segalanya berada pada tempatnya tanpa ada orang-orang lain yang menanti
di sisi panggung untuk mengalihkan dialog, atau menutup adegan dengan acara
pelelangan.
Di luar kini bintang-bintang
mulai bermunculan dan di balik cahaya oranye dan ungu tercetak bayang-bayang
ganjil yang mengusik. Kupalingkan mata ke menara, dan sesaat mendapati
penampakan. Dewa-dewa hutan berloncatan dan bidadari mengintip dari puncak
menara. Aku mengejap, mereka lenyap, dan yang tinggal cuma sosok Mbok P, yang
jelas-jelas bukan halusinasi, baru kembali dari ziarah tanpa tujuan yang
belakangan sangat gemar dilakukannya. Mulai sekarang untuk siapa ia bakal
memasak, pikirku, seraya menyesap gimlet; siapa yang akan menerawang lewat
jendela ini dan menghitungi bintang-bintang ….
Bel pintu pun berbunyi.
Seraya menyapu rambut dengan mantap untuk terakhir kali aku berlari ke tangga,
berhenti di bordes lalu menunggu Mbok P tergopoh-gopoh dari taman dan
terengah-engah di pintu, seraya menggenggam susuran tangan sementara pintu berayun
membuka dan ia mengantar masuk sosok yang tidak diragukan lagi ….
Tidak ada yang bisa
menyiapkanku untuk menghadapi momen ini, aku langsung menyadari. Aku merasa
kewalahan, bahkan gelisah. Ia cantik, pastinya, amat sangat sekali; sementara
itu, melihatnya bergerak dalam wujud tiga dimensi terasa agak mengejutkan. Bagi pikiranku yang sudah kepanasan ini,
kepuasan saat melihat kehadiran fisiknya terasa lancang, hampir-hampir
janggal—ketimbang jin ia lebih menyerupai patung yang menjadi hidup, berwarna,
dan berdiri di ruang depan rumah orang. Selain itu, aku tidak tahan mendapati satu atau dua
penyimpangan dari versi angan-anganku mengenai kedatangannya. Rambut
mengilaunya, misalkan saja, diikat ekor kuda secara fungsional. Lalu tampak ada
kebingungan seperti apakah Mbok P memang boleh mengambil mantelnya; dan ketika
akhirnya ia betul-betul melepaskan mantel itu, yang terlihat bukanlah gaun
malam tanpa tali bahu melainkan setelan pantalon kelaki-lakian dengan model ala
toko-toko biasa di pinggir jalan yang tidak diketahui perancangnya. Selagi mengamatinya dari tangga aku
bertanya-tanya jikalau aku telah membuat kesalahan besar: tetapi kemudian ia
melayangkan pandangannya padaku, dan segala ketakutan serta kekhawatiran yang
membungkusku pun sirna.
Bagaimana melukiskan
planet-planet yang mustahil ada itu tanpa jadi klise? Yang dapat kukatakan cuma
di tempat-tempat itu aku melihat kehidupan kekal yang gemerlapan, alam
selanjutnya yang subur dan penuh rahmat tempat susu dan madu merupakan menu
sehari-hari; dan sebuah lagu pun mengalun di hatiku. “Kamu pasti Charles,”
ucapnya.
“Benar sekali,” sahutku
kikuk, berusaha mengerahkan bintang-bintang yang tersisa di atas awan kecil.
“Entah kenapa aku tahu kamu
jangkung,” ucapnya, sambil mendongak. “Aku tahu saja.”
“Terima kasih,” ujarku, malu,
“meski kurasa tepatnya bukan jangkung,
sebenarnya tinggiku cuma di atas rata-rata.”
“Kukira itu karena Bel
jangkung,” ia berpikir-pikir, “untuk ukuran cewek, mengerti kan.”
“Ya, ya,” aku setuju saja
tanpa mendengarkan—sebab sudah jelas bahwa percuma saja bagi kami berkata-kata,
bahwa maksud yang sebenarnya mestilah diwahyukan lewat kibasan kedua tangannya,
kilauan kulitnya.
“Jadi mana vasnya?” ia
bertanya.
“Lewat sini,” sahutku, seraya
menggamit tangannya dan menggiringnya dengan penuh nafsu ke ruang makan yang
sudah ditata ulang. “Ada barang-barang lainnya juga ….”
“Wow ….” Pipinya memerah
sewaktu ia melihat-lihat pameran yang gemerlapan itu. “Apa cuma vasnya yang kamu
mau asuransikan, atau …?” Dalam suaranya terdengar ketamakan yang sedap.
“Oh, semuanya, sepertinya,”
sahutku gegabah.
“Wow,” ucapnya lagi.
“Kupikir kamu akan
menyukainya,” aku mulai mengoceh. “Biasanya barang-barang ini disimpan saja
dalam peti, sudah sejak lama sekali aku menunggu ada orang datang dan meninjau
semua ini ….”
“Buat daftarnya,” ia
bergumam.
“Daftar …” ulangku, sambil
mendesahkannya.
“Taksir harganya,” matanya
yang indah melayang dan bergerak-gerak.
“Ya, ya ….”
“Entah berapa jumlah jaminan
yang paling layak … pastinya nilainya sangat besar.”
“Oh, yah, aku serahkan itu
padamu deh. Bagiku barang-barang itu cuma pernak-pernik, sungguh, mainan … toh
ada yang lebih berarti dalam hidup ini ketimbang uang.”
“Jangan bilang begitu,
Charles,” sahutnya sengit, seraya berpaling menatapku. “Enggak ada orang yang
suka memikirkan soal kebakaran dan perampokan, tetapi, yah, itu terjadi setiap
hari. Kamu yang bertanggung jawab menjaga barang-barang berhargamu, sebab kalau
bukan kamu, siapa lagi?”
“Benar sekali,” sahutku,
seraya menatapnya lembut, “kamu memang benar.” Dalam cara tertentu, dari sudut
tertentu, kecantikannya memang memesona. Selagi menatapnya aku menyadari diriku
nyaris melupakan yang terbentang di hadapan. Kebingunganku semula benar-benar
telah berlalu kini: aku senang ia berada di sini, sebagai rekan pada malam
khayali yang penghabisan ini, membantuku mengalihkan momen yang berat ini,
kehilangan kekayaan yang menyedihkan ini, menjadi korsel pribadi yang
benderang, riang, dan menyenangkan. “Tetapi itu nanti saja. Mengapa tidak kita
makan dulu, berkenalan.” Aku menuju pintu dan meredupkan lampu-lampu. “Kan
penting memiliki kesepahaman, hubungan,
dalam mengurus ini …. Silakan duduk. Kamu mau minum?”
“Tidak usah repot-repot ….”
Matanya menyorot licik. “Baiklah, ada Le Piat d’Or?”
“Sepertinya kami baru saja
kehabisan—tetapi barangkali kamu mau minum gimlet bersamaku? Vodka dan air
jeruk, benar-benar sangat nikmat …” dan aku pun membunyikan bel untuk hidangan
pembuka.
Mbok P telah membenahi diri:
hidangannya luar biasa, menggugah selera, memikat. Tiap sajiannya menggoda,
pada tiap bumbunya selembar tudung Salome[1] melayang turun
ke langit-langit mulut. Akan tetapi, bukannya memasukkan tiram ke
kerongkongannya, Laura tampak tidak tergugah. Ia makan sambil lalu, tanpa
terlihat mengindahkan isi piringnya; sepanjang hidangan pembuka hingga sajian
utama ia tidak ubahnya Laura anggun versi foto yang kucintai. Sewaktu mengobrol
pun, terbukti ia buruan yang sulit ditangkap. Jauh dari dua jiwa yang melebur
jadi satu, aku menyadari berbicara padanya lebih seperti mendaki gunung; gunung
kaca.
Selain itu, berapa kali pun
aku meredupkan lampu, perhiasan kecil-kecil atau yang lainnya terus saja
menggaet mata Laura dan ia pun bangkit untuk memandanginya. “Wow,” begitu yang
diucapkannya, sembari melambungkan telur-telur Fabergé[2] tolol di antara kedua telapak tangannya,
“ini pasti kuno banget.”
“Memang,” sahutku.
“Omong-omong, tentang aku dan Pongo McGurks, ada helm polisi di—“
“Ini antik banget.”
“—sangat diburu-buru oleh tim
kriket daerah—“
“Dan ini, ya Tuhan, ini pasti sangat,
sangat kuno ….”
Sulit mengendalikan
percakapan saat teman bicara kita terus-terusan memelesat dan menjauh dari
jangkauan pandang. Meski begitu, bahkan sewaktu ia duduk tenang tidak ada satu
pun ucapanku padanya yang tampak berpengaruh. Anekdot-anekdot berharga, yang
kusiapkan untuk kesempatan semacam ini, sama-sama tidak diacuhkannya seperti
sewaktu dengan makanan: “ … dan pada pagi ia meninggal—aku mengingatnya jelas
sekali, meski usiaku masih sekitar lima tahun—Ayah keluar dengan wajah kelam
kabut. Ia diam saja, cuma menyerahkan cermin bercukur kecil padaku. Granny
menyuruh suster membawakan benda itu untuknya terutama supaya ia bisa
memberikannya padaku, mesti dokter bilang ia tidak lagi mengenali siapa-siapa—“
“Kenapa nenekmu punya cermin
bercukur?”
“Yah itu punya Kakek, kurasa
aku sudah memberitahumu tadi, kalau kamu mengingat-ingat lagi sekitar semenit
lalu—“
“Oh iya,” ia menanggapi,
sambil mengunyah. “Terus, apa kondisinya membaik?”
“Tidak, seperti yang kubilang
tadi, itu kejadian saat ia meninggal, mengerti kan ….”
“Oh iya.”
Lalu kesunyian mencekam
hingga aku dapat menyiapkan anekdot demi anekdot lain seumpama babi yang
didorong dari atas jurang, lalu berguling-guling menuju kehampaan laut biru nan
memeningkan!
“Yah, mari bicara tentang
dirimu,” ucapku akhirnya, karena biasanya orang tidak begitu mudah teralihkan
saat bicara mengenai dirinya sendiri.
Ini terbukti membawa bencana.
“Jadi, aku sekolah di Holy
Child[3],” Laura
memulai, “yang barangkali sudah kamu ketahui semuanya dari Bel. Masa yang
brilian, aku bersenang-senang. Aku bukan orang yang menyeni kayak dia—aku
senang sih kalau bisa, yah, duduk-duduk di kafe sepanjang hari sambil merokok
dan menyeni—tetapi kukira pada dasarnya aku ini orang yang praktis, seperti
masa depanku tuh selalu penting banget buatku. Seperti orang harus berpikir
soal mendapatkan pekerjaan bagus dan sebagainya.”
“Kamu berhasil,” sahutku. “Kamu
benar-benar berhasil.”
“Lagi pula, setelah lulus aku
kuliah di Bisnis dan Teknologi Smorfett Institute—“
“Apa di situ tempatnya orang
mengadakan eksperimen pada monyet?” selaku.
“Bukan,” sahutnya.
“Sebenarnya itu salah satu pusat solusi teknologi informasi terbaik di Eropa.”
Aku tidak benar-benar
mengerti maksudnya, selain itu ada hubungannya dengan komputer dan menyiratkan
banyaknya “peluang”; tetapi apa pun itu, setelah lulus ia memutuskan untuk
mencari yang “berorientasi pada masyarakat”. “Aku suka bergaul,” ucapnya.
“Siapa yang tidak?” sahutku.
Dengan begitu, lanjutnya,
secara alamiah ia tertarik pada dunia asuransi yang dinamis.
“Permisi sebentar,” ucapku.
Karena mendadak merasa agak haus, aku menuju dapur dan mengambil sebotol anggur
Fetzer yang belum dibuka dari kulkas. Sepertinya aku terus berdiri di sana
lebih lama daripada yang kusadari, sebab Mbok P menanyakan apakah aku baik-baik
saja.
“Tuan Charles, makan malamnya
baik-baik saja? Makanannya enak?”
“Hah? Oh—ya, ya, Mbok P. Enak
banget. Prestasi cemerlang.”
“Tampaknya Tuan lelah.”
“Aku? Enggak tuh, semangat
banget.”
“Tetapi Tuan menggosok-gosok
mata ….”
“Ah, cuma beristirahat,
tahulah …. Eh, Mbok P, pernahkah Mbok mendengar orang tersedak karena tiram?”
“Karena tiram?” Ia
berpikir-pikir. “Tidak, Tuan Charles, tiram saya pikir tidak mungkin.”
“Begitulah yang kupikirkan.
Oh yah, enggak apa-apa deh. Coba lagi saja, kurasa ….” Aku membawa anggur
tersebut dan kembali ke ruang makan. Laura tersenyum sementara aku mendudukkan
diri dan kemudian ia mulai menceritakan padaku tentang hubungannya selama masa
menggairahkan dalam hidupnya ini. Hubungan itu sangat serius; malah mereka
berpacaran selama hampir lima tahun.
“Lima tahun?”
Namanya Declan. Ia manager
SPBU di Bray Road. “Ia sangat sukses,” ucap Laura, “pengecer lapangan
menghasilkan banyak uang dan ia sedang diperdebatkan untuk mengisi SPBU yang
lain, di Deansgrange. Tetapi ada perbedaan di antara kami, mengerti kan?” Mereka
berpisah jalan enam bulan lalu saat Delan memutuskan untuk melepaskan
pekerjaannya dan pergi ke Australia selama setahun: “Di sana asyik banget!”
ucap Laura. “Bayangkan, merayakan natal di pantai! Edan enggak sih!”
“Terus, kenapa kamu enggak
ikut?” tanyaku, sambil mulai mengharapkan itulah yang terjadi.
“Ah, ceritanya sedih sekali,”
lamunnya, “beberapa lama aku sedih sekali gara-gara itu, sebab aku benar-benar
mencintainya, dia sangat menyenangkan, lucu, dan benar-benar teman yang penuh
kegilaan—“
“Penuh apa?”
“Tetapi, yah, ia benar-benar
rela melepaskan pekerjaannya, cabut, dan bersenang-senang selama setahun,
tetapi mengerti kan, aku punya tanggung jawab. Aku enggak ingin orang-orang di
tempat kerja kecewa. Dan lagi pula, aku perempuan, mengerti kan?”
Ada jeda ketika aku tidak
begitu yakin mesti berbuat apa. Pada akhirnya kuucapkan, “Oh ya?” dengan nada
yang mudah-mudahan terdengar tertarik namun tidak terkejut.
“Yah iya, jadi, aku merasa
aku juga bertanggung jawab atas diriku sendiri, dan atas semua perempuan yang
telah tertindas selama bertahun-tahun, untuk membangun karier yang mantap bagi
diriku sendiri. Aku enggak akan melepaskan itu hanya karena laki-laki.”
Dalam sekali teguk aku
meminum anggur di gelas dan menuangnya lagi. “Kamu merasakan tanggung jawab atas
semua wanita yang tidak diperbolehkan bekerja di industri asuransi?” ucapku,
sekadar kalau-kalau aku melewatkan sesuatu.
“Yeah,” angguknya penuh
semangat, “dan tahu enggak, Charles, keputusan itu sepenuhnya tepat. Aku galau
sekali soal Dec, tetapi orang-orang di kantor sangat baik padaku. Sekarang
rasanya sudah seperti keluarga sendiri. Dan sebagai individu aku merasa sangat
puas mengekspresikan diriku lewat pekerjaan itu. Aku hampir langsung mendapat
promosi, sekarang aku Pemimpin Tim, padahal aku baru setahun di sana. Awalnya
beberapa cewek iri dan mereka pikir itu cuma karena aku sekolah di Holy Child,
tetapi sekarang kami semua bersahabat dan tim yang benar-benar cakap dan kami
bersenang-senang bersama.”
“Selamat, ya,” potongku. “Kamu
tahu, mungkin sebaiknya kita ….”
“Dan aku punya mobil, ponsel,
dan kalau aku berhasil mendapat bonus ada apartemen yang bagus—yah, lokasinya
di daerah yang kurang baik tetapi ada penjaga keamanan dan pagar listrik, jadi
enggak apa-apa—mungkin aku bakal pindah bareng cewek sekantor. Pekerjaanku
enak. Aku iri pada Bel, mengerti kan, aktris, punya banyak waktu luang dan
sebagainya, tetapi aku senang punya jaminan dan peluang, dan upah liburnya
lumayan juga—“
“Liburan,” renggutku putus
asa. “Apa kamu berlibur ke tempat yang asyik?”
“Oh iya,” wajahnya
berseri-seri dan akhirnya ia melepaskan jaket serta menopang sikunya di meja.
“Tahun lalu aku bareng sebagian geng kantor pergi ke Yunani—oh, gila lah, kami
bertemu gerombolan cowok asyik, cowok-cowok Irlandia, mengerti kan—oh, mereka
gila banget. Suatu malam, ya, ada malam tequila
di pub Irlandia tempat tujuan kami dan kami semua terjebak, lagian tahu-tahu
cowok-cowok ini datang lalu merobek kaus kami—“
“Parah banget!” jeritku,
berusaha terdengar mendukung feminis.
“Kami tertawa gila-gilaan,”
sambungnya, “Ya Tuhan, belum pernah aku semabuk itu seumur-umur, hampir tiap
malam kami berakhir di pantai memandangi matahari terbit, minum-minum vodka ….”
“Hah?”
“Hah?” bisikku putus asa, dengan
suara tercekik.
Sunyi, dan aku menatap
Laura—benar-benar menatap padanya—dan
mendadak mendapat kesan bahwa aku sedang makan malam dengan suatu simulakrum, imitasi murahan. Aku merasa seperti
orang yang membeli peti berisi memorabilia asli semasa perang di pelelangan,
dan membawanya pulang demi mendapati, di balik lapis pertama, beronggok-onggok
carikan kertas koran.
“Yah, sangat menarik,” aku
berhasil menggaok, “tetapi mungkin sebaiknya kita mulai, ah, vasnya ….”
“Kamu benar,” ujarnya, seraya
memundurkan kursi dari meja dan mengambil perangkat elektronik dari kantong
jaketnya. “Tadi itu menyenangkan, omong-omong. Sebenarnya ini gagasan yang
sangat bagus, makan malam dulu dan mengenal satu sama lain, aku mesti
menyampaikan ini pada manajer bagianku.” Ia melangkah ke lemari rias dan sambil
berjingkat memeriksa rak atasnya. “Barang-barang ini jelas mesti dihargai, jadi
aku akan menginventarisasi dan memberimu taksiran kasarnya, oke?”
“Baiklah,” sahutku. Sambil
mengisi gelasku sekali lagi, aku mengamati dia mengangkat barang-barang dan
menurunkannya lagi, menyematkan label harga dalam benaknya pada masing-masing
benda itu dan membuat catatan yang rajin di alas elektroniknya. Bahkan entah
mengapa wajahnya tampak keliru. Dari
dekat kemiripannya dengan gadis dalam buku tahunan sekolah Bel hanyalah
sepintas lalu, dan saat menyesuaikan cahaya lampu sebisaku ia tidak lagi
terlihat seperti gadis itu. Mengapa ini yang terjadi? Apa Laura yang kucintai
cuma ada dalam buku tahunan? Gambar yang terpenjara dalam tujuh halaman buram,
sebagaimana diriku yang terperangkap dalam alam jasadi ini?
Sepintas kulihat jam. Ya
Tuhan, masak sih baru pukul setengah sepuluh? Laura terus mengoceh selagi
memulai operasinya, sementara aku menggilas-gilaskan kuku pada kedua telapak
tanganku. Malam penghabisanku di Amaurot tersia-siakan, kisah cintaku yang
agung terporak-porandakkan, dan hasilnya cuma vas-vas yang jumlah jaminannya di
atas harga pasaran! Kemudian--bagaikan seberkas harapan--aku mendengar suara
kunci di pintu depan. “Permisi sebentar.” Aku memelesat dan berlari ke ruang
depan, mencegat yang baru datang selagi mereka menyelinap menaiki tangga. “Bel!
Terima kasih, ya, Tuhan! Dan Frank kah yang bersamamu? Kawanku tersayang,
kejutan menyenangkan!”
“Baik-baik saja?”
“Charles, kami benar-benar
sangat lelah, kurasa kami mungkin langsung saja--“
“Ya, ya, tetapi kamu mau kan
mampir ke ruang makan sebentar? Laura ingin sekali bertemu denganmu ... tolonglah, Bel ....”
“Aduh, Charles, ayolah ...
iya deh, tetapi sebentar saja, ya.”
“Aku mau ke kamar mandi dulu
mau pipis,” kata Frank.
“Ya, bagus, lakukanlah.” Frank
berjalan gontai sementara Bel, disertai desahan ahli bedah yang dipanggil
kembali ke ruang gawat darurat tepat ketika hendak pulang, melepaskan sarung
tangannya dan mendahuluiku ke ruang makan.
“Laura,” ucap Bel, seraya meletakkan tas tangannya di kursi, “betapa
senangnya berjumpa denganmu!”
“Oh, ya, Tuhan, Bel!” Laura
berpaling dari inventarisasinya diiringi seruan girang. “Apa kabar?”
“Aku baik-baik saja. Charles terus
menghiburmu, ya?”
“Oh ya, kami
bersenang-senang--tahu enggak, kemarin aku baru saja membicarakanmu dengan
Bunty, belum pernah ada yang melihatmu
entah sudah berapa lama ....”
“Ah, kalian cewek-cewek
Smorfett pada sibuk bergaul,” Bel menjawab dengan senyum, sembari menuang
segelas anggur. “Sepertinya aku tersingkir.”
“Ah, kamu masih terlihat cantik, kamu sangat artistik, pakaianmu bekas, ya?”
“Terima kasih, kamu juga--di
mana kamu mendapatkan setelan bagus itu? Dengan baju itu kamu terlihat sangat dewasa--“
“Ah, cuma asal ambil, aku
benar-benar enggak punya waktu buat belanja belakangan ini, aku sibuk banget
kerja--“
“Laura baru dipromosikan,”
aku memberi tahu Bel.
“Tetapi bagaimana denganmu,
Bel, kamu masih bersandiwara, atau ...?”
“Ah, tahulah, mencari jati
diri,” sahut Bel. “Kan butuh waktu.”
“Mmm,” angguk Laura, sambil
mengembalikan perhatiannya pada batu giok. “Tahu enggak, sebelumnya aku enggak
terbayang keluargamu memiliki begitu banyak--“ ia terdiam sendiri, wajahnya
memerah. “Maaf--tetapi, pasti ada gunanya memiliki semua ini sebagai jaminan
....”
Pertumpahan darah mungkin
sudah terjadi kalau seketika itu Frank tidak mengeluyur masuk membawa sekantong
bakso ayam--makanan favoritnya, sebelum bertemu dengannya aku tidak tahu bahwa
ayam bisa dibikin jadi bakso. “Baik-baik saja?” tanyanya pada siapa pun di
ruangan, lantas, matanya jatuh pada Laura, “Jancuk.”
[1] Simbol wanita penggoda yang
berbahaya dalam tradisi Nasrani
[2] Pandai emas Rusia yang
menciptakan telur Paskah hias bertatah untuk keluarga raja Eropa (1846-1920)
[3] Sekolah Katolik untuk perempuan
di Irlandia
[4] Kota pelabuhan di Yunani dekat
situs kota kuno
[5] Putra Zeus dan Eropa, raja Kreta
kuno, memerintahkan Daedalus untuk membangun labirin, setelah mati menjadi
hakim di neraka