Bu Gamma bilang aku perlu potong rambut. Ibuku bilang aku perlu potong
rambut. Abangku Krikor bilang aku perlu potong rambut. Seluruh dunia ingin aku
potong rambut. Kepalaku terlalu besar untuk dunia ini. Rambut hitam yang
terlalu lebat, kata dunia.
Semua orang bilang, Kapan kamu mau potong rambut?
Ada pengusaha besar bernama Huntingdon di kota kami yang biasa
membeli koran sore dariku setiap hari. Ia lelaki dengan berat seratus dua puluh
kilo, punya dua mobil Cadillac, tanah seluas seribu lima ratus hektar, dan uang
sebanyak lebih dari sejuta dolar di bank, begitu juga kepala yang kecil, tanpa
rambut, tepat di bagian atas tubuhnya sehingga siapa pun dapat melihatnya. Ia
suka membuat para pegawai kereta api yang datang dari luar kota berjalan
jauh-jauh hanya untuk melihat kepalaku. Inilah California, begitu yang biasa
diserukannya di jalan. Ada cuaca dan kesehatan yang baik. Ada kepala dengan
rambut yang menarik, begitu teriaknya.
Bu Gamma tidak senang dengan besarnya kepalaku.
Saya tidak sebutkan siapa namanya, begitu katanya suatu hari, tapi kecuali
anak muda tersebut datang ke tukang cukur dalam waktu dekat dan memangkas
rambutnya, dia akan dipindahkan ke tempat yang lebih buruk daripada kelas ini.
Ia tidak menyebutkan nama siapa-siapa. Yang diperbuatnya hanyalah
menatapku.
Maksudnya apa sih? kata abangku Krikor.
Aku senang-senang saja biarpun dunia marah padaku, tapi suatu hari ada
burung kecil yang mencoba bersarang di rambutku, jadi cepat-cepat aku ke kota
mencari tukang cukur. Waktu itu aku sedang tidur di rerumputan di bawah pohon di halaman
rumah ketika ada seekor burung terbang merendah dari pohon dan mulai
berjalan-jalan di rambutku. Waktu itu musim dingin yang hangat dan dunia sedang
senyap. Begitu tenang di mana-mana di dunia ini. Tidak ada orang hilir-mudik
berkendaraan dan yang terdengar hanyalah sunyinya kenyataan yang hangat dan
sejuk, sekaligus riang dan pedih. Dunia. Ah, enaknya kalau bisa hidup di suatu
tempat. Senangnya kalau punya sebuah rumah yang kecil saja di dunia ini. Dengan
kamar, meja, kursi, dan kasur. Lukisan dinding. Rasanya asing sekaligus
menakjubkan kalau bisa berada di suatu tempat di dunia ini. Hidup, bisa
bergerak melalui ruang dan waktu, pagi, siang, dan malam. Bisa bernapas, makan,
tertawa, bicara, tidur, dan tumbuh. Bisa melihat, mendengar, dan menyentuh.
Bisa berjalan-jalan ke berbagai tempat di dunia ini di bawah mentari. Bisa
berada di dunia ini.
Aku senang dunia ini ada, maka aku pun bisa ada. Aku sendirian, jadi aku
merasa sedih dengan segalanya, tapi aku juga merasa senang. Aku merasa senang
dengan segalanya yang membuatku merasa sedih. Aku ingin membayangkan
tempat-tempat yang belum pernah kulihat. Kota-kota hebat yang ada di dunia ini:
New York, London, Paris, Berlin, Wina, Konstantinopel, Roma, Kairo.
Jalanan-jalanan, rumah-rumah, orang-orang yang bernyawa. Pintu dan jendela di
mana-mana. Dan ada kereta-kereta pada waktu malam, dan pada waktu malam ada
kapal-kapal di lautan. Laut gelap yang memilukan. Dan momen-momen gemilang di
sepanjang masa yang telah lampau, kota-kota yang terkubur oleh waktu,
tempat-tempat yang melapuk dan habis. Ah, saat ini aku membayangkan mimpi pada
suatu masa: aku membayangkan hidup yang senang selamanya. Aku membayangkan
akhir dari perubahan, kehilangan, dan kematian.
Lalu seekor burung terbang merendah dari pohon ke kepalaku dan mencoba
bersarang di rambutku, dan aku pun terjaga.
Aku membuka mataku, tapi tak bergerak.
Aku tidak tahu ada burung di rambutku sampai ia mulai bernyanyi. Seumur
hidupku, belum pernah kudengar cicitan burung dengan begitu jelasnya, dan yang
kudengar terasa amat menyegarkan, sekaligus alami dan ringkih. Sebelumnya tak
terdengar bebunyian di dunia ini dan mendadak kudengar nyanyian burung itu.
Lalu aku menyadari ada yang tidak benar. Tidak benar rasanya ada burung bersarang di rambut orang.
Jadi aku pun lompat dan buru-buru ke kota, dan burung itu, tentu saja
ketakutan, terbang sejauh mungkin semampunya dalam sekali tarikan napas.
Dunia benar. Bu Gamma benar. Abangku Krikor benar. Potong rambut itu
memang harus, supaya tidak ada burung yang coba-coba bersarang di rambutmu.
Ada tukang cukur orang Armenia di Jalan Mariposa bernama Aram yang
sebenarnya petani, atau mungkin filsuf. Entahlah. Yang kutahu
hanya dia itu punya kedai kecil di Jalan Mariposa dan menghabiskan sebagian
besar waktunya dengan membaca koran berbahasa Armenia, melinting rokok,
mengisapnya, dan mengamati orang berlalu-lalang. Aku tidak pernah melihatnya memotong
rambut siapa pun, meskipun kukira ada saja satu-dua orang yang masuk ke kedainya
itu karena tak sengaja.
Aku masuk ke kedai Aram di Jalan Mariposa dan membuatnya terjaga. Ia
sedang duduk di atas meja kecil. Sebuah buku berbahasa Armenia terbuka di hadapannya.
Ia sedang tidur.
Dalam bahasa Armenia, aku berkata, Maukah Bapak memotong rambut saya? Saya
ada dua puluh lima sen.
Ah, ucapnya, saya senang dengan kedatanganmu. Siapa namamu? Duduklah. Saya mau buat kopi dulu. Ah, rambutmu bagus.
Ah, ucapnya, saya senang dengan kedatanganmu. Siapa namamu? Duduklah. Saya mau buat kopi dulu. Ah, rambutmu bagus.
Orang-orang ingin rambut saya dipotong, kataku.
Begitulah dunia, ucapnya. Selalu menyuruh kita melakukan ini-itu. Memang
kenapa sih kalau rambut cuma sedikit? Kenapa sih mereka itu? Cari duit, kata
mereka. Beli tanah. Ini. Itu. Ah, mereka tidak suka orang menjalani hidupnya
dengan tenang.
Bisakah Bapak memotong rambut saya? ucapku. Bisakah Bapak memotong
semuanya jadi orang tidak bakal menyinggungnya lagi sampai lama?
Kopi, kata tukang cukur itu. Mari kita minum kopi dulu.
Ia membawakanku secangkir kopi, dan aku heran kok bisa selama ini aku
belum pernah mengunjunginya, barangkali ia orang paling menarik di seluruh kota
ini. Aku tahu kalau ia bukan orang biasa dari caranya bangun sewaktu aku
memasuki kedai, dan dari caranya bicara dan berjalan. Usianya sekitar lima puluh
tahun dan aku sebelas tahun. Ia tidak lebih tinggi dari padaku dan tidak lebih
besar juga, tapi wajahnya itu wajah orang yang telah menemukan kebenaran, siapa
tahu, bijaksana, dan juga penuh kasih dan tidak jahat.
Sewaktu membuka matanya, tatapannya seakan berkata, Dunia? Saya tahu
segalanya tentang dunia ini. Kejahatan, kebencian, dan ketakutan. Tapi saya
mengasihi semuanya itu.
Aku mengangkat cangkir kecil itu ke bibirku dan meminum cairan hitam panas
dari dalamnya. Rasanya lebih nikmat dibandingkan apa pun yang pernah kucicipi
sebelumnya.
Duduklah, katanya dalam bahasa Armenia. Duduk, duduk. Kita tak ada perlu
ke mana-mana. Tak ada yang perlu dikerjakan. Rambutmu tak akan tumbuh dalam
sejam.
Aku duduk dan tertawa dalam bahasa Armenia, dan mulailah ia menceritakan
tentang dunia kepadaku.
Ia menceritakan tentang pamannya yang bernama Misak yang lahir di Muş.
Kami meminum kopinya lalu aku duduk di kursi dan mulailah ia memotong
rambutku. Ia memberiku potongan rambut paling jelek yang pernah ada, tapi ia
menceritakan tentang Paman Misaknya yang malang dan harimau sirkus. Aku keluar
dari kedainya dengan potongan rambut yang sangat jelek, tapi aku tidak
memedulikannya. Ia bukan tukang cukur sungguhan. Ia cuma berpura-pura menjadi
tukang cukur, supaya istrinya tidak terlalu khawatir dengannya. Ia melakukannya
sekadar untuk memuaskan dunia. Yang ingin dikerjakannya hanyalah membaca dan
mengobrol dengan orang baik-baik. Ia punya lima anak, tiga laki-laki dan dua
perempuan, tapi mereka semua seperti istrinya, dan ia tidak dapat mengobrol
dengan mereka. Yang ingin mereka ketahui cuma berapa banyak uang yang
dihasilkannya.
Pamanku Misak yang malang, katanya padaku, lahir di Muş sudah lama sekali
dan dia bocah yang sangat nakal, meskipun bukan pencuri. Dia mampu berkelahi
dengan dua anak sekaligus—anak-anak mana pun di seluruh kota—dan kalau perlu
dengan ayah dan ibu mereka sekalian. Juga dengan kakek dan nenek mereka,
ucapnya.
Jadi orang-orang bilang pada pamanku Misak yang malang itu, Misak, kamu
kan kuat, kenapa kamu tidak mencari uang dari berkelahi? Jadi itulah yang
diperbuatnya. Sebelum usianya dua puluh tahun, sudah ada delapan belas orang
kuat yang dibuatnya patah tulang. Uangnya dipakai cuma untuk makan dan minum,
sisanya diberikan pada anak-anak. Dia tidak ingin uang.
Ah, ucapnya, itu sudah lama sekali. Sekarang setiap orang menginginkan
uang. Mereka menasihatinya kalau dia akan menyesal kelak, dan tentu saja mereka
benar. Mereka menasihatinya agar menjaga baik-baik uangnya itu sebab kelak dia
tidak akan lagi berbadan kuat dan dia tidak akan punya uang sepeser pun. Dan
masa itu pun tiba. Pamanku Misak yang malang sudah berusia empat puluh tahun
dan sudah tidak kuat lagi badannya, uang pun tidak punya. Mereka menertawakannya
dan dia pun pergilah. Dia pergi ke Konstantinopel. Lalu dia pergi ke Wina.
Wina? ucapku. Paman Misak pergi ke Wina?
Ya, tentu saja, kata tukang cukur itu. Pamanku Misak yang malang pergi ke
banyak tempat. Di Wina, ucapnya, pamanku yang malang itu tidak bisa mendapatkan
pekerjaan, dan hampir saja mati kelaparan, tapi adakah dia mencuri barang
sepotong roti? Tidak, dia tidak mencuri apa pun. Lalu dia pergi ke Berlin. Di
sana juga pamanku Misak yang malang hampir mati kelaparan.
Ia tengah memotong rambutku, kiri dan kanan. Kulihat rambutku yang hitam
jatuh ke lantai dan kepalaku terasa semakin dingin saja. Dan terus mengecil.
Ah, Berlin, ucapnya. Kota yang kejam di dunia ini, jalanan demi jalanan, rumah
demi rumah, orang demi orang, tapi tak satu pun pintu untuk pamanku Misak yang
malang, tak ada kamar, tak ada meja, tak ada kawan.
Ah, ucapku, sepinya manusia di dunia ini. Sepinya hidup yang teramat
sangat.
Dan, lanjut tukang cukur itu, sama halnya di Paris, London, New York, dan
Amerika Selatan. Sama saja di mana-mana, jalanan demi jalanan, rumah demi
rumah, pintu demi pintu, namun tak ada tempat di dunia ini untuk pamanku Misak
yang malang.
Ah, Tuhan, doaku. Lindungilah dia, Bapa di surga, lindungilah dia.
Di Cina, kata si tukang cukur, pamanku Misak yang malang bertemu orang
Arab yang bekerja di sirkus Perancis. Orang Arab itu dan pamanku Misak mengobrol
dalam bahasa Turki. Orang Arab itu berkata, Saudaraku, apa kau mengasihi
manusia dan binatang? Dan pamanku Misak berkata, Saudaraku, aku mengasihi segalanya
yang ada di bumi Tuhan. Manusia, binatang, ikan, burung, batu, api, air, dan
segalanya yang tampak maupun tidak tampak. Dan orang Arab itu berkata,
Saudaraku, dapatkah kau mengasihi harimau sekalipun, harimau yang buas? Dan
pamanku Misak berkata, Saudaraku, kasihku pada binatang buas tak terhingga. Ah,
pamanku Misak lelaki yang nelangsa.
Orang Arab itu amat senang mendengar kasih pamanku pada binatang buas dan
liar, sebab dia pun orang yang sangat pemberani. Saudaraku, katanya pada
pamanku, cukupkah kasihmu pada harimau hingga kau mau menaruh kepalamu di
mulutnya yang terbuka?
Lindungilah dia, Tuhan, aku berdoa.
Dan, lanjut Aram si tukang cukur, pamanku Misak berkata, Saudaraku, aku mau.
Dan orang Arab itu berkata, Maukah kau bergabung dengan sirkus ini? Kemarin
harimau itu sembarang saja mengatupkan mulutnya di kepala Simon Perigord yang
malang, dan tak ada lagi di sirkus ini yang kasihnya begitu besar pada mahluk
ciptaan Tuhan. Pamanku Misak yang malang sudah letih dengan dunia ini, dan
berkatalah dia, Saudaraku, aku mau bergabung dengan sirkus ini dan menaruh
kepalaku di mulut harimau suci milik Tuhan dua belas kali sehari. Tidak perlu
sebegitunya, kata orang Arab itu. Dua kali sehari saja cukup. Maka di Cina
pamanku Misak yang malang pun bergabung dengan sirkus Perancis dan mulailah dia meletakkan kepalanya di
mulut harimau.
Sirkus itu, kata si tukang cukur, berkelana dari Cina ke India, dari India
ke Afganistan, dari Afganistan ke Persia, dan di sana, di Persia, terjadilah
peristiwa itu. Harimau itu dan pamanku Misak yang malang telah berteman dengan
akrabnya. Di Teheran, di kota yang renta itu, si harimau menjadi buas lagi.
Waktu itu cuaca sangat panas, dan siapa saja menjadi gampang marah. Harimau itu
uring-uringan dan mondar-mandir saja
sepanjang hari. Pamanku Misak yang malang menaruh kepalanya di mulut harimau
itu, di Teheran, kota yang buruk di Persia itu, dan dia baru hendak
mengeluarkan kepalanya dari mulut harimau itu ketika si harimau, yang diliputi oleh
kehinaan hidup di muka bumi ini, mengatupkan rahangnya.
Aku bangkit dari kursi dan melihat ada sosok yang asing di cermin—diriku
sendiri. Aku ketakutan dan seluruh rambutku telah hilang. Aku membayar Aram,
tukang cukur itu, sebesar dua puluh lima sen dan pulang. Semua orang
menertawakanku. Abangku Krikor bilang ia tidak pernah melihat potongan rambut
sejelek itu sebelumnya.
Tapi tidak apa-apa.
Selama berminggu-minggu, yang dapat kupikirkan hanyalah paman si tukang
cukur yang malang itu yang kepalanya digigit harimau sirkus, dan aku
menanti-nanti hari ketika aku perlu potong rambut lagi, jadi aku bisa pergi ke
kedai Aram dan mendengarkan ceritanya tentang manusia di muka bumi, yang
kesepian, putus asa, dan selalu dalam bahaya, cerita memilukan tentang Paman
Misaknya yang malang. Cerita memilukan tentang setiap manusia yang bernyawa.[]
William
Saroyan (31 Agustus 1908 – 18 Mei 1981) penulis berkebangsaan Amerika
Serikat yang bermigrasi dari Armenia. Ia pemenang Pulitzer Prize untuk
dramanya, The Time of Your Life (1939) serta Academy Award for Best Story untuk
adaptasi novel dari skenario film yang dibuatnya, The Human Comedy (1943).
Sebagai penulis yang sangat produktif, ia juga menulis cerpen, puisi, dan lagu.
Cerpen ini diterjemahkan dari cerpennya, "The
Barber Whose Uncle Had His Head Bitten Off By A Circus Tiger”
(1943) yang telah disederhanakan oleh G. C. Thornley, M. A., Ph. D. dengan
judul “The Barber's Uncle” dalam Longman’s Simplified English
Series: British and American Short Stories (1969).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar