“Charles!”
Kubuka
mata. Di luar sudah gelap. Sudah berapa lama aku di sini?
“Charles!”
teriak Bel lagi dari lorong. “Telepon!”
Buru-buru
kuturuni tangga. “Dari Mata-Penerawang Apalah,” ucap Bel, sambil menyerahkan
telepon.
“Oh ya,”
sahutku acuh tak acuh, “kami mau main tenis besok pagi.” Sambil membawa telepon
ke ruang resital, aku berbisik, “M?”
“C?”
“Situasinya
berubah. Kita harus bergerak cepat. Ayo mulai ke bisnis.”
Jaminan
Bersegel Emas si Mata-Penerawang Segala bukanlah dusta. Dalam beberapa jam saja
sejak aku meninggalkannya, ia telah mengumpulkan berbagai informasi tentang
musuhku. Frank, seperti yang sudah kuduga, berasal dari wilayah yang buruk,
pernah menjadi murid sekolah jelek yang paling sedikit tiap setahun sekali
mengalami kebakaran, keluar dengan nilai kelulusan yang kabur, belum
pernah menikah walau dicurigai merupakan ayah dari seorang atau lebih anak di
wilayah tersebut, pernah berkuliah di akademi teknik tempat ia mempelajari
Perbaikan Panel (satu tahun) dan Perbaikan Panel Lanjutan (satu tahun), sebelum
dinas keluar negeri bersama Pasukan Penjaga Perdamaian PBB. “Setelah menjadi
Penjaga Perdamaian,” kata MacGillycuddy padaku, “ia mulai bekerja menyalurkan
rongsokan di Dublin, lalu masuk ke usaha penyelamatan bangunan. Tahun lalu ia
memulai usahanya sendiri. Usahanya berjalan sangat baik.”
“Penyelamatan
bangunan? Apa tuh?” Muncul bayangan konyol Frank menyelam dengan scuba ke dasar laut dan mengangkat
perpustakaan kuno serta kasino bergaya Palladian[1].
“Pada
dasarnya itu menggali rongsokan tua, membersihkannya, dan menjualnya dengan
keuntungan yang sangat besar,” MacGillycuddy menerangkan.
“Seperti
barang-barang antik?”
“Bukan …”
MacGillycuddy terdengar malas menjelaskan lebih lanjut. “Lebih seperti …
beginilah, barang-barang antik bagi penyelamatan bangunan itu seperti museum
bagi, mmm, perampokan makam.”
Aku
memucat.
Lahan
perburuan bagi penyelamat bangunan, lanjutnya, yaitu rumah besar bobrok, toko
pangan keluarga yang bangkrut, stasiun kereta, rumah sakit, atau pabrik kuno:
mana pun yang jatuh saat paceklik, tidak dapat terus berjalan dan mati
tersingkir akibat perubahan ekonomi. Di tempat-tempat inilah para penyelamat
akan mengerubung seperti gagak: ke pelelangan, ruang-ruang telantar, bara-bara
api yang belum padam, tempat mereka bisa membeli murah atau gratis sama sekali
kerangka dan jeroan dari lembaga-lembaga ini, apa pun yang masih mungkin untuk
dipoles dan dijual kembali sebagai artefak, cacat yang memesona dari masa lalu,
sebagai instalasi di pub, hotel, dan apartemen modern. Tanpa ampun
MacGillycuddy menggambarkan betapa mereka mencabuti ubin, merenggut tiang dan
susuran tangga, melepaskan cantelan lampu, kenop pintu, papan tanda toko,
lentera, cerek teh, menggergaji kaki piano serta daun meja marmer,
memotong-motong dekorasi tembok dan lapisan plester, mengobrak-abrik peti untuk
mencari bingkai lukisan tua, potret, advertensi, buku acara konser, lemari topi
dan gaun pernikahan serta rak sepatu yang ketinggalan zaman--
“Hentikan!”
jeritku. “Jangan teruskan!”
Ini jauh,
jauh lebih buruk daripada apa pun yang pernah kubayangkan. Astaga, mungkinkah
orang-orang semacam itu sungguh ada? Dan apakah ia tengah melakukan pekerjaan
penyelamatannya itu pada kami? Mungkinkah kami ini tidak lebih daripada sekadar
bangkai baginya, bahwa ia telah mengendus aroma kematian pada kami bahkan
sebelum kami menduganya, memilih Bel sebagai harta pribadinya …. Amarah
bergejolak dalam urat darahku. Namun sekaligus, suara gemetar dalam diriku
merengek-rengek: Adakah yang mau mencuriku? Rak perapian manakah di luar sana yang mau menampungku?
“Sampean baik-baik saja?” tanya MacGillycuddy.
Mau bilang
apa? Segalanya di sekitarku bertubrukan. Mendadak, kehancuran kami bukan saja
tidak dapat ditawar-tawar lagi, melainkan sepenuhnya masuk akal. Tinggal ada
satu pilihan.
“Apa yang
kamu katakan tadi soal memalsukan kematian sendiri?” sahutku.
[1] Andrea Palladio (1508-1580), perancang bangunan berkebangsaan Italia yang
karyanya banyak diimitasi