Lokasi bank
tersebut sekitar satu setengah mil dari rumah, di tengah-tengah pusat
perbelanjaan. Petang itu aku berangkat demi menemui manajernya. Aku yakin Bel
berlebihan dalam menanggapi perkara ini lebih daripada yang diperlukan, tetapi
aku sadar aku pun tidak akan merasa tenang hingga membereskannya. Selain itu,
kesempatan ini bisa menyelubungi persoalan lain yang perlu kuurus. Ada
perjanjian ataupun tidak, perabot masih pada menghilang. Aku ingin tahu
kalau-kalau aku bisa menemukan keterangan mengenai latar belakang teman Golem
kami.
Jarang-jarang
aku memberanikan diri berada sejauh itu dari rumah. Bel menganggapnya sebagai contoh lain dari
“wawasan feodal”ku. “Kamu memandang dirimu sendiri sebagai Tuan Tanah,” begitu
katanya, “dan orang-orang ini merupakan budakmu, sehingga kamu enggak mau
bergesekkan bahu dengan mereka kalau-kalau kamu menangkap sesuatu.” Tetapi bukan
itu sama sekali. Seiring dengan mundurnya jalanan teduh di atas permukaan laut
menjadi kawasan pinggir kota di sekeliling, sembari mengamat-amati dari jok
belakang taksi, aku merasa tercekam--seperti biasanya--oleh rasa terancam dan
takut akan terkurung dalam ruangan sempit dan tertutup. Kekejaman rakitan nan asing
pada pusat perbelanjaan menakutiku. Entahkah itu salon rambut harga diskon,
butik-butik berisi baju rok pastel suram, ataupun toko agen koran, pegawainya
mengalami kemunduran abadi. Tampaknya mereka melompati seluruh anak tangga pada
jenjang evolusioner, sehingga ucapan silakan dan terima kasih telah lama tak
lagi berarti, dan sekiranya beberapa hari lagi aku kemari akan kudapati mereka
tengah menggerogoti tulang dan menyembah api. Sebagai budak pun aku ragu mereka
bakal berguna bagiku.
Toh ke toko
agen koran itulah aku menuju sekarang. Dari taksi aku berderap di atas jalanan
berbatu imitasi yang baru dipasang. Dengan hati-hati sekali aku menyisi
melewati perayaan Santa Walpurga[1] yang terdiri
dari para wanita paruh baya berambut dikelantang, orang-orang berjaket kulit
palsu, serta anak-anak yang bernyanyi yodel. Di seberang jalan papan iklan
raksasa merajai cakrawala. “BANK IRLANDIA: KAMI MENJANJIKAN ANDA,” tertera di
situ. “100 CARA UNTUK MENJADIKAN HIDUP PELANGGAN KAMI LEBIH BAIK LAGI.” Yang
terasa memberikan harapan baik bagiku dan kesulitanku, namun di bawah
huruf-huruf tersebut terdapat gambar sekumpulan pegawai Bank Irlandia, yang
melambai sedih pada kamera. Jumlah mereka ribuan, pasukan bisu berpakaian jas
biru seragam, dengan keluwesan mengerikan yang menjadikan mereka terasa makin
mengancam.
Jendela
toko agen koran itu kusut oleh kartu-kartu berwarna terang mencolok. Kupindai
iklan tentang pengasuh, penyiangan halaman, anak kucing, les matematika, hingga
kutemukan yang kucari.
Mata Penerawang-Segala.
Perselingkuhan rumah tangga? Pemerasan?
Kongkalikong melawan Anda di Kantor?
Mata Penerawang-Segala Menerawang
Segalanya.
Memastikan kecurigaan Anda
dan menenangkan pikiran Anda.
Jaminan Keberhasilannya Bersegel Emas
Kucatat
nomornya lalu kucari bilik telepon yang belum kena aksi vandal.
“Halo?”
sahut suara yang amat berhati-hati, rendah dan sayup seakan tak mau membocorkan
sedikit pun petunjuk mengenai identitas dirinya.
“Ini Mata
Penerawang-Segala?” tanyaku.
“Bisa
jadi,” ujar suara itu.
“Namaku
Charl--“
“Jangan
sebut nama!” potong suara itu seketika.
“Baiklah
kalau begitu, namaku ... C, dan aku butuh bantuanmu.”
“Perselingkuhan
rumah tangga? Pemerasan? Kongka--“
“Bukan,
bukan, bukan itu. Ada orang yang mencuri perabot rumahku.”
“Oh,” ucap
Mata Penerawang-Segala. “Sampean yakin bukan perselingkuhan rumah tangga?”
“Bukan,”
ujarku. “Pelakunya pacar adikku.”
“Ah,” ucapnya mesum. “Mau fotonya, ya?”
“Bukan, begini, Mata, kamu mau membantuku
tidak?”
“Ke
kantorku saja,” ujar si Mata, “The Savannah nomor 118. Datanglah sendirian. Mata
Penerawang-Segala menerima uang tunai dan semua kartu kredit utama.”
“Baiklah,”
sahutku.
“Proses
cetak foto makan biaya tambahan, tapinya, dan Mata Penerawang-Segala berhak
untuk menahan negatif film yang dia suka ....”
Ia
memberiku arahan ke kantornya, yang sebenarnya lebih merupakan rumah kecil yang
dindingnya bersambungan dengan rumah serupa di sebelahnya di lahan perumahan demikian dekat-dekat
situ. Aku membunyikan bel pintu dan setelah serangkaian suara membuka kunci,
pintu dibuka oleh sesosok akrab: tak lain daripada tukang pos kami yang lalai,
yang berbau gin dan hanya mengantar kiriman ketika lagi pengin.
“Apa!”
ucapku.
“C?”
sahutnya.
“Tetapi kamu
kan--“
“Jangan
sebut nama,” tukasnya, dan setelah melirik kanan-kiri ia mengisyaratkanku untuk
masuk. Lorong rumahnya disarati gelombang uap, yang segera menelannya. Aku
menyusul sebisaku dan tiba di ruangan yang lebih beruap lagi. Setelah sesaat
terantuk ke sana kemari membabi buta aku pun menabrak sesuatu. Seketika
muncullah meja. Di atasnya tergeletak kantung surat. Di kedua sisi kantung itu
terdapat gundukan: yang satu berupa amplop-amplop terbuka, yang lain barangkali
berupa isinya--ratusan lembar surat baik ditulis tangan maupun dicetak.
Perlahan,
melalui celah-celah pada uap mengawan itu, aku bisa mengenali seluruh keadaan
di sekelilingku. Kami berada di dapur. Jendela kabur oleh embun. Di atas kompor
dan meja terdapat beberapa cerek sekaligus panci, berisi amplop-amplop yang
masih tertutup dan rebah pada satu sama lainnya disangga tripod-tripodan dari
tusuk gigi serta perekat Blu-Tak.
“Teh?”
ucapnya entah dari sebelah mana.
“Apa-apaan
ini? Ini surat punya orang-orang?”
“Cereknya
kupanaskan, ya,” ujar si tukang pos, tahu-tahu muncul dan menghilang lagi di
balik kabut. Aku pun duduk di meja dan mengamati halaman demi halaman yang
lembap itu. Bagaimana kondisi kaki baru
Paman Harold? .... Dengan menyesal kami sampaikan bahwa lamaran Anda tidak
berhasil .... Gadis-gadis di sini cantik dan sopan .... Bazzer tersayang, Ibu
meninggal hari ini ....
“Maksudku,
apa-apaan yang kamu lakukan ini?” tanyaku sangsi.
“Yah,
kurasa awalnya sih cuma hobi,” ujar si tukang pos seraya menoleh, “lalu berkembang
jadi lebih daripada itu. Aku suka menemukan pemecahan masalah. Jawaban. Hidup
ini kan penuh dengan persoalan. Segelintir orang dengan hak istimewa saja yang
punya akses pada jawabannya.”
“Tetapi kamu
enggak boleh--“
“Betapa
menakjubkan yang dikatakan orang-orang dalam surat mereka,” renungnya.
“Dan ini
... campur tangan keji dalam privasi orang ini yang kamu sebut pelacakan, ya?”
“Sampean mungkin tidak suka,” tanggapnya, seraya meletakkan cangkir di depanku
dan duduk, “namun ini pun berarti aku bisa memberimu Jaminan Keberhasilan
Bersegel Emas.”
“Hmm,”
sahutku.
“Mari
bicara soal bisnis,” ujarnya. “Sebenarnya, saat melihatmu di pintu tadi kurasa sampean datang karena masalah hipotek.”
“Masak
sih,” ucapku.
“Ya,
pikirku sampean mungkin mau memalsukan kematian sendiri atau semacamnya. Bukan
hal langka, orang dalam keadaan sepertimu.”
“Itu bukan
urusanmu,” ujarku angkuh, “tetapi hipotek itu sih soal kecil, salah sasaran saja.
Malah sebenarnya, aku baru saja hendak menemui manajer bank dan membereskan
itu.”
Tersenyum
sabar ia padaku. “Tentu,” sahutnya. “Tentu saja sampean harus ke situ. Dengan
begitu kukira orang-orang repo[2] tak akan
memerlukan ini. Dari gundukan surat ditariknya sehelai dengan kop berlogo Bank Irlandia, semacam perselingkuhan antara simbol-euro-dan-swastika, lalu
menyerahkannya padaku. Surat itu dialamatkan pada agen penagih utang, yang
menyatakan bahwa bank tersebut kini telah memiliki otorisasi hukum untuk
mengambil “langkah selanjutnya” sehingga para penagih dapat segera memulai “pemulihan”.
“Benar,”
kuteguk ludah. “Tidak ada gunanya itu.”
“Jadi sampean datang karena adik, ya,” ucapnya, sambil menyeringai.
“Ya--dengarkan
ini, Mata, tolong singkirkan ekspresi cabul itu saat membicarakan adikku, jika
kamu berkenan.”
“Baiklah,”
ujarnya ramah. “Gadis yang menarik, padahal. Sayang perusahaan itu tidak menerimanya. Menurutku
dia akan berhasil.” Termenung ia mengembuskan napas, mengangkat pergelangan
kaki di atas paha, dan memainkan kelim celana panjangnya. “Menurunkan semangat
saja, penolakan seperti itu,” imbuhnya setelah berpikir kemudian.
“Aku tidak
mengerti yang kamu omongkan.” Kemahatahuannya mulai menjengkelkanku. Rasanya
seperti menjumpai Penyihir Oz atau semacamnya. “Dan aku pun enggak mau tahu.
Aku enggak benar-benar senang mengambil tindakan begini, dan akan kuhargai,
Mata, jika kita bisa berhenti membicarakan ini dan kamu pun setidaknya sudi
berlagak tidak mengetahui apa pun yang bisa diketahui tentang keluargaku.”
“Cukup
adil.”
“Dan lagi,
tidakkah kamu punya nama? Aku tidak bisa terus memanggilmu ‘Mata’, membingungkan
rasanya.”
“Oke.”
Matanya memicing dan rahangnya diusap-usap. “Panggil aku ... MacGillycuddy.”
“Baiklah
kalau begitu.” Sambil meraup seceruk udara dari uap untuk kuhirup, kuberi tahu
MacGillycuddy seluruh kisah tentang kemunculan Frank yang misterius lagi
mendadak di rumahku. Masa lalunya yang kelam serta masa kininya yang sama-sama
kelam, keberhasilannya dengan Bel yang mengherankan, hilangnya berbagai perabot
rumah, hingga van putih karatan yang menyeramkan.
“Aku enggak
begitu mengerti sebabnya sampean sangat terganggu oleh van itu,” ujar
MacGillycuddy.
“Karena
enggak ada yang tahu ada apa di dalamnya,
itulah sebabnya.” Kuceritakan sewaktu Frank mengantar kami ke balapan grehon,
diam-diam aku berhasil mengintip ke belakang dan samar-samar melihat, lewat
kisi-kisi yang bernoda, penampakan yang menyerupai bergunduk-gunduk sampah.
“Memang
enggak lazim, benar juga,” MacGillycuddy mengakui.
“Ini lebih
daripada sekadar enggak lazim. Orang itu sosiopat.
Maksudku entahkah kamu tahu soal dongengan Yahudi, tetapi--yah, mungkin
sebaiknya kita enggak membicarakan itu dulu sekarang ini. Yang disayangkan tuh
karena adikku punya ketertarikan pada
sosiopat dan kalau aku enggak terus mengawasi Frank, dia bakal melarikan
seluruh rumah di samping adikku.”
“Jadi sampean ingin aku ....”
Kukatakan
bahwa aku ingin dirinya mencari tahu segala hal tentang Frank sebisanya: siapa
orang itu, apa yang dilakukannya, bagaimana nasib kursiku. “Pokoknya, apa pun
yang memberatkan dia,” ucapku.
“Gampang
itu,” ujar MacGillycuddy. “Mainan. Kasih aku dua puluh empat jam.” Setelah
mencoretkan nomor teleponku serta cek untuk persekot, aku pun beranjak untuk
pergi.
“Sampaikan
salamku pada ibumu,” ia berkedip. “Senang jika dia kembali.”
Aku tergoda
untuk mengusut ini, namun melihat kedua tangannya yang saling mengusap dengan
nafsu cukup menjadi peringatan bagiku supaya tidak membuka kotak Pandora
lainnya. Kusampaikan salam padanya, dan kubuka pintu.
“Juga pada
orang-orang repo itu!” serunya kemudian.
Aku pun
kembali ke pusat perbelanjaan sambil tenggelam dalam pemikiran. Jadi mereka
sudah memanggil penagih utang. Mereka kurang sportif rupanya. Perundingan ini
mungkin bukanlah basa-basi seperti yang kuharapkan. Aku menarik napas
dalam-dalam, dan melangkah melewati pintu bank.
Ruangannya
panjang tanpa jendela. Kipas angin yang cukup elok tergantung lemas pada
langit-langit yang rendah. Di sisi kiri memanjang meja kayu berpelitur, yang memajang
beberapa pena berkabel, formulir transaksi, selebaran kredit mobil, obligasi, serta
skema investasi yang sulit dimengerti. Di sebelah kanan, di samping deretan
pendek kursi yang tak enak untuk diduduki, terdapat pintu berkisi yang mengarah
ke ruangan lain tempat pembayaran uang tunai, setoran, dan seterusnya. Pada
bidang yang mencolok di dinding tergantung dua gambar bersisian. Yang satu
berupa pemandangan lesu kilatan matahari nan teduh menerobos pepohonan. “KEPERCAYAAN”,
tertera di bawahnya dalam huruf yang besar dan bersungguh-sungguh. Yang lainnya
agak lebih menarik, menampakkan pulau tropis beserta beberapa lumba-lumba
bermain-main ceria persis di lepas pantai. “PELAYANAN BERMUTU”, begitu
tulisannya.
Di belakang
ruangan, lelaki berjas biru yang jahitannya jelek tersenyum padaku dari balik
meja. Lengannya dilipat. Ia duduk tepat di tengah-tengah antara komputernya dan
pot tanaman yang tampak palsu. Ia terlihat seolah-olah telah duduk seperti itu
sepanjang hari, sambil tersenyum sabar. Tanda bertulisan “Informasi” menempel
di atasnya, dengan sebilah panah menunjuk ke bawah mengarah kepalanya.
“Selamat
sore,” sapanya riang, saat dilihatnya aku sudah selesai meninjau gambar
lumba-lumba.
“Ah, halo,”
jawabku dengan wajah berseri-seri tak keruan, seakan-akan aku sekadar ingin
melewatkan barang beberapa menit yang santai dalam perjalanan entah ke mana.
“Ada yang bisa
saya bantu?” tanyanya. Tampang orang ini kurang menarik, wajahnya ramah agak
bulat, dan mulutnya menyerupai garis tipis.
“Ah, cuma
soal kecil,” racauku, seraya melambaikan beberapa amplop bercap merah padanya. “Cuma
beberapa pemberitahuan final yang tampaknya salah kirim.”
“Ah,”
ucapnya. “Boleh saya lihat sebentar?”
“Boleh,
boleh,” jawabku. “Silakan.”
“Kenapa
tidak duduk saja,” sahutnya, “Bapak ... ?”
“Hythloday--Charles,”
ucapku. “Terima kasih.”
Ia meninjau
lembaran itu dengan raut datar sementara aku bersiul demi menjaga suasana
santai namun sopan yang telah terbangun. Aku mencoba membayangkan dirinya jika
tidak menempati mejanya--menyoraki balapan sampan, atau merengut penuh
pertimbangan pada stoples acar di supermarket. Ia menggeser kursinya ke
komputer dan mulai mengetuk-ngetuk kibor. Tepat tiga menit ia mengetik. “Oh,”
sempat ia berucap, sesaat menarik diri dari layar. Iseng aku mencondongkan
badan namun tidak bisa melihat yang tertera. Dengan gelisah aku melanjutkan
bersiul.
“Yah, Charles,”
akhirnya ia berkata, “di sini dikatakan bahwa kami belum menerima pembayaran
hipotek dari Anda selama lebih dari enam bulan.”
“Ya,
benar,” ujarku cekatan sehingga kedengarannya mudah-mudahan seperti penjelasan.
“Tampaknya
kami telah berusaha menghubungi Anda mengenai hal tersebut selama beberapa
waktu,” lanjutnya, sembari terus menatap pada layar komputer. “Anda tidak
mendapat surat-surat dari kami mengenai tindakan hukum?”
Ia berusaha
supaya tetap terdengar ramah namun aku menyadari bahwa ia merasa terluka,
seakan-akan aku telah sengaja mempermainkannya. Kujelaskan bahwa suratnya salah
masuk ke Laci Kabel namun tetap saja suasana terasa kaku.
“Laci Kabel,”
ulangnya pada diri sendiri, berusaha untuk mengerti.
“Bukan cuma
kabel sih,” lanjutku, “di situ ada barang lainnya juga: paku payung, isolasi,
barang semacam itu.”
“Ya,”
sahutnya, seraya menempatkan kedua belah tangannya pada puncak kepala dan
bersandar ke kursi. Aku merasa bagai bedebah. “Yah, Charles, siapa pun bisa
saja salah menaruh barang. Tetapi sayangnya kita tetap punya masalah.”
“Iyakah?”
“Ya--kecuali,
tentunya, kamu bisa memberitahuku bahwa di dompetmu ada sejumlah--“ ia
menyebutkan jumlah tersebut sambil tertawa geli--“dalam bentuk tunai, ha
ha”--namun matanya memohon dengan sangat padaku agar memberinya sesuatu, tidak membiarkan utang lama nan
menyuramkan ini menenggelamkan persahabatan yang telah terbina secara indahnya
di antara kami berdua. Hatiku mencelus lagi. Kebetulan saja, angka yang ia
sebutkan itu sama besarnya dengan yang kuhilangkan sewaktu bermain bakarat pada
musim semi lalu, dalam sehari di kapal pesiar milik siapalah, bersama Pongo,
Patsy, dan Hoyland Maffey. Betapa tidak berartinya angka tersebut pada waktu
itu, di geladak bawah nan membara; setelah menenggak terlalu banyak Kahlua
dengan Patsy melekat di lenganku, sehingga tak mungkin ia sambil main petak-umpet
yang kekanak-kanakkan itu bersama Hoyland, yang--saat itu rasanya tidak penting
apakah aku menang atau kalah. Patsy mengepit sikuku, tertawa-tawa, dan
menyorakiku. Anting mutiara kecil bersinar di sela rambut pendek hitamnya.
Semua kartu terlihat sama saja, tersenyum dalam cahaya yang tersaring melalui
jendela-mati, sementara si bandar menyikat segunduk keripik baru ....
“Mestinya
ada tindakan yang bisa diambil,” ucapku.
Si pegawai
bank mengunyah pulpennya tanpa harapan. “Charles, entahlah,” ujarnya. “Aku
benar-benar tidak tahu.”
“Tetapi
keluargaku punya aset kan--maksudku
bukan berarti kami benar-benar sudah bangkrut. Ini cuma masalah sementara.
Tidak bisakah kita mengatur ... pinjamannya, atau penangguhan atau semacamnya?
Setidaknya sampai aku dapat membicarakannya dengan akuntan Ayah, sehingga dia
bisa ... dia bisa menarik dana dari dividen kami ....”
Si pegawai
bank menatapku dengan senyum tipis yang letih. Ia tahu aku tidak mengerti yang
kuucapkan. “Charles,” ujarnya, “semua usulmu baik dan bagus. Aku mau saja
melakukannya untukmu, Charlie, dan seandainya secara pribadi persoalan ini
terserah padaku, kamu benar, adakan saja penangguhan, persisnya itulah yang akan
kulakukan. Tetapi kamu mengerti kan, aku juga harus menjaga kepentingan bank.”
Matanya menatapku sungguh-sungguh, berharap aku bisa mengerti. “Utang ini sudah
sejak lama sekali, dan jumlahnya sangat besar, dan--meski secara pribadi aku
memercayaimu--di atas kertas kamu tidak punya jaminan untuk melunasinya. Aku mau
mengurusnya untukmu, Charlie, tetapi aku harus memastikan bahwa bank memperoleh
transaksi yang sepatutnya.”
Kutelan
ludah, seraya menatap balik ke arahnya tanpa daya. Tidakkah menurutnya aku bisa
dipercaya? Apa menurutnya kami ini segerombol penipu berbisa yang mencoba
memanfaatkan kemurahan hati bank? Pada cermin tipis tolol di samping pot
tanaman yang tampak palsu itu sepintas kutangkap kedua belah tanganku saling
meremas, dan bertanya-tanya penasaran milik siapakah, benda apakah keduanya
itu.
“Masalahnya,
Charles--kamu mengerti kan, tingkat hipotek ini tampaknya agak tidak beres. Itulah yang sebenarnya
membingungkanku.”
“Oh ya?”
nanar kuusap keningku.
“Ya. Kamu
mengerti kan, biasanya, Charles, hipotek ini berfungsi bilamana pihak pertama
meninggal dunia--Bapak Ralph Hythloday, yang--ayahmu, ya?”
Aku
mengangguk.
“Aku turut
berduka,” si pegawai bank berucap pelan.
“Terima
kasih,” ujarku. Sejenak kami mengheningkan cipta.
“Meski begitu,”
lanjutnya, “yang biasanya terjadi yaitu, sehubungan dengan kematian peminjam,
asuransi jiwa ditambahkan pada sisa utang. Entah bagaimana, kejadiannya tidak
demikian dalam perkara ayahmu.”
“Tidak?”
Suasana ruangan itu sesak tak tertahankan. Aku menengadah penuh harap pada
kipas angin.
“Tidak ...
lebih jauh lagi ke belakang, aku menemukan bahwa struktur pinjaman yang semula ... yah, aku belum pernah melihat
yang seperti ini. Pembayarannya sama sekali tidak teratur. Dan asalnya pun
hampir-hampir selalu dari sumber yang berbeda. Lihat,” seraya memutar layar ke
arahku, “ini baru yang empat tahun terakhir. Kiranya kami sekadar mendebitkan
atas nama ayahmu, uang yang dibayar oleh perusahaan ini pada tanggal ini, dan
oleh perusahaan lainnya di sini, kemudian tidak ada selama berbulan-bulan,
kemudian pembayaran tunai dari bank yang tidak kukenal--kamu kenal siapa-siapa
saja mereka ini?”
“Aset?”
suaraku parau lagi lemah. Kepalaku berputar-putar dan aku tidak bisa memahami
angka yang menari-nari di layar. Mengapa ia tidak membiarkanku pergi saja?
“Entah
siapa yang menyusun ini,” ucapnya, “tetapi ini sangat menyimpang, sangat
menyimpang.”
“Jadi apa
yang sebaiknya kulakukan?” tukasku gugup, benar-benar ingin menyudahi. “Katamu
kamu tidak bisa memberiku pinjaman, dan kamu tidak bisa memberiku lebih banyak
waktu.”
Ia
menatapku dengan tabah lagi memilukan. “Charles, tanganku terkekang,” ujarnya.
“Jika kamu dapat menemukan akuntan keluargamu, dan ia bisa memahami ujung
pangkalnya--yah, selanjutnya, mungkin kita bisa memecahkan persoalannya. Tetapi
sekarang ini ... utangnya harus
dilunasi.”
“Yang
berarti rumahnya akan diambil alih?”
“Begitulah
prosedur operasi standarnya, ya.” Ia merengut di balik tautan jemarinya.
“Aku
mengerti.” Itulah intinya. Aku meraih jasku di belakang dan bangkit. “Yah,”
ucapku, kembali pada gaya riang sebagaimana mula tadi, seakan-akan segala
persoalan ini tidak sungguh-sungguh penting.
“Ya,” si
pegawai bank turut menyesuaikan, “terima kasih sudah mampir.” Ia mengulurkan
tangan untuk menjabatku.
“Terima kasih,” sahutku tanpa sungguh tahu
alasan mengatakannya, dan berjalan ke pintu.
“Oh,
Charles?”
“Ya?”
“Mengapa
tidak membawa ini?” Ia mengambil sesuatu dari laci dan mengulurkannya padaku.
“Terima
kasih,” ujarku, seraya mengambilnya. Benda itu berupa gantungan kunci. Pada
salah satu sisi keping plastiknya terdapat logo Bank Irlandia, dan pada sisi
lainnya tulisan “Kami Menjanjikan Anda”, dicantelkan pada cincin logam yang,
kiranya, bisa menjadi gantungan kunci rumah yang tidak lagi kumiliki.
“Sama-sama,”
ucapnya hangat. “Hati-hati di jalan.”