Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20161209

An Evening of Long Goodbyes, Bab 3 (2/4) (Paul Murray, 2003)

Lokasi bank tersebut sekitar satu setengah mil dari rumah, di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Petang itu aku berangkat demi menemui manajernya. Aku yakin Bel berlebihan dalam menanggapi perkara ini lebih daripada yang diperlukan, tetapi aku sadar aku pun tidak akan merasa tenang hingga membereskannya. Selain itu, kesempatan ini bisa menyelubungi persoalan lain yang perlu kuurus. Ada perjanjian ataupun tidak, perabot masih pada menghilang. Aku ingin tahu kalau-kalau aku bisa menemukan keterangan mengenai latar belakang teman Golem kami.

Jarang-jarang aku memberanikan diri berada sejauh itu dari rumah. Bel menganggapnya sebagai contoh lain dari “wawasan feodal”ku. “Kamu memandang dirimu sendiri sebagai Tuan Tanah,” begitu katanya, “dan orang-orang ini merupakan budakmu, sehingga kamu enggak mau bergesekkan bahu dengan mereka kalau-kalau kamu menangkap sesuatu.” Tetapi bukan itu sama sekali. Seiring dengan mundurnya jalanan teduh di atas permukaan laut menjadi kawasan pinggir kota di sekeliling, sembari mengamat-amati dari jok belakang taksi, aku merasa tercekam--seperti biasanya--oleh rasa terancam dan takut akan terkurung dalam ruangan sempit dan tertutup. Kekejaman rakitan nan asing pada pusat perbelanjaan menakutiku. Entahkah itu salon rambut harga diskon, butik-butik berisi baju rok pastel suram, ataupun toko agen koran, pegawainya mengalami kemunduran abadi. Tampaknya mereka melompati seluruh anak tangga pada jenjang evolusioner, sehingga ucapan silakan dan terima kasih telah lama tak lagi berarti, dan sekiranya beberapa hari lagi aku kemari akan kudapati mereka tengah menggerogoti tulang dan menyembah api. Sebagai budak pun aku ragu mereka bakal berguna bagiku.

Toh ke toko agen koran itulah aku menuju sekarang. Dari taksi aku berderap di atas jalanan berbatu imitasi yang baru dipasang. Dengan hati-hati sekali aku menyisi melewati perayaan Santa Walpurga[1] yang terdiri dari para wanita paruh baya berambut dikelantang, orang-orang berjaket kulit palsu, serta anak-anak yang bernyanyi yodel. Di seberang jalan papan iklan raksasa merajai cakrawala. “BANK IRLANDIA: KAMI MENJANJIKAN ANDA,” tertera di situ. “100 CARA UNTUK MENJADIKAN HIDUP PELANGGAN KAMI LEBIH BAIK LAGI.” Yang terasa memberikan harapan baik bagiku dan kesulitanku, namun di bawah huruf-huruf tersebut terdapat gambar sekumpulan pegawai Bank Irlandia, yang melambai sedih pada kamera. Jumlah mereka ribuan, pasukan bisu berpakaian jas biru seragam, dengan keluwesan mengerikan yang menjadikan mereka terasa makin mengancam.

Jendela toko agen koran itu kusut oleh kartu-kartu berwarna terang mencolok. Kupindai iklan tentang pengasuh, penyiangan halaman, anak kucing, les matematika, hingga kutemukan yang kucari.

Mata Penerawang-Segala.
Perselingkuhan rumah tangga? Pemerasan?
Kongkalikong melawan Anda di Kantor?
Mata Penerawang-Segala Menerawang Segalanya.
Memastikan kecurigaan Anda
dan menenangkan pikiran Anda.
Jaminan Keberhasilannya Bersegel Emas

Kucatat nomornya lalu kucari bilik telepon yang belum kena aksi vandal.

“Halo?” sahut suara yang amat berhati-hati, rendah dan sayup seakan tak mau membocorkan sedikit pun petunjuk mengenai identitas dirinya.

“Ini Mata Penerawang-Segala?” tanyaku.

“Bisa jadi,” ujar suara itu.

“Namaku Charl--“

“Jangan sebut nama!” potong suara itu seketika.

“Baiklah kalau begitu, namaku ... C, dan aku butuh bantuanmu.”

“Perselingkuhan rumah tangga? Pemerasan? Kongka--“

“Bukan, bukan, bukan itu. Ada orang yang mencuri perabot rumahku.”

“Oh,” ucap Mata Penerawang-Segala. “Sampean yakin bukan perselingkuhan rumah tangga?”

“Bukan,” ujarku. “Pelakunya pacar adikku.”

Ah,” ucapnya mesum. “Mau fotonya, ya?”

Bukan, begini, Mata, kamu mau membantuku tidak?”

“Ke kantorku saja,” ujar si Mata, “The Savannah nomor 118. Datanglah sendirian. Mata Penerawang-Segala menerima uang tunai dan semua kartu kredit utama.”

“Baiklah,” sahutku.

“Proses cetak foto makan biaya tambahan, tapinya, dan Mata Penerawang-Segala berhak untuk menahan negatif film yang dia suka ....”

Ia memberiku arahan ke kantornya, yang sebenarnya lebih merupakan rumah kecil yang dindingnya bersambungan dengan rumah serupa di sebelahnya di lahan perumahan demikian dekat-dekat situ. Aku membunyikan bel pintu dan setelah serangkaian suara membuka kunci, pintu dibuka oleh sesosok akrab: tak lain daripada tukang pos kami yang lalai, yang berbau gin dan hanya mengantar kiriman ketika lagi pengin.

“Apa!” ucapku.

“C?” sahutnya.

“Tetapi kamu kan--“

“Jangan sebut nama,” tukasnya, dan setelah melirik kanan-kiri ia mengisyaratkanku untuk masuk. Lorong rumahnya disarati gelombang uap, yang segera menelannya. Aku menyusul sebisaku dan tiba di ruangan yang lebih beruap lagi. Setelah sesaat terantuk ke sana kemari membabi buta aku pun menabrak sesuatu. Seketika muncullah meja. Di atasnya tergeletak kantung surat. Di kedua sisi kantung itu terdapat gundukan: yang satu berupa amplop-amplop terbuka, yang lain barangkali berupa isinya--ratusan lembar surat baik ditulis tangan maupun dicetak.

Perlahan, melalui celah-celah pada uap mengawan itu, aku bisa mengenali seluruh keadaan di sekelilingku. Kami berada di dapur. Jendela kabur oleh embun. Di atas kompor dan meja terdapat beberapa cerek sekaligus panci, berisi amplop-amplop yang masih tertutup dan rebah pada satu sama lainnya disangga tripod-tripodan dari tusuk gigi serta perekat Blu-Tak.

“Teh?” ucapnya entah dari sebelah mana.

“Apa-apaan ini? Ini surat punya orang-orang?”

“Cereknya kupanaskan, ya,” ujar si tukang pos, tahu-tahu muncul dan menghilang lagi di balik kabut. Aku pun duduk di meja dan mengamati halaman demi halaman yang lembap itu. Bagaimana kondisi kaki baru Paman Harold? .... Dengan menyesal kami sampaikan bahwa lamaran Anda tidak berhasil .... Gadis-gadis di sini cantik dan sopan .... Bazzer tersayang, Ibu meninggal hari ini ....

“Maksudku, apa-apaan yang kamu lakukan ini?” tanyaku sangsi.

“Yah, kurasa awalnya sih cuma hobi,” ujar si tukang pos seraya menoleh, “lalu berkembang jadi lebih daripada itu. Aku suka menemukan pemecahan masalah. Jawaban. Hidup ini kan penuh dengan persoalan. Segelintir orang dengan hak istimewa saja yang punya akses pada jawabannya.”

“Tetapi kamu enggak boleh--“

“Betapa menakjubkan yang dikatakan orang-orang dalam surat mereka,” renungnya.

“Dan ini ... campur tangan keji dalam privasi orang ini yang kamu sebut pelacakan, ya?”

“Sampean mungkin tidak suka,” tanggapnya, seraya meletakkan cangkir di depanku dan duduk, “namun ini pun berarti aku bisa memberimu Jaminan Keberhasilan Bersegel Emas.”

“Hmm,” sahutku.

“Mari bicara soal bisnis,” ujarnya. “Sebenarnya, saat melihatmu di pintu tadi kurasa sampean datang karena masalah hipotek.”

“Masak sih,” ucapku.

“Ya, pikirku sampean mungkin mau memalsukan kematian sendiri atau semacamnya. Bukan hal langka, orang dalam keadaan sepertimu.”

“Itu bukan urusanmu,” ujarku angkuh, “tetapi hipotek itu sih soal kecil, salah sasaran saja. Malah sebenarnya, aku baru saja hendak menemui manajer bank dan membereskan itu.”

Tersenyum sabar ia padaku. “Tentu,” sahutnya. “Tentu saja sampean harus ke situ. Dengan begitu kukira orang-orang repo[2] tak akan memerlukan ini. Dari gundukan surat ditariknya sehelai dengan kop berlogo Bank Irlandia, semacam perselingkuhan antara simbol-euro-dan-swastika, lalu menyerahkannya padaku. Surat itu dialamatkan pada agen penagih utang, yang menyatakan bahwa bank tersebut kini telah memiliki otorisasi hukum untuk mengambil “langkah selanjutnya” sehingga para penagih dapat segera memulai “pemulihan”.

“Benar,” kuteguk ludah. “Tidak ada gunanya itu.”

“Jadi sampean datang karena adik, ya,” ucapnya, sambil menyeringai.

“Ya--dengarkan ini, Mata, tolong singkirkan ekspresi cabul itu saat membicarakan adikku, jika kamu berkenan.”

“Baiklah,” ujarnya ramah. “Gadis yang menarik, padahal. Sayang perusahaan itu tidak menerimanya. Menurutku dia akan berhasil.” Termenung ia mengembuskan napas, mengangkat pergelangan kaki di atas paha, dan memainkan kelim celana panjangnya. “Menurunkan semangat saja, penolakan seperti itu,” imbuhnya setelah berpikir kemudian.

“Aku tidak mengerti yang kamu omongkan.” Kemahatahuannya mulai menjengkelkanku. Rasanya seperti menjumpai Penyihir Oz atau semacamnya. “Dan aku pun enggak mau tahu. Aku enggak benar-benar senang mengambil tindakan begini, dan akan kuhargai, Mata, jika kita bisa berhenti membicarakan ini dan kamu pun setidaknya sudi berlagak tidak mengetahui apa pun yang bisa diketahui tentang keluargaku.”

“Cukup adil.”

“Dan lagi, tidakkah kamu punya nama? Aku tidak bisa terus memanggilmu ‘Mata’, membingungkan rasanya.”

“Oke.” Matanya memicing dan rahangnya diusap-usap. “Panggil aku ... MacGillycuddy.”

“Baiklah kalau begitu.” Sambil meraup seceruk udara dari uap untuk kuhirup, kuberi tahu MacGillycuddy seluruh kisah tentang kemunculan Frank yang misterius lagi mendadak di rumahku. Masa lalunya yang kelam serta masa kininya yang sama-sama kelam, keberhasilannya dengan Bel yang mengherankan, hilangnya berbagai perabot rumah, hingga van putih karatan yang menyeramkan.

“Aku enggak begitu mengerti sebabnya sampean sangat terganggu oleh van itu,” ujar MacGillycuddy.

“Karena enggak ada yang tahu ada apa di dalamnya, itulah sebabnya.” Kuceritakan sewaktu Frank mengantar kami ke balapan grehon, diam-diam aku berhasil mengintip ke belakang dan samar-samar melihat, lewat kisi-kisi yang bernoda, penampakan yang menyerupai bergunduk-gunduk sampah.

“Memang enggak lazim, benar juga,” MacGillycuddy mengakui.

“Ini lebih daripada sekadar enggak lazim. Orang itu sosiopat. Maksudku entahkah kamu tahu soal dongengan Yahudi, tetapi--yah, mungkin sebaiknya kita enggak membicarakan itu dulu sekarang ini. Yang disayangkan tuh karena adikku punya ketertarikan pada sosiopat dan kalau aku enggak terus mengawasi Frank, dia bakal melarikan seluruh rumah di samping adikku.”

“Jadi sampean ingin aku ....”

Kukatakan bahwa aku ingin dirinya mencari tahu segala hal tentang Frank sebisanya: siapa orang itu, apa yang dilakukannya, bagaimana nasib kursiku. “Pokoknya, apa pun yang memberatkan dia,” ucapku.

“Gampang itu,” ujar MacGillycuddy. “Mainan. Kasih aku dua puluh empat jam.” Setelah mencoretkan nomor teleponku serta cek untuk persekot, aku pun beranjak untuk pergi.

“Sampaikan salamku pada ibumu,” ia berkedip. “Senang jika dia kembali.”

Aku tergoda untuk mengusut ini, namun melihat kedua tangannya yang saling mengusap dengan nafsu cukup menjadi peringatan bagiku supaya tidak membuka kotak Pandora lainnya. Kusampaikan salam padanya, dan kubuka pintu.

“Juga pada orang-orang repo itu!” serunya kemudian.

Aku pun kembali ke pusat perbelanjaan sambil tenggelam dalam pemikiran. Jadi mereka sudah memanggil penagih utang. Mereka kurang sportif rupanya. Perundingan ini mungkin bukanlah basa-basi seperti yang kuharapkan. Aku menarik napas dalam-dalam, dan melangkah melewati pintu bank.

Ruangannya panjang tanpa jendela. Kipas angin yang cukup elok tergantung lemas pada langit-langit yang rendah. Di sisi kiri memanjang meja kayu berpelitur, yang memajang beberapa pena berkabel, formulir transaksi, selebaran kredit mobil, obligasi, serta skema investasi yang sulit dimengerti. Di sebelah kanan, di samping deretan pendek kursi yang tak enak untuk diduduki, terdapat pintu berkisi yang mengarah ke ruangan lain tempat pembayaran uang tunai, setoran, dan seterusnya. Pada bidang yang mencolok di dinding tergantung dua gambar bersisian. Yang satu berupa pemandangan lesu kilatan matahari nan teduh menerobos pepohonan. “KEPERCAYAAN”, tertera di bawahnya dalam huruf yang besar dan bersungguh-sungguh. Yang lainnya agak lebih menarik, menampakkan pulau tropis beserta beberapa lumba-lumba bermain-main ceria persis di lepas pantai. “PELAYANAN BERMUTU”, begitu tulisannya.

Di belakang ruangan, lelaki berjas biru yang jahitannya jelek tersenyum padaku dari balik meja. Lengannya dilipat. Ia duduk tepat di tengah-tengah antara komputernya dan pot tanaman yang tampak palsu. Ia terlihat seolah-olah telah duduk seperti itu sepanjang hari, sambil tersenyum sabar. Tanda bertulisan “Informasi” menempel di atasnya, dengan sebilah panah menunjuk ke bawah mengarah kepalanya.

“Selamat sore,” sapanya riang, saat dilihatnya aku sudah selesai meninjau gambar lumba-lumba.

“Ah, halo,” jawabku dengan wajah berseri-seri tak keruan, seakan-akan aku sekadar ingin melewatkan barang beberapa menit yang santai dalam perjalanan entah ke mana.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Tampang orang ini kurang menarik, wajahnya ramah agak bulat, dan mulutnya menyerupai garis tipis.

“Ah, cuma soal kecil,” racauku, seraya melambaikan beberapa amplop bercap merah padanya. “Cuma beberapa pemberitahuan final yang tampaknya salah kirim.”

“Ah,” ucapnya. “Boleh saya lihat sebentar?”

“Boleh, boleh,” jawabku. “Silakan.”

“Kenapa tidak duduk saja,” sahutnya, “Bapak ... ?”

“Hythloday--Charles,” ucapku. “Terima kasih.”

Ia meninjau lembaran itu dengan raut datar sementara aku bersiul demi menjaga suasana santai namun sopan yang telah terbangun. Aku mencoba membayangkan dirinya jika tidak menempati mejanya--menyoraki balapan sampan, atau merengut penuh pertimbangan pada stoples acar di supermarket. Ia menggeser kursinya ke komputer dan mulai mengetuk-ngetuk kibor. Tepat tiga menit ia mengetik. “Oh,” sempat ia berucap, sesaat menarik diri dari layar. Iseng aku mencondongkan badan namun tidak bisa melihat yang tertera. Dengan gelisah aku melanjutkan bersiul.

“Yah, Charles,” akhirnya ia berkata, “di sini dikatakan bahwa kami belum menerima pembayaran hipotek dari Anda selama lebih dari enam bulan.”

“Ya, benar,” ujarku cekatan sehingga kedengarannya mudah-mudahan seperti penjelasan.

“Tampaknya kami telah berusaha menghubungi Anda mengenai hal tersebut selama beberapa waktu,” lanjutnya, sembari terus menatap pada layar komputer. “Anda tidak mendapat surat-surat dari kami mengenai tindakan hukum?”

Ia berusaha supaya tetap terdengar ramah namun aku menyadari bahwa ia merasa terluka, seakan-akan aku telah sengaja mempermainkannya. Kujelaskan bahwa suratnya salah masuk ke Laci Kabel namun tetap saja suasana terasa kaku.

“Laci Kabel,” ulangnya pada diri sendiri, berusaha untuk mengerti.

“Bukan cuma kabel sih,” lanjutku, “di situ ada barang lainnya juga: paku payung, isolasi, barang semacam itu.”

“Ya,” sahutnya, seraya menempatkan kedua belah tangannya pada puncak kepala dan bersandar ke kursi. Aku merasa bagai bedebah. “Yah, Charles, siapa pun bisa saja salah menaruh barang. Tetapi sayangnya kita tetap punya masalah.”

“Iyakah?”

“Ya--kecuali, tentunya, kamu bisa memberitahuku bahwa di dompetmu ada sejumlah--“ ia menyebutkan jumlah tersebut sambil tertawa geli--“dalam bentuk tunai, ha ha”--namun matanya memohon dengan sangat padaku agar memberinya sesuatu, tidak membiarkan utang lama nan menyuramkan ini menenggelamkan persahabatan yang telah terbina secara indahnya di antara kami berdua. Hatiku mencelus lagi. Kebetulan saja, angka yang ia sebutkan itu sama besarnya dengan yang kuhilangkan sewaktu bermain bakarat pada musim semi lalu, dalam sehari di kapal pesiar milik siapalah, bersama Pongo, Patsy, dan Hoyland Maffey. Betapa tidak berartinya angka tersebut pada waktu itu, di geladak bawah nan membara; setelah menenggak terlalu banyak Kahlua dengan Patsy melekat di lenganku, sehingga tak mungkin ia sambil main petak-umpet yang kekanak-kanakkan itu bersama Hoyland, yang--saat itu rasanya tidak penting apakah aku menang atau kalah. Patsy mengepit sikuku, tertawa-tawa, dan menyorakiku. Anting mutiara kecil bersinar di sela rambut pendek hitamnya. Semua kartu terlihat sama saja, tersenyum dalam cahaya yang tersaring melalui jendela-mati, sementara si bandar menyikat segunduk keripik baru ....

“Mestinya ada tindakan yang bisa diambil,” ucapku.

Si pegawai bank mengunyah pulpennya tanpa harapan. “Charles, entahlah,” ujarnya. “Aku benar-benar tidak tahu.”

“Tetapi keluargaku punya aset kan--maksudku bukan berarti kami benar-benar sudah bangkrut. Ini cuma masalah sementara. Tidak bisakah kita mengatur ... pinjamannya, atau penangguhan atau semacamnya? Setidaknya sampai aku dapat membicarakannya dengan akuntan Ayah, sehingga dia bisa ... dia bisa menarik dana dari dividen kami ....”

Si pegawai bank menatapku dengan senyum tipis yang letih. Ia tahu aku tidak mengerti yang kuucapkan. “Charles,” ujarnya, “semua usulmu baik dan bagus. Aku mau saja melakukannya untukmu, Charlie, dan seandainya secara pribadi persoalan ini terserah padaku, kamu benar, adakan saja penangguhan, persisnya itulah yang akan kulakukan. Tetapi kamu mengerti kan, aku juga harus menjaga kepentingan bank.” Matanya menatapku sungguh-sungguh, berharap aku bisa mengerti. “Utang ini sudah sejak lama sekali, dan jumlahnya sangat besar, dan--meski secara pribadi aku memercayaimu--di atas kertas kamu tidak punya jaminan untuk melunasinya. Aku mau mengurusnya untukmu, Charlie, tetapi aku harus memastikan bahwa bank memperoleh transaksi yang sepatutnya.”

Kutelan ludah, seraya menatap balik ke arahnya tanpa daya. Tidakkah menurutnya aku bisa dipercaya? Apa menurutnya kami ini segerombol penipu berbisa yang mencoba memanfaatkan kemurahan hati bank? Pada cermin tipis tolol di samping pot tanaman yang tampak palsu itu sepintas kutangkap kedua belah tanganku saling meremas, dan bertanya-tanya penasaran milik siapakah, benda apakah keduanya itu.

“Masalahnya, Charles--kamu mengerti kan, tingkat hipotek ini tampaknya agak tidak beres. Itulah yang sebenarnya membingungkanku.”

“Oh ya?” nanar kuusap keningku.

“Ya. Kamu mengerti kan, biasanya, Charles, hipotek ini berfungsi bilamana pihak pertama meninggal dunia--Bapak Ralph Hythloday, yang--ayahmu, ya?”

Aku mengangguk.

“Aku turut berduka,” si pegawai bank berucap pelan.

“Terima kasih,” ujarku. Sejenak kami mengheningkan cipta.

“Meski begitu,” lanjutnya, “yang biasanya terjadi yaitu, sehubungan dengan kematian peminjam, asuransi jiwa ditambahkan pada sisa utang. Entah bagaimana, kejadiannya tidak demikian dalam perkara ayahmu.”

“Tidak?” Suasana ruangan itu sesak tak tertahankan. Aku menengadah penuh harap pada kipas angin.

“Tidak ... lebih jauh lagi ke belakang, aku menemukan bahwa struktur pinjaman yang semula ... yah, aku belum pernah melihat yang seperti ini. Pembayarannya sama sekali tidak teratur. Dan asalnya pun hampir-hampir selalu dari sumber yang berbeda. Lihat,” seraya memutar layar ke arahku, “ini baru yang empat tahun terakhir. Kiranya kami sekadar mendebitkan atas nama ayahmu, uang yang dibayar oleh perusahaan ini pada tanggal ini, dan oleh perusahaan lainnya di sini, kemudian tidak ada selama berbulan-bulan, kemudian pembayaran tunai dari bank yang tidak kukenal--kamu kenal siapa-siapa saja mereka ini?”

“Aset?” suaraku parau lagi lemah. Kepalaku berputar-putar dan aku tidak bisa memahami angka yang menari-nari di layar. Mengapa ia tidak membiarkanku pergi saja?

“Entah siapa yang menyusun ini,” ucapnya, “tetapi ini sangat menyimpang, sangat menyimpang.”

“Jadi apa yang sebaiknya kulakukan?” tukasku gugup, benar-benar ingin menyudahi. “Katamu kamu tidak bisa memberiku pinjaman, dan kamu tidak bisa memberiku lebih banyak waktu.”

Ia menatapku dengan tabah lagi memilukan. “Charles, tanganku terkekang,” ujarnya. “Jika kamu dapat menemukan akuntan keluargamu, dan ia bisa memahami ujung pangkalnya--yah, selanjutnya, mungkin kita bisa memecahkan persoalannya. Tetapi sekarang ini ... utangnya harus dilunasi.”

“Yang berarti rumahnya akan diambil alih?”

“Begitulah prosedur operasi standarnya, ya.” Ia merengut di balik tautan jemarinya.

“Aku mengerti.” Itulah intinya. Aku meraih jasku di belakang dan bangkit. “Yah,” ucapku, kembali pada gaya riang sebagaimana mula tadi, seakan-akan segala persoalan ini tidak sungguh-sungguh penting.

“Ya,” si pegawai bank turut menyesuaikan, “terima kasih sudah mampir.” Ia mengulurkan tangan untuk menjabatku.

“Terima kasih,” sahutku tanpa sungguh tahu alasan mengatakannya, dan berjalan ke pintu.

“Oh, Charles?”

“Ya?”

“Mengapa tidak membawa ini?” Ia mengambil sesuatu dari laci dan mengulurkannya padaku.

“Terima kasih,” ujarku, seraya mengambilnya. Benda itu berupa gantungan kunci. Pada salah satu sisi keping plastiknya terdapat logo Bank Irlandia, dan pada sisi lainnya tulisan “Kami Menjanjikan Anda”, dicantelkan pada cincin logam yang, kiranya, bisa menjadi gantungan kunci rumah yang tidak lagi kumiliki.

“Sama-sama,” ucapnya hangat. “Hati-hati di jalan.”



[1] Biarawati abad kedelapan (710-777/9). Tradisi perayaannya diadakan di banyak negara di Eropa.
[2] Reposesi, proses pengambilalihan barang yang dikredit oleh pihak bank jika nasabah atau konsumen dinyatakan gagal memenuhi komitmen dalam perjanjian.