Diterjemahkan oleh Toshiya Kamei
Aku akan menceritakan padamu kisah tentang rok
lebar yang dulu kumiliki. Sedihnya, sekarang aku tidak memilikinya lagi. Ketika
aku menjadi terobsesi pada rok itu, keluargaku menyembunyikannya dari aku. Tak
lama kemudian, rok itu terbakar karena perang.
Tapi
aku tidak pernah melupakan warna biru rok itu yang memesonakan. Bahkan sekarang
pun, ketika aku menutup mata, aku dapat melihat warna itu.
Rok
itu terbuat dari sutra dengan banyak keliman lebar yang jarang pada masa itu.
Pada waktu perang, kebanyakan perempuan mengenakan celana monpe. Jadi
bisa dibayangkan betapa aku menarik perhatian, betapa orang bicara buruk tentang
aku.
Aku bukanlah gadis yang modis. Sewaktu kecil, aku hanya mengenakan lungsuran dari kakakku. Penampilanku rumahan, kecerdasanku pun rata-rata. Aku gadis biasa-biasa saja yang pendiam, tidak ada yang istimewa padaku. Ini ceritaku tentang bagaimana aku terpikat pada rok biru itu.
Ketika
aku berusia dua belas atau tiga belas tahun, aku berteman dengan seorang gadis
yang sangat cantik bernama Michiru. Ia anak perempuan dari ayah orang asing dan
ibu orang Jepang, sehingga matanya sebiru bunga iris. Ia tinggal bersama ibunya
di pemukiman lama bergaya Barat dekat rumahku. Tidak ada seorang pun yang
pernah melihat ayahnya. Desas-desusnya lelaki itu saudagar dari Italia, pelaut
dari Amerika, atau perwira dari Jerman.
“Ayahku
kerja di kapal. Ia berada di tengah Samudra Pasifik,” kata Michiru. “Ia pulang
larut semalam dan memberiku hadiah.” Saat ia membuka telapak tangannya,
menjuntailah seuntai kalung dari kerang.
Aku
ingin bertemu ayah Michiru, sekali saja. Tapi ia tidak pernah mengajakku ke
rumahnya. Tidak seorang pun yang pernah masuk ke rumah yang dikitari belukar
lebat itu.
Walau
begitu, aku dan Michiru sering bermain bersama. Kami keluar dan membeli kertas chiyogami
berpola indah, saling memamerkan kotak-kotak penuh pita, dan membicarakan
tentang buku-buku yang kami baca.
Aku
sangat senang dengan Michiru. Ketika kami berjalan-jalan bersama, orang-orang
yang lewat pada menengok padanya. Diam-diam aku bangga memiliki teman yang
secantik dia.
Suatu
hari—saat itu musim semi atau awal musim panas—Michiru mendatangi rumahku. Saat
itu menjelang sore. Aroma daun-daun hijau tebal berembus dari pagar tanaman.
“Michiru-san
ada di halaman belakang,” kata Ibu. Aku pun berlari ke pintu belakang dan
mendapati Michiru, yang baru saja kujumpai beberapa jam lalu. Dengan mengenakan
baju linen baru, ia berdiri anteng.
Seketika
melihat aku, ia berkata, “Yae-chan, kamu bisa jaga rahasia?” Lalu ia berbisik,
“Aku datang untuk menyampaikan selamat tinggal.”
Aku
diam saja, tertegun.
“Kami
akan pergi malam ini,” katanya.
“Apa?
Ke mana kamu pergi?”
“Ke
kota dekat laut. Rumah ibuku. Tapi jangan kasih tahu siapa-siapa,” kata Michiru
lalu menyerahkanku bungkusan kecil. “Ini kenang-kenangan buat kamu.”
“Kenang-kenangan?
Apa dia akan pergi selamanya?” batinku. Sebelum aku sempat berkata-kata,
Michiru lari. Aku masih ingat kakinya yang putih serta sandal geta-nya
bergema mengikutinya. Aku membuka bungkusan itu dan mendapati rok lebar biru di
dalamnya.
=
Keesokan harinya aku pergi ke rumah Michiru. Orang
berkerumun di sekitarnya. Mereka saling pandang, berbisik, dan
mengangguk-angguk: “Kalau diingat-ingat, aku mendengar ada bunyi-bunyi
gemerincing pelan semalam.”
“Begitu,
ya. Pasti dia sedang menggunakan mesin tik.”
“Si
orang asing itu keluar hanya waktu malam, selalu diam-diam. Tidak ada yang
pernah melihat dia siang-siang.”
“Tidak
pernah terbayangkan ada mata-mata di kediaman kita!”
Mata-mata?
Hatiku membeku. Ketakutan merayapi kakiku dan menjalar ke sekujur tubuhku.
“Bohong! Tidak benar itu!” jerit batinku, memaksakan telingaku agar
mendengarkan orang-orang ramai itu.
“Si
orang itu sepertinya pergi lebih dini.”
“Istri
dan anaknya menyusul.”
Saat
itu di tengah perang. Para tetangga bergosip penuh semangat mengenai keberadaan
si orang asing beserta keluarganya.
“Mudah-mudahan
mereka segera tertangkap!” kata istri penjual sayur, seraya mengangkat kepalan
tangannya.
“Lari,
Michiru! Lari!” Dalam hening, aku berdoa supaya ia beserta keluarganya dapat
melarikan diri dengan aman.
Lututku
tertekuk. Aku terhuyung-huyung. Aku menggenggam rahasia—tempat tujuan Michiru.
Ia memintaku agar jangan memberi tahu siapa-siapa.
Sembari
berjalan, aku terus-terusan membatin agar tidak membocorkan rahasia ini. Bahkan
sekalipun seluruh dunia beralih melawan Michiru, aku masih temannya.
Para
tetangga tahu aku dan dia berteman dekat. Saat mereka melihatku di jalan,
mereka menanyaiku segala macam pertanyaan—apakah aku pernah bertemu ayahnya,
atau bagaimana gaya hidup keluarganya. Setiap kali mereka mengajukan
pertanyaan, aku bilang aku tidak tahu. Setelah beberapa hari, aku merasa tidak
hendak keluar rumah lagi.
Aku
mengurung diri di kamar dan memikirkan Michiru sepanjang hari. Setiap malam aku
bermimpi buruk ada yang mengejar-ngejar aku.
Kota
dekat laut—kata-kata itu berat membebani benakku, dan hatiku pun mulai ngilu
seakan-akan ada yang mati. Bagi seorang gadis dua belas tahun, menjaga rahasia
adalah tugas yang sulit.
=
Suatu malam aku tersentak bangun akibat mimpi
buruk yang berulang. Aku membuka laci lalu mengeluarkan rok biru yang Michiru
berikan padaku.
Aku
mengenakan rok itu. Karena dia jangkung, rok itu kepanjangan buatku. “Aku harus
meninggikan kelimannya,” aku berbisik. Aku membuka kotak peralatan jahitku,
menemukan benang biru, lalu meloloskannya ke mata jarum. Entah apa yang
mendorongku sehingga menjahit pada tengah malam begini.
Bagaimanapun
juga, aku memutuskan untuk meninggikan keliman itu sekitar lima sentimeter.
Tapi menjahit keliman rok lebar begini makan banyak waktu. Kelimannya sangat
lebar. Di samping itu, roknya terbuat dari sutra tipis, sehingga sebanyak apa
pun aku menyetik, kemajuanku lambat. Jarumnya seperti jalan di tempat atau
malah mundur.
Sembari
terus menggerakkan jarumku lambat-lambat, aku memikirkan Michiru. Aku penasaran
di manakah dia, bagaimanakah keadaannya. Setelah beberapa lama, keliman rok itu
mulai terlihat menyerupai bibir laut, seperti pantai yang melengkung panjang.
Lantas
aku merasa mendengar langkah-langkah kaki Michiru pada kain itu. Ia tengah
berlari-lari sendiri.
Entah
kenapa, ia tidak mengenakan sepatu sehingga larinya bertelanjang kaki di
pantai. Aku berdiri di pantai itu sementara ombak berbusa, menjejakkan pola
serupa renda putih pada pasir.
“Michiru!”
teriakku tanpa menghiraukan diri sendiri, dan mulai berlari. Terasa pasir yang
basah dan lembut di bawah kakiku. Aku juga tidak mengenakan sepatu. “Michiru,
tunggu!” aku terus memanggil dia, namun dia tidak menoleh. Ia berlari semakin
kencang saja.
“Kenapa,
Michiru? Aku sudah berusaha menjaga rahasiamu,” batinku. Aku mengamati sosoknya
bertambah kecil di kejauhan.
Hampir
menangis, aku pun duduk. Kemudian aku melihat dia mencangkung di kejauhan. Ia
tampaknya sedang mengambil sesuatu. Atau jatuhkah dia dan tidak mampu bangkit?
Diiringi rasa sedih, aku pun berdiri dan susah payah berjalan ke arahnya.
Aku
bergerak menuju padanya sembari memanggil-manggil dia: “Michiru!”
Akhirnya
ia menoleh. “Yae-chan, ternyata kamu,” katanya, seraya mengilaskan senyum
bersahabat. “Aku sedang mengumpulkan kerang. Lihat, warnanya biru,” katanya. Ia
membuka telapak tangannya, memperlihatkan sebuah kerang. Bentuknya kecil dan
tipis seperti kerang kelopak sakura, tapi warnanya biru.
“Cantiknya,”
gumamku. “Baru kali ini aku melihat kerang yang begini cantik.”
Michiru
tersenyum riang padaku dan berkata, “Aku sedang mengumpulkan kerang. Aku mau
bikin kalung.
“Kalung?”
tanyaku.
“Iya.
Kita pernah bikin kalung dari bunga kamelia di kuil. Ingat?” katanya. “Aku
ingin bikin yang panjang dari kerang ini. Tapi aku tidak bisa fokus
mengumpulkan kerang. Setiap kali aku menemukan satu kerang, ada yang
mengejarku.” Ia mendongak dan menegakkan telinga. “Kamu dengar langkah kaki?”
tanyanya dengan suara di ambang ketakutan. “Bukan cuma satu orang. Ada tiga
atau lima.”
“Aku
tidak dengar apa-apa. Itu kan suara ombak,” kataku seraya tertawa.
Lantas
kami kembali mengambili kerang. Tapi, setelah mengumpulkan beberapa, Michiru
mendongak lagi dan berkata, “Aku dengar langkah kaki. Bukan hanya satu orang.
Ada sepuluh atau dua puluh orang.”
“Aku
tidak dengar apa-apa kecuali suara angin,” kataku seraya tertawa lagi.
Masih
khawatir, Michiru mengangguk dan mulai mencari kerang lagi. Tapi lantas ia
menjerit, “Aku dengar langkah kaki. Mereka mengejarku!”
Ia
bangkit mau lari. Kerang-kerang berjatuhan dari roknya, berserakan di atas
kakinya. Warnanya sama dengan laut. Ketika aku memegang kerang itu di depan
matahari, warnanya menjadi ungu, menyaring cahaya matahari. Terpikat oleh
kerang cantik itu, aku tidak mengejar Michiru. Aku berlama-lama di situ.
Tahu-tahu,
ia tinggal titik di kejauhan.
“Michiru!
Michiru!” teriakku sementara embusan angin mendadak membuyarkan suaraku. Aku
terus memanggil dia. “Michiru! Michiru!”
Suatu
suara memanggilku dari seberang laut: “Yae-chan, Yae-chan.” Menandingi bunyi
angin, suara yang karib itu terus memanggilku.
Tapi
saat aku memandang ke arah suara itu, yang kulihat bohlam telanjang bekerdip di
atas kepalaku. Pintu shoji bergeser membuka, lalu mengintiplah kakakku.
“Yae-chan, ada apa? Kamu berteriak-teriak,” katanya.
Selanjutnya,
ia memberitahuku bahwa aku pucat dan gemetar; dengan tatapan hampa, aku
terlihat seperti yang habis mengamuk.
=
Beberapa hari kemudian, aku mendengar desas-desus
tentang Michiru. Di kampung halaman ibunya, ia dan ibunya terjun ke laut. Aku
penasaran apakah dia, gadis bermata biru itu, mendapat sambutan dingin di sana.
Atau apakah desas-desus tentang ayahnya telah sampai ke kota itu.
Lalu
mulailah aku terpikat pada rok biru Michiru. Aku ingin berjumpa dia lagi. Seiring
dengan tumbuhnya keinginanku berjumpa dia, aku mulai bertingkah nekat.
Sepulang
sekolah, aku mengenakan rok itu, pergi belanja, dan main ke rumah teman. “Kamu
jangan pakai rok orang asing,” kata teman-temanku. “Dia kelihatan seperti
mereka,” gunjing mereka di belakangku.
Namun
aku tidak terusik. Sementara aku berjalan, keliman rok itu berputar-putar,
membuatku merasa gembira. Saat aku berlari menembus angin, aku merasa seperti
tengah melayang. Saat aku bermain lompat tali bersama teman-temanku, aku bisa
melompat lebih tinggi daripada biasanya. Saat aku melompat tinggi sekali, aku
merasa dapat melihat sedikit laut di seberang atap-atap rumah. Ya, di seberang
laut, aku melihat sebuah pulau berhamparan bunga evening primrose.
“Yae-chan,
kamu seperti burung,” kata teman-temanku.
Ah,
andai saja aku ini seekor burung! Andai aku bisa terbang ke pantai tempat aku
dan Michiru mengumpulkan kerang. Mungkin tempat itu ada di pulau nun jauh.
Kerang-kerang yang cantik itu tidak ada di mana pun di Jepang.
Saat
aku memikirkan tentang kerang biru itu, hatiku sesak oleh rindu, sehingga air mataku
menggenang. Keluargaku diam-diam mengawasiku. Suatu hari sepulang aku dari
suatu keperluan, rok biru itu tidak dapat kutemukan. Barangkali ibuku
menguncinya di laci. Tapi tidak seorang pun pernah mengungkitnya lagi. Sesering
apa pun aku menanyakannya, tidak ada jawaban.
Beberapa
tahun kemudian, rok itu lenyap dalam kebakaran.[]
Naoko Awa (1943-93) lahir di Tokyo kemudian tinggal di berbagai tempat di Jepang.
Sewaktu kecil, ia membaca kisah-kisah dongeng oleh Grimm Bersaudara, Hans
Christian Andersen, serta Wilhelm Hauff begitu pula Kisah 1001 Malam. Ia
menerbitkan banyak buku, termasuk Kaze to ki no uta (Nyanyian Angin dan
Pohon) serta Hanamame no nieru made (Menunggu Buncis Matang). Kumpulan
cerpennya yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, The Fox’s Window and Other
Stories, terbit pada 2010.
Toshiya Kamei memiliki gelar MFA untuk Penerjemahan Sastra dari University of Arkansas,
di mana dia memperoleh Beasiswa Carolyn Walton 2006-2007 untuk Penerjemahan.
Karya terjemahannya meliputi The Curse of Eve and Other Stories oleh
Liliana Blum, The Fox’s Window and Other Stories oleh Naoko Awa, Wounded
Days oleh Leticia Luna, serta Irlanda oleh Espido Freire.
Karya terjemahannya yang lain terbit di The Global Game, Sudden Fiction
Latino, serta My Mother She Killed Me, My Father He Ate Me.
Cerpen ini diterjemahkan dari "Blue Shells" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012. Cerpen ini sebelumnya terdapat dalam The Fox's Window and Other Stories oleh Naoko Awa, U.N.O. Press, 2009, serta daring di Moulin Review.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar