Tapi, aku tidak mati.
Mungkin aku menjalani kehidupan hikikomori yang suram. Tapi, sekarang ini,
secara teknis, aku punya rencana untuk bertemu seseorang. Ketika malam tiba,
dan semua jejak orang lain telah menghilang di luar apartemenku, aku mengisi
perut dengan makan malam yang terlambat. Begitu gelap, aku berangkat ke arah
taman sekitar rumah. Angin sepoi-sepoi pada malam musim panas terasa enak.
Aku duduk di bangku dan memandang bulan serta bintang di langit. Seekor
kucing hitam melenggang santai di depanku. Matanya berkilat oleh pantulan
cahaya lampu jalan.
Ah, sudah malam. Ini sudah pasti malam.
Tampaklah Misaki, di taman ini.
“Kamu telat.” Sedari tadi ia menderitkan ayunan maju mundur. Ketika
menyadari keberadaanku, dengan semangat ia melompat turun. Si kucing hitam
merangkak ke tempatnya berdiri, lalu Misaki mengangkatnya. Kucing itu mengeong,
namun tidak memberontak.
“Anak baik. Kukasih makanan kalengan, oke?” Misaki mengeluarkan makanan
kucing dari tas di punggungnya. Agaknya, ia memberi makan kucing itu tiap
malam. “Kucing itu hebat, enggak sih?”
“Hebat apanya?”
“Kucing itu kelihatannya adem-adem saja di mana pun, kapan pun, walaupun
ketika mereka sendirian.”
Aku tidak begitu memahami yang dia katakan itu, tapi aku berusaha menjawab
dia selayaknya. “Kucing itu kurang tahu rasa berterima kasih.”
“Aku tahu.”
“Kucing itu bakal
segera lupa sama kamu, Misaki. Berinvestasi dengan makanan kucing itu sia-sia
saja.”
“Selama aku kasih kucing itu yang dia inginkan, dia bakal baik-baik saja.
Dia bakal mengingatku. Jangan judeslah. Kamu akan datang ke taman setiap malam,
kan?” Dengan lembut ia membelai punggung si kucing sementara binatang itu
melahap makanan. Sehabis makan, kucing itu pelan-pelan berjalan menjauh ke
dalam semak-semak.
Kami pun duduk di bangku. Misaki mengeluarkan “buku catatan rahasia”
miliknya dari tas. Maka, malam itu, dimulailah sesi konseling pertama untuk
lepas dari kehidupan hikikomori.
Misaki menyebutnya “konseling”. Dari sejak awal sekali, tindak-tanduk dan perkataannya
lebih daripada aneh, maka aku sepenuhnya menganggap bahwa ini semacam guyonan. Tapi, kelihatannya
dia serius.
“Kamu telat. Di kontrak dikatakan kamu akan datang setelah makan malam,
ingat?”
“Aku baru saja makan malam—“
“Keluargaku makan malam jam tujuh.”
Mana aku tahu?! Aku ingin menjerit, tapi menahannya.
“Jadi, mulai besok, datanglah agak awal. Yah, kita akan memulai sesi
konseling ‘lepas dari kehidupan hikikomori’-mu yang pertama sekarang, oke? Duduk ke sini.”
Aku bergeser ke samping dia di bangku itu, seperti yang disuruh. Misaki
duduk di sebelahku, sembari beralih agar menghadapku.
Di taman malam-malam …
tak seorang pun di sini. Apanya yang mau dimulai? Apa yang dia rencanakan? Aku
agak gugup. Misaki menurunkan tas besar yang dibawanya dan mulai merogoh-rogoh
ke dalamnya.
Sembari berbisik seperti, “Oh, ini dia, ini dia,” ia menarik keluar sebuah
buku tulis bergaris-garis ala anak kuliahan. Pada sampulnya, tertulis “Buku
Catatan Rahasia” dengan spidol hitam.
“Itu apa?” tanyaku.
“Buku catatan rahasia.”
“Maksudku tadi, ‘buku apa itu’?”
“Ah … buku catatan
rahasia.” Misaki membuka buku catatan rahasia itu dan membukai halaman-halaman
yang sudah ditulisinya. “Baiklah, aku mulai saja, ya?”
Wajahnya tidak kelihatan karena membelakangi lampu jalan. Tapi nada
suaranya serius. Tidak memahami yang tengah berlangsung, aku pun berdeguk
dalam-dalam.
Misaki memulai kuliahnya. “Mmm …. Aku mulai dari ringkasan tentang
hikikomori. Oke, apa yang menyebabkan seseorang menjadi hikikomori? Tahukah
kamu, Satou? Hm? Enggak? Sudah kuduga. Kamu putus kuliah, jadi otakmu enggak
sanggup jawab pertanyaan sulit, Satou. Aku tahu. Tapi, aku pintar. Sekarang ini
aku lagi belajar untuk ujian kesetaraan SMA. Aku belajar lima jam sehari. Aku
hebat, kan? Ha ha ha ….”
Ia tertawa sedikit
lagi sebelum melanjutkan, “Berdasarkan hasil pencarianku, bukan hanya
hikikomori, tapi semua masalah emosi disebabkan oleh ketidakmampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada dasarnya, karena kamu enggak bisa
bergaul baik dengan dunia ini, timbul berbagai kesulitan.”
Misaki beralih ke
halaman berikutnya. “Dulu sekali, kita manusia memikirkan berbagai cara untuk
bisa bergaul dengan dunia ini. Misalnya saja, taruhlah gagasan tentang
dewa-dewa. Ada berbagai macam dewa. Bahkan di Jepang saja, ada delapan juta ….
Hah? Delapan juta? Agak berlebihan, ya? Benarkah? Y—yah, pokoknya, ada banyak
dewa di dunia ini, dan tampaknya mereka mengurangi penderitaan banyak orang,
seperti yang ada di acara kegerejaan. Orang-orang yang tidak terselamatkan oleh
Dewa-dewa memikirkan cara lainnya. Misalnya saja, filsafat.”
Misaki mulai menggali isi tasnya lagi. Setelah menyusupkan kepalanya ke
dalam tas yang luar biasa besar itu, akhirnya ia mendapatkan yang dicarinya,
“Oh, ini dia. Nih.” Setelah mengeluarkan suatu buku, ia menyerahkannya padaku.
Judulnya adalah Dunia Sophie.
“Ini cukup sulit, jadi aku enggak benar-benar mengerti isinya, tapi
sepertinya buku ini bisa mengajarimu segala hal yang perlu diketahui tentang
filsafat. Aku meminjamnya dari perpustakaan, jadi besok sudah dibaca, oke?”
Herannya, kuambil saja buku ini. Aku sudah habis akal mesti apa sementara
kuliah Misaki berlanjut menjenuhkan. “Mmm, baiklah, setelah filosofi, ada
psikoanalisis! Sepertinya ini terkenal dari sekitar abad kesembilan belas,
setelah ada orang bernama Freud yang memikirkannya. Orang bilang, kalau kita
melakukan psikoanalisis, masalah kita benar-benar akan menghilang. Sebagai contoh, kamu
ingat mimpimu semalam? Aku akan menganalisisnya. Ceritakan mimpimu, Satou.”
Kuceritakan padanya. “Ada seekor ular yang sangat besar dan kuat. Ular itu
menyelam ke samudera, lalu aku menusukkan pedang tebal ke apel. Selain itu, aku
meledakkan yang ada di sekitarku dengan pistol hitam mengilap yang keren.”
Setelah mendengarnya, Misaki menarik buku lainnya dari dalam tas
raksasanya. Yang satu ini berjudul Analisis
Mimpi: Dengan Buku Ini, Anda Bisa Memahami Kedalaman Jiwa Anda Secara Mudah!
“Hm … ular, samudera, apel, pedang, pistol ….” Sembari bergumam sendiri,
ia mencari di indeks ketika tahu-tahu, ia berpaling, dengan wajah memerah.
Entah bagaimana, aku memahami yang terjadi, sekalipun di taman hitam pekat ini.
“Sudah cukup dengan Freud! Berikutnya, kita ke Jung!” teriak Misaki keras-keras.
“Eh! Jadi bagaimana hasil analisis mimpiku? Misaki, kasih tahu dong ular
besar itu melambangkan apa.” Aku bersikeras, tapi ia mengabaikan percobaanku
menggoda secara seksual.
“Jung …. Orang ini
mendebat Freud, dan sepertinya dia punya arah yang beda. Baiklah, mari kita
mulai psikoanalisis ala Jung.”
“Eh, jangan cuekkin
aku dong. Tunggu dulu!”
“Sejauh yang bisa
kupahami, kamu ini ‘introver’, dan ‘emosional’! Kamu takut pada ‘Ibu Besar’.
Selain itu, kamu juga sedang bertarung dengan bayang-bayang. Parah! Lebih
lanjutnya, bacalah buku ini.” Lagi-lagi Misaki mengeluarkan sebuah buku dan
menyerahkannya kepadaku. Kali ini Semua tentang Jung,
Penjelasan dengan Manga!
Kepalaku mulai sakit, tapi kuliah Misaki terus berlanjut. Dan berlanjut.
Dari Jung ke Adler ke Lacan. “Aku enggak paham Lacan! Aku enggak tahan!”
Aku kaget dia bisa membuat permainan kata yang buruk itu sembari
tersenyum. Aku ingin balik ke kamarku. Seakan-akan menyadari reaksiku, Misaki
serta-merta mengubah arah. “Oh, maaf membicarakan hal sulit begini. Sepertinya
kamu memang enggak cocok dengan diskusi akademik seperti ini, Satou. Tapi
enggak apa-apa. Masih ada besok.”
“Eh?”
“Kita ini manusia, jadi rasanya
menyakitkan.”
Aku diam saja.
“Aku merasa enggak enak sama kamu, mengalami kesulitan-kesulitan seperti itu. Tapi, mari
kita menjadi lebih baik sembari maju. Kamu baik-baik saja sebagaimana adanya.
Kamu punya impian, jadi kamu akan baik-baik saja. Kamu tidak sendirian. Kalau kamu terus melangkah,
kamu akan menemukan jalanmu. Semua orang menyemangatimu. Selagi melakukan yang
terbaik, kamu bersinar. Kamu akan sukses kalau kamu terus bergerak ke depan dengan
pikiran yang positif. Jadi, mari bersama-sama kita berjalan ke arah esok. Masa
depan itu cerah. Kita manusia kita manusia kita manusia ….”
Kutarik tas Misaki
dari kedua tangannya, lalu kubalik. Banyak buku berlongsoran ke tanah:
buku-buku Layanan Kesehatan Umum, buku-buku Hidup Cerdas. Pengantar Ringkas Psikoanalisis, Pedoman Lengkap Penyakit Mental,
Bacaan Kala Anda Terantuk dalam Hidup, Aturan Keberhasilan dalam Hidup, Hantu
Murphy, Revolusi Serebral, Mitsuo, Mitsuru, dan seterusnya, dan sebagainya.
“Eh, Misaki, menurutmu aku ini bodoh,
ya?”
Misaki memberiku
tatapan yang berkata, “Enggak kok,” lalu menggeleng.
Toh, setelah seminggu
berinteraksi dengan Misaki, satu-satunya hal yang sungguh kumengerti hanya
betapa kerasnya ia berusaha. Ia benar-benar berusaha sangat keras. Selama
beberapa hari pertama, upayanya terhenti tanpa hasil. Selagi mengupayakan yang
terbaik menurut kemampuannya, hasratnya memang nyata. Tentu saja, aku tidak
tahu letak maksud dia yang sesungguhnya atau rencana dia sebenarnya. Aku tidak
tahu, tapi juga tidak sungguh-sungguh peduli.
Kalau keadaan emosiku yang sudah sepenuhnya busuk ini dapat dimasuki
barang sedikit saja energi lewat percakapan dengan cewek ini, aku akan bahagia. Sekalipun kalau
itu mengakibatkan masalah nantinya, aku sudah tidak punya apa-apa untuk dapat
dirugikan. Belum lagi, apa pun yang terjadi, kami akan segera berpisah. Pada
akhirnya, aku akan didepak dari apartemenku, atau aku akan pergi ke tempat
lainnya karena alasan lain. Mana pun itu, aku akan segera menghilang. Pertemuan
dengan Misaki hanyalah suatu cara untuk mengurangi kebosananku hingga waktunya
tiba.
Karena pemikiranku demikian tidak bertanggung jawabnya, aku tidak ada
masalah sama sekali bercakap-cakap yang pribadi dengan seorang cewek yang hampir tidak kukenal, terlepas
dari kenyataan bahwa situasi beginilah yang biasanya mengakibatkan stres
terbesar bagi seorang hikikomori.
Tentunya, bagaimanapun kemungkinan cantiknya Misaki itu, aku tidak ada
niat berbuat apa-apa pada dia. Tanda pada gerbang taman menerakan, “Awas Orang
Mesum,” tapi bagaimanapun penampilanku, aku masihlah seorang hikikomori yang
tahu adat. Mohon, tak perlu khawatir,
Misaki ….
“Kenapa? Kenapa kamu menyeringai begitu?” ia menegurku.
“Enggak, enggak. Yang
lebih penting, apa menu spesial pelatihan hari ini?”
Seraya menghadapku sembari duduk di bangku, seperti biasanya, Misaki
mengintip buku catatan rahasianya. “Hm, menu malam ini adalah cara mengobrol
dengan orang lain.”
“Eh?”
“Biasanya, hikikomori
itu payah dalam obrolan. Karena mereka tidak pandai berbicara kepada orang
lain, mereka cenderung mengurung diri di kamar. Malam ini, sepertinya kita bisa
memperbaiki bagian dirimu yang itu.”
“Oh.”
“Karena itu, mulai sekarang, aku akan mengajarimu teknik-teknik percakapan
yang hebat. Tolong, dengarkan baik-baik.”
Misaki memulai
kuliahnya, sambil sesekali melirik buku catatan
rahasianya sementara aku mendengarkannya baik-baik. “Ketika bicara dengan
orang, kamu jadi gugup. Akibatnya, jadi tidak mampu berkata-kata, menjadi
pucat, atau heboh. Kemantapan emosi pun jadi semakin terkikis, sehingga
percakapan bertambah buruk. Bagaimana kamu memutus lingkaran setan ini?
Jawabannya gampang: Kamu akan baik-baik saja kalau kamu enggak gugup. Dengan
begitu, bagaimana supaya enggak gugup? Yah, kenapa orang jadi gugup? Itu karena
mereka kurang percaya diri. Kamu merasa lawan bicaramu bakal mengolok-olokmu,
mereka bakal meremehkanmu, atau mereka mungkin enggak suka sama kamu.”
Terus kenapa? Aku ingin menyela,
tapi Misaki bernada serius.
“Akhirnya, masalahnya
kembali pada rasa kepercayaan diri. Nyatanya, merasa percaya diri itu cukup
sulit. Sejujurnya, kurasa kamu enggak sanggup memilikinya lewat cara yang biasa. Tapi aku punya
suatu teknik revolusioner yang sangat bagus supaya yang mustahil itu jadi
mungkin. Mau tahu? Kamu mau tahu, kan?”
Selagi bilang begitu,
ia memandangku, dan bisa apa aku selain mengangguk. “Baiklah, dengarkan
baik-baik,” ucap Misaki dengan suara paling berwibawa. “Gagasannya adalah putar
balik besar-besaran—setaraf Copernicus! Singkatnya, kalau kamu enggak bisa
merasa percaya diri, maka bayangkan saja lawan bicaramu sebagai orang yang
lebih gagal daripada kamu sendiri! Begitulah caranya!”
Dia omong apa sih.
“Kamu tinggal menganggap bahwa orang yang lagi mengobrol dengan kamu itu orang yang gagal berat. Kamu
berpendapat bahwa mereka itu sampah masyarakat. Pandanglah mereka serendah
mungkin. Kalau bisa melakukannya, mestinya kamu jadi mampu bicara dengan baik
dan tetap tenang, tanpa gugup sama sekali. Kamu bakal rileks dan jadi lancar, benar?
“Ada satu hal yang mesti kamu waspadai. Kamu harus berusaha keras supaya
tidak menunjukkan kepada orang itu pemikiranmu tentang dia, soalnya nanti
mereka jadi marah atau sakit hati. Kalau ada orang yang menatapmu dan
menyebutmu sampah, atau mengataimu sebagai orang terburuk, atau melabelimu
sebagai manusia gagal, kamu bakal sangat tertekan, kan, Satou? Karena itulah
aku jadi pendiam.”
Maksudmu … batinku. Mungkinkah sebenarnya ini semacam kritik terselubung buatku? Kalau benar, ekspresi Misaki polos saja.
Aku harus menanyakannya, “Misaki, jangan-jangan kamu mempraktikkan
teknik-teknik percakapan ini dalam kehidupanmu sehari-hari?”
“Iya, memang. Tapi
ternyata enggak begitu manjur. Kebanyakan orang lebih pandai daripada aku. Jadi, meskipun aku berusaha meyakini
mereka itu enggak berharga, biasanya aku gagal. Tapi, sejauh ini, ketika aku
bicara sama kamu, Satou, aku biasanya ….”
“Biasanya ….”
“Lupakan saja. Kalau
aku kasih tahu, nanti kamu sakit hati.”
Dari dulu juga aku
sudah sakit hati.
“Enggak usah dipikirkan. Bahkan orang seperti kamu, Satou, bisa bermanfaat
bagi orang lain.” Dengan pernyataan itu, Misaki berdiri. “Itu saja buat hari
ini. Sampai jumpa besok.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar