Yamazaki mengerjakan gim itu sendirian.
Dengan menggunakan skenario yang baru setengah kuselesaikan, dia menciptakan
gim itu sendirian. Dengan halusinogen yang kami beli beberapa hari lalu agar
dirinya tetap kenceng, ia anteng berfokus pada komputer. Apakah ini bentuk lain pelarian dari
kenyataan? Sungguh ini cara yang penghabisan. Tapi, memangnya bisa menciptakan gim dalam pengaruh halusinogen? Seraya bersandar pada bahu Yamazaki, aku mengintip ke
monitor komputer dia.
Layar penuh dijejali
kata-kata kecil. “Organisasi raksasa yang mengontrol kematian, kecemasan,
kejahatan, neraka, racun, jurang, dan serupanya yang menyakitkan—inilah musuh
kita, dan kita mesti mengalahkan musuh ini demi memenangi cinta si tokoh utama
perempuan! Inilah misi gim ini. Musuhnya tak berwujud, dan entah di mana dia
berada, maka berhati-hatilah! Kau bisa saja ditusuk dari belakang. Ini
berbahaya, berbahaya ….”
“Apa ini?” kutanya
Yamazaki.
Yamazaki pelan-pelan
memutar kursinya. Manik matanya sepenuhnya mengecil. Bibirnya menggerenyot
terbuka selebar mungkin membentuk senyum berbahaya yang dapat menakuti siapa
saja.
“Apa maksudmu? Kamu
bisa lihat sendiri, kan? Ini gim erotisku. Ini RPG—role playing game—dan pemainnya adalah karakter utamanya. Dalam gim
ini si pemain maju dengan membaca berkas teks. Kalau dia membacanya, dia akan
belajar segala macam hal penting. Di samping itu, tokoh utama perempuannya moe moe. Lihat. Cakep, kan, dia? Tokoh
utama perempuannya alien dengan telinga kucing. Dia ditangkap musuh. Maksudnya
musuh di sini, yaitu penjahat—penjahat tidak terlihat. Tujuan sebenarnya gim
ini adalah untuk menyingkap wujud tak terlihat si musuh. Di situlah adanya
kebenaran hidup ini, kan? Paham? Dengan kata lain, aku telah menyadari hakikat
dunia ini. Aku menginsafi bahwa misiku ialah untuk menyebarkan epifaniku kepada
semua orang, dan lalu gim erotis akan menjadi Bibel di abad baru ini. Aku akan
berhasil menjual sejuta kopi. Aku akan menjadi kaya. Maka … ah, asyiknya. Hei,
Satou, kamu senang juga, kan?”
Sembari menggigil, aku
melangkah mundur. Selagi begitu, Yamazaki mengeluarkan tawa yang kedengarannya seperti
mesin. Seakan-akan terpicu oleh suaranya sendiri, kekehannya lantas menanjak
jadi ledakan tawa. “Ha ha ha, ha ha, ha
ha ha! Ah, lucunya!”
Yamazaki jatuh dengan
seramnya dari kursi, dan mendarat dalam posisi merangkak. Ia maju ke arahku
dengan seluruh tubuhnya gemetar. Penampakannya mengingatkanku pada film zombi
horor.
Aku mulai panik dan
tegak ketakutan, terpaku di tempat.
Seraya menangkap kedua
lututku, Yamazaki berteriak, “Ini lucu sekali, sangat lucu sekali! Aku enggak
bisa berbuat apa-apa!”
Saking ketakutannya,
aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.
“Hampa, begitu hampa aku tak sanggup
lagi!”
Soal itu aku juga merasakannya. Tapi Yamazaki, yang sedang dalam pengaruh
kuat obat, demikian menakutkannya. Aku berdoa supaya dia segera kembali wajar,
tapi tidak terjadi. Sembari menggetarkan senyum, ia terus terkekeh-kekeh
sendiri.
Mendapati bahwa tidak ada yang bisa kulakukan, aku memutuskan untuk
menyerah saja. Aku mengisap obat putih itu lewat selaput hidungku. Efeknya
segera terasa.
Ah, betapa nikmatnya …. Betapa menarik
…. Rasanya sungguh enak … Ini terbaik.
Ah …. Aku enggak bisa meneruskan ini ….
Sudah selesaikah …. Sakit …. Betapa sedihnya …. Apa yang mungkin bisa
kulakukan? …. Enggak ada yang bisa kulakukan …. Betapa nyeri ….
Lagi-lagi halusinasi yang buruk.
Efek halusinogen itu
terpengaruh oleh kondisi jiwa dan lingkungan si pemakai. Pada dasarnya,
hasilnya bergantung pada kerangka pikir dan keadaan fisik di sekitar si
pemakai. Kalau si pemakai merasa sedang bersenang-senang saat menggunakan obat
itu, mereka bakal berada di surga. Tapi kalau dalam keadaan tertekan, mereka
bakal langsung ke neraka. Menggunakan narkoba dengan maksud lari dari kenyataan
tidak akan membawa akibat yang baik.
Tentu aku sudah tahu
itu. Aku tahu, tapi … indraku yang sudah dikacaukan narkoba ini terserang oleh
ketakutan nyata yang dramatis. Ini lain daripada kecemasan samar-samar yang
kurasakan setiap hari. Yang ini hampir-hampir ada wujudnya—kekalutan yang mudah
dipahami, jelas seutuhnya.
Ya, ini ketakutan yang
luar biasa besar, namun ada wujudnya dan mudah dipahami, kekalutan beginilah
malah yang mungkin kuinginkan. Dibandingkan dengan kekalutan sehari-hari yang
secara menetap menyiksaku sedikit demi sedikit, rasa depresi yang diakibatkan
obat ini boleh jadi menyenangkan.
Yamazaki beralih
kepada kulkas dan mengayunkan tinjunya.
“Sialan, kalau berani,
ayo! Aku akan menghadapimu!”
Tampaknya Yamazaki
sedang menentang lawan imajiner di sebelah sana.
Adapun aku duduk menggigil di pojok, sambil memegangi kepala dan menarik kedua kakiku
lekat-lekat ke dada.
“Berhenti! Jangan ke sini!” Musuhnya dekat. Biarpun takut, entah bagaimana
aku bersenang-senang. Dikejar-kejar lalu dibunuh para musuh merupakan bayangan
yang menegangkan. Paranoiaku benar-benar menggairahkan.
Ini merangsangku. Singkatnya, ini menyenangkan.
Kalau menyenangkan, ini mestilah seru.
Benar! Dengan kata lain,
kami gembira. Aku memutuskan bahwa ini merupakan halusinasi terbaikku! Sekarang
aku sungguh mengerti gaya hidup rock-and-roll.
Kuputuskan untuk menyempurnakan gaya hidup tersebut.
“Habis narkoba, terbitlah kekerasan!”
Sebelum efek obatnya reda, kami berlari keluar apartemen dan menuju ke
taman.
Kami akan bertarung. Malam ini, kami akan memindahkan aksi kekerasan kami
ke taman yang terbuka lebar. Seperti orang-orang muda di masa mudanya yang
bebas, kami harus berantem! Kami akan berkelahi dengan dramatis, spektakuler,
dengan segala gairah kickboxer K-1! Kalau melakukan ini,
kami bisa merasakan kesenangan lebih ….
Matahari sudah lama
terbenam, dan tidak ada tanda seorang pun di sekitar kami. Kalau sampai ada
orang, bisa-bisa kami kena masalah. Kejadiannya akan memalukan.
Disorot lampu jalan taman, kami berhadapan. Aku mengenakan jersey dan
kaus, sedang Yamazaki mengenakan baju hangat. Kami sama-sama berpakaian yang
memudahkan pergerakan. Kami siap.
Karena pengaruh
obatnya masih belum reda, Yamazaki ceplas-ceplos. Ia terus saja mengoceh. “Ini
sering terjadi. Drama di mana dua aktor tampan muda bertengkar tentang masa
muda, cinta, atau apalah, baku hantam di taman, di mana semuanya basah karena
hujan. ‘Kamu enggak benar-benar paham apa itu cinta!’ …. ‘Aku mencintai Hitomi
dengan segenap hatiku!’ …. ‘Buk! Bak!’ Begitulah ….”
Sembari melakukan
pemanasan, aku menggangguk padanya agar meneruskan.
“Di hatiku, aku
benar-benar mendambakan drama semacam itu karena ada kebenaran di acara-acara televisi
itu. Karena ada perkenalan, pengembangan, titik balik, dan pemecahan; ada
ledakan emosi, ada kesimpulan …. Di sisi lain, kehidupan kita, terus-terusan
diisi oleh kecemasan loyo yang suram, dan tidak ada drama, situasi, ataupun
konfrontasi yang gampang dimengerti—sama sekali tidak ada yang seperti itu ….
Bukankah itu rada absurd? Aku dua puluh tahun, dan kamu dua puluh dua, Satou.
Biar begitu, kita tidak pernah benar-benar mencintai siapa pun, membenci siapa
pun, berkelahi akibat cinta atau benci, atau mempunyai pengalaman itu sama
sekali. Parah!”
Seketika itu, dengan kasar Yamazaki mengguncang-guncang kedua pundakku, selagi
aku meregangkan urat Achilles.
Dia berkata, “Mari
kita bertarung yang dramatis! Yang indah, tangkas, dan kasar! Mari kita
berkelahi sambil mencamkan itu!
“Yeah!” kulepaskan
seru keberanian dan memasang kuda-kuda berkelahi.
Maka kami pun mulai
saling hantam. Payahnya, pertarungan kami kampungan. Ada kalanya bikin sakit,
tapi pukulan orang lemah yang terlontar dalam pengaruh obat dayanya terbatas.
Susah payah Yamazaki berusaha menjadikan pertarungan itu seseru mungkin,
maka dengan gaya dramatis ia pun mulai meneriakkan kalimat (biarpun entah apa
maksudnya), “Satou, kamu tuh enggak mengerti apa-apa!”
Mana mungkin kubiarkan upayanya itu sia-sia, maka aku pun menyerukan
sahutan yang terasa kena. “Kamu yang salah!”
“Apanya dari ucapanku yang salah?!”
Aku bingung, tak menduga bakal ditanyai tegas begitu. Tinju yang hendak
kuayun terhenti selagi aku memikirkannya sejenak. “Misalnya, bagaimana soal
kuliahmu di Institut Animasi Yoyogi?” jawabku ragu.
Seketika itu, tahu-tahu Yamazaki membidikkan tendangannya padaku. “Jangan
mengolok-ngolok Institut Yoyogi!”
“Aduh! Kok mendadak kamu tendang aku betulan, dasar—“
“Jangan sombong, ya, padahal cuma hikikomori!”
Darah menderu ke kepalaku. “Matilah, lolicon!
Mati kamu otaku gim erotis!”
Aku mengayunkan tinju kananku sekeras mungkin, menubrukkannya ke perut
Yamazaki. Ia mengerang, menerjang, dan menjegalku, sembari masih mengerang.
Saling membelit, kami jatuh ke tanah. Yamazaki mengangkangi kepalaku. Aku bisa
melihat bulan di belakang dia. Aku bisa hancur remuk kalau terus begini.
Seraya mengaitkan
kakiku ke lehernya, entah bagaimana aku berhasil lepas dari bawah dia. Kami
sama-sama terengah. Yamazaki membelalak padaku, lantas, sambil menunduk,
terkekeh-kekeh. Akhirnya, ia mendesah keras-keras, “Ah, hebat tadi itu.”
Aku mendesah juga.
“Ini masih jauh dari selesai. Ayo kita terus berkelahi sampai mati,” ucapnya. Kami pun
terus bertarung: tendangan-tendangan yang liar dan pukulan-pukulan yang
terang-terangan, pertempuran penuh nafsu di antara dua pria lemah. Sakit.
Benar-benar menyakitkan. Tapi seru—seru lagi hampa. Sebuah pukulan terbenam di
ulu hatiku, mengangkat empedu dan air mataku pun meluap, tapi aku senang.
Padahal selangkangannya baru saja ditendang, tapi Yamazaki terlihat tenang
sembari melompat-lompat.
Ya ampun, apa-apaan kamu ini? Kusalurkan kesangsian ini pada tinjuku—memukul dan dipukul.
Tiba-tiba, aku
teringat bahwa saat itu sudah Juli. Tidak akan lama lagi. Harus ada yang segera
berubah. Kemungkinan besar, akan kuputuskan sesuatu sebelum lama lagi. Aku
yakin setelahnya akan tertawa, tertawa dan tersenyum. Kamu setuju, kan,
Yamazaki …?
Untuk sekarang, kami terselimuti oleh goresan dan memar. Semuanya sakit.
Sekujur tubuh kami nyeri parah. Salah satu gigi depanku terasa goyah. Mata
Yamazaki menghitam. Tinju kananku lecet dan berdarah.
Kami baru saja mengalami pertarungan kecil pertama kami.
Sebagai bonus, kuberi Yamazaki satu pukulan lagi ke wajahnya. Selagi
begitu, ia menangkap lenganku, sehingga aku tersandung dan jatuh. Menyusul
kemudian, Yamazaki lantas mengunci persendianku serta memuntir lenganku.
“Aduh, aduh, nanti patah, nanti patah!” aku berusaha menepuk-nepuk tanah
untuk menyatakan kalah.
“Akan kupatahkan, akan kupatahkan, akan kupatahkan secepat kilat!”
Aku menggigit betis Yamazaki sekeras mungkin. Ia menjerit, “Itu melanggar
peraturan!”
“Berisik, peduli amat? Mati sana di Institut Yoyogi!”
“Sudah kubilang, kalau ada yang omong begitu, aku jadi geregetan!”
Tampaknya pertarungan
kami akan menjadi semakin hebat lagi menghampakan.
Lantas, kami mendengar, “Pak Polisi!”
“Sebelah sini, Pak Polisi!” ada suara nyaring mbak-mbak.
Seketika Yamazaki melompat, dan mengambil langkah seribu balik ke
apartemen.
Ia kabur sendirian meninggalkanku.
Beberapa menit kemudian, aku mendapat
diriku dipukuli Misaki. Cuma “pukulan cewek”, tapi, karena pertarunganku dengan
Yamazaki, aku sudah agak babak belur, dan serangan Misaki menggerincingkan
tulang-tulangku. Sembari berteriak sekuat-kuatnya, dengan suara yang tidak lagi
menyerupai manusia, Misaku terus memukuliku.
Aku membenamkan kepalaku.
Misaki melontarkan berpuluh-puluh pukulan lagi sebelum akhirnya tenang.
Dengan kata lain,
suara yang memanggil, “Pak Polisi!” tadi adalah dari Misaki yang berpura-pura.
Setelah makan malam, Misaki datang ke taman seperti biasanya, ketika dia melihat
dua lelaki bertengkar keras-keras dan menghajar satu sama lain. Begitu
menyadari bahwa aku salah seorang dari mereka, kontan dia jadi terusik.
Dengan mengerahkan
segenap keberanian, agaknya dia merasa mesti turun tangan. Karena tidak ada
siapa-siapa di sekitar dan dia juga tidak punya ponsel, maka dia tidak tahu
mesti berbuat apa. Akhirnya dia memutuskan untuk berpura-pura ada polisi yang
hendak menyelamatkanku.
“Aku enggak percaya
sama kamu! Aku khawatir sekali! Kukira kamu bakal mati!”
Sebenarnya, aku merasa tidak enak karena telah merepotkan Misaki, yang
kini menangis. Aku memutuskan untuk menghibur dia dengan sebuah kisah menarik.
“Eh, di bawah semak-semak sebelah sana, pernah ada cewek yang diganggu orang
mesum. Aku mendekati mereka dan campur tangan, mau menolong gadis itu, tapi si
pemerkosa tahu-tahu berbalik. Dia mengeluarkan pisau dari sakunya dan
melompatiku! Bukan, bukan, kejadiannya sungguh berbahaya! Kalau saja aku enggak
ada di situ, mungkin ada yang terbunuh.”
“Bohong lagi, kan, itu?”
“Iya.”
“Sebenarnya tadi kamu lagi apa?”
Aku menceritakan semuanya kepada dia.
Setelah menyembur keras-keras, entah kenapa Misaki memasang tampang
terluka. Sembari duduk di bangku, ia bergumam, “Itu tuh enggak baik. Jangan
berantem sama teman. Meskipun cuma bercanda, kekerasan itu enggak baik—sama
sekali.”
“Kamu omong apa sih? Jangan serius begitu ah. Asyik tahu. Aku enggak pernah memukul orang
ataupun dipukuli. Malah aku jadi merasa segar—“
“Kubilang, itu enggak baik!”
“Kenapa? Bisa karate
itu bagus kan.” Aku menunjukkan jurus-jurus pukulan bayangan di depan dia.
Ketika aku menirukan right hook,
Misaki menggigil dan menutupi kepalanya dengan kedua tangan.
“Eh?” ucapku.
Ia mengintip padaku
lewat celah di antara kedua lengannya.
“Kenapa sih kamu?” tanyaku.
Ia tidak menyahut tapi
menurunkan kedua lengannya dengan rikuh. Sekali lagi, aku berpura-pura
melakukan right hook. Lagi-lagi,
Misaki melindungi kepalanya dengan kedua lengan. Karena reaksinya lucu, aku
mengulangi gerakan pukulanku berkali-kali. Pada akhirnya, Misaki mengkeret, tak
berdaya dalam posisi begitu, dengan kedua lengan menutupi kepalanya.
Posisinya yang aneh itu menyebabkan lengan bajunya terangkat sampai ke
siku, sehingga aku mengambil kesempatan untuk melirik pada kulitnya.
Diterangi cahaya lampu jalan yang putih kebiruan, aku bisa melihat bahwa
lengannya bebercak-bercak yang kelihatannya seperti bekas terbakar.
Luka-lukanya membulat, masing-masing berdiameter sekitar lima milimeter. Bentuknya sangat mirip dengan
merek yang biasa disundutkan berandalan kampung pada satu sama lain sebagai
bukti keberanian.
Seakan-akan menyadari
tatapanku. Misaki menyentakkan lengan bajunya ke bawah. Dengan suara bergetar,
ia bertanya, “Kamu lihat?”
“Lihat apa?” aku
berpura-pura tidak tahu yang dia maksudkan.
Baru sekarang aku
menyadari, Misaki selalu mengenakan baju lengan panjang. Bahkan dalam cuaca
panas akhir-akhir ini, ia terus mengenakannya—tapi lantas kenapa?
Aku berucap padanya
dengan suara riang. “Bagaimana konseling hari ini?”
Misaki tak menyahut.
Tubuhnya masih meringkuk dalam sikap bertahan di atas bangku, gemetaran hebat.
Bahkan giginya gemeletuk.
Cukup lama waktu
berlalu.
Akhirnya, Misaki berkata, “Aku pamit,” sambil terhuyung-huyung lunglai ke
arah gerbang keluar taman.
Dari belakangnya, aku
kebingungan memandangi dia pergi, sembari bergaduh mestikah aku memanggil dia.
Misaki terhenti di depan ayunan dan menoleh padaku untuk bertanya, “Sekarang
kamu benci padaku?”
“Heh?”
“Kemungkinan kamu
enggak akan pernah datang lagi.” Dia itu sejenis cewek yang suka membuat pernyataan-pertanyaan
menegaskan yang aneh. Kami berhadapan dalam jarak sekitar enam belas kaki.
Misaki menatapku,
lantas merundukkan pandangan. Lalu, sekali lagi, dia mencuri pandang ke arahku.
“Kamu datang besok?”
“Kalau aku membatalkan janji, aku mesti
bayar penalti satu juta yen, kan?”
“Ah, iya. Benar!” Akhirnya, Misaki
tersenyum sedikit.
Aku pulang ke
apartemen. Setelah membalut tubuhku dengan kompres, aku tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar