Ia melangkah ke arah rak perapian
kemudian menyapukan jemarinya pada permukaan pualam. Aku mengangkat
gelas ke bibirku dan mendapati isinya kosong. Aku menjangkau botol.
“Kalau saja aku enggak kasih tahu Bunda, segalanya bakal baik-baik saja.
Baru setelahnya aku menyadari ia sudah tahu. Semua orang melakukannya. Itu
bagian dari dunia fesyen. Mereka bawa gadis-gadis usia empat belas tahun jauh
dari rumahnya, mereka mengubah gadis-gadis itu menjadi fantasi, mereka membuat
gadis-gadis itu terkenal, kaya, dan sebagai imbalannya … yah, siapa juga yang
bisa menolak, bercinta dengan karya seni sungguhan, dengan ciptaanmu sendiri?
Kurasa itu semacam droit de seigneur[1]. Lantas mereka heran kenapa dua tahun setelah itu karya seni mereka jadi
kena anoreksia atau menelan silet. Tetapi tentu saja Bunda sudah tahu soal itu.
Aku kira sudah ada semacam kesepakatan di antara mereka. Atau mungkin Bunda
enggak peduli dengan perbuatan Ayah, asalkan berhati-hati. Yang Bunda inginkan
cuma kembali menguasai keadaan, semua orang memuja-muji dia seperti dulu.
Seperti di pesta makan malam tadi, Bunda sangat bahagia. Bunda bahkan sempat
berpikiran untuk kasih kamu kamar di sayap yang baru, Charles, kalau saja kamu
enggak bikin kacau tadi. Tetapi Bunda enggak pernah memaafkan aku. Aku telah
melanggar aturan. Semuanya baik-baik saja asalkan enggak ada yang tahu. Semua
orang tahu dan semua orang berpura-pura enggak tahu dan begitulah caranya dunia
tetap berjalan. Tetapi sekalinya kebenaran mulai terkuak, seluruh muslihat itu
jadi hancur. Taruhannya terlalu besar kalau itu sampai terjadi. Itulah yang
coba Bunda pahamkan padaku pada malam pementasan itu. Dan kamu tahu, Bunda
memang selalu bilang kalau seorang aktris itu semestinya jangan terlalu
mempersoalkan kebenaran.” Bel melekukkan kedua tangan mengitari gelas vodkanya
sembari membungkukkan bahu. “Tetapi aku enggak sungguh-sungguh berbakat sebagai
aktris.”
Ia terdiam dan minum lalu mengisi ulang
gelasnya. Aku hendak berdiri dan mengatakan sesuatu namun ada beban yang
menekan dadaku di samping aku mengalami semacam gangguan penglihatan. Aku
merasa tidak bisa melihat seluruh ruangan. Alih-alih setiap benda menjadi terang
satu demi satu, seperti cahaya pada mesin pinball—koper
vinil merah muda di kaki kananku, anjing-anjing mengganyang Actaeon[2], benjolan logam hijau yang menutupi roda depan Mercedes di sebelah luar
garasi, betis putih Bel serupa batang lilin di balik gaun hitam yang
melecut-lecut seiring kembalinya ia berdiri di hadapanku.
“Tetapi kamu tahu soal ini,” ucapnya.
“Aku tahu kamu tahu. Pastinya, enggak sampai ke semua detailnya. Tetapi cukup
lah. Itu sebabnya kamu ngebet berusaha keluar dari tempat ini, pertama rencana
setengah hati ke Cile waktu itu, kemudian ketika itu enggak berhasil minggat
setelah cekcok sedikit sama Bunda? Gara-gara Bunda menyuruh kamu
cari kerja, kamu pergi dari rumah pusaka lalu tinggal sama Frank?”
Ia duduk menyebelahiku di kursi malas.
“Tetapi, kamu mengerti enggak sih, itu sebabnya aku marah sama kamu, soalnya
kamu pura-pura enggak tahu, soalnya kamu berlagak seperti yang berpikir
segalanya yang terjadi itu sekadar penyimpangan
dari kehidupan ala ningrat yang telah dipetakan Ayah untuk kita, dan bahwa
kalau kamu sampai bertingkah apa-apa
atau bergabung dengan apalah, kamu
bakal mengkhianati dia. Tetapi peta itu enggak ada, Charles. Enggak ada
nilai-nilai. Amaurot sekadar suatu tempat untuk memenuhi delusi Ayah agar dapat
berjalan-jalan di dunia fantasinya, berlagak dunia luar tidaklah ada. Aku
bukannya menghakimi Ayah soal itu. Tetapi semua ini sebenarnya enggak ada
artinya. Kecuali mungkin uang.”
Buku-buku jemariku berkeringat dan si
gelas terus-terusan ingin menggelincir dari pegangan. Erangan badai yang
menggila menyerbu cerobong asap. Rasanya seolah-olah kami telah sampai di akhir
zaman, dan yang tersisa kini tinggal ruang tamu ini, kursi malas ini, serta
tubuhnya di sampingku. Dengan mengerahkan semua energi, kutarik diriku ke muka,
bak dinosaurus tua berjuang keluar dari rawa, sehingga lengan bawahku dapat
bertengger di paha, lantas, seraya menyingkirkan debu dari tenggorokan, aku
berucap dengan suara mencerca: “Omong kosong.”
Bisa saja aku melanjutkan perkataanku.
Bisa saja aku bilang padanya bahwa belum pernah dalam hidupku aku mendengar
sampah keji serupa itu. Bisa saja aku mempertimbangkan poin-poin omongannya dan
menyangkalnya satu per satu. Tetapi aku merasa upaya untuk terus duduk saja
sudah melelahkan aku. Maka kutaruh gelasku di bawah dekat koper lalu duduk
memandang masam ke lantai, mengabaikan tatapannya pada pipiku.
“Geoffrey jadi terdakwa,” ucap Bel.
Suaranya kembali berjarak yang pecah-pecah berirama. “Aku yakin kamu sudah
dengar. Ternyata ada salah satu perusahaan Ayah di negara lain yang pajaknya
rendah sedang diselidiki oleh pemerintah. Mereka belum melacaknya sejauh kita.
Tetapi enggak lama lagi bakal ketemu. Sudah jelas kok dari melihat pembukuannya.
Perusahaan kedok, perusahaan induk, akun bodong, mengarah ke sini, ke sana,
enggak ke mana-mana. Donasi buat dana perwalian, badan amal inilah, itulah,
misterius—kamu mesti pernah bertanya-tanya soal dana perwalianmu, Charles, kamu
mesti pernah sadar soal itu meskipun kamu enggak bisa menelan semuanya.
Aku diam saja. Akhirnya ia mendesah,
bangkit, dan menuju gorden lagi, seperti sedia kala.
“Maksudku bukannya itu penting,”
ucapnya. “Tempat ini tetap bakal berdiri, dan semakin kokoh. Mereka akan
bersinergi dan memasang patung-patung. Bagaimana bisa kamu menghentikan
kekuatan besar begitu?” Kepalanya menoleh kepadaku. “Sekarang, kalau mau kamu
boleh membangunkan Bunda. Kasih tahu dia aku menggila lagi.”
Masih aku tak menyahut. Aku tengah
memikirkan hal lain.
“Tetapi, Charles, aku minta satu janji
dari kamu. Setelah aku pergi, aku ingin kamu berjanji enggak bakal kembali ke
sini. Sekalipun kalau Bunda menawari kamu kamar. Enggak bakal ada lukisan wajah
lagi, kamu mengerti, kan?” Ia mengarungi lantai dengan wajah merengut. Aku
menahan kekeh. Bel enggak menyadari, tetapi sekarang dia jadi ada dua,
melangkah bersisian. Ruangan mulai bergulir perlahan, meninabobokan melenakan.
“Dan jangan sampai kamu jatuh cinta lagi sama cewek-cewek cantik yang enggak kamu
kenal ….” Sebarisan Bel mengangkat kedua tangan dan menyingkirkan poni yang
menutupi mata mereka. “Karena kalau ada satu hal yang mesti kamu ingat, ialah
semua orang itu manusia, itulah diri mereka yang pertama-tama, entahkah mereka
cantik atau enggak, atau kaya atau miskin, atau aktris dari tahun 1940-an atau
Frank … mereka semua manusia, diri mereka yang pertama-tama ialah manusia? Kamu
mengerti, Charles?”
Hanya samar-samar aku sadar akan Bel
versi kaleidoskop yang berpendaran dan menanti penuh pengharapan di hadapanku.
Aku tengah mengenang masa ketika ia berusia tujuh tahun, saat ia menonton
dokumenter tentang bencana kelaparan di Ethiopia dan memutuskan untuk membuat
kue untuk dikirimkan kepada mereka. “Kamu ingat, Bel? Semua orang lagi pada
keluar, dapur kebakaran, lalu Ayah bilang, setelah petugas damkar pergi, Ayah
bilang—“ tertawa terbahak-bahak sekarang, “ia mempertimbangkan untuk meminta
orang-orang Ethiopia celaka itu supaya mengirimi kita makanan, karena untuk sebulan ke depan kita enggak bisa masak
….”
Pendaran itu terhenti, lantas berucap
pelan bahwa ia ingat. Lonceng menyambar entah jam berapa, dan Bel berkata ada
beberapa urusan lain yang mesti dia kerjakan.
“Baiklah,” kataku, seraya bangkit dengan
goyah dan terempas lagi. “Aku mungkin butuh sedikit—sedikit bantuan, tapi ….”
Bel menarik pergelangan tanganku
kemudian menghelaku bangkit. Begitu aku dapat menjejakkan kaki, ia
menggantungkan lengan kananku pada bahunya lalu mengaitkan kedua lengannya
sendiri erat-erat di seputar pinggangku, dan dengan cara begini kami berjalan
menyusuri lorong, dengan badannya yang ramping menahanku, menyesuaikan dengan
sendirinya ke depan, ke belakang untuk melawan pusat gravitasiku yang menyimpang.
Rasanya, ketika kami mulai mendaki tangga, aku dapat mendengar suara pohon
tengah dibelah di suatu tempat, namun Bel sudah terengah-engah akibat bebanku,
sehingga aku tidak bilang apa-apa. Mungkin cuma hantu kesiangan, pikirku,
sementar Bel mengangkatku maju. Mungkin cuma Golem, yang sedang menyeret kaki
lempungnya yang resah menyedihkan melewati halaman gelap.
Yang kuinsafi berikutnya, kami sudah
berdiri di sebelah luar pintu studi Ayah. “Hei,” ucapku ke tempat kupikir Bel
tengah berpijak.
“Ya,” sahutnya.
“Sampaikan salamku pada bung Chekhov.”
“Pasti.”
Timbul kekosongan yang mengagokkan.
Sekonyong-konyong aku menyadari sesuatu yang pernah terungkit namun belum
terselesaikan—atau apakah itu sesuatu yang belum dibicarakan yang semestinya
telah dibicarakan? Aku tidak ingat, jadi dengan menebak-nebak aku berkata, “Kamu
ingat, urusan yang dulu pernah kita bicarakan. Kita cari tempat tinggal bareng,
dan seterusnya. Kita harus membicarakan itu begitu kamu balik, berdiskusi untuk
memastikan.”
“Tentu saja,” ucapnya lagi. Kali ini tak
lebih dari sekadar coreng, cap jempol pada potret malam itu. Ia membenamkan
kecupan di pipiku. “Selamat tinggal, Charles.”
“Selamat tinggal,” sahutku. Namun ia
telah menghilang di tangga.
Aku
terjegal masuk ke ruang studi lalu mengambil alih giliran selimutku dari Frank
dan langsung terlelap dalam tidur tanpa mimpi, sementara Bel kembali ke lantai
bawah, keluar menuju garasi, masuk ke Mercedes Ayah, dan mengendarainya dengan
kecepatan penuh ke dinding taman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar