Bel menurunkan kipasnya, dan menatapku
seperti yang tak sabar. “Masa itu enggak selalu menyenangkan,” katanya. “Ada
juga yang mestinya dilupakan saja.”
“Maksudnya?”
Bel memutar bola mata. “Bukan apa-apa,”
sahutnya. “Sudah larut, sudah. Kamu tidur saja.” Lantas, seraya berlagak
mengabaikan tatapanku, ia mengulurkan tangannya. “Lempengannya mana?”
Aku merangkumnya dengan kepalan tangan
lalu menurunkannya pelan-pelan ke samping badanku.
“Jangan kekanak-kanakkan, ah, Charles,
sinikan.”
“Kasih tahu dulu apa maksudmu tadi.”
“Bukan apa-apa, aku enggak ada maksud
apa-apa ….” Warna mukanya berubah jadi akar bit gula yang marah.
“Apanya yang bukan apa-apa. Kalau itu bukan
apa-apa, kamu enggak akan menyinggung itu dari awal, dan kenapa juga kamu
pengin barang zadul begini, padahal belum dikasih nama juga ….”
“Oh, ya ampun, ya sudah simpan saja sama kamu!” Bel berbalik
menjauh dengan gusar. Serta-merta aku merasa menyesal dan seperti orang tolol.
Aku hendak minta maaf dan menyerahkan lempengan itu ketika ia berputar,
mendapatiku lengah—
“Aduh—apa-apaan sih kamu?”
“Berikan, Charles—“ seraya menghunjamkan
kuku-kukunya di tanganku berupaya memaksaku melepaskan benda itu. Aku mendorong
dia. Ia mendesakkan sikunya ke dadaku untuk menambah efek. Kami pun bergumul
sebentar lalu aku memuntir lengannya untuk melumpuhkan dia, namun rupanya
terlalu keras sehingga ia terlontar ke lantai ruang tamu.
“Oh sial ….”
“Lepaskan aku—“
“Aku enggak serius, aku cuma—“
“Kamu tuh mabuk, kamu selalu mabuk
….” Ia geliang-geliut menjauh dari uluran tanganku lalu bersandar pada kaki
kursi malas.
“Maaf,” kataku lagi. “Enggak ada yang
patah kan?” Bel tidak menjawab. Ia cuma duduk meringkuk di samping kopernya
sembari mengurut pergelangan tangan.
“Aku enggak sengaja,” ucapku dengan rasa
bersalah. “Cuma, aku enggak mengerti kenapa kamu suka mencela segala sesuatu
….”
“Oh Gusti—bisa enggak sih berhenti
ganggu aku?”
“Kamu memang seperti itu, Bel. Maksudku mungkin kamu enggak sadar,
tetapi—“
Ia mendongak disertai air mata perih.
“Kenapa kamu suka banget beginiin
aku?”
“Apa?”
“Kenapa kamu suka omong soal begitu
melulu?”
“Enggak kok.”
“Iya,
kamu suka cerita kenangan-kenangan indah dan bukankah kita beruntung,
seolah-olah selama ini aku menjalani kehidupan
yang sama sekali berbeda dari kamu, kamu enggak tahu buat aku tuh rasanya ….”
“Kamu omong apa sih?”
“Cara kamu menceritakan tentang kita, isi-isi ceritamu ketika kita masih
kecil, seolah-olah enggak ada kejadian apa-apa setelah usia kita sepuluh tahun,
dan segalanya yang buruk kamu dempul dan lupakan—“
“Aku enggak dempul apa-apa.”
“Sewaktu aku di rumah sakit, kenapa kamu
enggak pernah omong soal itu? Bukannya itu terjadi? Kamu kan yang panggil
ambulans? Atau itu cuma khayalanku?” Bara di perapian melontarkan cahaya merah
gelap pucat di wajah Bel. Ia menggosok-gosok pergelangan tangannya dengan
resah, serta menyeka hidungnya dengan lengan baju.
“Itu masa yang menyakitkan dalam hidup
kita,” kataku. “Hanya karena aku enggak membicarakan itu bukan berarti aku
sudah melupakannya, atau mendempulnya
….”
“Iya!” Bel berusaha berdiri. Sembari
memegangi pegelangan tangannya yang sakit ia tampak seperti martir. “Malam ini
saja ketika aku akan pergi kamu
pulang bawa anjing gelandangan yang hampir mati, karena kamu enggak ingin aku
ingat anjing yang dulu, karena kamu pikir kamu bisa menghapus kenangan begitu
saja padahal intinya enggak semestinya kita berusaha melupakan itu, kita harus
mengingatnya dan betapa menjijikkannya bagi Bunda untuk memungut anjing kecil
dan—“
“Ini kan sekadar hadiah perpisahan,”
protesku. “Bukan untuk jadi sesuatu yang eksistensial—“
“Iya, memang seperti itu, Charles, lalu
kamu mulai bicara sama aku soal ingat ini lah ingat itu lah dan segala hal yang
kamu enggak mau ingat entah menghilang atau kamu puntir supaya sesuai sama ilusi kamu, enggak ada bedanya sama
mereka yang omong soal patung lah, tradisi lah, mengabadikan warisan Ayah lah—tetapi yang lebih parah
itu kamu, soalnya kamu ada di sini, kamu tahu itu enggak benar.”
Saat itu sudah larut, dan semestinya aku
sadar sejak awal untuk meninggalkan dia. Dalam waktu singkat ia menjadi sangat
kalut. Tetapi aku sendiri sudah agak letih waktu itu, dan mendadak aku merasa
muak oleh hinaannya, sehingga dengan agak kasar aku bilang padanya bahwa aku
sama sekali tidak mengerti yang ia omongkan.
Ia menggilas-gilaskan tangan ke pipinya
dengan frustrasi. “Ini, Charles.
Seluruh rumah ini. Semua dusta, kepura-puraan, dan topeng, semua orang berbuat
sebisa-bisanya untuk menghindari keharusan menghadapi kenyataan, semuanya dulu
dibayar dengan menipu nyonya-nyonya tua agar mereka mengira dapat muda
lagi—semuanya fiksi belaka, semuanya. Semua itulah yang terjadi, semua itulah
yang mendirikan rumah ini.” Ia
berpacu ke perapian lalu kembali, berputar-putar bak ngengat yang kesakitan.
“Dan sekarang semuanya terjadi lagi, dengan Harry dan Mirela, serta perusahaan
ponsel yang memanfaatkan kita untuk menjadikannya seolah-olah sesuatu yang berarti alih-alih kumpulan
modal usaha dari Skandinavia. Dan Bunda berusaha terlihat seperti yang peduli,
padahal lebih banyak dusta dan kepura-puraan, dan itulah warisan Ayah, Charles, itu dan seratus rekening bank yang
bahkan kita enggak tahu adanya di mana saja, dan kamu masih saja belum mau
mengakuinya, sekalipun ketika kamu sadar apa yang berlangsung di sana, Yesus
Kristus kamu tahu bagaimana dia mati,
dan lalu kamu berpikir untuk menanyaiku tentang alasanku pergi ke Yalta—Gusti,
ketika aku membayangkan waktu sedetik
lebih lama di sini ….”
Di jendela petir mengertak, sehingga
sejenak ruangan serupa karya pahatan. “Sudah selesai?” tanyaku kalem.
“Ya aku—eh, tunggu, kamu mau ke mana?”
“Aku mau membangunkan Bunda,” ujarku.
“Hah?” Bel lekas-lekas mengitari jalan
dan membarikade pintu. “Apa?”
“Aku mau ke Bunda, lalu panggil dokter,”
kataku, seraya menepikan dia. “Kamu histeris.”
“Aku enggak histeris,” ujar Bel, kaget.
“Kenapa kamu kira aku—“
“Kamu histeris, dan aku mau panggil
dokter. Kondisimu lagi enggak bagus buat ke mana-mana.”
“Apa-apaan,
Charles, cuma karena aku kasih tahu hal yang kamu enggak suka bukan berarti aku
histeris,” ia merentangkan tangan, yang kuelakkan dengan entengnya, “cuma
karena pernah ada kejadian sekali kamu enggak bisa lantas—“
“Sori,” sahutku datar. “Aku harus
melakukan ini.”
“Tetapi ini bukan—tunggu!” seraya
kembali meloncat dengan gesitnya untuk mengalangi jalanku lagi. “Tunggu,
Charles—Charles, tunggu—“ Kepalanya terkulai, sebelah tangannya mencubit
hidungnya, dan napasnya dihela dalam-dalam. “Tunggu, enggak usah sampai
menyeret-nyeret Bunda dari kasur. Kamu benar. Aku terlalu tegang. Hari ini
melelahkan banget. Sori. Aku cuma perlu menenangkan diri, itu saja. Kenapa sih
kita enggak—“ ia celingukan, lantas menangkap botol yang menyembul dari sakuku,
“kenapa kita enggak duduk saja, sambil minum-minum dan menenangkan diri.”
Ia menariki kancing bajuku dengan
memohon. Aku jadi bimbang. Matanya terlihat kalut dan warna putihnya terlalu
menonjol. Meski begitu, segelas minuman memang ide yang bagus untuk saat ini.
Bel mengambil satu gelas lalu menuangkan
takaran secukupnya untuk dirinya sendiri, lalu satu lagi untukku. Kami duduk di
kursi malas, sambil menyesap minuman, dan memandangi badai, setenang dan
sesantun mungkin seolah-olah kami sedang minum teh di padang rumput. Tanpa
dipancing dulu, ia mulai menceritakan tentang kelas khusus orang berbakat di
Yalta ini, dan betapa tempat tinggalnya nanti dulunya merupakan rumah
peristirahatan Chekhov di pedesaan kala kesehatan yang buruk memaksa sastrawan
tersebut pergi dari Moskwa; betapa di sana Chekhov tinggal bersama istrinya
yang aktris, Olga, dan menulis karya dramanya yang terakhir, The Cherry Orchard; betapa pada hari ulang
tahunnya Chekhov kembali ke Moskwa untuk pementasan karya drama tersebut yang
pertama kali, lantas mengalami batuk-batuk parah saat penonton menyeru dia di
panggung; betapa ia meninggal dengan tenang dua bulan kemudian, pada usia empat
puluh empat. Dan yang Bel sampaikan, atau nyaris sampaikan, sesaat sebelumnya,
tertahan tak terejakan di ruangan itu, tanpa terlihat ataupun terhidu bak
asbes. Dan begitu kami kembali tergelincir ke dalam kesunyian, sembari duduk
hingga beberapa lamanya lagi, aku berkata, “Kamu ingat malam pementasan
sandiwara sekolah waktu itu, Bel?”
“Mmm?” ujarnya linglung.
“Sewaktu kamu mementaskan The Cherry Orchard, terus kamu lupa
dialog. Kamu sama sekali enggak ingat dialognya, kamu ingat?”
“Tentu saja aku ingat,” ucapnya.
“Sewaktu aku cerita ke Frank tentang
itu, aku menyadari aku enggak pernah tanya ke kamu sebabnya.”
“Entahlah,” sahutnya. “Sepertinya aku
kurang kuat menghafalnya.”
“Waktu itu kamu bertengkar hebat sama
Bunda,” kataku. “Besoknya kamu sakit. Tetapi kita enggak pernah membicarakan
tentang itu.”
Ia menatapku penasaran. “Aku punya usul
yang lebih bagus, Charles,” ucapnya, seraya bangkit. “Tidur sana. Minum lalu
tidur, dan besok kamu bakal lupa segalanya soal ini.”
“Bukannya kamu bilang kita harus ingat
ini itu.”
Vodka menjadikan hawa terasa sesak dan
selembut bantal. Di belakang Bel langit mencetus perak lagi lantas bergulung ke
dalam gelap lalu sekonyong-konyong aku membayangkan Gene Tierney terjaga di
tempat tidur rumah sakit seusai perawatan dengan sengatan listrik tanpa tahu di
mana, atau siapa, dirinya.
“Kamu tahu kenapa,” ucapnya pelan.
“Bilang lagi.”
Ia mengunyah buku jarinya penuh
pemikiran. Ia memandang jam, lalu bara yang sekarat di perapian. “Sepertinya
itu bukan soal penting,” ucapnya. “Lagian kamu enggak bakal percaya.” Ia
menjumput azaleanya lagi lalu berjalan ke gorden, sambil memukul-mukulkan bunga
itu secara teratur ke telapak tangannya. “Tetapi alasannya bukan karena malam
itu,” ucapnya. “Terjadinya beberapa hari sebelumnya. “Minggu itu kami semua
sekolah setengah hari, supaya kami bisa latihan drama. Sepertinya hari itu
Rabu, soalnya pembantu lagi libur. Aku lagi di kamarku, mempelajari beberapa
dialog, sewaktu aku mendengar ini—aku enggak tahu bagaimana menjelaskannya. Di
ingatanku, yang kudengar cuma … ada sesuatu yang enggak beres. Waktu itu aku
enggak tahu itu suara apa. Semestinya enggak ada orang lain di rumah. Aku buka
pintu buat mengecek keadaan, dan aku menemukan seorang gadis, sedang berdiri,
telanjang bulat. Diam saja, rasanya seolah-olah dalam mimpi. Ia pakai celak
biru dan ia menatap tepat ke arahku tetapi kurasa dia enggak menyadari aku ada.
Kurasa dia enggak sadar di mana dia berada. Tatapannya kosong begini. Sesaat
kami cuma diam mengejapkan mata pada satu sama lain, lalu Ayah datang dari pojok
ruangan dan gadis itu pun lari menuruni tangga. Tinggal aku sendiri memandangi
Ayah. Sepertinya waktu itu aku tanya, “’Ada apa?’ Lantas Ayah menggenggamku dan
berkata, ‘Christabel, ada kecelakaan, Ayah butuh bantuan.’ Ia terus-terusan
bilang begitu. Aku tidak boleh pergi. Jelas-jelas, tidak ada kecelakaan
apa-apa. Tetapi apa pun yang sebelumnya telah terjadi, gadis itu histeris, dan
dia enggak mau dihampiri Ayah. Sehingga aku lah yang mengejar dia. Ia ada di
ruang peralatan, terdesak di belakang alat pengering, kamu tahu kan tempat Mbok
P menyimpan papan setrika? Aku menemukan dia di sana dan Charles, yang
kuinginkan cuma masuk ke sampingnya, ia kelihatan kecil dan kurus banget,
enggak berdaya, seperti hewan kecil. Enggak pakai apa-apa sama sekali selain
celak mata, yang warnanya biru gelap, sehingga aku jadi membayangkan dewi-dewi
Mesir yang menyeramkan, seperti Isis, Nephthys, dan lain-lainnya itu? Tetapi
aku bicara sama dia, membawanya ke kamar mandi, membilasnya, dan menenangkan
dia. Sebentar kemudian ia baik-baik saja. Masalahnya enggak begitu serius. Ia
cuma ketakutan. Ia cuma masih muda banget.
Ia ke lantai atas untuk berpakaian sementara aku memanggilkan taksi. Ayah
enggak kelihatan. Lalu gadis itu pergi, dan aku kembali ke kamar untuk
menghafal dialog, dan saat itu seolah-olah enggak pernah ada kejadian apa-apa.
Ayah enggak omong apa-apa sama aku soal itu dan aku juga enggak berniat untuk
menceritakannya kepada siapa-siapa. Tentunya bukan untuk melindungi Ayah. Lebih
karena aku pikir kalau aku enggak kasih tahu siapa-siapa bagiku rasanya
seolah-olah kejadian itu memang enggak pernah benar-benar terjadi. Tetapi tentu
saja aku enggak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Tahu-tahu rasanya
seolah-olah segalanya di rumah ini jadi punya arti baru. Pintu-pintu yang
dikunci, foto-foto. Aku jadi sering diam di kamar dan memandangi benda-benda
yang diberikan Ayah untukku, pakaian, perhiasan, parfum, lalu kupikir, apakah
Ayah memberikan barang-barang yang sama pada—pada model-modelnya? Apakah Ayah
membeli tiga buah sekaligus untuk setiap barang di bandara? Atau apakah Ayah
menemukan sesuatu yang menarik pada gadis yang dia ….” Bel terdiam dengan
anggunnya. Di luar malam menggigil dan mendentum. “Lalu aku mulai
muntah-muntah. Aku enggak bisa menelan apa-apa. Bunda pikir aku gugup gara-gara
mau pementasan. Mungkin sebagian memang karena itu. Dan pada malam
berlangsungnya pementasan, Bunda bersikap baik banget, menasihatiku supaya
jangan cemas dan menceritakan pengalamannya memerankan Varia sewaktu ia berusia
sedikit lebih besar daripada aku dan lantas tanpa bisa kutahan-tahan bocorlah
semuanya. Aku sambil menangis-nangis dan semuanya keluarlah. Waktu itu aku
enggak berpikir bagaimana Bunda akan bereaksi. Atau kupikir Bunda mesti ingin
tahu. Maksudku waktu itu kupikir itulah inti dari kebenaran, yaitu dengan
menyampaikannya. Dan kamu tahu kan Bunda selalu menjadi orang yang menyuruh
kita untuk berdiri tegak, merapikan baju, dan jangan mencuri apel Mbah
Thompson. Sesaat setelah aku selesai Bunda diam saja. Aku ingat ia berdiri di
samping bak cuci sambil menutup mulut, sementara aku duduk di meja dapur
mengenakan pakaian dansa Rusia yang konyol sembari berharap Bunda akan
bersuara. Tetapi ketika Bunda bersuara, aku harap ia diam sebab kedengarannya
sangat mengerikan. Intinya, Bunda pikir aku mengada-ada. Bunda marah sekali—saking marahnya aku
khawatir Bunda bakal gelap mata, dan aku mulai berpikir bahwa mestilah aku cuma mengarang, dan aku
jadi heran kenapa aku berbuat sebegitunya, sehingga segalanya menjadi kacau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar