“Kenapa orang mesti terperangkap dalam
satu wajah saja?” Ayah suka berkata begitu. “Atau terjebak dalam satu kehidupan
saja?”
Topeng,
kata Ayah, adalah sesuatu yang kita kenakan namun berkebalikan dengan diri
kita, sebab topeng itu tidak sepenuhnya nyata. Topeng dapat menahan sakit yang
tak tertanggungkan oleh kita, sebab topeng itu tidak sepenuhnya bersifat
manusiawi, keindahannya tak akan terlunturkan oleh usia ataupun perasaan. Kedua
tangan Ayah aromanya selalu berbeda, dan wewangian melayang-layang di rumah bak
serbuan nan menyenangkan, bagaikan untaian kenangan mewah yang tidak lagi
menjadi milik siapa-siapa.
Kami
bertemu model-model Ayah saat mereka sedang naik atau turun tangga, dengan
keindahan bersahaja wajah sehari-hari mereka yang tanpa riasan. Selalu
mengejutkan rasanya ketika beberapa bulan kemudian kami melihat mereka di
majalah, dan mendapati hasil karya Ayah atas mereka. Gaya teduh, tomboi,
santun, canggung; gaya dekadensi Berlin, Regency, Cleopatra; gaya gadis modern
ala 1920-an, hippie, putri Arab—ia
menambang wajah mereka demi membangkitkan kisah, mite, dan gairah setua
sejarah, atau lebih tua lagi, bagaikan lapisan-lapisan bijih besi langka yang
terpendam dalam bumi kemudaan mereka.
Di
majalah-majalah, wajah-wajah temporer gadis ini memiliki suatu kekuatan, suatu kekuatan yang
ayahku dapat panggil dan seimbangkan, seperti dalam pertunjukan-pertunjukan
musik lawas di mana terdapat piring yang diputar-putar di atas tongkat. Mereka
dapat menjelma usia, emosi, atau suasana hati apa pun, dan segala yang ada di
seputar mereka dapat berubah pula, beralih dari kehidupan yang tersebar dan
sulit dikendalikan menjadi sebuah kisah, sesuatu yang memiliki arah dan arti.
Melihat halaman-halaman berkilauan itu, wajah-wajah mereka terasa menjanjikan
segalanya. Mereka menjanjikan bahwa kita dapat menjadi apa saja, mereka
menjanjikan bahwa mereka dapat membawa kita serta, bahwa kita dapat
meninggalkan diri kita.
Kemungkinan Bel menghilang setelah
menerobos kaca depan mobil, kata petugas forensik. Menerobos kaca depan mobil
dan melewati dinding menuju ke laut. Mobil tua seperti itu kurang dapat
memberikan perlindungan bila terjadi tabrakan. Setelah memeriksa bangkai mobil,
si petugas forensik tidak mengerti sebabnya mobil tersebut bisa lepas landas
begitu—tetapi saking rusaknya mobil sehingga sulit untuk mengetahuinya. Lagi
pula, mobil tua begini biasanya punya kekhasan tersendiri. Barang begini
sepatutnya dimuseumkan, dan sudah tidak layak untuk dikendarai.
Kenelangsaan
Bunda meriap. Selama seminggu berikutnya, sementara yang lain terhuyung-huyung
dalam kebingungan, Bunda menangani para petugas polisi dan detektif yang
berkerumun di sekitar rumah—menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, menyediakan
salinan-salinan rekam medis, memastikan orang-orang itu mendapat makan siang.
Saat kecelakaan itu diperkirakan terjadi pada pukul setengah lima pagi,
Bundalah yang ingat bahwa semestinya pada waktu itu taksi sudah tiba. Bunda
juga yang mengajukan gagasan bahwa Bel, karena menyadari bahwa taksinya tidak
datang tepat waktu, menjadi panik sehingga memutuskan untuk mengendarai
Mercedes antik itu ke bandara, namun mobil itu malah berputar-putar tak
terkendali di atas rumput yang basah. Serta-merta polisi menyetujui bahwa
sejauh ini penjelasan tersebut yang paling mungkin.
Mereka
meminta keterangan dari kami semua. Namun mereka lebih sering berada di taman,
mengambil gambar garasi, mengukur pintu dengan pita pengukur, membuat cetakan
gips dari jejak ban yang melintasi rerumputan menembus sekelompok pepohonan
lalu membelah dahan-dahan ke tempat mobil itu ditemukan dengan gilasan kaca
serta pecahan batu tersebar, udara bergaram mengembus-lewati kaca depan yang
hancur, di dekat dinding rendah yang membatasi tebing dari kecuraman yang
mengarah ke laut: kebetulan saja, letaknya hanya beberapa kaki dari tempat Ayah
biasa membawaku dan Bel dulu sekali malam-malam, untuk melihat ombak seraya
berdeklamasi di depan kami: Kemarilah, O
anak manusia, Ke telaga dan rimba belantara.
Ada
beberapa penyelam juga, berikut sekoci, namun perairan di dasar jurang sangat
beriak sehingga tidak mungkin dilakukan pencarian yang memadai. Kita harus
menunggu, kata mereka dengan arti tersirat, dan kami pun mengangguk mafhum.
Selama waktu itu aku mengharapkan Bel melewati pintu, sembari tertawa-tawa, dan
menjelaskan bahwa semua itu cuma kelakar, rekaan, kesalahpahaman. Namun Bel
tidak kunjung muncul, tidak pula terdampar di pantai, dan seminggu kemudian
koroner menurunkan putusan kematian disebabkan oleh kecelakaan.
Saat
kebaktian di sebuah gereja kecil, ketiadaan Bel malah menambah hawa tidak nyata
yang sudah tajam. Ada kesan aneh bahwa kegiatan ini sudah dilatih (tetapi buat
siapa? buat apa?), orang-orang awas akan duka mereka. Bunda bekerja keras
menanggapinya dan menunjukkan martabat yang sepantasnya dalam kesempatan ini.
Para aktor yang beramai-ramai meratap; teman-teman kuliah dari Trinity;
gadis-gadis yang kukenal dari buku tahunan sekolah, sudah ada sedikit yang
hadir pada waktu kejadian; sekian orang tolol, dungu, bego, dan para pokrol
yang pernah bermain-main dengan Bel melawan nasihatku; litani dari para paman
congkak berikut para sepupu kedua nan suram, dipimpin oleh bibi perawan nyinyir
dari keluarga Bunda, yang sepertinya baru hidup pada waktu-waktu seperti ini;
teman-teman Keluarga, dengan K berupa huruf kapital: tipe-tipe kelompok yang
baru kelihatan sekali-dua kali, orang berkepala mengilap pemilik semua
supermarket, beberapa orang yang ukurannya lebih kecil daripada Smurfette, Earl dari antah-berantah, yang pada suatu pesta
bertahun-tahun lampau mual-mual di belahan dada Bunda—Bunda menyambut tiap-tiap
mereka dengan senyum dan ucapan terima kasih yang sepenuh hati. Bunda sungguh
pandai dalam hal-hal begini.
Malam
itu Bunda mengumpulkan orang-orang teater lalu memberi tahu mereka bahwa untuk
sementara waktu keluarga ingin mengheningkan cipta. Baru ketika mereka pergi
aku menyadari bahwa “keluarga” itu berarti hanya kami berdua, berikut
sekelompok kecil pengikut kami.
Rumah
terasa semakin besar dalam kesunyian sore-sore berikutnya, semakin besar dan
semakin dingin, berapa pun pendiangan yang dinyalakan. Senyampang
berderik-derik tanpa tujuan di dalamnya, orang merasa agak menyerupai
penjelajah Arktik tengah mengembara melewati tanah mati berlapisan es, tempat
satu-satunya sumber kehangatan berupa bercangkir-cangkir teh yang tiada
habisnya, serta jilatan anjing yang baru pulih dari sakit pada tangannya. Vuk
dan Zoran undur diri ke bangsal di kebun, di mana dapat terdengar mereka
berlatih “You Are My Sunshine” dengan sangat tenang. Mirela mendekam di
kamarnya dan tidak keluar-keluar. Ada kemungkinan menghabiskan seharian tanpa
berbicara kepada siapa pun.
Sesekali
aku bertemu Bunda yang mengenakan kimono, di tangga, atau di lorong, sambil
memegang segelas wiski, dan kami pun bertukar sedikit dialog ngalor-ngidul soal sarang laba-laba,
atau debu. Mbok P memasak makanan yang tak disantap seorang pun, yang berdiam
saja sepanjang malam di atas meja ruang makan. Mbok P bersih-bersih,
mengemoceng, menggunakan alat pengisap debu dari
subuh sampai petang, tetapi tidak tampak perbedaan apa-apa. Setiap hari semakin
banyak bagian rumah yang dikuasai bayang-bayang. Kuasa-kuasa lama mengukuhkan
kembali dirinya, kami nyaris tak berbuat apa-apa untuk menahannya.
Sering
kali aku duduk di kamar Bel dan membuka-buka buku-buku tahunannya, atau
foto-foto lama sebelum dia menolak untuk dipotret. Dalam salah satu foto, ia
duduk dengan kedua lengannya melingkari si anjing yang belum dikasih nama,
seolah-olah sedang memohon, demi hewan itu, atas belas kasihan. Aku jadi
bertanya-tanya apakah Bel tak pernah mengenyahkan pikiran semasa kanak-kanak
itu bahwa dunia merupakan sebuah tempat tanpa pegangan, di mana setiap pijakan
merupakan lapisan es yang tipis, di mana terbenamnya matahari merupakan untuk
yang terakhir kalinya; apakah kami tidak pernah berhasil meyakinkan dia akan
yang sebaliknya. Selagi duduk dalam lingkaran cahaya sinar matahari November
yang pucat, tatapanku mengitari ruangan seolah-olah baru pertama kali
melihatnya, sering dengan setiap permukaan—pintu lemari pakaian dari
sonokeling, gorden beledu yang berlipit-lipit, kemilau satin pada setengah
lusin gaun-gaun resmi—menjadi latar dramatik yang padanya bayangan Bel muncul
lalu kabur begitu mataku menyorotnya, menari-nari dari satu titik ke titik lain
hingga aku terlalu pusing dan capek untuk terus mengejarnya dan aku pun
merebahkan kepalaku di bantal, dengan sinar matahari umpama telapak tangan yang
ramah pada pipiku, dan aroma Bel begitu dekat, dan aku pun tersenyum, karena
betapa konyolnya terasa, di antara kain seprainya yang hangat ini, bahwa ia dapat
pergi, betapa seperti buku cerita yang akhirannya jelek, di sini pada kasur
yang merupakan rakit tempat kami berlayar pada Minggu-minggu petang,
berguling-guling oleh arus sungai yang lagi berliku-liku, ke St Petersburg dan
Timbuktu, menuju Narnia dan Never-Never Land ….
Hingga
suatu hari aku masuk ke kamarnya, dan barang-barangnya telah kembali menjadi
sekadar barang-barang. Seolah-olah dalam semalam ada ruh yang telah
meninggalkan benda-benda itu. Aku mendapati diriku berada di satu ruangan yang
penuh oleh objek-objek tak bernama, jelata dari kayu dan plastik yang tidak ada
lagi hubungannya dengan apa-apa, menanti untuk dipilah dan dimasukkan ke dus,
atau dibuang. Saat itulah aku menyadari aku harus pergi.
Kebetulan saja, hari yang kupilih untuk
kembali ke Bonetown merupakan hari ketika para tukang bangunan datang dengan
buldoser untuk menghancurkan rumah Mbah Thompson, dan mereka menemukan tubuh
Olivier terjuntai di ujung terjauh beranda. Tubuhnya telah lama di sana.
Orang-orang dari badan pelelangan mestilah meluputkan dia saat mereka
mengosongkan bagian dalam rumah.
Para
tukang bangunan harus menurunkan jasad Olivier. Mereka jadi kacau dan menunda
pekerjaan hari itu dengan mampir ke rumah dan duduk-duduk di dapur kami. Mereka
belum tahu soal kematian Thompson, ataupun tuntutan dari pihak lain atas tanah
itu yang tidak hendak ditanggapi Olivier. Aku menceritakan soal itu kepada
mereka hingga mereka geleng-geleng kepala. “Mau dijual atau enggak, itu rumah
mesti dirobohin, Pak H. Tempat begitu mah kena api sedikit juga meledak. Tahu
sendirilah gimana tempat-tempat tua begitu. Mau pasang kabel baru harus
dibongkar banyak jadinya enggak sebanding sama harganya. Kalau buat jangka
panjang mah lebih murah dirobohin semua sekalian terus bangun dari awal. Gitu
aja kok repot.”
Proyek
bangunan yang baru itu dinamakan Romanov
Arbour: lima rumah merah dengan sasana olahraga dan sauna, tiap-tiapnya diberi
nama penulis Rusia yang berlainan: Pushkin, Tolstoy, Gogol, dan seterusnya.
Sudah ada penjualan yang tercatat.
“Uang
komputer, Pak H,” kata para tukang bangunan. “Makanya orang-orang ini bisa
punya tempat yang ada pagar listriknya, pakai nama asing. Batasannya cuma
langit.” Para tukang bangunan itu tidak menyukainya, tetapi seperti yang mereka
katakan, kita tidak semestinya repot-repot soal begini: apalagi sebagai tukang
bangunan, apalagi di Dublin. Lagi pula, ini pekerjaan terakhir mereka. Mereka
telah punya cukup tabungan untuk keluar dari balapan tikus.
“Keluar?”
tanyaku.
“Meksiko,”
ujar mereka. Pada Tahun Baru mereka akan membawa peralatan mereka lalu pindah
untuk bergabung dengan sekelompok orang yang telah mendirikan negara sendiri di
tengah rimba Pegunungan Chiapas. Pemimpinnya menggunakan masker balaclava hitam yang tidak pernah
dicopotnya. “Dia bilang masker itu jadi cermin,” cerita para tukang bangunan
kepadaku, “bagi wajah orang-orang yang telah dirampas haknya.”
“Kayaknya
bakal sumpek, ya,” sahutku. “Kalau dipakai di hutan.”
“Harus
ada orang yang mau begitu,” ujar mereka, seraya memanjat ke dalam buldoser.
“Sampai ketemu lagi, ya, Pak H! Vive la révolution!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar