Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20151227

Maut di Antara Gemunung Es (Mehis Heinsaar, 2015)

Conchita Suárez datang ke Tartu dari Cile untuk mempelajari bahasa dan sejarah Estonia. Kedatangannya ke tempat itu bukan semata karena ada kesempatan. Sebenarnya kakek Conchita terpaksa melarikan diri dari Estonia ke Jerman bersama kedua orang tuanya pada 1944 sewaktu ia masih kecil. Dari situ ia pindah lagi ke Amerika Selatan. Itu berarti Conchita berdarah seperempat Estonia. Sekarang sudah lebih dari dua tahun Conchita berada di Estonia. Setelah menguasai bahasa setempat dengan amat cepat (bukti akan bakat alamnya dalam bahasa), menemui kerabat jauhnya, dan berteman dengan banyak orang baik yang sebayanya, akhirnya Conchita berlabuh di Pulau Hiiumaa—“Tanah Raksasa”. Sebabnya yaitu dia ditawari bekerja di museum sejarah Kassari selama beberapa bulan pada musim panas.

Conchita segera menyukai pulau berangin itu. Dia agak terkejut karena orang-orangnya berbeda sama sekali dengan penduduk daratan utama Estonia, dan bukan saja dalam adatnya. Banyak ciri fisik mereka yang mengingatkan dia pada orang Spanyol. Namun cara berpikir dan birunya mata mereka jelas seperti orang Utara. Perkataan penduduk pulau terdengar ganjil di telinganya, dan dia lebih tidak mengerti lagi akan selera humor mereka. Namun dia tetap menyukai mereka. Penduduk keturunan dan kelahiran Kassaria yang paling menarik baginya adalah Aale Häggblom. Ia lelaki raksasa yang mulai agak botak, namun rambutnya yang keriting kecil-kecil masih lumayan lebat. Hidungnya besar dan matanya berwarna biru langit. Conchita melihat Aale setiap hari, sebab ia bertanggung jawab memelihara museum, merawat segalanya mulai dari pemasangan listrik sampai memperbaiki hewan awetan.

Lelaki terbelakang yang besar sekali itu amat menghibur Conchita yang mungil lagi temperamental. Secara sembunyi-sembunyi dia mengamati Aale, yang sambil menggumamkan serapah, membetulkan kabel di langit-langit, membersihkan marten-marten dan serigala, serta menyapu jalan di sekitar bangunan kuning itu. Akan tetapi, akhirnya, sampailah Conchita pada ketakutan terbesarnya. Pengintaiannya yang diam-diam merendahkan itu menumbuhkan suatu perasaan lain—sesuatu yang tak sanggup dibayangkan olehnya dalam mimpi buruknya yang paling buruk.

Pada suatu malam yang hangat dan tenang, suatu perasaan bahagia yang tak tertanggungkan sekonyong-konyong menyambarnya. Perasaan itu tertuju—O dewa-dewa yang keji!—pada Aale Häggblom, lelaki tua berusia empat puluh tahun itu.

Awalnya Conchita tak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia terbangun pada tengah malam dengan jeritan tersangkut di tenggorokan. Dia mengukur suhu tubuh, membetulkan posisi bantal, melapisi tubuhnya yang membara dengan lebih banyak selimut, mengira dirinya terkena flu, namun tetap saja. Baru keesokan harinya dia menyadari, kaget, bahwa sesungguhnya dia telah jatuh cinta pada Aale. Conchita ketakutan memikirkan itu! Hidup gadis Cile mungil nan malang itu pun menjadi sulit! Padahal baru beberapa hari lalu, bujangan tua yang lucu itu sekadar sumber penghiburan, namun mendadak dia melihat lelaki itu bagai raksasa dari negeri dongeng yang tatapan serta wujud ganjilnya memendam suatu kekuatan aneh. Dia terpesona memandangi lelaki itu dari kejauhan. Bibirnya bergetar. Namun saat Aale Häggblom menghampiri gadis itu untuk menanyakan sesuatu dengan suaranya yang menggelegar, Conchita tak kuasa menjawab apa-apa. Dia berlari dan menjerit di balik pohon-pohon cedar. Gadis yang malang ….

Conchita telah jatuh cinta. Sensasinya seperti hujan monsun yang turun tiba-tiba. Setan-setan berahi beterbangan di seputar pinggang dan lengannya yang rapuh, serta leher dan payudaranya yang mungil. Ribuan burung menggaok riuh di kepala serta jantungnya. Gerimis hangat meresapi jiwa dan rahimnya hingga dia mencengkeram perutnya seakan sedang menderita kram akibat menstruasi. Rasanya seperti berada dalam suatu rimba gelap, pengap, dan menyeramkan tempat jaguar, laba-laba pemakan burung, dan ular berbisa mencari mangsa. Dia khawatir akan dirinya. Dia tak bisa pulang maupun melarikan diri.

Seperti orang gila, malam-malam Conchita berkeliaran di sekitar rumah Aale Häggblom di tepi laut. Dia duduk di bawah jendela rumah lelaki tua itu dan menangis sampai subuh, sambil mendengarkan dengkurannya yang tenang. Suara itu pada akhirnya amat menggusarkan gadis itu hingga dia mulai menendangi dinding rumah Aale.

¡Chanco de mierda! ¡Es la cosa más estúpida que jamás me ha pasado!” raungnya dalam amarah dan duka.

Seminggu berlalu dan tak terjadi apa-apa. Pada suatu pagi di bulan Juli Aale datang ke museum lebih awal daripada biasanya. Seakan sudah ditakdirkan, ia tidak langsung bekerja tapi mendekati Conchita untuk membicarakan sesuatu dan lain hal. Mendadak di tengah percakapan, tanpa sebab ataupun peringatan apa-apa, Conchita menjerit. Itu jeritan yang tersangkut di tenggorokannya pada malam dia mulai jatuh cinta. Jeritan itu meledak dari dadanya bagai pekikan elang. Walau dia menekan mulutnya dengan kedua tangan, tapi itu sudah terlambat. Dalam tatapan heran Aale, kaki Conchita terbenam di tanah dan dia meraung seperti anak kecil. Yang terpikirkan oleh si raksasa yang kebingungan hanyalah membelai kepala wanita muda itu dengan canggung.

“Apa kamu sakit, perlukah aku memanggil dokter atau yang lainnya?” tanya Aale cemas.

Conchita malah melolong lebih keras. “¡Nooooooooo!” jeritnya sambil menangis. “Eres un disecado, viejo y apolillado como ese tonto lobo alli en el rincón. No entiendes nada, ¡nunca entiendes nada!

Didorong rasa jijik yang sedalam-dalamnya pada diri sendiri karena telah jatuh cinta dengan sebegitu tololnya, kepalan tangan Conchita yang cokelat dan mungil mulai memukuli Aale sekuat-kuatnya. Aale berusaha melindungi diri. Dengan canggung Aale merangkul Conchita dan mengangkatnya ke meja supaya ia dapat mengambilkan minuman dingin untuk gadis itu. Namun Conchita tidak membiarkan Aale pergi. Suatu kekuatan yang sepuluh kali lipat lebih besar daripada dirinya mendorong gadis itu untuk mendesakkan bibir pada muka berjanggut si bujang tua yang tampan, pada bibir dan hidungnya yang terbakar matahari. Aale sangat terkejut namun diam saja. Di tengah heningnya musim panas, hewan-hewan awetan yang berdebu, dan peta-peta usang, si raksasa yang biasanya pendiam merasakan pemburu yang telah lama tidur di dalam tubuhnya bangun dan mendongak … matanya mengilaukan suatu sorot yang ganjil dan liar. Bagai sebuah waduk yang tenang sekonyong-konyong melimpahi bendungan dengan banjir bandang, Aale merengkuh gadis itu dan dengan langkah-langkah raksasa membawanya ke ruang belakang. Dinding ruangan itu dilapisi peta-peta yang melukiskan asal mula Hiiumaa sepuluh ribu tahun lalu serta lemari-lemari kaca penuh bebatuan dari zaman Silurian dan Devonian. Conchita melekat erat di leher Aale, membiarkan saja lelaki itu. Jantungnya berdebar keras.



Sambil bergulingan di atas parket ek yang usang, mereka meraba-raba dan merobeki pakaian satu sama lain dengan kikuk. Keduanya saling menyerang dalam jeritan tertahan, merasakan gelombang gairah panas mengguyur tubuh serta melambung-empaskan mereka ke lautan terbuka. Baru saja kenikmatan meraja, si gadis membenamkan giginya yang putih dan tajam ke bahu si raksasa, membekaskan empat tanda berdarah. Aale meraung, namun bukan karena nyeri, melainkan lebih menyerupai lenguh makhluk purba yang terkoteng-koteng dan akhirnya menemukan makhluk sejenisnya setelah menjelajahi rawa dan hutan paku raksasa …. Itu hasrat yang menggila dan desakan untuk melebur, menghilang ke dalam satu sama lain, larut menjadi partikel kenikmatan, hingga sepasang suami-istri Belanda yang kebetulan menemukan museum pagi itu langsung kembali ke mobil mereka setelah mendengar jeritan biadab—keduanya sama sekali tak ingin terlibat dalam urusan dalam negeri Negara lain. Sementara itu dua sejoli tersebut telah mencapai puncak, tengah roboh di lantai sambil berangkulan. Cairan hangat dan mani pucat membanjiri paha mereka. Keletihan yang nikmat membayang di wajah keduanya.



Sesaat Conchita dan Aale tak beranjak dari satu sama lain. Mereka lalui bersama malam-malam berikutnya, hari-hari yang bergejolak dan menggairahkan. Ada begitu banyak bintang jatuh melintasi langit selama malam-malam Agustus itu hingga mereka kehabisan harap dan pinta akan penghidupan. Keduanya berangkulan sambil menyusuri jalan setapak yang dipagari pepohonan juniper, yang tumbuh tanpa arah di segenap penjuru Kassari, dan berhenti di semenanjung tempat ombak pecah di kaki mereka. Mereka tak mengacuhkan penduduk setempat atau siapa pun yang bergunjing diam-diam.

Barangkali kisah itu akan berlangsung selamanya jika saja gadis Cile yang mungil itu tidak merasakan adanya perubahan ganjil pada dirinya sebulan kemudian. Sebetulnya, dia sama terkejutnya dengan sewaktu jatuh cinta dulu. Dia merasakan kekuatan yang sepuluh kali lipat lebih besar daripada dirinya, yang tanpa ternyana menambatkannya pada raksasa itu, sekonyong-konyong lepas dari padanya—dalam sehari saja, tanpa sekalipun permisi! Seakan-akan bukan dia orangnya yang mengalami segala perubahan yang tengah terjadi, melainkan orang lain yang kebetulan berbagi tubuh dan jiwa dengan dirinya. Dia pun ketakutan.

Conchita Suárez memandangi pantulan jiwanya dan bertanya pada wajah dengan mata ketiga yang menatap balik ke arahnya, “Katakan padaku apa yang sebenarnya kurasakan atau terasakan olehku padanya? Apakah itu? Apakah yang kuperbuat itu salah?” Namun bayangan itu tak menjawabnya, hanya diam-diam tersenyum dan mengedip.

Aale tentu merasakan perubahan pada Conchita, karena gadis itu menarik diri serta tidak lagi nyaman dan leluasa dalam rangkulannya. Aale tak berdaya dibuatnya. Ia berdiri di hadapan gadis itu, menatapnya dengan sorot setia seekor anjing yang dungu. Pagi, siang, dan malam ia kumpulkan berbagai bunga dari sesemakan juniper untuk Conchita: berikat-ikat cow-wheat, jelai, cornflower, dan sweet pea—sampai-sampai tidak ada tempat lagi untuk meletakkannya. Akhirnya, karena tidak mampu mengungkapkan rasa kasihnya dengan cara lain, Aale duduk saja di kaki Conchita, sambil mendekapkan betis yang cokelat keemasan itu ke kepalanya erat-erat hingga keduanya mulai kesakitan. Si gadis Cile memandang seorang raksasa yang tengah duduk di kakinya, memujanya bagai semacam dewi. Dia sedih karena menyadari bahwa dirinya tidak lagi merasakan apa pun pada lelaki yang sangat baik itu. Bukan itu saja, penduduk pulau Hiiumaa itu pun kini tampak betul-betul konyol dan menjemukan baginya … seperti pulau itu sendiri. Ya, dia lelah berada di pulau ini, juga pada anugerah menyedihkan yang diberikan alam padanya. Dia jemu dengan Estonia, titik.

Conchita mendadak yakin bahwa dia telah mendapatkan segala yang diharapkannya, terlebih lagi dari negeri ini beserta orang-orangnya. Sekarang dia ingin pulang. Dia merindukan ibu dan ayahnya, saudara-saudaranya, teman-temannya, gereja bercat putih di puncak bukit di daerahnya, serta pater tua, pengasih, dan pemuram tempatnya mengaku dosa. Dia merindukan lautan, yang derunya dapat terdengar bersama angin barat dari seberang perbukitan, juga hujan dan hutan, yang suara dan aromanya dia kasihi sama seperti yang ada di sini. Dia ingin pulang. Dengan perasaan agak pedih karena suara nuraninya, walau yakin, Conchita melepaskan diri dari genggaman canggung si raksasa sambil beralasan bahwa saat itu sudah larut dan dia harus tidur.

Tiga hari kemudian Conchita Suárez meninggalkan pulau itu. Saat itu sore yang cerah dan hangat ketika Aale mengantarnya ke Heltermaa dengan mobil. Di dermaga angin berembus dari berbagai arah, mengaduk debu dan dedaunan kuning pohon birch yang pertama-tama. Sebelum Conchita menaiki feri, mereka berpelukan untuk terakhir kali. Conchita tersenyum pada lelaki itu, dan atas desakan emosi yang tiba-tiba dia merengkuh kepala Aale dan mencium bibirnya sekali, dengan bergairah dan sepenuh hati, lantas menuju kapal tanpa menoleh ke belakang.

Aale bergeming dan memandangi Conchita, sementara feri menjauh dari pelabuhan. Ia masih berdiri di tempat yang sama sejam kemudian; terus berdiri hingga feri itu menyusut menjadi titik yang mungil, melarut dalam warna seputih susu. Barulah ketika tidak ada yang bisa dilihatnya lagi, ia merasakan cinta yang murni dan sejati tumbuh di dalam dirinya bagi wanita muda itu, yang dulu datang kemari dari suatu tempat yang amat jauh dan kini telah pergi untuk selamanya.



Sejak hari itu, Aale Häggblom menanggung kejamnya derita cinta sejati di dalam dirinya. Suatu derita yang sulit ditanggung sekalipun saat cinta itu terpenuhi, dan dua sejoli terjalin dalam rangkulan satu sama lain. Namun saat seorang lelaki harus menanggung kembang yang membara di hatinya itu sendirian, maka pulau yang merupakan rumahnya seumur hidup sekalipun menjadi tempat yang asing sedang ia seorang pengungsi. Karena tak bisa tidur, bagai patung sembahan separuh hidup, dengan mata terbelalak Aale mengelilingi rumahnya serta pantai Kassari yang dijajari pepohonan juniper. Satu-satunya penawar bagi insomnia dan sakit hatinya adalah berjalan. Ia berjalan sampai tak sanggup lagi dan benar-benar kehabisan tenaga. Ia pun tumbang karena lelah. Ibarat lalat yang menemukan daging busuk saja, insting sempurna setan-setan mendapati jiwa Aale Häggblom yang tersiksa oleh rindu. Mereka pun mulai bekerja dengan cekatan.

“Apa yang kalian perbuat padaku, dan ke mana kalian akan membawaku?” lelaki yang separuh tak sadarkan diri itu bertanya pada setan-setan. “Apakah kalian akan membawaku ke tempat yang jauh, atau ke alam baka? Apakah orang bisa hidup dan bernapas di alam baka? Jika ya, maka teruskanlah, dan bawa aku ke sana karena tidak ada lagi kehidupan bagiku di sini.”

Namun setan-setan tak mengungkap rencana mereka. Mereka membakar jiwa yang telah lara tersebut hingga ia terpaksa bangkit dan keluar dari jasad Aale akibat kehabisan udara pada tengah malam itu. Mereka menghalaunya sampai jauh, sembari menusuk-nusuknya dari belakang dengan pengait kapal sampai akhirnya, setelah melarikan diri melintasi laut, hutan, dan tundra, sampailah jiwa itu di padang es tak bertepi tempat tak ada apa pun selain kesenyapan yang gemerlap. Di situ jiwa Aale melihat sebuah kapal terdampar. Kapal itu berupa fregat bertiang dua, terjepit di sela karang-karang es. Kata “cinta” terlukis berwarna merah pada sisi-sisinya. Ke dalam kapal inilah jiwa tersebut dalam wujudnya yang teramat halus menuju dan berhenti di anjungan nakhoda. Giginya menggeletuk. Kedua tangannya masuk ke dalam jaket. Ditatapnya ufuk seraya menggigil. Sebetulnya, tak ada yang bisa dilihat selain kabut yang membeku dan puncak-puncak gunung es disinari mentari kutub. Sudah tak mungkin lagi berlayar ke lautan mana pun dengan kapal tersebut, sebab itu rongsokan yang terkutuk sekalipun dulunya megah.

Setan-setan tak menyusulnya ke dalam kapal, sebab mereka tak dapat menahan dingin lama-lama. Mereka gembira karena telah menyelesaikan pekerjaan. Sambil mengumandangkan sebuah lagu, mereka terbang kembali ke daratan yang hangat.



Beberapa waktu kemudian pada musim gugur itu, saudara perempuan Aale Häggblom menjadi tuan rumah acara reuni keluarga di tanah pertanian miliknya di Käina. Sanak saudara jauh tercinta dari berbagai penjuru Estonia yang belum saling bertemu selama berpuluh-puluh tahun berkumpul, menyalami satu sama lain, dan ada juga yang bercakap-cakap dengan Aale.

Karena penghujung musim gugur kala itu hangat dan sejuk, mereka heran dengan kulit Aale yang pucat kebiruan serta tatapannya yang dingin dan lesu. Namun mereka lekas menujukan perhatian pada hal lain sebab ada begitu banyak yang hendak diobrolkan pada siapa saja. Para kerabat membicarakan soal kelahiran, kematian, dan perubahan menarik lainnya yang terjadi sejak terakhir kali mereka bertemu, sambil makan-makan, minum-minum, dan—sambil memegang minuman keras—menyanyikan lagu-lagu lama yang menyenangkan seperti pada acara-acara serupa terdahulu.

Aale Häggblom saja yang tidak menyanyi. Ia duduk di meja di bawah pohon apel, sambil memandang ke suatu tempat yang jauh. Wajahnya yang beku semakin putih saja. Sedikit demi sedikit pipi, alis, dan bulu matanya terlapisi oleh kristal es, sementara rambutnya oleh embun beku. Mendadak raut mukanya cerah. Seberkas cahaya tampak pada mata si raksasa, seakan ia melihat sesuatu yang indah dan menarik di kaki langit, melampaui puncak-puncak gunung es yang tak bertepi. Ya, semacam bendera berwarna merah kekuningan tampak olehnya …. Mungkinkah akhirnya ia telah sampai di tujuannya? Mungkinkah akhirnya ia memperoleh ketenteraman? Sembari tersenyum untuk pertama kalinya sejak lama sekali, si raksasa bangkit menuju arah tersebut. Namun ia tersandung tepi meja dan jatuh bertelungkup di atas hidangan daging beku. Serta-merta para kerabat jauh tercinta melonjak. Barulah mereka memerhatikan lelaki yang terperangkap dalam es itu. Rambutnya tertutup oleh embun beku. Pakaiannya terlapisi oleh es yang mengeras. Padahal saat itu siang bolong yang cerah dan hangat, di meja yang penuh dengan tumpukan hering dan kentang, serta kopi dan vodka! Buru-buru mereka mengambil air panas, membaringkan Aale, menggosok-gosok tangan dan kakinya yang biru, serta mengurut dadanya, tapi tak ada yang berhasil. Aale Häggblom telah mati dan tak ada lagi yang dapat diperbuat.

Tiga hari kemudian diagnosis dari rumah sakit Kärdla diterima: berhentinya jantung akibat pembekuan pembuluh darah. Para dokter paling ulung yang dipanggil dari ibu kota pun bingung dan tidak mengerti. Seumur hidup mereka belum pernah menjumpai kasus seperti ini! Untuk mengakhiri situasi yang diperkirakan akan mengakibatkan perdebatan pelik yang tak ada habisnya, berkas Aale Häggblom diamankan dengan tujuh gembok seusai pemakamannya, dan tak pernah diungkit lagi.[]



Mehis Heinsaar, penulis Estonia lahir pada 1973. Ia telah menerbitkan beberapa jilid buku puisi, kumpulan cerpen, dan novel, serta memenangkan penghargaan beberapa kali. Cerpennya ini diterjemahkan dari bahasa Estonia ke bahasa Inggris oleh Susan Wilson dengan judul “Death among the Icebergs” dan termuat dalam Words Without Borders edisi Oktober2015, “Writing from the Edge: Estonian Literature”.

Tidak ada komentar: