Viktor tidak membuang botol yang kosong
itu tetapi berbuat sepatutnya dengan menaruhnya di samping susuran tangga,
sehingga pekerja yang datang pagi-pagi sekali dapat mengambilnya. Sesudah itu
sejenak ia diliputi perasaan damai, bagaikan orang yang telah mencapai suatu
kesadaran, tidak lagi menjadi misteri bagi dirinya sendiri. Tanpa kerisauan ia
berjalan pulang. Lalu apa? Pengalaman apa pun merupakan suatu pengalaman!
Seorang sastrawan pun harus bersentuhan dengan kehidupan, pikirnya senang,
sebuah alasan yang dapat menjadi pembenaran bagi apa pun tindakannya. Nanti ia
akan membuat tulisan tentang itu. Toh hingga kini ia tak pernah meninggalkan
apa pun tanpa menyelesaikannya. Bagaimanapun kualitasnya, betapapun mepetnya,
ia selalu menuntaskan pekerjaannya. Dalam hal ini, Viktor percaya takhayul.
Dengan jelas ia membayangkan bahwa satu kejadian saja sudah cukup, sekalipun
jika itu suatu preseden buruk untuk menarik dirinya berbuat yang sama lagi dan
lagi. Tak ada bedanya apakah kita menjatuhkan seseorang sekali atau sepuluh
kali—kita telanjur dicap tak setia.
Masih jauh perjalanannya. Tak mungkin
mengharapkan ada taksi. Di kawasan itu taksi seperti payung. Ketika orang
sangat membutuhkan itu, biasanya barangnya tidak ada. Jalanan lengang, sehingga
langkah kaki Viktor bergema bagai suara tamparan. Beberapa blok ke kanan
terdapat pusat kota serta proyek perumahan terbaru antara pusat dan pinggir
kota. Walau saat itu sudah lewat pukul tiga dini hari, masih tampak cahaya pada
beberapa jendela di kompleks bangunan flat yang sangat besar itu. Keadaannya
selalu begitu. Viktor belum pernah melihat kompleks hunian pabrikan yang semua
jendelanya gelap. Selalu ada sesuatu tengah terjadi dalam sebagian dari 290
flat itu, sekalipun pada malam buta. Jikapun tidak ada yang selain itu, pada
waktu tersebut ada saja orang yang bangun dan menyalakan lampu sejenak, karena
telah memutuskan untuk keluar diam-diam.
Tahu-tahu Viktor melihat ada orang di
depannya. Ia tersentak. Siapa gerangan itu? Sekarang ia merasa sebaiknya tadi
menulis saja karangan itu. Hatinya yang ketakutan memandang barisan tiang
listrik mulai bergerak-gerak, jarak-jarak di antaranya tampak menyempit,
sehingga terkesan seperti deretan manusia. Namun setelah menilik bahwa rupanya
hanya ada satu orang yang menjelang, Viktor pun tenang. Kakinya yang ragu
terangkat, siap kapan pun untuk berganti arah dan lari ke seberang jalan,
menuruni trotoar secepat-cepatnya. Si pejalan malam itu melangkah
lambat-lambat. Kedua tangannya di balik punggung. Lehernya terulur. Tampaknya dia
sedang menikmati langit yang tinggi, yang pada saat itu segelita jubah beledu,
cantik memesona, dan berbintang banyak sekali. Orang itu sama sekali tidak
tampak sedang mabuk. Orang yang mabuk pastinya agak sempoyongan jika berjalan
selambat itu. “Satu lagi orang yang tidak bisa tidur,” pikir Viktor. “Satu lagi
orang yang tidak sabar menanti pagi. Mungkin dia berjalan sambil tidur atau
sedang jatuh cinta.” Ia hampir memapas orang itu tanpa memalingkan
kepala—jaga-jaga saja, jika terjadi sesuatu—saat tak sengaja matanya menangkap
sesuatu yang akrab pada sosok ramping itu, terutama pada gaya jalannya yang
santai. Ia menatap wajah yang terlihat jelas dalam cahaya bintang itu dan
mengenalinya. Orang itu Kontenson, seorang penyair muda dan ateis.
Viktor sudah sejak lama mengenal
Kontenson. Ia mengenalnya lebih dekat tiga-empat tahun lalu, pada akhir masa
keanggotaannya dalam Perkumpulan Penulis Muda. Pada waktu itu sedang diadakan
penerimaan anggota baru, dan Kontenson mulai mengikuti acara-acaranya juga.
Selain itu beberapa kali dia mampir ke kantor redaksi setelah Viktor mulai
bekerja di sana. Sering kali dia datang untuk menunjukkan puisi-puisinya pada
Viktor, yang telah lebih dulu bersinggungan dengan dunia kesusastraan dan
perkataannya berpengaruh. Pada kesempatan itu Viktor mengetahui sedikit-sedikit
tentang lelaki tersebut. Usia Kontenson kira-kira sebaya dengan dirinya.
Pendidikannya tidak tinggi. Dia putus sekolah saat kelas delapan. Tapi dia suka
membaca dan meneliti, dan dia orang berpikiran terbuka yang bebas dari
kewajiban untuk mempelajari mata perkuliahan yang membuang waktu kawan-kawan
sebayanya yang mengikuti pendidikan formal, sehingga Kontenson memiliki
pandangan yang cukup luas pada berbagai hal. Dia bukan bohemian. Dia jarang
minum-minum dan penampilannya selalu bersih. Menurut Viktor, kelak dia akan
mampu menghasilkan puisi yang baik, namun sayangnya tak ada orang yang lebih
cerdas yang punya waktu untuk bersusah payah dengan drinya dalam waktu lama.
Seiring waktu, dia terlalu banyak bergaul dengan sesamanya saja, bahkan di
beberapa perkumpulan dia berperan sebagai pemimpin. Kontenson mulai mengejar
nilai-nilai yang salah dan menjadi bahan olokan. Dari banyaknya kejadian,
Viktor mengingat salah satunya hingga hari ini.
Pagi itu Viktor mendengar langkah di
koridornya yang panjang. Setelah mengetuk dengan malu-malu, Kontenson masuk.
Sesaat dia berhenti, melihat-lihat dengan agak bingung, mengucap halo perlahan,
lalu bergeser di sepanjang dinding ke arah lemari, dari situ ke meja, dan mendudukkan
dirinya lambat-lambat di kursi. Wajahnya rupawan dan agak feminin, bulu matanya
letik, namun keningnya licin berkerut sehingga tampak lebih tua dan
berpengalaman ketimbang usianya. Sepintas Viktor melihat ada suatu hal yang
tengah dipikirkan pemuda itu, namun seperti biasa ia harus menunggu pengakuan itu keluar sendiri. Awalnya,
sekadar basa-basi, Kontenson menanyakan kabar, namun tidak betul-betul
mendengarkan. Dia tertawa dan mengangguk malu-malu, melontarkan kata-kata
kosong yang ganjil, memainkan barang-barang di meja. Singkatnya, dia tidak
menaruh perhatian pada dirinya dan menganggu pekerjaan saja, namun Viktor tak
pernah tega menyuruh orang-orang seperti Kontenson keluar. Maka ia sabar
menanti Kontenson menyampaikan kabarnya. Memang, tak lama kemudian Kontenson
tak mampu lagi menyembunyikan seringainya.
“Yah, akhirnya mereka memerhatikan
saya.”
“Di mana?” Awalnya Viktor tak
benar-benar mengerti dan kaget sekali. Mungkinkah Kontenson sedang kacau akibat
suatu peristiwa, habis memerkosa atau membunuh seseorang atau bahkan—sebaiknya
tak memikirkan itu sama sekali. Namun
tidak. Kontenson menunjukkan sehelai kertas dan mata Viktor seketika menubruk
kata “psikoneurologi”.
“Sebentar lagi saya masuk.”
Kontenson tak mampu lagi menutup-nutupi
kegembiraannya. Wajahnya berseri. Viktor tersenyum saja, walau mungkin
semestinya ia marah dan menghardik si penyair muda. Viktor tentu tak tahu jalan
pikiran Kontenson. Banyak orang menganggap genius itu dekat dengan kegilaan.
Bagi mereka, menjadi gila itu artinya hampir sama dengan menjadi seorang
seniman, sekalipun jika dia tidak menciptakan apa-apa. Di sisi lain, orang
boleh jadi melukis atau menulis sebanyak yang mereka suka, namun tak satu pun
diperhitungkan jika si penciptanya belum pernah dimasukkan ke suatu tempat atau
mendapat perawatan. Kalau tidak, mereka tidak dianggap. Maka orang sangat
senang jika dimasukkan. “Masuk ke dalam” itu sama populernya dengan darmawisata
musim panas ke Pärnu[1]. Siapa pun yang
sudah pernah “ke dalam” tiga atau empat kali akan dihormati, nasihatnya
dihargai.
“Jadi, apa kata mereka?” tanya Viktor.
“Saya rasa mereka akan memasukkan saya
ke bagian skizofrenia,” Kontenson terkekeh. “Konselornya bilang dia belum
yakin, tapi mudah-mudahan saja itu sudah pasti.”
“Jalan keluar, ya,” angguk Viktor bijak,
sambil mengamati Kontenson sungguh-sungguh, sebab sebelumnya ia mendengar bahwa
baru-baru ini di suatu kantor redaksi di ibu kota seorang pengarang muda yang
puisinya ditolak lantas mengambil pisau dan melukai seorang anggota staf penerbit
tersebut.
Kontenson diam sejenak. “Oh ya, sebelum
saya, Nepin juga baru masuk,” ucapnya begitu saja seakan sambil lalu, hendak
menegaskan dengan rendah hati betapa
baik pergaulannya. Kelak di masa depan dia bisa bilang, “Kejadiannya sewaktu
saya di rumah gila bersama Nepin.”
Setelah kunjungan itu, Kontenson
benar-benar pergi selama berbulan-bulan, namun entah apakah dia mendapat
pengakuan untuk apa pun selain kehalusan perasaannya, kecenderungannya yang
berlebih pada kepribadiannya sendiri, serta sifat pemalunya yang luar biasa.
Yang jelas, setelah keluar dari tempat yang disebutkan di muka, Kontenson
sempat menghadiri beberapa kuliah di universitas. Di Perkumpulan Penulis Muda
dia punya banyak kenalan yang belajar di universitas. Merekalah yang memberi
tahu dirinya mengenai jadwal perkuliahan yang lebih bagus dan mengajaknya
serta. Kadang Kontenson pergi sendirian. Pada kesempatan itu dia akan
menyelinap masuk sambil menunduk dan menuju barisan belakang. Dia selalu mengenakan
sweter ski berkerah polo, membawa tas yang sudah koyak, dan mencatat setiap
kata yang diucapkan pemberi kuliah. Pada waktu itu dia memiliki rencana tujuh
tahunan pribadi. Pertama-tama, dia ingin mempelajari bahasa, sejarah secara
umum dan khusus, serta matematika. Menyusul kemudian ilmu-ilmu sastra lainnya
(tentunya termasuk semiotika) dan setelah itu filsafat, kedokteran, dan musik.
Terakhir, dia hendak menyintesis segala yang telah dipelajarinya dan sampai
pada kearifan sejati. Pada Pengetahuan dengan huruf “P” besar, seperti yang
diutarakannya dalam surat kepada teman-temannya. Rencana itu sendiri tampak
masuk akal bagi Kontenson. Tak mengapa jika itu tak terwujud—orang harus
mencoba hal yang mustahil demi mencapai segala-galanya di dunia ini. Namun setelah
menghadiri perkuliahan gratis selama satu setengah semester, dia malah lebih
jauh dari sintesis itu ketimbang saat permulaan studinya, sehingga dia berubah
pikiran. Mengikuti prinsip bahwa garis terpendek di antara dua titik merupakan
garis yang lurus, dia memutuskan untuk mencapai tujuannya dengan cara lain,
yaitu menggunakan Loncatan, sebagai yang dia sebut dalam surat-suratnya. Dia
meninggalkan universitas dengan tidak puas, bersigegas pergi dari kampung
halamannya, dan menentang kelaziman bahwa hidup itu memerlukan alamat tetap dan
pekerjaan. Dia berangkat ke Jalanan, sebuah kata yang, sebagaimana yang
lain-lainnya, diawali dengan huruf besar dalam surat-surat yang dia kirimkan
pada teman-temannya. Dia membenarkan kepergiannya dengan alasan membutuhkan
keterangan yang sesungguh-sungguhnya mengenai keadaan manusia di dunia ini. Dia
juga memiliki tujuan yang lebih jauh lagi, tapi tak benar-benar mengumbarnya.
Di “universitas”nya yang baru, dia menghadapi banyak hal yang tidak cocok
dengan sifatnya yang pemalu, sampai-sampai, ketika bicara pada orang asing,
perutnya mengempis, punggungnya membungkuk, lututnya terkulai, dan suaranya melirih.
Selama beberapa tahun berikutnya, dia mengalami segala macam hal yang aneh-aneh
di antara garis balik Utara dan Selatan.
Dia pernah berjualan biji bunga matahari
bakar di bawah monumen untuk Slobodaas Demyan Bednyy, dia pernah membawa kuda
ke pinggir sungai untuk minum-minum saat fajar, dia pernah berbagi kantong
tidur dengan seorang tahanan residivis yang melarikan diri, dia pernah
merasakan naungan kasih wanita yang berbeda-beda, dia pernah menjadi pengendara
taksi di Leningrad. Dia telah menyaksikan dan mengetahui keadaan manusia dan
sampai pada kesadaran bahwa orang tidak hidup dengan selayaknya. Sebagai seorang
pemerhati, sekalipun tidak berpendidikan, dia menduga bahwa penyebabnya ada pada
mortalitas manusia.
Maka dia pun memulai penelitiannya
mengenai Misteri Kematian. Setidaknya itulah yang dia nyatakan. Jika ada yang
bertanya padanya apa sebetulnya yang dia lakukan atau pelajari, apakah dia
tertarik akan arti kematian, apakah itu dapat dihindari, atau apakah jiwa dapat
mati, Kontenson hanya akan tersenyum penuh teka-teki: tunggu sebentar lagi, jawabannya
sudah hampir! Apakah dia menggunakan suatu perangkat dalam penelitiannya,
apakah dia membedah mayat atau, sebalknya, apakah dia lantas memanggil arwah,
tak seorang pun tahu. Apakah yang dikerjakannya itu teoretis saja, berdasarkan
filsafat, atau memiliki tujuan praktis—untuk mempersingkat rentang hidup,
misalnya? Tak ada yang dapat menjawab itu, sebab Kontenson telah membelikan
dirinya sebuah rumah tani tua dan tinggal di luar kota. Tak seorang pun mencoba
mengunjungi rumahnya. Kontenson menjalani hidup yang sederhana, bekerja secara
harian di sebuah bank, kadang bekerja penuh dan paruh waktu sekaligus. Dia
pergi pagi dan pulang malam. Lalu tidur beberapa jam, setelahnya mandi pancuran
dengan air dingin serta minum seliter kopi pekat untuk menyingkirkan letih yang
penghabisan sehingga dia dapat mulai bekerja. Begitulah Viktor mengingatnya.
Kini lelaki itu berdiri di muka Viktor,
tengah mengamati langit bak seorang petani meramalkan cuaca untuk masa panen
terdekat. Viktor tadinya hendak bertanya apakah Kontenson masih disibukkan oleh
misteri kematian, ataukah dia telah memecahkan itu. Tapi dia malah menegur
dengan gusar: “Anda mau apa berkeliaran di sini?”
Bukannya menjawab dengan seruan riang,
atau bahwa menyambut dengan hormat, gelagatnya sama sekali tak menunjukkan
bahwa dia mengenal Viktor.
“Saya sedang melihat langit,” ucapnya
dengan amat tenang bak seorang pendeta dan suaranya halus seperti anak-anak
yang genius.
Mulanya Viktor diam saja. Ada dua hal
yang terasa menyentak jiwanya hingga menimbulkan suatu getaran kudus. Yang satu
adalah sebuah rak yang terentang dari lantai hingga langit-langit dan penuh
oleh buku-buku asing di suatu apartemen yang janggal; yang satu lagi adalah
langit cerah berbintang pada musim gugur. Jilid demi jilid nan misterius sarat
akan suatu spiritualisme memikat yang bercampur baur serta titik-titik kecil yang
terpancar dari kehidupan nun jauh di angkasa raya menimbulkan rindu tak
tertahankan dan keinginan untuk menjerit. Keduanya memancarkan kesenduan dalam
benak, kadang berupa katarsis. Rak buku, langit, dan wanita bermata hijau sipit
itu—Viktor tak berdaya menghadapi ketiganya. Sekarang pun jiwanya sedia untuk mengulurkan
tangan pada Kontenson.
“Saya sedang melihat langit,” ulang si
penyair. “Kadang ada kejadian menarik di langit,” imbuhnya, dengan
sungguh-sungguh sekaligus ganjil rasanya.
Viktor terperangah dan menatap gelisah
pada lelaki satunya. “Saya kenal seorang wanita alkoholik yang tinggal di dekat
sini—kadang ada kejadian menarik di rumahnya,” tak tahan ia menyindir.
Namun Kontenson tengah memantau keadaan
langit dan tak mengindahkan si penyindir yang keduniawian. “Posisi Merkuri
sedang baik, dipengaruhi Saturnus, tapi sebentar lagi akan surut,” gumamnya
mantap.
Pundak Viktor bergidik, seiring ia
menepukkan kedua belah tangannya. “Masih menulis puisi?” tanyanya sopan,
sekadar basa-basi sebelum angkat kaki.
“Apa itu puisi?” terdengar tanggapan
retoris dari Kontenson.
“Ah ya,” angguk Viktor. “Apa sih
istimewanya puisi?” Ia melambaikan tangan, namun Kontenson tengah menunjuk
bulan.
Semakin banyak jendela yang mulai
menyala pada dinding-dinding raksasa di muka dan sisi kanannya. Itulah cahaya
yang sebenar-benarnya bagi para pekerja keras. Sebentar kemudian satu lampu
lagi akan dinyalakan, cahaya kecil yang benderang bagi si nekat yang datang
terlambat. Dengan cahaya itu hingga fajar menyingsing, Viktor akan menulis,
menulis, menulis.
Diambil dari novel Hiired tuules (en. Mice in the Wind, 1982), karangan Mihkel Mutt, diterjemahkan dari bahasa Estonia ke bahasa Inggris oleh Christopher Moseley, termuat dalam Words Without Borders edisi Oktober 2015: “Writing from the Edge: Estonian Literature”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar