Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170327

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (2/4) (Paul Murray, 2003)

Aku gelagapan saat bangun dari koma, seperti komuter yang terjaga dalam perjalanan pulang naik kereta. Di sampingku Bel sedang menekuri buku. Aku berdeham sopan.

“Charles!” Ia meletakkan bukunya sambil menjerit. “Oh ya ampun!” Ia melonjak dan mencondongkan badan padaku, seraya mengamati mataku. “Kamu mengenaliku? Ada berapa jari yang kuangkat? Bisakah kamu mengerti yang kukatakan? Mengediplah kalau kamu mengerti.”

“Tentu saja aku mengerti,” sahutku. “Berhentilah menjerit-jerit. Aku baik-baik saja kok.”

Sikapnya terasa berlebihan, sementara setiap detiknya satu per satu anggota tubuhku terasa bangkit dan merengek kesakitan. Sepelan mungkin aku menoleh dan memandang sekelilingku. Kami berada di ruangan sempit dengan dinding berwarna hijau kapri serta gorden jelek bercorak papan permainan dam menutupi jendela. Berbagai peralatan disusun di sekelilingku, memetakan keadaanku lewat layar serta cakra angka yang sulit dimengerti. Infus di lenganku menyalurkan tetesan dari botol di samping tempat tidur. Tepat di seberangku ada poster bergambar kilauan sinar matahari menembus pepohonan dengan tulisan di bawahnya Hari ini awal sisa hidup Anda. Entah mengapa aku jadi merinding.

“Sudah berapa lama aku di sini?” tanyaku.

“Beberapa minggu,” ucap Bel. “Berminggu-minggu. Dokter bilang wajar kok bila badanmu terasa kaget begitu, tetapi kami sempat benar-benar mulai mengkhawatirkanmu.” Ia menarik kursinya lebih dekat. “Kamu terbangun beberapa kali, ingat enggak? Kamu meracau tentang Yeats, dan mendeklamasikan syair kencang-kencang.” Ia tersenyum. “Semua syair itu sungguh penuh perasaan. Kurasa beberapa suster jadi kasmaran padamu.”

“Yah lucu juga cara mereka menunjukkannya,” sahutku, seraya mengingat ketidaknyamanan saat mimpiku terenggut waktu itu. Lantas dengan berhati-hati kuatur posisi bokongku. “Bel, kepalaku kok rasanya aneh, ya? Gatal begitu.”

“Kamu terhantam oleh gargoyle. Seluruh kepalamu masih diperban, jadi kelihatannya kamu ini seperti baru keluar dari piramid.” Ia tampak ragu, sebelum membungkuk dan menggeledah isi tasnya. “Nih—“ ia membukakan cermin wadah kosmetiknya.

“Oh, gusti ….”

“Jangan cemas, kamu enggak bakal diperban selamanya kok.”

“Apa masih ada wajah di balik perban ini?”

“Tentu saja. Cuma butuh waktu kan supaya sembuh. Enggak ada yang rusak kok, cuma memar parah. Kamu tuh beruntung banget. Dokter sudah menerangkan semuanya pada kami. Aku yakin dia bakal kemari dan memeriksamu karena kamu kan sudah sadar.” Ia menatapku lantas berpaling, sembari memainkan rambutnya. Mendadak aku merasa tingkahnya ini rada aneh.

“Ada apa nih?” ujarku.

“Apanya?” sahutnya polos.

“Kamu pasti mau meledak, itulah apanya.”

“Aku cuma senang mengobrol denganmu lagi.”

“Andai saja aku bisa percaya,” ujarku. “Enggak ada apa-apa, kan?” Pikiran buruk menghampiriku. “Oh celaka, kamu enggak kawin sama Frank atau sesuatunya, kan?”

“Ih, enggak,” ucapnya, sambil mengibaskan tangan jijik, lantas tenang kembali. “Mari membicarakan dirimu saja dulu. Bagaimana keadaanmu? Bagaimana perasaanmu?”

Aku menyipitkan mata padanya curiga. Ia mengerutkan alis, disertai sikap sok peduli yang lumayan juga. “Aku merasa baik-baik saja,” aku memulai, “meskipun—“

“Oh Charles, ada banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu, banyak sekali yang terjadi sejak kamu di opname, entah dari mana aku mesti memulainya—“

Sudah kuduga. “Yah, mulailah dari mana kek,” ujarku, seraya bersandar pada gumpalan bantal dan mulai merasa agak gelisah.

Ia menarik napas dalam-dalam. “Soal rumah,” ucapnya. “Kami mengubahnya jadi teater.”

“Jadi apa?” ujarku. “Teater?”

“Bagus, kan?” Matanya bersinar-sinar bak kembang api. “Kami akan mementaskan The Cherry Orchard, dan—“

“Tunggu—teater? Apa maksudmu, teater? Seperti sewaktu Ayah dan Bunda di klub Sandiwara Amatir itu? Itukah maksudmu?”

“Bukan, bukan, maksudku seperti perusahaan teater betulan, kami akan membangun panggung kecil dan—Charles aku enggak suka suara mesin itu, mungkin ceritanya menunggu saja sampai kondisimu lebih baik ….”

“Enggak kok,” ujarku di antara kilau kunang-kunang yang mengusik. “Ceritanya sungguh sangat menarik.”

Bel menuju jendela dan mengangkat bingkainya. “Yah, mungkin sebaiknya aku mulai dari awalnya,” ucapnya. “Yang terjadi setelah kamu—setelah Follynya ….” Ia berpaling lagi ke kaca jendela. “Charles, apa sih yang kamu pikirkan waktu itu? Apa kamu benar-benar mau menghilang ke Amerika Selatan?”

Aku kembali mendudukkan diri. “Dengar, ya,” sahutku, sambil memijit garis hidungku. “Sebenarnya, aku enggak begitu ingin membahas ini. Yang hendak kukatakan cuma waktu itu ide tersebut rasanya pas. Lagi pula, ide itu akan berhasil, kalau saja Mbok P dan anak-anaknya yang melarat—“ Aku terdiam, mengingat perjumpaan singkatku dengan anak bungsu Mbok P. “Bagaimana keadaan mereka?” tanyaku buru-buru. “Maksudku—dia enggak terluka, kan? Yang cewek?”

“Mirela,” ujar Bel. “Dia baik-baik saja, waktu itu tingkahmu layaknya perisai manusia saja bagi yang lain-lain.”

“Apa yang akan terjadi pada mereka? Apa mereka masih di rumah? Apa rumahnya masih ada? Bagaimana dengan bank?”

“Inilah yang mau kuceritakan padamu. Ternyata cewek itu, Mirela—dia manis banget, Charles, aku kasihan banget sama dia karena kaki tiruannya yang—lagi pula, dia tuh aktris, jadi itu … yah, bagian itu nanti dulu deh. Pertama-tama, pagi itu—maksudku beberapa jam setelah Folly meledak—Bunda tiba kembali dari Cedars. Dia keluar lebih cepat. Rumah benar-benar masih kacau-balau. Kami belum pada sempat tidur, di pekarangan berserakan permata, perhiasan, bara tunggul Folly, dan tentu saja piano terbalik di tengah-tengah situ—pianonya hampir-hampir enggak tergores, aneh kan? Sementara itu, rumah penuh oleh detektif dan polisi. Di satu sisi mereka menanyakan soal-soal memalukan tentang asuransi dan keadaan keuangan kita, dan di sisi lain berusaha menuntut Mbok P beserta yang lain-lainnya—yah, kukira Bunda cuma bakal melihat-lihat, lantas balik badan dan kembali ke taksi. Tapi dia luar biasa, dia melewati orang-orang lalu membuatkan dirinya gin dan tonik banyak-banyak—“

“Kukira dia seharusnya enggak boleh minum,” sahutku, kaget. “Maksudku, bukankah itu tujuannya ke Cedars?”

“Aku juga menanyakan itu padanya,” ujar Bel. “Dia cuma bergumam di sana tuh apanyalah sudah sangat progresif.”

“Oh.”

“Tetapi toh saat itu keadaannya sama sekali kacau, semua orang menarik-narik Bunda, lalu Mbok P terguncang sehingga dia harus dibawa ke rumah sakit, lalu si Laura berengsek itu mengira kunci mobilnya hilang dan menangis terus-terusan sampai empat jam. Tetapi Bunda cuma berlalu dengan tenang, menelepon beberapa kali, dan beberapa menit kemudian semua polisi dan sebagainya pergi. Benar-benar deh, Charles, kita beruntung Bunda tahu mesti apa. Maksudku kasarnya sih kamu ini seharusnya ditahan.”

“Aku enggak mengerti apa hubungannya semua ini dengan teater,” ujarku. “Kecuali kalian berharap dapat membayar tuntas bank dengan menampilkan pertunjukkan di gudang tua kita, seperti di filmnya Mickey Rooney.”

“Banknya sudah dilunasi,” sahut Bel.

Perutku serasa jumpalitan. “Apa?”

“Utangnya sudah dibayar tuntas. Sudah enggak ada. Pelelangan, semua—enggak ada yang kejadian.”

“Enggak mungkin,” ucapku. “Kok bisa lunas? Hipoteknya kan … maksudku, waktu itu kan kamu lihat jumlahnya.”

“Aku tahu, aku tahu. Tetapi Bunda melacak akuntannya—Geoffrey, kamu ingat kan. Waktu itu dia lagi bekerja di suatu pulau yang belum pernah kudengar. Toh, dia kembali lalu mereka pergi menemui direktur bank—direkturnya, Charles, ternyata Bunda dan dia sudah bertahun-tahun saling kenal. Mereka bertiga menyingkap tunjangan Ayah yang tidak diketahui sebelumnya. Semuanya pun sudah mereka atasi sambil makan siang. Aku merasa rada tolol, tahu enggak sih.”

“Tetapi ….” Kepalaku berputar-putar. “Kamu kan sudah memeriksa rekeningnya waktu itu. Enggak ada uang. Benar-benar enggak ada. Kok bisa tahu-tahu mereka berhasil—“

“Aku tahu, aku juga enggak betul-betul mengerti. Tetapi sudah sepatutnya kita mensyukuri yang mereka—“

“Bagaimana dengan penyimpangan di rekening? Waktu aku menemui orang bank di pusat perbelanjaan itu, dia memberitahuku struktur pelunasannya enggak ada yang beres, dia ingin supaya itu diusut ….”

“Aku enggak tahu, Charles.” Ia menggerak-gerakkan kakinya bergantian dengan tak sabar. “Rekening Ayah tuh ruwet banget. Mungkin manajer yang kamu temui waktu itu enggak biasa saja melihatnya. Yang penting masalah itu sudah pasti beres, seenggaknya buat sekarang ini. Kita memang masih punya utang, tetapi enggak bakal ada yang mengambil rumah kita.”

Aku berusaha membalas senyumnya. Ini kabar baik, bukan? Mengapa kok rasanya ada yang salah?

“Biar begitu, kemungkinan kamu koma pada waktu yang tepat. Walau semuanya sudah diatasi, suasananya masih rada gonjang-ganjing. Bunda … yah, nanti kamu tahu sendirilah. Tetapi dia sedang serius membicarakan soal menjual Amaurot.”

Menjual?” Kutopang diriku bangkit dengan lengan bawah. “Mana ada Bunda jual-jual! Kamu omong apa sama Bunda? Kamu yang kasih gagasan itu padanya?”

“Aku enggak kasih gagasan apa-apa pada Bunda, Charles, kamu tahu kan Bunda enggak bahagia tinggal di sana sejak Ayah meninggal, kamu tahu kan betapa merananya Bunda, kelayapan di rumah besar luas yang kosong melompong …. Sementara itu, orang-orang komputer mengambil alih segalanya yang ada di sekitar kita, hampir setiap minggu ada orang mendatangi pintu rumah dan mengajukan tawaran—tawaran-tawaran gila, cukup untuk melunasi semua utang kita secara sekaligus serta membeli rumah kecil di pelosok pedesaan tempat Bunda bisa beristirahat—“

Ia kembali duduk di ujung tempat tidur, mengambil bukunya dan mulai membuka-buka halaman. “Tetapi kemudian suatu malam aku mengobrol dengan Mirela, dan ia menceritakan padaku tentang kelompok teater yang pernah diikutinya di kampungnya di Yugoslavia, sebelum terjadi, tahulah, perang dan sebagainya. Kelompok teater itu menjalankan berbagai hal, lokakarya, teater jalanan, acara-acara politis. Pendirinya baru saja memulai ini dari rumahnya beserta beberapa temannya, dan dari situlah awalnya. Lantas kupikir, mengapa kita tidak mengadakan hal yang sama di Amaurot? Maksudku, ada ruang tempat kita bisa mengadakan latihan, kelas, dan seterusnya, dan ada pula kamar-kamar kosong yang sudah bertahun-tahun tidak ditempati—semakin dipikirkan, gagasan ini terasa semakin sempurna saja. Sewaktu aku memberi tahu Bunda ia sama bersemangatnya denganku ….”

Maka keesokan paginya, lanjut Bel, ia langsung menghubungi beberapa teman dari kuliah dramanya dulu supaya membantu merumuskan rancangan teater. Mereka memberikan desain ini pada putra Mbok P, Vuk, yang ternyata pernah menjadi arsitek sebelum bermukim di bekas Follyku—perlu kutambahkan, dalam suasana anarkistis yang tampaknya sedang menguasai Amaurot, Vuk, Zoran, serta Mirela yang memikat itu, telah pindah ke kamar tamu hingga permintaan suaka mereka dipertimbangkan, sementara Mbok P secara in situ masih pembantu tanpa dipotong upahnya oleh Bunda. Sementara Bel meneruskan, lamat-lamat mulai terang bagiku bahwa ini bukan salah satu dari angan-angan kosongnya yang biasa, yang menjadi obsesi selama seminggu lantas terlupakan—bahwa tanpa pengaruh yang terus-menerus dari diriku, ia dan Bunda telah membentuk suatu persekutuan keji, dan siap mewujudkan rencana gila tersebut.

“Kita akan membuka ruangan dansa yang kuno itu dan mendirikan panggung di sana. Tinggal menunggu para tukang bangunan balik dari Tibet. Charles, ini rencana bagus kan? Enggak lagi harus bersusah-payah ke audisi, kita bisa menampilkan pertunjukan apa pun yang kita mau—“ Dari kursinya ia menarikan wals sambil mendekapkan kedua tangan ke dada, tampak seolah-olah hendak menyanyikan lagu. Lalu ia mulai merepetkan daftar sandiwara serta penggubahnya, rencana serta strategi, dan menyandingkan kata-kata seperti seniman serta kediaman, ruang serta komunitas, yang terasa mengancam; sementara aku duduk dengan kepala terebus dalam perban bagaikan puding yang amat besar. Hari ini awal sisa hidup Anda berkilat mengejek padaku dari seberang dinding—

“Tetapi ini konyol!”

Gerakan wals Bel terhenti di tengah-tengah dan ia menatapku. Terdengar lengkingan dari salah satu monitor di balik bahu kiriku. “Ini konyol,” ulangku. “Seluruh gagasan ini. Amaurot itu sudah kediaman. Aku berdiam di sana. Maaf deh semua rencanamu ini jadi sia-sia. Tetapi Amaurot itu kan rumah, tempat orang tinggal. Kamu enggak bisa masuk begitu saja dan mengubahnya jadi tempat lain.”

“Tetapi kita sudah membereskannya,” ucapnya. “Kamu tahu kan kita enggak bisa terus membiarkan Amaurot apa adanya, kamu tahu itu. Kita harus menyesuaikan diri, kalau enggak kita bakal kehilangan rumah itu.”

“Aku enggak mengerti kok bisa dengan membangun teater kamu membantu orang.”

Sesaat ia ragu, lantas berputar balik secara hati-hati menuju tempat tidur. “Yah kamu lihat saja deh teaternya enggak bakal jadi biasa-biasa saja,” ujar Bel. “Kita ingin supaya orang-orang yang biasanya enggak berada di dekat-dekat panggung bisa datang dan belajar mengekspresikan diri di teater itu, tempat orang-orang dari latar belakang yang kurang mampu bisa datang, tinggal, dan—“

Kepalaku berdebuk kembali di bantal. “Kamu ini sudah hilang akal? Kamu enggak tahu cara masyarakat bekerja?”

“Aku tahu ini kedengarannya janggal,” ia mengulurkan lengannya penuh permohonan, “tetapi kalau saja kamu mau mendengarkan, ini masuk akal kok. Aku sudah bicara pada Geoffrey. Dia bilang jika penampilan kita bagus, kita bisa memenuhi syarat untuk segala macam bantuan dana dari pemerintah. Kamu tahu kan, kalau kita membantu orang, ditambah ada unsur keragaman budaya, dengan Mirela yang berasal dari Balkan. Malah, kalau teaternya sukses, bisa saja Amaurot didaftarkan sebagai badan amal. Jadi pikir deh, Charles, kita bisa tinggal di sana selama yang kita mau, dan enggak usah khawatir lagi soal bank, penagih utang, atau cara supaya rumah itu tetap berdiri ….” Ia duduk lagi dan membungkukkan bahunya sungguh-sungguh. “Di samping soal uang, ini kesempatan untuk memperkenalkan Amaurot, supaya rumah itu menjadi berarti. Bukankah itu yang kamu mau? Akhirnya kita bisa memanfaatkan Amaurot untuk kebaikan. Dan kemungkinannya tak terbatas, begitu kamu mulai memikirkannya. Kita bisa mengadakan kelas—tahulah, kelas drama, buat anak-anak dari kawasan kumuh, mereka bisa datang seharian dan—“

“Kok berhenti?” ujarku. “Kenapa enggak sekalian saja semua ruangan dibuka? Kita bisa kasih tur terpandu: ‘Ini kamar Charles, para pengunjung diminta dengan hormat supaya tidak mematikan rokoknya di, di koleksi perangkonya semasa kecil—‘“

Terdengar dering bel di koridor. Seraya mendesah, Bel mengambil jaketnya dari punggung kursi. “Charles,” ucapnya, “aku memintamu supaya mengerti bahwa kita sudah tidak kaya raya lagi. Betulan deh. Tinggal di Amaurot tuh, rasanya seolah-olah kita sedang berjuang untuk mempertahankan diri di—di pulau kecil yang terapung-apung semakin jauh dari tujuan keberadaannya yang sesungguhnya—“ Pipinya dikempotkan lantas kembali seperti semula. “Tidakkah kamu mengerti, ini keputusan yang baik?” ujarnya, seraya menyentuh lenganku. “Kita akan sanggup memelihara rumah itu, dan kita akan sanggup tetap bersama-sama ….”

Sekalipun dalam kegalauan, aku menyadari bahwa ini pertama kalinya Bel menyentuhku sejak segala centang-perenang ciuman-tak-disengaja-dengannya kapan itu—bahwa ia sedang menawarkan setangkai zaitun[1] padaku. Tetapi tidak semudah itu menyuapku. Tanpa menanggapi, aku memalingkan kepala dengan kaku dan memancangkan tatapan pada potongan langit di jendela, hingga tangannya terangkat dari lenganku lalu terdengar derit kursi di sampingku sementara ia beranjak pergi.

Biar begitu, masalahnya—masalahnya jauh di lubuk hati aku menyadari ia benar, tentang betapa segalanya telah berubah, tentang orang-orang kaya baru yang mengambil alih. Kau bisa melihat mereka pada akhir pekan, orang-orang ini: pucat lagi suram karena siang malam bersembunyi dalam menara yang tersusun dari kantor-kantor kuboid, merayapi jalan sempit berliku-liku dengan BMW atau jip bagur, memburu properti bagaikan hiu tanpa gigi nan haus darah. Bagaimana jika ini sungguh satu-satunya cara untuk melindungi rumah dari mereka? Aku mencoba membayangkan Amaurot sebagai suatu Kediaman, yang ramai oleh cakap orang-orang asing. Aku membayangkan diriku berada di meja sarapan, sementara Orang-orang Kurang Mampu duduk di hadapanku. Mestikah aku membuka obrolan? Akankah mereka meminjam barang-barang? Pisau cukurku, dasi? Gagasan itu terlalu pedih untuk dibayangkan. Tampaknya lebih baik berpura-pura bahwa tidak ada persoalan apa pun, dan bahwa pembicaraan dengan Bel tadi tidak pernah terjadi. Aku sudah mendapat cukup pereda sakit supaya merasa enteng. Dunia nyata jadi tampak gembung, lengket, dan kabur di sekitarnya, terburai hanya oleh datang dan perginya dokter serta suster, serta bersin hebat pasien di kamar sebelah, umpama angin kemarau menerjang hutan batu.

Akan tetapi, malam itu—malam pertama pemulihanku seusai hiatus—aku tidak bisa tidur. Aku berbaring terjaga berjam-jam, seraya menatap deretan layar serta monitor yang mengelilingiku. Benda-benda itu menceritakan kisah tak teruraikan mengenai tubuhku lewat titik-titik sinar, grafik, serta bunyi teratur. Aku merasa bisa melihat berbagai hal dalam gelombang bergigi gergaji pada layar, berbagai macam hal: ledakan, nubuat, bencana yang menjelang. Semuanya bergerak cepat-cepat mendahului satu sama lain hingga aku tidak tahan lagi dan, tercekam oleh dingin, aku pun menekan tombol darurat serta menjerit “Tolong, tolong!” hingga suster jaga malam melangkah cepat-cepat menyusuri koridor. Bukan suster montok lagi molek yang bertugas melayani mandi busa melainkan suster riang pembawa termometer berpantat tepos.

“Ya?” suaranya terdengar menuntut. “Ada apa?”

Aku berdeham lantas menunjuk pasak-pasak besar serta palung-palung pada monitor. Ujarku, “Aku agak gelisah gara-gara, ehem, itu ….”

“Anda merasa mual?” ia mengetuk-ngetukkan kakinya tak sabar. “Anda kesakitan?”

“Yah, enggak, enggak juga sih,” tahu-tahu merasa bahwa boleh jadi aku telah membesar-besarkan persoalan. “Hanya saja—pasak yang di sebelah sana itu, kelihatannya agak, lihat kan, putus-putus, ya?”

“Tidak,” sahutnya disertai desahan menggerutu, “memang begitu kok, dari sebelumnya juga, dan sebelumnya lagi.”

“Oh. Cuma perasaanku saja garisnya agak putus-putus.” Sunyi sesaat terpecah oleh ketukan kakinya. “Sibuk?” ujarku, sebab sekalipun ia berwajah tirus dan penggemar dubur, tetap saja ia bisa diajak bicara—

“Sibuk sekali,” sergahnya seakan-akan hendak diucapkannya sedari tadi. Ia berbalik dan memelesat keluar dari ruangan, kembali pada teka-teki silang, baki berisi jeroan, atau apa pun yang dikerjakannya tadi dalam kotak kaca di ujung lorong. Ia meninggalkanku bersama arak-arakan sunyi gelombang-gelombang itu, serta kenangan akan rumah, akan kembang di pepohonannya, akan ruangan dansa di mana hantu-hantu berpakaian jas berekor dan gaun mengembang amat lebar memutar tubuh satu sama lain dalam irama quadrille[2] dan cotillion[3], seiring dengan menjamurnya dinding dan bersarangnya laba-laba di kandil ….

*



[1] Olive branch, simbol perdamaian atau kemenangan dalam kebudayaan Barat, berasal dari tradisi Yunani kuno.
[2] Tarian rakyat Amerika yang dibawakan oleh empat orang atau lebih berpasang-pasangan
[3] Tarian lincah asal Perancis abad 18