Aku gelagapan saat bangun dari koma,
seperti komuter yang terjaga dalam perjalanan pulang naik kereta. Di sampingku
Bel sedang menekuri buku. Aku berdeham sopan.
“Charles!” Ia meletakkan
bukunya sambil menjerit. “Oh ya ampun!” Ia melonjak dan mencondongkan badan
padaku, seraya mengamati mataku. “Kamu mengenaliku? Ada berapa jari yang
kuangkat? Bisakah kamu mengerti yang kukatakan? Mengediplah kalau kamu mengerti.”
“Tentu saja aku mengerti,”
sahutku. “Berhentilah menjerit-jerit. Aku baik-baik saja kok.”
Sikapnya terasa berlebihan,
sementara setiap detiknya satu per satu anggota tubuhku terasa bangkit dan
merengek kesakitan. Sepelan mungkin aku menoleh dan memandang sekelilingku.
Kami berada di ruangan sempit dengan dinding berwarna hijau kapri serta gorden
jelek bercorak papan permainan dam menutupi jendela. Berbagai peralatan disusun
di sekelilingku, memetakan keadaanku lewat layar serta cakra angka yang sulit
dimengerti. Infus di lenganku menyalurkan tetesan dari botol di samping tempat
tidur. Tepat di seberangku ada poster bergambar kilauan sinar matahari menembus
pepohonan dengan tulisan di bawahnya Hari
ini awal sisa hidup Anda. Entah mengapa aku jadi merinding.
“Sudah berapa lama aku di
sini?” tanyaku.
“Beberapa minggu,” ucap Bel.
“Berminggu-minggu. Dokter bilang wajar kok bila badanmu terasa kaget begitu,
tetapi kami sempat benar-benar mulai mengkhawatirkanmu.” Ia menarik kursinya
lebih dekat. “Kamu terbangun beberapa kali, ingat enggak? Kamu meracau tentang
Yeats, dan mendeklamasikan syair kencang-kencang.” Ia tersenyum. “Semua syair
itu sungguh penuh perasaan. Kurasa beberapa suster jadi kasmaran padamu.”
“Yah lucu juga cara mereka
menunjukkannya,” sahutku, seraya mengingat ketidaknyamanan saat mimpiku
terenggut waktu itu. Lantas dengan berhati-hati kuatur posisi bokongku. “Bel,
kepalaku kok rasanya aneh, ya? Gatal begitu.”
“Kamu terhantam oleh gargoyle. Seluruh kepalamu masih
diperban, jadi kelihatannya kamu ini seperti baru keluar dari piramid.” Ia
tampak ragu, sebelum membungkuk dan menggeledah isi tasnya. “Nih—“ ia
membukakan cermin wadah kosmetiknya.
“Oh, gusti ….”
“Jangan cemas, kamu enggak
bakal diperban selamanya kok.”
“Apa masih ada wajah di balik perban ini?”
“Tentu saja. Cuma butuh waktu
kan supaya sembuh. Enggak ada yang rusak kok, cuma memar parah. Kamu tuh
beruntung banget. Dokter sudah menerangkan semuanya pada kami. Aku yakin dia
bakal kemari dan memeriksamu karena kamu kan sudah sadar.” Ia menatapku lantas
berpaling, sembari memainkan rambutnya. Mendadak aku merasa tingkahnya ini rada
aneh.
“Ada apa nih?” ujarku.
“Apanya?” sahutnya polos.
“Kamu pasti mau meledak, itulah apanya.”
“Aku cuma senang mengobrol
denganmu lagi.”
“Andai saja aku bisa
percaya,” ujarku. “Enggak ada apa-apa, kan?” Pikiran buruk menghampiriku. “Oh
celaka, kamu enggak kawin sama Frank atau sesuatunya, kan?”
“Ih, enggak,” ucapnya, sambil
mengibaskan tangan jijik, lantas tenang kembali. “Mari membicarakan dirimu saja
dulu. Bagaimana keadaanmu? Bagaimana perasaanmu?”
Aku menyipitkan mata padanya
curiga. Ia mengerutkan alis, disertai sikap sok peduli yang lumayan juga. “Aku
merasa baik-baik saja,” aku memulai,
“meskipun—“
“Oh Charles, ada banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu,
banyak sekali yang terjadi sejak kamu di opname, entah dari mana aku mesti
memulainya—“
Sudah kuduga. “Yah, mulailah dari mana kek,” ujarku, seraya bersandar
pada gumpalan bantal dan mulai merasa agak gelisah.
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Soal rumah,” ucapnya. “Kami mengubahnya jadi teater.”
“Jadi apa?” ujarku. “Teater?”
“Bagus, kan?” Matanya
bersinar-sinar bak kembang api. “Kami akan mementaskan The Cherry Orchard, dan—“
“Tunggu—teater? Apa maksudmu,
teater? Seperti sewaktu Ayah dan Bunda di klub Sandiwara Amatir itu? Itukah
maksudmu?”
“Bukan, bukan, maksudku
seperti perusahaan teater betulan, kami akan membangun panggung kecil
dan—Charles aku enggak suka suara mesin itu, mungkin ceritanya menunggu saja
sampai kondisimu lebih baik ….”
“Enggak kok,” ujarku di
antara kilau kunang-kunang yang mengusik. “Ceritanya sungguh sangat menarik.”
Bel menuju jendela dan
mengangkat bingkainya. “Yah, mungkin sebaiknya aku mulai dari awalnya,”
ucapnya. “Yang terjadi setelah kamu—setelah Follynya ….” Ia berpaling lagi ke
kaca jendela. “Charles, apa sih yang kamu pikirkan
waktu itu? Apa kamu benar-benar mau menghilang ke Amerika Selatan?”
Aku kembali mendudukkan diri.
“Dengar, ya,” sahutku, sambil memijit garis hidungku. “Sebenarnya, aku enggak
begitu ingin membahas ini. Yang hendak kukatakan cuma waktu itu ide tersebut
rasanya pas. Lagi pula, ide itu akan berhasil, kalau saja Mbok P dan
anak-anaknya yang melarat—“ Aku terdiam, mengingat perjumpaan singkatku dengan
anak bungsu Mbok P. “Bagaimana keadaan mereka?” tanyaku buru-buru. “Maksudku—dia
enggak terluka, kan? Yang cewek?”
“Mirela,” ujar Bel. “Dia
baik-baik saja, waktu itu tingkahmu layaknya perisai manusia saja bagi yang
lain-lain.”
“Apa yang akan terjadi pada
mereka? Apa mereka masih di rumah? Apa rumahnya
masih ada? Bagaimana dengan bank?”
“Inilah yang mau kuceritakan
padamu. Ternyata cewek itu, Mirela—dia manis banget, Charles, aku kasihan banget sama
dia karena kaki tiruannya yang—lagi pula, dia tuh aktris, jadi itu … yah,
bagian itu nanti dulu deh. Pertama-tama, pagi itu—maksudku beberapa jam setelah
Folly meledak—Bunda tiba kembali dari Cedars. Dia keluar lebih cepat. Rumah benar-benar masih
kacau-balau. Kami belum pada sempat tidur, di pekarangan berserakan permata,
perhiasan, bara tunggul Folly, dan tentu saja piano terbalik di tengah-tengah situ—pianonya hampir-hampir enggak
tergores, aneh kan? Sementara itu, rumah penuh oleh detektif dan polisi. Di
satu sisi mereka menanyakan soal-soal memalukan tentang asuransi dan keadaan
keuangan kita, dan di sisi lain berusaha menuntut Mbok P beserta yang
lain-lainnya—yah, kukira Bunda cuma bakal melihat-lihat, lantas balik badan dan
kembali ke taksi. Tapi dia
luar biasa, dia melewati orang-orang lalu membuatkan dirinya gin dan tonik
banyak-banyak—“
“Kukira dia seharusnya enggak
boleh minum,” sahutku, kaget. “Maksudku, bukankah itu tujuannya ke Cedars?”
“Aku juga menanyakan itu
padanya,” ujar Bel. “Dia cuma bergumam di sana tuh apanyalah sudah sangat
progresif.”
“Oh.”
“Tetapi toh saat itu
keadaannya sama sekali kacau, semua orang menarik-narik Bunda, lalu Mbok P
terguncang sehingga dia harus dibawa
ke rumah sakit, lalu si Laura berengsek itu mengira kunci mobilnya hilang dan
menangis terus-terusan sampai empat jam. Tetapi Bunda cuma berlalu dengan
tenang, menelepon beberapa kali, dan beberapa menit kemudian semua polisi dan
sebagainya pergi. Benar-benar deh, Charles, kita beruntung Bunda tahu mesti
apa. Maksudku kasarnya sih kamu ini seharusnya ditahan.”
“Aku enggak mengerti apa
hubungannya semua ini dengan teater,” ujarku. “Kecuali kalian berharap dapat
membayar tuntas bank dengan menampilkan pertunjukkan di gudang tua kita,
seperti di filmnya Mickey Rooney.”
“Banknya sudah dilunasi,”
sahut Bel.
Perutku serasa jumpalitan.
“Apa?”
“Utangnya sudah dibayar
tuntas. Sudah enggak ada. Pelelangan, semua—enggak ada yang kejadian.”
“Enggak mungkin,” ucapku. “Kok bisa lunas? Hipoteknya kan … maksudku, waktu itu kan kamu lihat jumlahnya.”
“Aku tahu, aku tahu. Tetapi
Bunda melacak akuntannya—Geoffrey, kamu ingat kan. Waktu itu dia lagi bekerja di
suatu pulau yang belum pernah kudengar. Toh, dia kembali lalu mereka pergi
menemui direktur bank—direkturnya,
Charles, ternyata Bunda dan dia sudah bertahun-tahun saling kenal. Mereka
bertiga menyingkap tunjangan Ayah yang tidak diketahui sebelumnya. Semuanya pun
sudah mereka atasi sambil makan siang. Aku merasa rada tolol, tahu enggak sih.”
“Tetapi ….” Kepalaku
berputar-putar. “Kamu kan sudah memeriksa rekeningnya waktu itu. Enggak ada
uang. Benar-benar enggak ada. Kok bisa tahu-tahu mereka berhasil—“
“Aku tahu, aku juga enggak
betul-betul mengerti. Tetapi sudah sepatutnya kita mensyukuri yang mereka—“
“Bagaimana dengan
penyimpangan di rekening? Waktu aku menemui orang bank di pusat perbelanjaan
itu, dia memberitahuku struktur pelunasannya enggak ada yang beres, dia ingin
supaya itu diusut ….”
“Aku enggak tahu, Charles.” Ia menggerak-gerakkan
kakinya bergantian dengan tak sabar. “Rekening Ayah tuh ruwet banget. Mungkin
manajer yang kamu temui waktu itu enggak biasa saja melihatnya. Yang penting
masalah itu sudah pasti beres, seenggaknya buat sekarang ini. Kita memang masih
punya utang, tetapi enggak bakal ada
yang mengambil rumah kita.”
Aku berusaha membalas
senyumnya. Ini kabar baik, bukan? Mengapa kok rasanya ada yang salah?
“Biar begitu, kemungkinan kamu
koma pada waktu yang tepat. Walau semuanya sudah diatasi, suasananya masih rada
gonjang-ganjing. Bunda … yah, nanti kamu tahu sendirilah. Tetapi dia sedang
serius membicarakan soal menjual Amaurot.”
“Menjual?” Kutopang diriku bangkit dengan lengan bawah. “Mana ada
Bunda jual-jual! Kamu omong apa sama Bunda? Kamu yang kasih gagasan itu padanya?”
“Aku enggak kasih gagasan
apa-apa pada Bunda, Charles, kamu tahu kan Bunda enggak bahagia tinggal di sana
sejak Ayah meninggal, kamu tahu kan betapa merananya Bunda, kelayapan di rumah
besar luas yang kosong melompong …. Sementara itu, orang-orang komputer
mengambil alih segalanya yang ada di sekitar kita, hampir setiap minggu ada
orang mendatangi pintu rumah dan mengajukan tawaran—tawaran-tawaran gila, cukup untuk melunasi semua utang
kita secara sekaligus serta membeli
rumah kecil di pelosok pedesaan tempat Bunda bisa beristirahat—“
Ia kembali duduk di ujung
tempat tidur, mengambil bukunya dan mulai membuka-buka halaman. “Tetapi
kemudian suatu malam aku mengobrol dengan Mirela, dan ia menceritakan padaku
tentang kelompok teater yang pernah diikutinya di kampungnya di Yugoslavia,
sebelum terjadi, tahulah, perang dan sebagainya. Kelompok teater itu
menjalankan berbagai hal, lokakarya, teater jalanan, acara-acara politis.
Pendirinya baru saja memulai ini dari rumahnya beserta beberapa temannya, dan
dari situlah awalnya. Lantas kupikir, mengapa kita tidak mengadakan hal yang
sama di Amaurot? Maksudku, ada ruang
tempat kita bisa mengadakan latihan, kelas, dan seterusnya, dan ada pula
kamar-kamar kosong yang sudah bertahun-tahun tidak ditempati—semakin
dipikirkan, gagasan ini terasa semakin sempurna
saja. Sewaktu aku memberi tahu Bunda ia sama bersemangatnya denganku ….”
Maka keesokan paginya, lanjut
Bel, ia langsung menghubungi beberapa teman dari kuliah dramanya dulu supaya
membantu merumuskan rancangan teater. Mereka memberikan desain ini pada putra
Mbok P, Vuk, yang ternyata pernah menjadi arsitek sebelum bermukim di bekas
Follyku—perlu kutambahkan, dalam suasana anarkistis yang tampaknya sedang
menguasai Amaurot, Vuk, Zoran, serta Mirela yang memikat itu, telah pindah ke kamar
tamu hingga permintaan suaka mereka dipertimbangkan, sementara Mbok P secara in situ masih pembantu tanpa dipotong
upahnya oleh Bunda. Sementara Bel meneruskan, lamat-lamat mulai terang bagiku
bahwa ini bukan salah satu dari angan-angan kosongnya yang biasa, yang menjadi
obsesi selama seminggu lantas terlupakan—bahwa tanpa pengaruh yang
terus-menerus dari diriku, ia dan Bunda telah membentuk suatu persekutuan keji,
dan siap mewujudkan rencana gila tersebut.
“Kita akan membuka ruangan
dansa yang kuno itu dan mendirikan panggung di sana. Tinggal menunggu para
tukang bangunan balik dari Tibet. Charles, ini rencana bagus kan? Enggak lagi
harus bersusah-payah ke audisi, kita bisa menampilkan pertunjukan apa pun yang
kita mau—“ Dari kursinya ia menarikan wals sambil mendekapkan kedua tangan ke
dada, tampak seolah-olah hendak menyanyikan lagu. Lalu ia mulai merepetkan
daftar sandiwara serta penggubahnya, rencana serta strategi, dan menyandingkan
kata-kata seperti seniman serta kediaman, ruang serta komunitas,
yang terasa mengancam; sementara aku duduk dengan kepala terebus dalam perban
bagaikan puding yang amat besar. Hari ini
awal sisa hidup Anda berkilat mengejek padaku dari seberang dinding—
“Tetapi ini konyol!”
Gerakan wals Bel terhenti di
tengah-tengah dan ia menatapku. Terdengar lengkingan dari salah satu monitor di
balik bahu kiriku. “Ini konyol,” ulangku. “Seluruh gagasan ini. Amaurot itu
sudah kediaman. Aku berdiam di sana. Maaf deh semua rencanamu ini jadi sia-sia.
Tetapi Amaurot itu kan rumah, tempat orang tinggal. Kamu enggak bisa masuk
begitu saja dan mengubahnya jadi tempat lain.”
“Tetapi kita sudah
membereskannya,” ucapnya. “Kamu tahu kan kita enggak bisa terus membiarkan
Amaurot apa adanya, kamu tahu itu.
Kita harus menyesuaikan diri, kalau enggak kita bakal kehilangan rumah itu.”
“Aku enggak mengerti kok bisa
dengan membangun teater kamu membantu orang.”
Sesaat ia ragu, lantas
berputar balik secara hati-hati menuju tempat tidur. “Yah kamu lihat saja deh
teaternya enggak bakal jadi biasa-biasa saja,” ujar Bel. “Kita ingin supaya
orang-orang yang biasanya enggak berada di dekat-dekat panggung bisa datang dan
belajar mengekspresikan diri di teater itu, tempat orang-orang dari latar
belakang yang kurang mampu bisa datang, tinggal, dan—“
Kepalaku berdebuk kembali di
bantal. “Kamu ini sudah hilang akal? Kamu enggak tahu cara masyarakat bekerja?”
“Aku tahu ini kedengarannya
janggal,” ia mengulurkan lengannya penuh permohonan, “tetapi kalau saja kamu mau
mendengarkan, ini masuk akal kok. Aku
sudah bicara pada Geoffrey. Dia bilang jika penampilan kita bagus, kita bisa
memenuhi syarat untuk segala macam bantuan dana dari pemerintah. Kamu tahu kan,
kalau kita membantu orang, ditambah ada unsur keragaman budaya, dengan Mirela
yang berasal dari Balkan. Malah, kalau teaternya sukses, bisa saja Amaurot
didaftarkan sebagai badan amal. Jadi pikir deh, Charles, kita bisa tinggal di
sana selama yang kita mau, dan enggak usah khawatir lagi soal bank, penagih
utang, atau cara supaya rumah itu tetap berdiri ….” Ia duduk lagi dan membungkukkan
bahunya sungguh-sungguh. “Di samping soal uang, ini kesempatan untuk
memperkenalkan Amaurot, supaya rumah itu menjadi berarti. Bukankah itu yang kamu mau? Akhirnya kita bisa memanfaatkan
Amaurot untuk kebaikan. Dan
kemungkinannya tak terbatas, begitu kamu mulai memikirkannya. Kita bisa
mengadakan kelas—tahulah, kelas drama, buat anak-anak dari kawasan kumuh,
mereka bisa datang seharian dan—“
“Kok berhenti?” ujarku.
“Kenapa enggak sekalian saja semua ruangan dibuka? Kita bisa kasih tur
terpandu: ‘Ini kamar Charles, para pengunjung diminta dengan hormat supaya
tidak mematikan rokoknya di, di koleksi perangkonya semasa kecil—‘“
Terdengar dering bel di
koridor. Seraya mendesah, Bel mengambil jaketnya dari punggung kursi.
“Charles,” ucapnya, “aku memintamu supaya mengerti bahwa kita sudah tidak kaya
raya lagi. Betulan deh. Tinggal di Amaurot tuh, rasanya seolah-olah kita sedang
berjuang untuk mempertahankan diri di—di pulau kecil yang terapung-apung
semakin jauh dari tujuan keberadaannya
yang sesungguhnya—“ Pipinya dikempotkan lantas kembali seperti semula.
“Tidakkah kamu mengerti, ini keputusan yang baik?” ujarnya, seraya menyentuh
lenganku. “Kita akan sanggup memelihara rumah itu, dan kita akan sanggup tetap
bersama-sama ….”
Sekalipun dalam kegalauan, aku menyadari bahwa ini pertama
kalinya Bel menyentuhku sejak segala centang-perenang
ciuman-tak-disengaja-dengannya kapan itu—bahwa ia sedang menawarkan setangkai
zaitun[1] padaku. Tetapi
tidak semudah itu menyuapku. Tanpa menanggapi, aku memalingkan kepala dengan
kaku dan memancangkan tatapan pada potongan langit di jendela, hingga tangannya
terangkat dari lenganku lalu terdengar derit kursi di sampingku sementara ia
beranjak pergi.
Biar begitu,
masalahnya—masalahnya jauh di lubuk hati aku menyadari ia benar, tentang betapa
segalanya telah berubah, tentang orang-orang kaya baru yang mengambil alih. Kau
bisa melihat mereka pada akhir pekan, orang-orang ini: pucat lagi suram karena
siang malam bersembunyi dalam menara yang tersusun dari kantor-kantor kuboid,
merayapi jalan sempit berliku-liku dengan BMW atau jip bagur, memburu properti
bagaikan hiu tanpa gigi nan haus darah. Bagaimana jika ini sungguh satu-satunya
cara untuk melindungi rumah dari mereka? Aku mencoba membayangkan Amaurot
sebagai suatu Kediaman, yang ramai oleh cakap orang-orang asing. Aku
membayangkan diriku berada di meja sarapan, sementara Orang-orang Kurang Mampu
duduk di hadapanku. Mestikah aku membuka obrolan? Akankah mereka meminjam
barang-barang? Pisau cukurku, dasi? Gagasan itu terlalu pedih untuk
dibayangkan. Tampaknya lebih baik berpura-pura bahwa tidak ada persoalan apa pun, dan bahwa pembicaraan dengan Bel tadi
tidak pernah terjadi. Aku sudah mendapat cukup pereda sakit supaya merasa enteng. Dunia nyata jadi tampak gembung, lengket,
dan kabur di sekitarnya, terburai hanya oleh datang dan perginya dokter serta
suster, serta bersin hebat pasien di kamar sebelah, umpama angin kemarau
menerjang hutan batu.
Akan tetapi, malam itu—malam
pertama pemulihanku seusai hiatus—aku tidak bisa tidur. Aku berbaring terjaga
berjam-jam, seraya menatap deretan layar serta monitor yang mengelilingiku.
Benda-benda itu menceritakan kisah tak teruraikan mengenai tubuhku lewat
titik-titik sinar, grafik, serta bunyi teratur. Aku merasa bisa melihat
berbagai hal dalam gelombang bergigi gergaji pada layar, berbagai macam hal:
ledakan, nubuat, bencana yang menjelang. Semuanya bergerak cepat-cepat
mendahului satu sama lain hingga aku tidak tahan lagi dan, tercekam oleh
dingin, aku pun menekan tombol darurat serta menjerit “Tolong, tolong!” hingga
suster jaga malam melangkah cepat-cepat menyusuri koridor. Bukan suster montok
lagi molek yang bertugas melayani mandi busa melainkan suster riang pembawa
termometer berpantat tepos.
“Ya?” suaranya terdengar
menuntut. “Ada apa?”
Aku berdeham lantas menunjuk
pasak-pasak besar serta palung-palung pada monitor. Ujarku, “Aku agak gelisah
gara-gara, ehem, itu ….”
“Anda merasa mual?” ia
mengetuk-ngetukkan kakinya tak sabar. “Anda kesakitan?”
“Yah, enggak, enggak juga
sih,” tahu-tahu merasa bahwa boleh jadi aku telah membesar-besarkan persoalan.
“Hanya saja—pasak yang di sebelah sana itu, kelihatannya agak, lihat kan,
putus-putus, ya?”
“Tidak,” sahutnya disertai
desahan menggerutu, “memang begitu kok, dari sebelumnya juga, dan sebelumnya lagi.”
“Oh. Cuma perasaanku saja
garisnya agak putus-putus.” Sunyi sesaat terpecah oleh ketukan kakinya.
“Sibuk?” ujarku, sebab sekalipun ia berwajah tirus dan penggemar dubur, tetap
saja ia bisa diajak bicara—
“Sibuk sekali,” sergahnya seakan-akan hendak diucapkannya sedari tadi. Ia
berbalik dan memelesat keluar dari ruangan, kembali pada teka-teki silang, baki
berisi jeroan, atau apa pun yang dikerjakannya tadi dalam kotak kaca di ujung
lorong. Ia meninggalkanku bersama arak-arakan sunyi gelombang-gelombang itu,
serta kenangan akan rumah, akan kembang di pepohonannya, akan ruangan dansa di
mana hantu-hantu berpakaian jas berekor dan gaun mengembang amat lebar memutar
tubuh satu sama lain dalam irama quadrille[2] dan cotillion[3], seiring dengan
menjamurnya dinding dan bersarangnya laba-laba di kandil ….
*