Seseorang mendorong pintu ruangan dansa
hingga terbuka. “Nah, ketemu juga. Kamu enggak menungguku.”
“Oh—kukira kamu enggak
benar-benar memintaku menunggumu ….”
“Udaranya dingin sekali, ya.” Mirela
menggosok-gosokkan kedua tangan pada lengannya yang telanjang. “Kamu sedang apa
di sini? Kamu melewatkan pestanya.”
“Ah, tahulah … cuma merasa
butuh udara segar.”
“Kamu dicari ibumu.”
“Aku tahu,” sahutku muram.
Ia duduk di sisi seberang
lorong. “Kamu baik-baik saja? Kepalamu sakit?”
“Enggak, enggak ….”
Kusilangkan kedua kakiku ke arahnya, sepertinya tampak kecewek-cewekkan, lantas
kembali kusilangkan. “Kurasa cuma karena ini pertama kalinya aku menyaksikan
semua telah dibereskan. Aku jadi masygul.”
“’Masygul’”?
“Sedih, mengerti kan, kayak
sewaktu kamu mengenang masa lalu.”
“Pasti aneh, ya, rasanya,
pulang dan mendapati semuanya berubah begini.”
Aku mendongak ke arah pentas,
pada latar warnanya yang menyerap cahaya serta balok-balok kayu terbuka yang
telah menggantikan kertas dinding bercorak dan karya plester bergaya Barok Akhir. “Enggak apa-apa kok,” ucapku
dengan anggun.
“Aku senang kamu bisa pulang
hari ini,” ujarnya. “Tepat saat pertunjukan pertama.”
“Untung efek pereda sakitnya
masih ada,” aku menyetujui.
Ia tertawa. “Kasihan Charles
ini! Masak sih kamu enggak suka sedikit pun?”
Aku tuh sukanya padamu, ingin
aku berkata: sekalipun wigmu terus-terusan tergelincir, meskipun saat kamu
melafalkan cinta kedengarannya seperti sintal[1] sedang pengendara liar seolah-olah merupakan tokoh
dalam cerita rakyat Transilvania, namun kapan pun kamu berada di pentas,
seketika itu juga dialognya tidak lagi menjengkelkan dan kedengarannya sedikit
hampir mulai menyerupai musik. Namun
aku tidak menyatakan pikiranku itu. Aku hanya bergumam soal kostum yang
realistis.
“Mmm,” sahutnya, sambil
menekuri kedua tangannya yang terkunci seolah-olah ada kumbang koksi di
dalamnya, hendak dibawa ke kebun. “Charles—karena sekarang kamu sudah pulang—ada
yang ingin kukatakan padamu.”
“Oh?” ujarku, dan berdeham.
“Agak sulit mengatakannya.”
“Yah—cobalah,” ucapku. Sebab
sebetulnya sedari tadi aku bertanya-tanya … maksudku, yang terjadi dalam
film-film saat ada peristiwa luar biasa menimpa seseorang, semisal ia melarikan
diri, atau kena ledakan, atau adiknya mengubah rumahnya menjadi komunitas
teater, ia kemudian bertemu wanita cantik yang seketika jatuh cinta padanya dan
membantunya melalui jalan hidup yang baru. Tidak dijelaskan sebabnya wanita itu
jatuh cinta pada orang tersebut. Itu terjadi begitu saja. Barangkali itu
semacam ganjaran dari Nasib atas keberanian mengusik alam semesta. Aku jadi
berpikir bahwa boleh jadi pengalaman ini tidaklah sedemikian buruk dengan gadis
seperti Mirela mendampingiku.
Ia mengembuskan napas
bersiap-siap bicara, lalu, “Aku ingin minta maaf atas perbuatan Mama, karena
telah mencuri dari kalian.”
“Ah, baik.” Kusembunyikan
kekecewaanku dengan batuk. “Enggak usah minta maaf, sungguh. Nasi sudah menjadi
bubur, dan seterusnya.”
“Kamu pasti mengira kami
gila,” suaranya merendah. Berkas cahaya merayap di bawah pintu, bersinar perak
pada lengannya yang berbulu halus.
“Enggak, enggak kok …”
cepat-cepat aku menenangkannya. “Ada kisah yang jauh lebih buruk. Misalnya
saja, kenalanku nih, Pongo McGurks, keluarganya kan punya pelayan, namanya
Sanderson—mereka sudah mempekerjakannya selama bertahun-tahun, dan sangat
mengandalkan dia, pelayan terbaik yang penah mereka miliki, dan sebagainyalah.
Kemudian keluarga ini pulang cepat dari berakhir pekan lalu mendapati dia
mengenakan gaun pernikahan ibu Pongo. Ia mau pemanggang roti menikahkannya
dengan jam kukuk.”
“Oh.” Tampaknya dia tidak
begitu memahami ceritaku. “Dan itu sering terjadi?”
“Enggak, sepertinya cukup
jarang,” aku mengakui. “Maksudku jarang-jarang ada pelayan yang ukurannya pas
sepuluh.” Ceritaku sama sekali tidak ada gunanya.
Mirela mengerutkan dahi.
Sebatang jarinya mengait helaian rambut hitamnya. “Aku keliru, ya,
menjelaskannya,” sahutnya. “Aku mau menyampaikan bahwa Mama sebetulnya bukan
orang yang seperti itu, mengerti kan. Ia bukan pencuri. Aku terus-terusan
memberi tahu Mama, kenapa Mama mencuri dari orang-orang ini, mereka peduli pada
Mama, mereka akan membantu kita. Tetapi kamu harus mengerti bahwa Mama sulit
memercayai orang, setelah yang dialaminya. Awalnya Mama cuma mengambil
barang-barang kecil yang tidak akan ketahuan. Namun ketika Mama mengetahui soal
bank, bahwa rumah kalian mungkin disita, Mama mulai panik, tidak bisa tidur.
Mama mendapat gagasan untuk mencuri secukupnya supaya kami bisa pulang.
Seolah-olah masih ada yang tersisa di sana.” Mirela menyeringai sinis. “Aku
mencoba memberitahumu, alasan Mama berbuat ini bukan karena ia gila atau jahat.
Mama hanyalah orang yang telah mengalami berbagai kejadian buruk.” Mata
kobaltnya yang tajam berputar menatapku. Aku merasa ditusuk dan diangkat dari
tempat dudukku. “Aku ingin kamu tahu bahwa kami hanyalah keluarga biasa yang
telah mengalami berbagai peristiwa buruk. Kamu mengerti?”
“Tentu,” aku menggaok, “tentu
saja.”
“Aku tahu kamu akan mengerti,”
ujarnya anteng. Ia menekuri tangannya lagi dan sekonyong-konyong berkata: “Apa
tadi kamu memerhatikan kakiku sewaktu di panggung?”
“Apamu …?”
“Kakiku, Charles. Kamu pasti memerhatikannya, semua orang pasti
memerhatikannya. Aku enggak ingin kamu bersikap diplomatis soal ini. Terus
terang saja padaku.”
“Aku enggak memerhatikannya,
kok,” ujarku. “Jujur deh. Mungkin sebentar sewaktu di awal. Tetapi lalu aku
melupakannya.”
“Karena itu juga Mama perlu
uang,” ia termenung. “Semua orang bilang zaman sekarang hal-hal menakjubkan
bisa dilakukan.”
“Enggak begitu buruk kok
kelihatannya,” ujarku. “Maksudku kurasa itu lumayan cocok padamu.”
Barangkali itu bukan
perkataan yang tepat. Aku tidak yakin benar soal etiket berbicara tentang
anggota tubuh yang hilang. Tetapi Mirela mulai tertawa. “Senang deh akhirnya
punya teman bicara tentang pengalaman kena ledakan!” ucapnya.
“Aku enggak lagi bercanda,”
tegasku.
“Dunia jadi tampak lain
sesudahnya, ya kan?” Mirela berhenti tertawa. “Saat kamu menyadari bahwa
berbagai peristiwa dapat terjadi begitu saja.” Ia merunduk. Kubiarkan saja
tatapanku berlabuh di wajahnya lagi, mencoba mencari sebab yang telah memikatku
sedemikian.
“Aku benar-benar bersyukur
kamu bersedia menampung kami, Charles,” ucapnya. “Kebanyakan orang bahkan enggak
tahu yang terjadi di sana. Mereka mengira kami ke sini cuma untuk minta-minta.”
“Betulan, enggak apa-apa,”
sahutku. Sfumato, begitu istilahnya
dalam dunia lukisan; pengaburan atau penghilangan garis-garis tertentu, seperti
yang dilakukan Leonardo sehingga Mona Lisa tampak menyimpan muslihat yang
berubah-ubah.
“Aku tahu kamu akan mengerti,”
ulang Mirela. Sesaat kesunyian menghampiri. Maksud pembicaraannya sudah cukup
jelas. Kini waktunya giliranku. “Aku jadi ingat,” ucapku, “ada yang ingin
kukatakan juga. Tentang sandiwara tadi.”
“Oh?” Ia mendongak.
“Ya,” ujarku, seraya
mendesakkan pergelangan tanganku keluar dari manset. “Aku ingin menyampaikan
suatu hal yang kurasa menarik dari situ—sehingga aku merasa berbesar hati—yaitu
tentang cinta.”
“Cinta?” ulangnya sangsi.
“Ya, betapa sandiwara tadi
menunjukkan cinta dapat mengatasi segala, ah, kemiskinan, pencurian mobil, dan
seterusnya.”
“Oh, aku mengerti,” sahut
Mirela. “Ya, meski kupikir sebenarnya sandiwara tadi bukanlah kisah cinta.”
“Tetapi cinta di antara
karakternya Bel, misalnya saja, dan si, orang berkumis—bagiku terasa, mengerti
kan, bahwa sekalipun peristiwa buruk terjadi padamu, dan hidupmu tercerabut,
masih ada harapan, sebab saat itu juga kamu akan bertemu seseorang istimewa yang
kurang lebih akan membantumu melaluinya. Begitulah yang kutangkap dari situ.”
“Ya,” Mirela mengangguk samar
sembari melihat-lihat buku acara yang tertinggal pada bangku di sampingnya.
“Pendapatmu itu sangat menarik, Charles, sebab bukan itu khususnya yang kami
coba angkat sebagai temanya ….”
Mirela tidak mendengarkanku.
“Tetapi, itu cerita tentang cinta, kan?” ujarku gigih. “Mengerti kan, bahwa
cinta itu kurang lebih muncul di tempat yang tidak terduga-duga, sekalipun
tidak secara tegas menyatakan suatu, suatu temanya ….”
“Mmm,” sahutnya, lantas
berpaling dan menambahkan dengan tangkas, “Ya, kamu benar, tentu saja, dan juga persahabatan, mengerti kan, persahabatan
yang mengasihi, soal itu juga sangat penting dalam sandiwara tadi. Semacam yang
dialami Bel dengan abang tirinya.”
“Yang mana,” ujarku.
“Yang kerja di kedai,”
jawabnya.
“Ya, persahabatan boleh
juga,” aku menyetujui. “Tetapi cinta juga ada kan, seperti dalam adegan ketika
si pecandu heroin dan si cewek yang suka mencuri dari toko Marks &
Spencer—“
“Ya, tetapi secara umum
sandiwara tadi soal persahabatan, Charles,” cetusnya, lantas terdiam dan timbul
keheningan yang canggung. Jelas benar ia terlalu asyik dengan malam pentingnya
ini untuk dapat merasakan maksud sebenarnya di balik ulasanku. Keparat,
mustahil menangani momen rawan begini tanpa memiliki muka!
Keheningan itu terus
berlangsung lebih lama hingga serta-merta ia berkata, “Kamu sudah bertemu
Harry?”
“Apa?” sahutku.
“Harry, dia cowok yang
menulis sandiwara ini. Kamu enggak bertemu dengannya tadi?”
“Aku enggak bertemu
siapa-siapa kok,” ujarku sedih. “Bel menyuruhku supaya tetap menjauh. Kurasa
tadinya ia mau mengurungku di gudang bawah tanah kalau bisa.”
“Oh. Yah, kalau begitu, kamu
harus masuk dan menemuinya sekarang,“ ujarnya. “Dia sangat lucu, pintar, dan
ramah. Menurutku kamu akan menyukainya.”
Barangkali aku keliru terburu-buru
bersikap defensif. Namun seorang pria tidak menjalin hubungan bersama Patsy Olé tanpa belajar satu dua hal mengenai sisi yang lebih
gelap dalam cara berpikir wanita. Mendadak Mirela tampak kelewat bersemangat
soal Harry. Mungkinkah pola asuh di Balkan tidak mencakup sampai sejauh tata
cara dalam hubungan asmara yang berapi-api? Mungkinkah si Harry beserta
sandiwara jeleknya itu telah memikat Mirela sampai-sampai melarikan momen
sentimental kami berdua di Folly dari dalam kepalanya?
“Enggak bakal,” sahutku
bersukarela.
“Apa?”
“Aku enggak bakal
menyukainya,” ujarku. “Si Harry ini.”
Mirela tertawa berseri-seri.
“Jangan konyol ah! Aku yakin kamu akan menyukainya. Lagi pula, kamu tidak boleh
bersembunyi di sini semalaman.” Ia mengambil pergelangan tanganku dan, tanpa
menatap mataku, menarikku berdiri. Diiringi firasat akan datangnya malapetaka
aku ditarik-tarik sepanjang lorong, umpama anjing tua dipaksa pergi ke dokter
hewan.
Lukisan Ayah telah kembali
dipajang tepat di sebelah luar ruang resital, beserta plakat di bawahnya yang
terbaca Pusat Kesenian Ralph Hythloday,
seakan-seakan semua ini merupakan gagasannya. Ia tampak terperangkap. Sesaat
mata kami bertatapan pasrah, sementara Mirela menggiringku kembali ke pesta.
Di dalam ruangan, tamu sudah
agak berkurang. Tepat di balik pintu, Bunda yang membelakangi kami tengah
menyambut sepasang wartawan. Si pria berwajah kemerah-merahan semakin memerah
saja. Ia sedang berdiri bersama kelompoknya membentuk semilingkaran yang
acak-acakan di sekitar piano, sambil dengan sumbang menyanyikan lagu jelek dari
suatu pertunjukan populer. Di belakang mereka, MacGillcuddy mengamati seorang
pelayan tua yang membisu.
“Kenapa sih orang itu ada di
sini?” ucapku. “Teater macam apa yang membutuhkan MacGillycuddy sebagai konsultan?”
“Hmm? Oh, dia ….” Mirela
berhenti memberengut. “Yah, persisnya aku tidak tahu. Tampaknya ia tahu-tahu muncul. Kukira tidak ada orang yang
mempertanyakannya—oh lihat, Charles, itu Harry!” Dengan riang ia melambaikan
tangan pada sekelompok pemain drama di pojok ruangan. Jantungku copot begitu
aku menyadari bahwa, seperti yang kutakutkan, “Harry” itu tidak lain si orang
menyebalkan bergaya rambut avant-garde.
Bel menautkan sebelah
lengannya pada lengan kanan orang itu, dan kini Mirela menyelipkan diri ke
lengan yang kiri.
“Aku menganggap Terbakar Habis itu bukan sekadar
sandiwara,” ucapnya. “Itu lebih merupakan suatu panggilan untuk melawan.
Semacam pemberontakan. Tentang meledakkan seluruh—“
“Harry, ini Charles yang
ingin kuperkenalkan padamu.”
Ia memandangku sepintas tanpa
minat dan memberiku senyuman hampa.
“Charles, ini Harry yang—“
Mirela berpaling padaku.
“Kami sudah bertemu,” ujarku
muram.
“Masak?” sahut Harry.
“Oh iya,” ucapku. Karena
akhirnya jelas sudah. Aku tahu di
mana aku pernah melihat dia sebelumnya: dan kini terang bagiku cara kerja
seluruh bisnis jahat ini. Orang-orang
yang konon Para Aktor Kurang Mampu penyumbat ruang resital ini tidak lebih
daripada para pemuja Marx pengais makanan yang telah merusak petang hariku
selama masa kuliah Bel, dan orang ini, meski waktu itu ia berambut jambon, dan
dipanggil Boris, merupakan dalang mereka. Berapa kali aku menguping dia bicara tentang mimpi
atau kebebasan atau revolusi sembari memijakkan kakinya di kursi malas pada si
gadis dengan mata bercahaya, atau menghasut Mbok P untuk bangkit melawan
penindasnya, yaitu Bunda dan aku, sekalipun dilakukannya itu sambil menjejali
perutnya dengan cokelat truffle atau
mengganyang kue kepang[2] yang secara khusus telah disisihkan
seseorang untuk dirinya sendiri. “Oh iya,” ucapku lagi, supaya ia tahu bahwa
aku siap dengan permainannya dan akan mengawasinya lekat-lekat. Namun,
percakapan sudah berlanjut, yang mana berarti gadis-gadis, sambil
terkagum-kagum seperti anak umur dua belas tahun yang makan terlalu banyak serbat,
menariki lengan bajunya dan meminta dia bercerita lebih banyak mengenai
pemberontakan, jadi aku pun mengambil beberapa kudapan dari baki yang lewat dan
memuaskan diriku mengunyahnya dengan gaya samar-samar mengancam.
“Yah, aku memandangnya
sebagai semacam ‘perang gerilya’,” ucap Harry. Dari dekat, kue kepangnya
terlihat seperti sekawanan ular yang diracun saat merayapi kepalanya. Dia itu
jenis orang yang suka membuat tanda kutip imajiner dengan jari, yang agaknya
merupakan alasan bagus lain untuk membencinya. “Mengambil bentuk-seni elitis
dan menggunakan esensinya sebagai kuda Troya yang dari padanya lantas kita
kembangkan untuk menghadapi para penonton borjuis beserta kemunafikan mereka.
Maka sandiwara itu sendiri harus memiliki semacam kekuatan ledak yang boleh
dikatakan dapat ‘menghancurkan’ gedung tempat pementasannya, seperti bom—“
“Tunggu dulu,” potongku.
“Kuharap kamu enggak sedang bicara soal menghancurkan Amaurot.”
“Ini metafora saja, dasar
tolol,” ujar Bel jengkel.
“Kami berharap enggak perlu
sampai memakai peledak betulan,” ucap Harry padaku.
“Kuharap tidak,” sahutku,
kembali pada kudapan. “Jangan main-main soal meledakkan bangunan. Ini menurut
pengalaman lo.”
“Sebab aku yakin warisan
pascamodernisme,” sambung Harry, “ialah untuk mengingkari seni, dan juga
kekuatan untuk membuat segala macam pernyataan bermakna—tentang persoalan ini,
tentang kita. Maka kurasa kita harus kembali pada teater gaya Berkoff[3], Artaud[4]—“
“Iya, ya?”
“Iya. Enggak, jangan diusap,
malah tambah kotor … Ah, jadi menjijikkan banget deh.”
Wajah-wajah itu berhimpun
mengerang dan mengambil sikap jijik. Bel menurunkan alisnya dengan sengit ke
arahku, ibarat sapi jantan mau menyerbu.
“Aku akan pergi dan
membersihkannya,” ucapku beribu maaf, lantas menarik diri ke kamar kecil,
melewati pria berwajah kemerah-merahan yang kini tengah bungkuk menangis di
atas penutup piano. Aku tidak bergabung lagi bersama para aktor itu sesudahnya.
Alih-alih, aku mengambil tempat di dekat dinding, terlindung dari Bunda oleh
pot tanaman, sambil mengisap es batu dengan pilu. Malam ini jadi luar biasa
menyedihkan. Tidak adakah yang mau mengobrol bersamaku?
Seolah-olah berjawab,
seketika itu juga sesosok besar berbentuk tak keruan menghampiriku. “Baik-baik
saja?” makhluk itu berkata.
Kutahan diri supaya jeritanku
tak terdengar.
“Gimana kepalanya?” tanyanya.
“Masih utuh enggak, atau gimana?”
“Menurut keterangan yang
dapat dipercaya sih kepalaku masih ada,” ucapku.
“Soalnya aku mikir,” ujar
Frank, “kamu enggak pengin kan kejadian kayak di Batman, pas perbannya dilepas dia jadi Joker, ngeri gitu mukanya.”
“Enggak,” aku menyetujui.
“Enggak. Kuharap enggak bakal ada kejadian begitu.”
Ia mencolekku dengan gaya
berkomplot. “Di rumah sakit susternya montok-montok, ya?”
“Mmm,” sahutku, seraya
berharap dalam percakapan ini ada semacam bangku pelontar. Lagi pula, kenapa
sih ia menggangguku? Bukankah seharusnya ia lagi meraba-rabai Bel?
“Ah yeah—kayak babeku bilang,
dalam hidup ini cuma ada dua hal yang pasti—kematian, sama suster-suster.”
Kearifan ini disusul desahan panjang. Ekspresi aneh melintas di wajahnya. Aku
mendapat kesan mengusik akan adanya perasaan amat murung bersuara di balik
sosoknya yang kukuh. Aku sedang berpikir apakah sebaiknya aku menyingkir
ketika, sambil menggaruki perutnya, tahu-tahu ia bertanya kalau-kalau Bel
menyinggung tentang dirinya padaku.
“Tentang dirimu?” sahutku.
“Padaku?”
“Enggak penting sih,” ujarnya
cepat-cepat. “Cuma beberapa minggu ini aku jadi jarang ketemu dia, gitu aja.”
Sementara aku mengingat-ingat,
tampaknya sewaktu menjengukku di rumah sakit Bel mengatakan sesuatu seperti Frank, ih. Namun selain itu, ia bahkan
tidak menyebut-nyebut Frank, apalagi soal mencari apartemen bersamanya. Aku pun
memandang ke arah Bel berdiri bersama teman-teman teaternya, lalu kembali pada
Frank. Barulah aku sadar bahwa semalaman itu aku belum melihat Frank meraba-raba Bel ataupun menekuri bajunya.
“Aku heran aja,” ujar Frank
murung. “Tiap kali aku manggil, dia lagi sibuk masang kabel, atau latihan
dialog, atau kumpul-kumpul. Kadang dia malah enggak mau teleponan sama aku.”
Dahinya agak mengilap oleh keringat dan tatapan matanya amat sayu. Ingin benar
aku melemparinya dengan biskuit-anjing yang besar.
“Yah … dia kan sibuk,”
kataku. “Itu saja. Dia merasa terikat dengan teater jelek ini. Aku yakin nanti
juga dia kembali seperti biasanya.”
“Charlie,” bisiknya, “kenapa
sih mereka ngadain teater di rumah kamu?”
“Entahlah,” ujarku cergas.
“Waktu itu aku kan lagi di rumah sakit. Di rumah ada banyak perempuan. Apa pun
mungkin terjadi dalam keadaan begitu.” Pijakanku gelisah berganti-ganti dari
satu kaki ke kaki lain. Gara-gara Frank aku jadi khawatir. Bahkan sambil
berbicara aku merasa bahwa malam ini antara aku dan Bel pun suasananya dingin.
Bagi orang yang tidak tahu apa-apa mungkin kelihatannya aku dan Frank mengalami
situasi serupa. “Begini,” ucapku. “Nanti aku bicara padanya, ya? Akan kucari
tahu persoalannya. Tetapi aku yakin enggak ada yang perlu dicemaskan. Teater
ini enggak bakal bertahan lama. Kamu tahu kan Bel, apa-apa dia jadi bosan
setelah beberapa minggu—“
Seketika itu juga aku
menyadari arti tersirat perkataan tersebut. Frank menganga ngeri ke arahku.
“Itu—“ suaraku tercekik hendak menjelaskan, tetapi percuma saja, aku tidak
tahan bersama dia barang sedetik lagi. Disertai deguk minta maaf, aku berbalik
dan kabur. Kulihat Mbok P sudah tidak mengawasi bar. Aku pun menyelinap ke balik
bar lalu mulai mengisi kantong pakaianku dengan kudapan tanpa tahu benar buat
apa.
Ternyata, aku tidak pernah
berhasil membicarakan soal Frank dengan Bel. Semua botol tak berpenjagaan itu
mengacaukanku. Aku tengah meracikkan diriku Hennessy porsi dobel, sekadar untuk
meredakan kegelisahan, saat merasakan embusan dingin mendera bahuku dan
terdengar suara, “Ah, Charles, kamu di sini rupanya.”
Kuteguk habis minumanku dan
pelan-pelan berpaling.
“Kamu tahu, untuk orang dengan
jadwal yang ringkas kamu ini bisa sangat sulit ditangkap.”
“Ha ha,” tawaku lemah, seraya
mencari-cari jalan melarikan diri. Nihil. “Yah, di sinilah aku.”
“Benar,” sahut Bunda, senyumnya
laksana baja.
Mesti kujelaskan bahwa, apa
pun yang dialaminya di Cedars, Bunda telah berubah. Sewaktu aku berada di rumah
sakit, ia menjengukku dan perubahannya itu tampak jelas dari sejak ia melewati
pintu. Ia menerobos bagaikan Valkyrie[6] terlambat
datang ke pertemuan Klub Rotary. Langkahnya berderap dan tanpa sekalipun
berhalus tutur menanyakan lukaku yang banyak, ia mulai memberikan wejangan
panjang-lebar berapi-api mengenai tanggung jawab, pola makan holistis, serta
dua belas langkah imajiner pembinaan jiwa agar meraih puncak hal yang lain.
Gara-gara itu aku jadi sangat ketakutan dan mafhum bahwa tidak ayal lagi dialah
penyebab aku siuman setelah berminggu-minggu tidak sadarkan diri dikelilingi
keranjang buah namun tidak ada cokelat.
Akar transformasi ini suatu
entitas yang sampai sekarang asing bagiku, disebut juga sebagai Kuasa Adiluhur.
Agaknya Kuasa Adiluhur ini gembongnya Cedars, dalam membujuk pengidap neurotik
kaya raya agar melepaskan sifat-sifat buruknya serta mengambil bagian dalam
aneka beban hidup. Sementara urusan berhenti-minum-minum dan mengakhiri
berbagai persoalan agaknya telah berlalu, Bunda menjadi amat terkesan pada
gagasan mengenai kewajiban serta memberikan sumbangsih. Bahkan pada waktu itu
aku sudah memperkirakan bahwa perubahan Bunda sama sekali tidak mendatangkan
harapan baik bagi diriku begitu pula upayaku untuk menghidupkan kembali gaya
hidup pria sejati di pedalaman.
Begitu aku tiba di rumah hari
itu, rasanya gegabah mengira bahwa aku akan sanggup menghindari Bunda. Itu akan
jauh lebih mudah dilakukan dengan Bunda yang lama, Bunda yang tetap di tempat
tidur hingga pukul dua atau tiga sore kemudian mengekang diri di kursi ruang
duduk bersama sebotol gin. Dengan Bunda yang baru, rasanya nyaris mustahil. Aku
baru pulang saat jam makan siang dan sudah bersikap awas saja agar terhindar
dari dirinya. Ia tampak memiliki cadangan energi baru lagi tak terhingga. Ia
ada di mana-mana. Ia imanen. Ke mana pun menuju, ia ada di situ lebih dulu,
sambil membawa-bawa sekaleng pelitur mebel, atau buku berisi contoh-contoh
karpet, atau map berjilid cincin merah yang tampak seram berlabel “Proyek”.
Pada jam minum teh aku lelah sekali. Dan sekarang aku berada dalam
cengkamannya.
“Sudah larut malam, ya?”
ucapnya, seraya menjangkau sherry di
belakangku. “Aku sangat bangga pada
gadis-gadis itu. Tidakkah kamu juga sangat
bangga pada mereka?”
“Senang melihat Bel berpentas
lagi,” sahutku. “Akhir-akhir ini ia belum bersandiwara lagi.”
“Oh iya, dikelilingi para preman hebat itu, aku
hampir-hampir terbawa oleh suasana—pertunjukan tadi bisa dianggap seperti
perjalanan ke Neraka, ya kan?”
“Mmm,” dengan murung aku
menyetujui.
“Dan Mirela—bakatnya itu,
Charles! Penampilannya! Gadis itu akan sukses. Setidaknya …” nalarnya sampai
juga, “kalau saja ia bisa memperbaiki—gerakannya lambat sekali ….”
“Sepertinya ia tidak akan
pernah menari gaya Kirov[7].”
“Biarpun begitu, suara benda
itu hampir tidak terdengar, ya kan? Juga sangat cantik dan eksotis!” Ia mengisi
gelasnya. “Setidak-tidaknya, dengan adanya persaingan Bel akan menemukan jati
diri sekiranya ia menujukan perhatian pada Harry. Pemuda yang sangat memesona.”
Aku meneguk minumanku
cepat-cepat lantas menyeka mulut dengan punggung tangan. “Enggak begitu
memesona buatku,” gumamku mengingkari. “Enggak kelihatan Kurang Mampu juga.
Enggak dua-duanya.”
“Charles,” tukas Bunda, lantas berpaling ke belakang kalau-kalau ada
yang mendengar. “Semua itu akan ditangani selekasnya. Sekarang yang penting
segalanya dapat difungsikan. Bila itu sudah beres, setelahnya boleh kita teliti
secara terperinci siapa yang Kurang Mampu dan siapa yang tidak. Lagi pula
sejauh ini acaranya sukses luar biasa. Luar
biasa.” Ia memutar-mutar cincin di jarinya sementara menoleh pada para
tamu. “Sehingga persoalannya tinggal dengan dirimu.”
“Aku?”
“Ya, apa yang mesti diperbuat
dengan dirimu, Charles?”
Aku mulai merasakan gatal
pertanda buruk di sekitar hidung. “Oh, aku sih enggak harus mengkhawatirkan
diriku,” cetusku, seraya menakar kira-kira satu dram[8]
brendi lagi dari botol. “Bunda tahu kan aku, senang-senang saja cuma
berkeluyuran, menonton film asing, sesekali minum anggur—“
“Sssh,” tukasnya. “Ada lautan
perubahan dalam mengurus rumah ini sejak kamu mangkir sejenak, Charles. Dan
perubahan itu sudah lama melampaui batas waktunya. Keluarga kita sudah terlalu
lama mendiami pulau fantasi, hidup melampaui kesanggupan kita, dan melalaikan
tanggung jawab. Kalian anak-anak menjadi terabaikan. Sebagai ibu kalian, aku
mesti turut menanggung kesalahan.”
“Kurasa Bunda agak menekan
diri sendiri—“
“Syukurlah, dengan proyek
baru ini akhirnya Bel menggunakan energinya untuk suatu tujuan yang positif.
Mesti kuakui bahwa ini sebagian besar berkat Mirela, yang memberi pengaruh
lebih baik bagi Bel ketimbang, mungkin, ayahnya atau aku sendiri selama
beberapa tahun ini. Akan tetapi, kamu rupanya sangat degil.” Bunda
menggeleng-geleng. “Saat aku melihat betapa gadis itu telah berhasil menghadapi
kemalangan dengan meluangkan waktu mengurus rumah ini sehingga ibunya tersayang
dapat berbangga hati, dan kemudian aku melihatmu—“
“Aku meluangkan waktu
mengurus rumah, Bunda, jangan enggak berperasaan begitu ah—“
“Berbaring di sofa seharian
bukanlah mengurus rumah, Charles.”
“Aku tuh sakit,” sangkaku. “Orang sakit ya mestinya berbaring.”
Jarinya membungkamku. “Setan
itu temannya orang malas. Sejak kamu putus kuliah di Trinity kamu hidup tanpa
mimpi dan ambisi, bahkan kamu pun tidak terlihat risau akan masa depan. Di
samping lesu, belakangan ini kelakarmu semakin menggila saja. Tuhan tahu aku
senang-senang saja memandangi bagian belakang Folly edan kepunyaanmu itu,
tetapi pembangunannya sudah sampai taraf di mana kemalasan kronismu
mempertaruhkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah.”
Gelenyar itu sudah menjalar
hingga dahi dan seluruh kulit kepalaku. “Mau Bunda apa sih?” sahutku lemah.
“Kamu sudah kelamaan hidup
senang,” tandas Bunda. “Sekarang sudah waktunya kamu mencari kerja.”
Kerja!
[1] “… pronounced love like laugh
…”
[2] Pecan plait, kue khas Denmark berbentuk jalinan dibubuhi kismis
[3] Steven Berkoff (l. 1937), aktor,
dramawan, sutradara teater asal Inggris
[4] Antonin Artaud (1896 – 1948),
dramawan, sutradara teater, penyair, aktor, seniman, esais asal Perancis
[5] Daging yang dihaluskan dan
dibumbui, bisa untuk olesan roti
[6] Dewi dalam mitologi Nordik
[7] Salah satu perusahaan balet
paling terkemuka di Rusia
[8] 1/8 ons