Inilah dia. Inilah rasa
terima kasih yang kuterima karena berusaha menyelamatkan serpihan martabat
keluarga. Nasibku telah diputuskan sementara aku terbaring koma di ranjang
rumah sakit. Kerja! Dinding-dinding ruang resital menyerbuku. Kerja!
Tentu saja aku menentang. Aku
menyoroti betapa ironisnya menyuruhku, darah dagingnya sendiri, pergi bekerja
di pabrik stoples sementara ia mengundang gerombolan aktor pengangguran agar
tinggal di sini tanpa berbuat apa-apa. Aku menuding Bel yang tidak disuruh
mencari kerja, padahal dialah yang selalu cerewet soal betapa bencinya ia pada
tempat ini dan betapa inginnya ia bergesekkan bahu dengan rakyat jelata.
Kupungkas dengan pidato menghasut yang intinya Bunda sedang menyuruhku
menggantang asap, sebab sekalipun ia telah mengakui bahwa aku sama sekali tidak
punya mimpi maupun ambisi, maka menempatkanku di dunia kerja hanya akan
membuang waktu berharga milik orang lain. Bunda mendengarkan dengan raut
dingin, seakan-akan perkataanku justru seperti yang telah diperkirakannya.
“Cinta Tegas,” ucapnya.
“Begitulah sebutannya di Cedars. Menolongmu supaya menolong diri sendiri. Kamu
akan berterima kasih pada Bunda suatu saat.”
“Enggak bakal,” tukasku.
“Kamu akan berterima kasih
pada Bunda. Hidup itu komoditas penting, Charles. Ini waktunya kamu mencapai
potensimu seutuhnya dan belajar nilai sejati dari berbagai hal.”
“Omongan Bunda kayak pemuja
Stalin!” seruku. “Orang tuh bekerja bukan
untuk mencapai berbagai hal dan
belajar nilai-nilai! Mereka bekerja
karena harus, lantas mereka
menggunakan berapa pun uang yang tersisa untuk membelikan diri mereka
barang-barang yang dapat mengurangi perasaan buruk mereka karena harus bekerja!
Bunda enggak mengerti apa, itu tuh lingkaran setan!” Terhenti aku
mencakar-cakar perban. Gatalnya sudah menguasai seluruh kepala. Rasanya semakin
menggila. Digaruk pun tidak ada gunanya. Dengan anteng Bunda mengalihkan
perhatian ke ruangan, pada pemabuk berwajah kemerah-merahan yang telah
disingkirkan dari kediamannya di atas tutup piano lantas dengan jenaka ada yang
memainkan musik pengiring upacara pemakaman. “Keparat,” tandasku maysgul,
“keparat, sekiranya Bunda pernah bekerja sehari saja, Bunda enggak bakal menganggapnya
sebagai penghiburan—“ serta-merta aku terdiam sementara Bunda menjadi kaku dan
memucat seputih alabaster[1]. “Bunda bekerja
untuk amal, tentu saja,” cepat-cepat aku berucap, lantas, melihat adanya
harapan, “eh, mungkin, aku bisa
melakukan kerja amal.” Sepertinya tidak begitu sulit kan: pesta-pesta makan
siang, cicip-cicip anggur, pelelangan selebriti, tidak satu pun yang terasa
kelewat sulit bagiku—Gelas di tangan Bunda bergetar. “Atau—bagaimana dengan
kebun anggur? Aku bisa menciptakan anggurku sendiri, di, tahu kan, di kebun
kita, lalu menjualnya—“
“Aku senang kita bisa
bercakap-cakap, Charles,” Bunda menyahut dingin. “Aku hanya berharap sudah
sedari dulu kita memperbincangkan ini. Mulai minggu depan tunjanganmu
dihentikan. Tampaknya begitulah cara terbaik mengatasi ini. Besok aku akan
bicara pada Geoffrey.”
“Baiklah kalau begitu!”
Kulontar kedua tanganku ke atas. “Maksudku kurasa akulah satu-satunya orang yang peduli pada tempat ini. Kurasa
akulah satu-satunya yang menjaga kelangsungan rumah ini selama Bunda pergi,
akulah satu-satunya yang memberi tahu Mbok P pekerjaannya, dan memberi makan
merak-merak, dan mengubur mereka bila ada yang mati. Tetapi kalau orang-orang
mengira aku ini cuma semacam benalu …”
“Tidak perlu teriak-teriak,
Charles.”
“Aku enggak teriak-teriak!”
seruku. Bangun ruangan itu dengan sendirinya berubah bentuk menjadi teramat
janggal. Di balik bahu Bunda kulihat Harry. Cahaya lampu jatuh padanya
sedemikian rupa sehingga tampak terpancar dari dirinya. Ia matahari berjas
kampungan lagi berambut kepang, bersama Bel dan Mirela masing-masing di sisinya
bagaikan rembulan indah yang tertawa-tawa. Kalau begitu aku jadi apanya,
tanyaku tak keruan? Serpihan belaka? Asteroid, yang dibiarkan merana sendiri
dalam dingin dan gelapnya jangkauan luar angkasa? Lantas, dari balik bahu Bunda
yang satunya lagi, mataku jatuh pada Frank yang memberi salut padaku dengan
kaleng birnya—“Keparat, jika cuma itu yang dipikirkan orang-orang, kenapa
tanggung-tanggung dan enggak langsung saja mengusirku mumpung sempat! Malah,
kenapa juga aku merepotkanmu, dan bukannya mengusir diriku sendiri! Sebab, sebab aku kemari bukan untuk dihina-hina!”
“Tidak ada yang
menghinakanmu, Charles. Kalau kamu bahkan tidak sanggup berbicara dengan tenang
dan rasional—“
“Aku betul-betul tenang! Nah
kalau boleh permisi, aku hendak naik ke lantai atas dengan tenang, dan mengepak
koperku dengan rasional—“
Tanpa sepatah kata pun Bunda
melangkah pergi. Aku berderap ke pintu diiringi debar jantung yang menggila.
Tangga di lorong tampak semakin dekat dan besar, dimahkotai puncak-puncak
menara serta bayang-bayang seperti dalam film Ekspresionistik Jerman. “Benalu!”
bisikku sembari mendaki anak tangga. “Benalu!” Benar-benar keterlaluan. Setelah
segalanya yang kuperbuat demi rumah ini, dituduh lesu, serta mengidap
“kemalasan kronis”—serta tidak peduli,
padahal seluruhnya yang kuperbuat itu kepedulian!
Aku sangat terluka. Selain
itu kiranya pengaruh semua minuman tadi akhirnya menyusul pereda sakit dan
melawan satu sama lain di otakku. Meski begitu, sewaktu aku mengepak koper,
sewaktu aku kembali menuruni tangga, sewaktu aku mengeluarkan mantel dari
lemari dan menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang diperlukan untuk
berdiri di situ menyeka debu khayalan dari kelepak, sekiranya ada orang yang
menyusulku untuk menentang—untuk mengatakan, Charles, tidak bisakah kita membicarakan ini? atau Jangan sungkan-sungkan, buyung, ayo minum
dulu—aku yakin akan menjatuhkan tasku dan menertawakan segalanya. Aku
bahkan kembali ke ruang resital, kalau-kalau ada yang bermaksud untuk
menghampiriku namun tertahan. Aku berdiri di sisi pintu mengamati mereka, yang
sedang mengobrol, tertawa, serta berkeliling di seputar ruangan bak asap
berwarna-warni, dan tak seorang pun mendekati.
Sekali waktu, bertahun-tahun
lalu—usiaku mestilah sekitar sepuluh tahun—aku menyusup ke pesta orang tuaku. Seperti biasa, sewaktu menidurkanku Bunda memberikan isyarat mengenai hal-hal mengerikan yang
akan menimpaku jika aku berkeliaran ke luar kamar. Tetapi aku tidak tahan lagi
untuk mengetahui yang terjadi di bawah sana, jadi tidak lama setelah pukul
sebelas, aku mengendap-endap kembali ke lantai bawah. Kebetulan aku berpapasan
dengan Ayah. Kukira ia bakal marah, namun suasana hatinya sedang riang. Ia
berkata bahwa kalau aku penasaran aku boleh bergadang sebentar saja, asalkan
aku duduk diam di pojok dan jangan sampai Bunda melihatku.
Awalnya sungguh menarik
sampai aku kewalahan. Ruangan dansa serupa rimba yang sarat akan kain-kain
mahal, pengap oleh uap campuran berbagai parfum yang menjanjikan segala macam
hal yang tidak kumengerti. Walau ruangannya gelap, ada cahaya ke mana pun kau
melihat: mengenai talam-talam yang menyajikan entah makanan apa saja, membias
menembus gelas-gelas berisi Shiraz[2] dan Sauvignon[3] yang
berkelip-kelip, mengilat pada kalung, cincin, dan tiara—sehingga bila kau
memejamkan separuh mata terlihat seolah-olah ada banyak kunang-kunang. Dan
riuhnya! Siapa menyangka satu ruangan penuh oleh orang dewasa yang beromong
kosong dapat begitu menggemuruh?
Namun yang paling luar biasa
adalah gadis-gadis kurus yang berdiri pada titik-titik tertentu di antara
tamu-tamu yang berkeliling. Mereka menjulang di atas kepala orang-orang lainnya
bak patung di taman. Mereka tampak sangat jemu dan tidak sekali pun bicara.
Mereka itu para peragawatinya Ayah, yang berada di sini untuk memamerkan apa
pun koleksi komestik anyar yang tengah diluncurkan. Mereka tidak boleh
mengobrol, bisa-bisa mengurangi kesan yang hendak ditampilkan. Ayah menyebut mereka
kanvasnya. Idenya yaitu tamu-tamu dapat berjeda selagi beranjak ke obrolan
selanjutnya dan mengamati gadis-gadis tersebut.
Aku biasa melihat mereka pada
hari-hari menjelang pesta semacam ini, selagi berjeda saat menuruni tangga dari
ruang studi Ayah. Gadis-gadis ini tampaknya tidak jauh lebih tua dari padaku.
Sebagian dari mereka bersikap ramah. Mereka berasal dari berbagai tempat, walau
kebanyakan tinggal di Paris, di mana mereka bekerja dengan lab. Namun malam itu
mereka telah menjelma sesuatu yang sama sekali bukan manusia. Ada tanda-tanda
kiamat pada diri mereka yang terasa nyaris menakutkan, seakan-akan mereka
lekang dari waktu, atau seakan-akan mereka semua sama seutuh-utuhnya, tanpa
darah ataupun usus. Mata mereka menatapmu dan menembusmu. Mereka bergeming
dengan tungkai membentuk posisi arabesque[4], menyala-nyala
tanpa suara bagaikan lampu anglepoise[5] cantik tak
ternilai dari dunia lain.
Sesekali tidak sengaja orang
menyasar ke pojok tempatku duduk—para modiste ceking berambut cepak, atau para
pria seram berpenampilan sensual dengan setelan beledu dan rambut berpomade,
yang mengisap rokok beraroma tajam dan boleh jadi, kalau dipikir-pikir lagi
sekarang, mereka itu wanita. “Oh,” ucap mereka, begitu berhadapan dengan
tatapan-bocah-sepuluh-tahun-ku, “halo.” Lantas, seraya merenggut tempat rokok
mereka yang terbuat dari gading atau megap-megap gelisah serupa ikan mas,
mereka terburu-buru kembali ke arah semula.
Tetapi ke mana mereka mau
pergi, aku mulai penasaran, apa yang mereka tuju? Singkatnya, kapan acaranya mulai? Baru lama kemudian aku sadar
bahwa keliling-keliling sambil mengobrol inilah inti acara malam itu. Aku
sangat kecewa. Saat wanita-wanita tua bertaburkan permata menghampiri hendak
menepuk kepalaku aku tidak lagi repot-repot menyuguhkan senyum bocah pramuka
terbaikku, sebab aku tahu tidak seorang pun dari mereka akan mengatakan,
“Charles, sekarang waktunya bermain trampolin, dan kami ingin kamulah yang
mendapat giliran pertama melonjak-lonjak,” atau “Charles, kami mengadakan pesta
membosankan ini untuk menjebak seorang mata-mata, sekarang kami memerlukan
orang yang tidak mencolok, misalnya saja bocah, untuk menemukan dia.”
Bahkan hal-hal yang kukuping
dari obrolan mereka pun tidak ada yang menarik. Yang laki-laki berceloteh
tentang persentil, usaha si bangsat anu yang tidak akan berhasil, atau
permainan rugbi yang mereka tonton baru-baru ini. Sementara itu yang perempuan
wira-wiri melulu tentang pensil penyamar noda baru dari Yves St Laurent, soal trompe l’oeil[6] ajaib yang
dapat memantulkan cahaya dari keriput, atau sesuatunya. “Ayahmu genius,” kata
mereka padaku. “Bagaimana kabarnya Yves?” mereka menanyai Ayah.
“Biasa. Bermuram durja,” ucap
Ayah disertai desahan pelan. Kemudian dari pintu Perancis jauh di seberang
ruangan ada suara menjerit, “Anggur Beaujolais[7]-nya
sudah datang!” Semua orang pun bergolak maju, meninggalkanku bersama Ayah
memandangi punggung mereka.
“Jadi?” ucapnya padaku.
“Sudah dapat pelajarannya?”
“Apa?” sahutku. “Maksudku,
maaf?”
“Kamu tidak terlihat
bersenang-senang.”
“Yah,” aku tidak mau melukai
perasaannya jadi aku pun berusaha memilih kata, “kelihatannya ini bukan pesta
yang seru.”
“Enggak seru, kan ya?”
“Enggak ada kue,” aku
mengamat-amati. “Bahkan enggak ada kursi.
Dan enggak ada yang bawa hadiah.”
“Menurut Ayah sih, lebih enak
tidur saja.”
“Ayah … mereka memangnya mau apa sih?”
Terdengar gelak tawa Ayah
yang biasa dikeluhkan Bunda. “Pertanyaan bagus, buyung. Pertanyaan yang sangat
bagus. Mereka memangnya mau apa?” Ia
meneguk anggurnya. “Di sini kamu menyaksikan ruangan yang penuh oleh orang-orang
teramat penting. Dan yang paling disukai orang-orang teramat penting lebih dari
apa pun di dunia ini yaitu diperlakukan sebagai orang penting. Jadi yang mereka
lakukan, mereka datang ke pesta-pesta seperti ini di mana mereka dapat berjumpa
orang-orang penting lainnya dan bercakap-cakap penting mengenai hal-hal penting
dan mereka semua pun dapat bersama-sama merasa penting, mengerti? Apakah mereka
bersenang-senang? Entahlah. Kurasa mereka
pun tidak lebih tahu. Mereka jadi agak menyerupai merak-merak di pekarangan itu,
apakah menurutmu mereka bersenang-senang?
“Aku tidak tahu,” gumamku.
“Tentu saja tidak, mereka
berpawai keliling-keliling, memamerkan bulunya pada satu sama lain, apa
menyenangkannya itu?” Ayah tengadah dan menandaskan isi gelasnya, lantas
berdiri dan memberengut, menghimpun pemikirannya. “Begini, soalnya, Charles,
soalnya, kawan, walau mereka memberitahumu di sekolah—dan penting sekali
memerhatikan pelajaran di sekolah, dan menerapkannya sendiri, dan belajar
sebanyak mungkin semampumu, dengar?”
“Ya, Ayah. Kecuali sekarang
lagi libur.”
“Yah tentu saja, ya, sobat …
sampai di mana aku tadi? Oh ya—soalnya dunia ini tidaklah seperti kolam renang,
mengerti, di mana semua orang berkecipak dalam air yang sama, mengerti kan,
dengan berpakaian. Kelihatannya mungkin seperti itu, tetapi kenyataannya—kenyataannya,” ia mengangkat jari untuk
menekankan, gerakan yang serta-merta itu nyaris menggoyahkannya, “ada kolam
renang yang lain yang kecil mungil,
dan orang-orang di dalam situlah yang
menentukan …” Ia mengejapkan matanya perlahan-lahan. “Itu seperti—siapa nama
orang di Flash Gordon itu,
penjahatnya?”
“Ming yang Tak Kenal Ampun?”
“Ya, dia. Jadi, ambillah
orang-orang di ruangan ini. Mereka mungkin kelihatannya tidak lebih daripada
gerombolan orang tua kolot, tetapi jika kamu menggabungkan mereka bersama-sama,
jadinya pun persis seperti yang diperbuat Ming di … apalah nama planet tempat
tinggalnya itu.”
“Mongo.”
“Benar, Mongo. Jadi seperti
yang Ayah katakan, walau acaranya mungkin terlihat
seperti pesta, di mana kamu bisa sedikit bersenang-senang, ini sebenarnya lebih
seperti kerja, karena di sinilah semua orang dari kolam renang kecil membuat
perjanjian dan keputusan. Jadi penting sekali kita bersikap ramah pada mereka,
yang baik dan sopan, serta membiarkan mereka memakan semua makanan kita. Tentu
saja wanita seperti ibumu sudah luwes melakukannya. Tumbuh di tempat seperti
ini, bersama orang-orang penting, berkecipak ke sana kemari ….”
Tidak pernah kudengar Ayah
bicara begitu sebelumnya. Rasanya agak seperti ketika kau dibiarkan oleh pengasuhmu bergadang menonton film horor—kelewat ganjil dan mengerikan untuk
betul-betul dinikmati, namun sekaligus merupakan kesempatan langka, sehingga
kau pun diam saja dan tidak menarik perhatian. Suara Ayah terdengar keras lagi
terengah-engah, namun entah bagaimana ucapannya menjadi kian sayup, sementara
wajahnya mulai mengendur. “Berkecipak ke sana kemari … memetik angan-angan dari
alam khayali yang menyuguhkan Beaujolais
beserta keju menjijikkan itu lalu membuangnya pada orang yang kelihatannya
tidak mencurigakan …. Istri-istri mendatangiku supaya mendapat kosmetik gratis,
harus memanggil Lazarus[8] sialan
berikutnya yang mengantre, ha ha ….”
“Ayah?” sambil menarik-narik
tangannya.
Ia menunduk. Kerah kemeja putihnya
tampak terlalu ketat di bawah wajah merahnya yang terkejut.
“Bagaimana brioche[9]-nya?” ia
bertanya.
“Enak-enak saja,” sahutku,
sambil mengunyah cepat-cepat sepotong roti tersebut sebab seketika itu juga aku
menyadari bahwa aku ingin menangis.
“Kateringnya harus ditembak
nih.” Ia tertawa lagi, dan alisnya tidak lagi berkerut-merut. “Menonton
pertandingan tenis hari ini? Si Lendl? Ia luar biasa, ya?”
“Iya, tetapi Boris Becker
akan mengalahkan dia.”
“Boris Becker, dengar,
anakku, ketika ada orang Jerman berambut merah—orang Jerman berambut merah, itu
saja sudah keliru—ketika ada remaja Jerman berambut merah memenangkan
Wimbledon, aku akan memakan topiku sendiri[10]. Mana bisa
orang-orang Jerman bermain di lapangan berumput. Mereka itu terlalu analitis.
Rumput itu medannya seniman. Pancho Gonzales, pernah melihat permainannya? Nah
ini orangnya. Enak ditonton. Begitulah maksudnya. Atau ambillah kriket. Siapa
peboling[11]
terhebat sepanjang masa?”
“Entahlah. Underwood?”
“Bisa jadi, bagi mata yang
belum terlatih, tetapi kalau kamu ingin tahu ahlinya yang sejati, kamu perlu
mengingat Rhodes[12].
Ia telah menaklukkan empat ribu gawang, dan gaya putarannya luar biasa, ia—yah,
akan kuperlihatkan padamu, ayo.” Sambil menggandeng tanganku, ia menggiringku
keluar ruangan dan menyusuri lorong. ‘Yang
keliru dari wujud-wujud menyimpang ialah kekeliruan yang terlalu besar untuk
dinyatakan[13]’,
tahu siapa yang mengatakan itu?”
“Yeats?”
“Anak pintar.” Ia terkesan.
Seraya membuka pintu depan, “Bangsat, lagi hujan—yah, kita keluar sebentar
saja, kamu pakai sepatu kan?”
Sambil kebingungan, aku
mengikuti Ayah menuruni undakan menuju pekarangan depan lalu menggigil di
bawah gerimis larut malam sementara ia berlarian mengumpulkan dua botol anggur
untuk gawang beserta cakram terbangnya. Lantas ia melompat-lompat kembali ke
rumah untuk mengambil tongkat pemukul dan bola. “Ini garisnya, ya?” Tumitnya
mengorek-ngorek rumput dan menggarutkan tanda berlumpur. “Kamu dulu yang
memukul. Nah beginilah orang bilang cara Rhodes tua melakukannya—“
Ia menggantung jasnya pada
kaca samping mobil orang lain, lalu mulai melompat-lompat canggung beberapa
lama. Lengan bajunya terangkat ke atas pergelangan tangan sementara lengannya
melengkung membentuk busur dan terbanglah bola itu dari tangannya. Kugusah
keletihan serta kejanggalan akan pemandangan ini dari mataku lantas menghela
tongkat pemukul secara hati-hati ke bagian depan betis seiring dengan
mewujudnya bola itu di hadapanku—
“Mantap!” Ayah bertepuk
tangan, seraya berlari-lari kecil ke arahku. “Bagus sekali. Nah sekarang
giliranmu.”
Aku menyelamatkan bola dari
semak-semak dan baru hendak memulai persiapan melempar saat muncul siluet di
ambang pintu menanyakan tentang apa, persisnya, yang kami pikir sedang kami
lakukan.
“Kami sedang mengadakan
diskusi filosofis yang sangat penting,” ujar Ayah, seraya menggerak-gerakkan
tongkat pemukulnya di tanah. “Kami sedang memperbaiki ketidakadilan.”
“Apakah berlebihan memintamu
untuk melakukannya di dalam saja?” Bunda menyahut amat dingin.
“Sebentar lagi.”
Bunda menurunkan lengan dari
ambang pintu lalu melipatnya di depan dada rapat-rapat. “Orang-orang pada
menanyakan keberadaanmu,” ucapnya, lalu, “tamumu
akan merasa sepi.”
“Ayo, Charles, mari lihat
kemampuanmu.” Ayah memberiku isyarat supaya melempar. Dengan patuh aku pun mulai
menggerakkan bola.
“Kita tidak mau kan dia jadi cemberut, dan membahayakan kariernya
yang menguntungkan,” ujar Bunda dari ambang pintu dengan suara menjemukan yang
tidak enak didengar. “Bagaimana pertanggunganmu nanti?”
“Kristus!” Ayah berbalik dan meraung, dasi kupu-kupunya mencong,
“Aku bilang sebentar lagi, kan, kamu tidak lihat aku bersama bocah sialan ini—“
Bunda melangkahkan kaki
kanannya ke anak tangga berikut dan berseru, “Kamu bahkan tidak bisa
melakukannya dengan benar, kan? Kamu tidak bicara padanya sampai
berminggu-minggu lantas kamu biarkan dia terjaga hingga tengah malam karena
mendadak kamu merasa kebapakan—“ Bunda
menarik diri sementara Ayah melemparkan tongkat pemukul ke arahnya. Tongkat itu
bergerantang di bebatuan kerikil dan terlincir ke bawah mobil. Bunda berbalik,
lantas merentak kembali ke dalam sambil membanting pintu. Kuambil lagi tongkat
tersebut dan menunggu. Ayah berdiri di bawah pohon sambil mengusap-usap
pelipisnya.
“Ayah, mau aku lempar
bolanya?”
“Maaf, apa?”
“Ayah siap, atau--?"
“Begini, sekarang sudah
malam, buyung. Ibumu benar, ini waktunya kamu tidur.” Ia mendesah seraya
berjalan gontai ke arahku. Ia menepuk kepalaku dan berpaling memandangi teluk.
Ia menggerincingkan kunci-kunci di sakunya, berdeham, dan setelah beberapa lama
lagi kami memandangi teluk ia berkata, “Soalnya, Charles, hidup itu sering kali
seperti kriket. Gawangnya … bukan, jadi, dengar, bagaimanapun juga, itu … hidup
itu pekerjaan kotor, boleh jadi pekerjaan kotor ….” Napas Ayah hampir-hampir
merubuhkanku. “Yang kuhendaki bagimu dan adikmu, bagimu dan Christabel … Aku
tidak ingin kalian sampai harus mengais-ngais … taik, kamu mengerti?”
Tidak pernah ia berkata kasar
di hadapan kami. Jantungku berdentam gelisah. “Ya, Ayah.”
“’Wujud-wujud menyimpang’, ingat itu. Dunia sarat akan wujud-wujud
menyimpang. Meski begitu, sebagian dari mereka terlihat cukup baik
penampakannya. Sebagian sangatlah menawan. Jadi kamu tidak bisa mendengarkan
semua orang. Dan yang harus kamu lakukan, yaitu … yang harus kamu lakukan ….” Ia
terkelu, tampaknya putus sudah yang hendak dikatakannya. Ia berpaling dari
diriku dan terseret-seret kembali menuju rumah, dengan mengetatkan rahangnya,
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Maka aku pun tidak pernah tahu apa gerangan
itu yang harus kulakukan. Aku hanya bisa menerka-nerka sebaik mungkin. Dan
seraya menutup pintu resital sepelan mungkin dua puluhan tahun kemudian, mesti
kuakui pada diriku sendiri bahwa sangat mungkin aku telah keliru memahaminya.
Salah seorang teman aktor Bel
telah mengisi piano dan tengah mendentingkan kesenduan “Somewhere Over the
Rainbow” sementara aku berlanjut menyusuri lorong sambil menjinjing koper.
Suara nyanyian masuk pada bagian-bagian yang mereka hafal: “There’s a land that I dreamed of ….”—“Ada suatu negeri yang kuimpikan ….” Aku
berjalan di sisi ornamen kaca bergambar Actaeon yang terbentang hingga pintu,
lalu memandang kerajaanku yang hilang melalui gerimis tipis: pepohonan yang
sepi ditinggalkan burung-burung, serta jeruji besi terpilin di mana Folly dulu
berada.
Akankah Angin Puyuh yang
telah merampas hidup kami tidak lagi menurunkan kami di Kansas, dalam nuansa
lawas hitam putih nan nyaman? Atau tidak bisakah dirimu kembali kapan saja ke
rumah? Apakah itu cuma berlaku dalam dongeng, apakah dunia nyata yang amat
menggugah semua orang justru merupakan warna-warni cemerlang, yang kelewat
mencolok ini, desakan tak berperikemanusiaan, yang tanpa belas kasihan ini?
“Birds
fly over the rainbow,”—“Burung-burung
terbang melintasi pelangi,”—suara nyanyian merembes ke luar, “why then, oh why can’t I?”—“maka mengapa, oh mengapa aku tidak bisa?”
Mati rasa aku menuruni
serambi. Aku melewati van milik Frank terparkir di antara mobil-mobil Saab dan
Jaguar. Sepintas lalu aku bertanya-tanya sekiranya akan menjumpai dirinya lagi.
Lalu, sambil mencomot kudapan remuk dari sakuku, aku mengambil langkah awal
kehidupanku yang suram disarati hujan, jauh dari Amaurot.
[1] Batu pualam putih
[2] Jenis anggur merah
[3] Jenis anggur putih dari
California
[4] Sebelah tungkai berdiri
sementara tungkai lainnya menjulur ke belakang
[5] Lampu meja yang kakinya bisa
ditekuk
[6] Berasal dari ungkapan Perancis;
teknik lukisan yang dapat menimbulkan ilusi optis dan menipu persepsi otak
secara visual
[7] Salah satu daerah penghasil
anggur di Perancis
[8] Orang yang dibangkitkan Yesus
dari kematian
[9] Roti perancis dengan kandungan
telur dan mentega yang tinggi
[10] Ungkapan Inggris yang menyatakan
keyakinan bahwa sesuatu tidak akan terjadi
[12] Wilfred Rhodes (29 Oktober 1877
– 8 Juli 1973)
[13] “The Wrong of unshapely things
is a wrong too great to be told”—dari “The Rose in the Deeps of His Heart”