Aku tidak suka memberi makan burung, tapi
kalau bagimu itu wajib, sebaiknya kau melakukannya di Taman Frederiksberg. Di
sana ada bangau-bangau yang jinak, dan dengan menata bangku-bangku taman pada
jarak tertentu antar satu sama lain, pengelola taman berharap dapat
menghindarkan datangnya terlalu banyak burung sekaligus ke satu area. Ada
beberapa masalah di ujung taman yang merupakan tempat berkumpulnya para
alkoholik, terlebih lagi dengan adanya bebek-bebek, tapi aku tidak pernah ke
sebelah sana, sementara bangaunya bisa kau lihat di mana-mana. Tentang
bangaunya sendiri, bisa dibilang hanya dari kejauhan saja binatang itu terlihat
menarik, tapi ternyata tidak seperti itu jadinya begitu didekati. Bangaunya
terlalu kurus, dan terlebih lagi yang jinak-jinak tampaknya kekurangan gizi.
Kemungkinan besar roti yang diberikan pada bangau-bangau di Taman Frederiksberg
itu membuat sakit perut sehingga akibatnya mereka tidak kuat terbang. Pada
musim dingin yang lalu aku melihat ada salah seekor yang sedang membungkuk di
balik sebuah bangku. Lehernya panjang dan kurus. Kakinya putih dan hampir tidak
bereaksi sedikitpun sewaktu aku lewat. Cara angin mengibarkan bulu-bulu di
lehernya membuatku ingin kembali dan duduk di sampingnya. Begitulah cara
penderitaan ditarik-ulur berlarut-larut, cara yang membuat bangau-bangau itu
tidak pernah benar-benar mengerahkan gairah. Tapi aku tidak akan menyentuh
burung, hidup ataupun mati. Sebaiknya kita tidak bermain-main dengannya, dan
kalau kau mau bermain-main dengannya, kau sebaiknya berhati-hati supaya tidak
menyentuh orang dengan tanganmu yang telah terinfeksi. Kalau ada burung yang
mati kau harus memastikan supaya tidak bersentuhan baik dengan binatang itu
ataupun dengan kotorannya. Gunakan sarung tangan sekali pakai, dan burungnya
harus diambil dengan kantong plastik, seperti memungut kotoran anjing. Kantong
itu harus disegel dan dibuang bersama sampah rumah tangga kalau tidak dikubur.
Seberapa sulitnyakah itu, dengan segala pengetahuan yang telah kita peroleh?
Untuk menghindari bangau yang banyak
itu, begitu juga orang aneh yang sering berdiri di jalan setapak menuju Pendopo
Pecinan dan memberi makan mereka dengan ikan haring sembari mengaku-aku dapat
berbicara dengan mereka, aku lebih suka berjalan memutar lewat Telaga Damhus.
Apapun yang dikatakan bangau itu di Telaga Damhus menjadi tidak ada artinya. Di
samping itu, bangau-bangau sulit menguasai Telaga Damhus karena berada dekat
pemukiman, jalur pejalan kaki, dan pesepeda. Bisa dilihat dari rongsokan yang
mengotori tepian airnya, telaga itu telah dicemari oleh para pesepeda. Di sana
ada banyak barang yang tidak pada tempatnya, dan di samping sepeda-sepeda
pernah juga ditemukan potongan tubuh perempuan di dalam kopor. Seluruhnya
merupakan tubuh wanita yang dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam kantong es.
Kopor itu ditemukan oleh seseorang yang sedang berjalan-jalan bersama
anjingnya. Atau, agaknya, anjingnya itu yang menemukan. Selazimnya begitu. Selalu
ada banyak anjing di sekitar Telaga Damhus, dan bisa kubayangkan anjing yang
satu ini dengan amat jelasnya sementara aku berjalan menyusuri jalan setapak.
Jenisnya golden retriever dan menjadi
rusuh di depan kopor tersebut, yang telah terdampar separuh timbul ke tepi
telaga. Ada dorongan tersembunyi pada golden
retriever itu untuk berguling-guling di sekitar bangkai, apalagi kalau berupa
burung atau tikus, tapi bagaimana supaya tahu bedanya? Bisa kubayangkan reaksi
pemiliknya begitu kesadaran mendepaknya. Kubayangkan ia mengingat momen ketika
kopor itu dibuka kapanpun ia sedang bersiap-siap untuk bepergian, dan bahkan
bisa jadi anjing itu sendiri tidak seperti yang dulu lagi.
Dengan cepatnya hal-hal menjalar, menyusup
melalui celah-celah. Begitulah adanya, dan aku tahu dari mantan rekan kerjaku
bahwa wanita itu dibunuh dan dipotong-potong di sebuah apartemen di distrik
Vesterbro dan bahwa gadis yang tinggal di lantai bawahnya yang sedang kuliah
ilmu kedokteran hewan pindah tidak lama setelah kejadian itu, biarpun
tetangganya yang tinggal di lantai atas sudah ditahan dan dihukum atas
permbunuhan itu. Siapa yang bisa menyalahkannya? Barangkali ia terus-terusan
memikirkannya setiap kali ia berpapasan dengan lelaki itu di tangga.
Kemungkinan besar ia merasa bangunan itu telah tercemari dan suara sekecil
apapun mengingatkannya pada malam ia mendengar sesuatu tengah naik ke lantai
atas. Namun selalu saja ada yang terjadi pada malam hari, selalu ada bebauan
dan suara-suara: merpati-merpati yang menggersik di atap, makhluk-makhluk yang
bergerak, dan bangau-bangau di Taman Frederiksberg kadang dapat terlihat juga,
tampak seperti gunting besar kelabu melintasi langit Valby. Bangau itu burung
yang kaku saat terbang, dan si Lelaki Bangau di jalan setapak menuju Pendopo
Pecinan akan dapat menyampaikannya dengan baik pada bangau-bangau itu, melihat
dari caranya mengoceh pada mereka.
Walaupun apartemenku berada di Jalan
Frederiksberg, dengan sukarela aku berjalan lebih jauh lewat Telaga Damhus
supaya bisa terbebas dari kerumunan burung, dan mengenai tubuh yang
terpotong-potong itu aku sering berjalan mengitari telaga tanpa pernah
menemukannya sendiri. Sewaktu aku masih anak-anak, aku dan temanku akan berlari
mengelilingi telaga sebab guru kami di SD Vigerslev menyuruh kami melakukannya
saat pelajaran olahraga. Aku masih melihat anak-anak yang terlihat sepertiku
dan sahabatku itu, si anak dokter gigi, Lorenz, berlari mengelilingi telaga.
Kapanpun ada bocah kurus dan jangkung yang lari melintas, kubayangkan Lorenz
yang sedang berpacu supaya sampai lebih dulu. Aku suka berhenti dan tersenyum
sewaktu melihat ada anak-anak yang berlari mengelilingi kolam seperti itu.
Namun setelah mengelilinginya sendiri aku jadi tidak ingin lagi berhenti dan
tersenyum pada siapapun, terutama tidak pada wanita-wanita muda dengan raut
datar yang membawa kereta dorong bayi berukuran besar. Mereka selalu muncul
bergerombol, gerombolan besar ibu-ibu, dan mereka membangkitkan perasaan buruk
pada satu sama lain, jadi tidak satupun dari mereka yang akan melihatmu sekalipun
saat kau berjalan melewati mereka.
Akupun menyisi ke rerumputan, sambil
memikirkan anjing itu, kopor, tubuh yang terpotong-potong, dan betapa si
mahasiswi kedokteran hewan kehilangan sikap angkuhnya semalam-malaman, dan
betapa tidak diperlukannya gelar doktor supaya bisa memiliki anak. Aku pernah
mengenal orang-orang yang putus asa dalam memiliki anak. Yang dibutuhkan tidak
lebih daripada sekadar rangsangan seksual, setidaknya pada si laki-laki, dan
bagaimanapun juga bukan para wanita dengan kereta dorong bayi itu yang
menentukan kemistrinya. Kalaupun ada yang menentukan kemistrinya ialah Tuhan,
tapi barangkali mereka akan membuat Tuhan menyisi juga. Tak seorangpun pada
masa itu meyakini perempuan itu membutuhkan hidup yang kekal, dan bahkan
pikiran untuk memberi jalan pada rombongan yang mendekat pun tidak terasa masuk
akal. Namun ini penting bagiku, dan kadang setelah para ibu itu telah berlalu
aku melihat ke arah mereka dan ingin tahu jadinya apabila mereka membengkak.
Mereka akan mulai mengembang, dan akhirnya saking bengkaknya mereka tidak bisa
lagi terus menggerombol, lalu kubayangkan mereka meledak: cabikan dagingnya
tersangkut di pepohonan dan sepanjang tepian telaga, darah menciprati
angsa-angsa, bebek-bebek, dan burung-burung yang sedang berjalan-jalan di
rerumputan. Ada gersikan di rumput, sejenis suara yang membikin anjing-anjing
ingin bergulingan di tepian telaga. Kudengar gersikan itu, dan kudengar
bayi-bayi itu menjerit dalam kereta dorong mereka. Kubayangkan Lorenz meluncur
melintasi lumpur, berpacu mengelilingi kolam dengan kedua kakinya yang pucat
dan ceking, lama setelah kematiannya, akibat digerogoti dari dalam oleh sel-sel
sakit yang terus membelah, dikremasi dan dikubur dalam tanah, sementara aku
terus berjalan, melalui burung-burung mati dan ibu-ibu mati, menuju
kereta-kereta bayi. Aku mesti hati-hati supaya tidak kehilangan keseimbanganku,
lalu kujulurkan tangan ke salah satu kereta bayi itu, sembari menggenggam
sepotong kue, dan anak di dalamnya memandangku dengan tatapan penuh takjub. Aku
mengambilnya. Aku mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara, dan gerakan itu membuat
dot dan giring-giringnya jatuh ke tanah. Aku tidak bermaksud membahayakannya;
aku hanya ingin mengangkatnya ke udara lalu menaruhnya lagi dan berjalan pulang
menuju Taman Frederiksberg.
Pada musim dingin yang lalu bangau
itu berada di sana. Bertengger dengan janggut tertiup oleh angin sementara
cakarnya yang panjang dan pucat mencengkeram bagian belakang bangku. Tak
sanggup menahan ketakutan, tatapannya letih dan pucat, sembari membaui
kutu-kutu yang hidup di balik bulu-bulunya, dan sebaiknya aku duduk saja di
sampingnya.[]
Dorthe
Nors adalah penulis muda kenamaan dari Denmark. Penghargaan yang telah
diraihnya yaitu Danish Arts Agency’s Three Year Grant (2011) dan P. O. Enquist Literary Prize (2008) untuk buku kumpulan cerpennya, Karate Chops (2008). Cerpen ini diambil dari Karate Chops yang merupakan karya pertamanya yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Martin Aitken dan dipublikasikan di The New Yorker edisi 9 September 2013 dengan judul “The Heron”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar