Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170427

An Evening of Long Goodbyes, Bab 7 (1/2) (Paul Murray, 2003)

“Kamu benar-benar sangat baik sekali.”

“Enggak usah sungkan-sungkan, Charlie.”

“Maksudku, ini cuma untuk sekitar seminggu, sampai aku berhasil menyelesaikan problemku ….”

“Sudah sampai, Charlie.”

“Aha, iya.” Kami berhenti di sebelah luar pintu kayu putih polos. Gugup aku bersenandung sendiri sementara Frank merogoh-rogoh mencari kunci.

“Silakan,” ucap Frank. “Yang tua duluan.”

“Ha ha, terima kasih,” seraya berjalan perlahan-lahan memasuki kegelapan. “Oh. Yah. Bukankah ini …?”

“Ini rada berantakan. Aku belum sempat beres-beres.”

“Enggak kok, enggak, ini sangat—oh ya ampun, rupanya aku menginjak, ah, makan malam seseorang ….”

“Enggak usah khawatir, Charlie, aku enggak bakal makan itu lagi kok.”

“Oh bagus deh. Ini lebih seperti bengkel, kan ya? Eh, apa selalu suram begini?”

“Entar, aku nyalain televisinya.” Ia segera melewatiku lalu menekan tombol pada televisi zaman purba yang bertinggung di pojok. Sesaat kemudian muncul dua perempuan berbikini, sedang saling memukul dengan pentungan busa besar. “Jangan khawatir, nanti juga mata kamu bakal biasa.”

“Ya, ya, tentu ….”

“Suka teh?”

“Terima kasih.” Hati-hati sekali aku menurunkan diriku ke tepi kursi. Bagian dalam kursi itu meluap keluar dari carikan di sisinya. Aku pun duduk sambil mengetatkan kedua belah kakiku dan berusaha supaya tidak menyentuh apa pun. Lantainya kentara lengket dan tampak seperti bergerak bila dilihat dari sudut mata.

“Tehnya mau digimanain?” seru Frank entah dari sebelah mana hutan rombengan belantara yang menjungkat-jungkit ini.

“Tolong dikasih susu saja,” ujarku lemah. Hawanya menusuk, amat menguatkan aroma yang biasa mengitari Frank. Di meja kopi terdapat majalah berjudul Pameran Tetek. Wanita muda pada sampulnya telanjang bulat kecuali yang tertutup oleh buah jeruk. Tertulis, “Melon Greta Boleh Ambil’.

Frank muncul lagi membawa sepasang cangkir. “Nih,” ucapnya, seraya menyerahkan satu cangkir padaku lalu menempatkan miliknya di atas sofa tak berbentuk di depannya. “Jadi,” sambil merentangkan kedua belah lengannya, umpama Kubilai Khan menyambut Marco Polo di Xanadu, “gimana menurut kamu?”

“Nyaman,” aku menggaok. “Nyaman betul.”

“Rumahku istanaku,” ujarnya bersukacita, lantas menghirup tehnya.

“Meski …” aku memulai.

“Yeah?”

“Yah, mesti kukatakan,” ucapku, dengan nada sembarang bergurau supaya tidak terlihat sungkan, “sepertinya ada masalah dengan penjaga pintumu.”

“Penjaga pintu?” ulang Frank.

“Iya, penjaga pintu,” sahutku, sambil berusaha mempertahankan senyumku. “Kamu tahulah, orangnya teledor sekali.”

“Enggak ada penjaga pintu, Charlie, adanya juga gelandangan.”

“Gelandangan?”

“Yeah, dia tinggalnya dalam kardus di tangga situ.”

“Oh,” suaraku mengecil. “Pantas dia enggak pakai topi.”

Timbul jeda. “Penjaga pintu,” Frank terkikih sendiri.

Cahaya berusaha masuk melewati jendela yang sempit, cahaya redup kelabu yang lebih menyerupai remah. Aku merunduk penuh perenungan ke arah tehku, yang mengandung serpihan. Sesaat kemudian hati-hati kuucapkan, “Kuduga itu sebabnya dia lama sekali membawakan tas-tasku ke atas.”

Frank menurunkan cangkirnya, seraya meringis. “Ah, Charlie ….”

“Menurutmu,” aku memberanikan diri, “dia enggak mungkin lupa kan ruangan yang mana—“

Namun Frank sudah melompat dari tempat duduknya dan meluncur cepat menuruni tangga. Aku pun bangkit dan terburu-buru mengejarnya, menyusulnya ke sebelah luar pintu depan. Ia tengah berdiri mengamati kardus dan selimut yang sampai beberapa saat lalu didiami si orang gelandangan/penjaga pintu. “Jancuk,” ucapnya, sambil mengusap-usap dagu.

“Dia sudah enggak ada,” sahutku mubazir. Jalanan kosong kecuali dua anak berwajah bundar yang memandangi kami dari trotoar di seberang. Yang satu berdiri dalam troli supermarket, yang lain mencengkam pegangannya. Keduanya bergeming sama sekali.

“Ayo,” Frank menyodok igaku lalu turun ke jalan. Kami sampai di seberang jalan yang diisi banyak bangunan besar flat dari bata terak. Di situ kami berbelok ke kiri melewati tanah kosong yang disesaki rumput liar dan mobil gosong. Lalu kami tiba di bungker beton panjang dengan daun penutup jendela dari metal. Aku melangkah perlahan-lahan mengikuti Frank ke pintunya. Ia terhenti.

“Kenapa? Dia di sini?”

“Charlie,” ucapnya serius. “Kamu jangan pernah sekali-kali masuk ke sini, ya?”

“Baik,” cicitku. Ia pun masuk, sedang aku menunggu, bersiul tanpa melodi sementara kedua tanganku dalam saku, berusaha melebur dengan lingkungan di sekitarku. Entah mana saja bangunan di sini yang ada penghuninya. Jendela toko-tokonya tertutup oleh teralis tebal. Di beberapa blok, pakaian berjuntaian keluar dari tali jemuran di balkon, namun pintu-pintunya dilapisi triplek dan diliputi grafiti. Bangunan-bangunan lainnya tampak terlalu bobrok untuk dihuni manusia ataupun bangsat—lantas dari lantai atas terdengar suara radio, atau tampak anak-anak menyembulkan kepala untuk meludah ke trotoar.

Setelah beberapa saat yang terasa lama, Frank muncul kembali. Sebelah tangannya menjinjing sebuah koper. Menurut Frank, para langganan pub setuju bermurah hati menjual kembali barang itu padanya dengan laba kecil setelah ia bercerita pada mereka tentang aku yang salah mengira pemadat gelandangan sebagai penjaga pintu.

“Oh,” sahutku, dan demi menutupi keputusasaanku: “Tempat tadi itu pub?”

Tempat itu bernama Coachman. Dulu di situ ada papan tanda, namun telah dicuri. “Kamu mungkin pernah lihat di tivi,” ujar Frank, sementara kami bersusah payah menanjak bukit untuk kembali. “Pernah ada beritanya sebentar.”

“Apa ada yang tahu tentang barang-barangku yang lain?” tanyaku sedih, seraya mengguncang koper yang menjadi lebih ringan daripada sebelumnya.

“Enggak ada.”

“Pada ke mana, ya.”

“Enggak tahu,” sahut Frank kalem. “Hilang.”

Hujan mulai turun lagi.

“Kurasa enggak ada gunanya menghubungi pihak berwenang ….”

“Mereka enggak pernah ke sini lagi, Charlie.”

“Oh.” Air hujan membasahi perbanku. Kepalaku terasa sesak dan dingin.

“Yah,” aku menimbang-nimbang—aku sedang berusaha supaya air mataku ini jatuh ke perut saja selama ia memerhatikan—“aku yakin si bujang gelandangan itu lebih memerlukan uang daripadaku.”

“Kataku sih paling-paling dia bakal beli putauw.”

“Oh, benar juga.”

“Dia enggak jahat sih, kamu kan tadi enggak minta dia supaya jagain barang kamu.”

“Benar juga.” Kami berbelok kembali ke jalan tempat tinggal Frank. Anak-anak berwajah bundar masih berdiri di tempat tadi. Frank membuka kunci pintu sementara aku menatap penuh sesal pada kardus dan selimut kotor itu. Pada kosen pintu ada tulisan dengan huruf hitam kecil-kecil yang menantang, ARM THE HOMELESS[1].

“Rumahku istanaku,” ucap Frank, dan masuk.

Ada yang menyambar belakang kepalaku. Aku berpaling dan melihat kerikil abu-abu kecil di kakiku. Anak-anak berwajah bundar di troli itu menyeringai padaku. Aku mengikuti Frank ke dalam.

Maka demikianlah aku sampai di Apt C, Sands Villas, Bonetown.



Persinggahan pertamaku setelah minggat dari Amaurot malam itu yaitu Hotel Radisson di Bukit Merrion, di mana aku telah memesan kamar. Hotel ini memamerkan sauna dan kolam, serta menyajikan ikan lidah Dover yang sempurna. Semua itu cukup membantu menghiburku selama hari-hari pertama nan mengguncangkan jiwa berada jauh dari rumah. Lalu aku mendapati bahwa kawan lamaku, Boyd Snooks, kebetulan ada kamar kosong di rumahnya mulai minggu depan. Aku pun meneleponnya, dan ia berjanji untuk mempersiapkan kamar itu bagiku. Boyd itu jenis orang yang periang dan cuek. Semasa sekolah ia terkenal karena bisa membalik kelopak matanya. Kini, walau aku sedang menjadi pesakitan karena meninggalkan Amaurot, ia meyakinkanku bahwa ini saatnya untuk chez lui[2]. Lantai bawah rumahnya didiami bersama tiga pramugari baru, yang sama-sama periang, cuek, dan, menurut Boyd, saat senggang menggemari permainan aneh poker telanjang.

“Entahlah,” sahutku. “Hanya saja aku tidak suka meninggalkan Bel ….”

“Pramugari pesawat, Charles,” ujarnya garau. “SAS. Tahu enggak itu? Itu maskapai penerbangan nasional Swedia. Mereka orang Swedia, Charles. Mereka semua pemain poker yang payah, mereka suka mabuk dan lupa aturan ….”

Singkat cerita, segalanya terasa berjalan dengan teramat baik-baik saja. Aku bahkan mulai berpikir kalau-kalau aku keliru mengenai kesulitan hidup di dunia nyata. Meski begitu, tetap saja aku menghabiskan sebagian besar waktuku di hotel dengan duduk di kamar kalau-kalau Bunda menelepon hendak meminta maaf dan memohon padaku, putra semata wayangnya, agar melupakan segala omong kosong soal mencari kerja dan kembali ke rumah. Namun Bunda tidak kunjung menelepon. Setelah seminggu, aku mengharapkan kepindahan ke rumah Boyd supaya bisa menyingkir dari hotel. Biarpun ada kolam dan ikan lidah Dover, orang bisa mati bosan di sana. Selain itu aku mulai agak prihatin soal keuanganku yang pasti jebol. Aku tidak repot-repot menanyakan harga kamar sewaktu mendaftarkan kedatanganku, namun aku curiga biayanya besar, apalagi bagi orang yang tunjangannya sudah diputus. Sudah lama aku tidak memeriksa saldo bankku, namun tiap kali aku memikirkannya aku mengalami perasaan dingin yang ganjil, seakan-akan kuburanku telah dilangkahi[3].

Mesti pula kukatakan bahwa ada sedikit ketidaknyamanan dengan beberapa tamu lain setelah pada suatu malam di bar aku menakuti seorang gadis kecil, dan aku pun mulai merasa kehadiranku tidak lagi diterima dengan senang hati. Kejadian itu sama sekali tidak disengaja—saat itu aku sedang minum barang segelas-dua dan, sejenak lupa akan cacat rupaku yang mengerikan, membayangkan barangkali lucu juga mengejutkan gadis kecil itu dengan menyembul tiba-tiba dari balik pilar. Namun anak itu tidak melihat sisi lucunya. Malah dokter hotel harus memberi dia obat penenang. Lebih-lebih lagi ternyata gadis itu anak orang Amerika, yang selalu muram bila anak mereka ditakut-takuti orang. Pokoknya mereka mengeluh pada pengawas hotel. Lalu ia memutuskan aku ini Elemen Buruk dan ingin aku keluar sesegera mungkin. Aku memaklumi ini dari babu kamar, setelah suatu pagi aku memojokkan dia untuk mencari tahu sebabnya tidak ada lagi permen gratis di bantalku.

Akibatnya pada pukul delapan malam sebelum hari aku dijadwalkan pergi, aku sudah mengemas koper-koperku, yang telah dikirimkan Mbok P dari Amaurot. Frank diminta menjemputku dengan van keesokan harinya pada pukul sepuluh dan membantuku pindah. Aku tengah berbaring di tempat tidur sambil minum sebotol kecil crème de menthe[4] saat telepon berdering. “Panggilan dari Bapak Snooks,” ucap resepsionis.

Ada masalah dengan kamar di rumahnya. “Orang yang mau pergi kena pilek,” ucap Boyd. “Pindahnya ditunda.”

“Oh keparat,” sahutku.

“Brutalnya lagi,” ujarnya sengau. “Kami semua kena. Biar begitu, semestinya dia sudah mendingan dan minggat seminggu atau dua minggu lagi. Mudah-mudahan enggak kelamaan buatmu.”

“Apa boleh buat,” kataku. Karena ia sendiri kedengarannya tidak sehat, aku memberitahunya supaya tidak usah khawatir dan bahwa aku akan membuat rencana lain.

“Itu baru semangat,” sambut Boyd, seraya menahan bersin. “Bayangkan para pramugarinya.”

Aku meletakkan gagang telepon dan menggigit bibir. Bar mini yang gundul menatapku dengan tuduhan dari seberang ruangan. Baiklah, ini tamparan. Aku beranjak dan mengambil kembali buku alamatku, lalu menghabiskan setengah jam berikut menelepon para kenalan kalau-kalau ada yang bisa menolongku. Hasilnya nihil. Mereka yang tidak kabur ke London, seperti Pongo, tinggal di Dublin dalam teror mematikan induk semangnya—iblis-iblis lalim dari era Victoria yang bahkan tidak memperbolehkan mereka menggantung bingkai foto, apalagi menjamu tamu. “Maaf, Charles,” gumam mereka tegas, lantas, dengan terdesak, “Sudah dulu, ya.”

Akhirnya, tampak tidak ada pilihan selain menelan harga diriku dan menelepon rumah. Bunda yang menjawab telepon, tentu saja. “Charles, betapa manisnya dirimu menelepon, baru saja aku menanyai Mbok P untuk kedua kali kira-kira apa yang sedang kamu perbuat. Kamu tahu aku masih tidak percaya kamu telah terbang dari sarang, kami semua sangat merindukanmu—“

“Benarkah?” sahutku. Bagaimanapun juga, barangkali ini tidaklah sebegitu memalukan. “Karena sebetulnya …” dan aku pun menjelaskan tentang Boyd serta kesulitanku.

Timbul kesunyian yang menggelisahkan begitu aku selesai bicara. Saat menyahut lagi, suara Bunda bernada sok tragis, kompensasi berlebihan yang biasa ia gunakan bila ada yang tanpa berpikir panjang menyulitkan dirinya. “Oh sayang … sulitnya keadaanmu,” ia berujar. “Tetapi tidakkah kamu tahu kami agak kelimpahan orang di sini sekarang, sayang. Kamu tahu kan sandiwaranya mulai dipertunjukkan di kota malam ini dan … yah, kami pikir mengingat kamu tidak ada di sini—“

“Kuharap Bunda enggak menempatkan Orang-orang Kurang Mampu itu di kamarku,” tukasku tajam. “Aku enggak mau kasurku dikerumuni telur kutu dan semacamnya.”

“Ah, bukan, bukan Orang Kurang Mampu,” ujarnya selembut sutra. “Sebenarnya kami hendak memberikan kamarmu untuk Harry.”

Ia menunggu sejenak. Lantas ketika aku tidak kunjung berucap apa pun, ia menambahkan dengan ceria, “Ada sofa, tentu saja, kamu selalu bisa tidur di sana, kalau tidak tahu mau ke mana lagi …. Atau mungkin salah seorang temanmu ada kasur lebih?”

“Oh iya,” suaraku melalui gigi yang tercengkam, seakan-akan gagasan itu baru saja terpikir olehku. “Ide bagus. Aku akan menelepon teman-teman.”

“Meneleponlah, sayang, kalau masih belum tahu mau ke mana.”

“Iya, iya.”

“Ini kesempatanmu, Charles. Kamu telah membentangkan sayap, sekarang kamu mesti terbang tinggi, kamu tahu kami semua amatlah bangga—“

Kuletakkan telepon. Harry! Kurasakan darahku menggelegak oleh amarah. Si congkak itu, dengan kuda Troya dan rambut nyentriknya, sekarang dia yang jadi anak emas? Kuangkat lagi telepon, dan memutar nomor resepsionis untuk memberi tahu mereka keinginanku memperpanjang waktu tinggal.

“Tentu saja, Pak,” ujar si gadis resepsionis. “Tolong nomor kamarnya.”

Aku memberi dia nomor kamarku. Sejenak ia mendiamkanku.

“Bapak Hythloday?” ucapnya, begitu kembali.

“Ya?”

“Maaf, Pak, tetapi kamarnya sudah dipesan.”

“Kamar untuk satu orang saja? Untuk semalam pun?”

“Maaf, Pak.”

Si pengawas hotel sudah beraksi lebih dulu! Aku mulai mengalami perasaan gelisah karena terkejar oleh semacam cara kerja yang tidak bisa kukendalikan, seolah-olah, dengan meninggalkan Amaurot, aku telah menyerahkan diriku seutuhnya pada kehendak Takdir, dan tidak ada yang bisa kuperbuat selain menurutinya dengan patuh hingga terbawa ke mana diinginkannya. Aku mengambil Baileys[5] terakhir dari kulkas di bawah cermin, menuangkannya ke gelas plastik dan menghampiri jendela. Hotel Radisson dikitari taman seluas ribuan meter persegi. Lahannya dulu milik biara. Barangkali di sinilah dulu para biarawati bermain kasti dan petak umpet saat hari cerah.

Mau bagaimana lagi. Aku harus menemukan hotel lain, terutama yang murah. Masih ada beberapa kartu kredit yang bisa kugunakan. Aku pun kembali pada lemari di sisi tempat tidur, mengangkat telepon lagi, dan memutar nomor Frank untuk memberi tahu dia aku batal pindah.

“Gimana ceritanya?” sahut Frank. Mulutnya penuh oleh entah apa.

“Enggak penting,” kataku gusar. “Pokoknya aku harus tinggal di tempat lain beberapa minggu ini.”

“Pasti gede ya biayanya,” ujar suara itu. “Tempat kayak gitu pasti rada berat bayarnya.”

“Aku akan bertahan,” balasku sengit.

“Yeah, tapi,” sambungnya, lantas terdiam untuk menelan—bakso ayam, mendadak aku merasa mendapat pencerahan yang disertai keyakinan tak tergoyahkan akan suara kunyahan itu—“tapi gini, kenapa kamu enggak nginap di rumahku saja dulu?”

Aku terkejut. “Apa?” gagapku. “Apa?”

Ia mengulangi tawarannya. Aku mencari-cari alasan untuk menolaknya, namun setelah segala pusaran dan gelombang yang terjadi malam itu aku menyadari ketidaksanggupanku berpikir lurus. “Aku enggak mau merepotkanmu,” ucapku lemah.

“Cuek aja lagi,” ia meyakinkanku.

Di kejauhan aku merasa mendengar nyanyian, seolah-olah asalnya dari para biarawati hantu. “Wah, baik sekali,” aku berupaya terdengar bersyukur, “benar-benar baik sekali.”

“Bagus,” sahut Frank.

Maka keesokan paginya aku meninggalkan kamar dan menurunkan koper-koperku dengan elevator ke lobi, tempat aku menyerahkan kunci. Setiap gerakan, setiap transaksi sosial sekecil apa pun entah bagaimana serasa ada yang menyorot dari belakang dan memberkati, seperti pesakitan yang menghitung langkah dalam hati sementara disuruh berjalan ke tiang gantungan. Frank menanti di luar hotel, bersandar pada van putih karatannya sambil melipat kedua lengan. Ada yang menggambar penis pada debu di sisi kendaraannya. “Baik-baik saja?”

"Fantastis," sahutku. "Fantastis."



[1] Artinya kurang lebih: “PERSENJATAI GELANDANGAN.”
[2] (Bahasa Perancis) berada di rumahnya—rumah Boyd
[3]Someone had walked over my grave”, ungkapan Inggris dari abad pertengahan berdasarkan kepercayaan bahwa antara dunia orang hidup dan dunia orang mati dapat saling berhubungan; jika seseorang merasa merinding maka berarti ada orang lain yang melangkahi tempat di mana orang tersebut akan dikuburkan
[4] Sopi manis rasa mentol berwarna hjau atau bening
[5] Minuman beralkohol yang dibuat dari wiski Irlandia, krim, gula, dan kakao

Tidak ada komentar: