“Kamu benar-benar sangat baik sekali.”
“Enggak usah sungkan-sungkan, Charlie.”
“Maksudku, ini cuma untuk sekitar seminggu, sampai aku
berhasil menyelesaikan problemku ….”
“Sudah sampai, Charlie.”
“Aha, iya.” Kami berhenti di sebelah luar pintu kayu putih
polos. Gugup aku bersenandung sendiri sementara Frank merogoh-rogoh mencari
kunci.
“Silakan,” ucap Frank. “Yang tua duluan.”
“Ha ha, terima kasih,” seraya berjalan perlahan-lahan
memasuki kegelapan. “Oh. Yah. Bukankah ini …?”
“Ini rada berantakan. Aku belum sempat beres-beres.”
“Enggak kok, enggak, ini sangat—oh ya ampun, rupanya aku
menginjak, ah, makan malam seseorang ….”
“Enggak usah khawatir, Charlie, aku enggak bakal makan itu
lagi kok.”
“Oh bagus deh. Ini lebih seperti bengkel, kan ya? Eh, apa selalu suram begini?”
“Entar, aku nyalain televisinya.” Ia segera melewatiku
lalu menekan tombol pada televisi zaman purba yang bertinggung di pojok. Sesaat
kemudian muncul dua perempuan berbikini, sedang saling memukul dengan pentungan
busa besar. “Jangan khawatir, nanti juga mata kamu bakal biasa.”
“Ya, ya, tentu ….”
“Suka teh?”
“Terima kasih.” Hati-hati sekali aku menurunkan diriku ke
tepi kursi. Bagian dalam kursi itu meluap keluar dari carikan di sisinya. Aku
pun duduk sambil mengetatkan kedua belah kakiku dan berusaha supaya tidak
menyentuh apa pun. Lantainya kentara lengket dan tampak seperti bergerak bila
dilihat dari sudut mata.
“Tehnya mau digimanain?” seru Frank entah dari sebelah
mana hutan rombengan belantara yang menjungkat-jungkit ini.
“Tolong dikasih susu saja,” ujarku lemah. Hawanya menusuk,
amat menguatkan aroma yang biasa mengitari Frank. Di meja kopi terdapat majalah
berjudul Pameran Tetek. Wanita muda
pada sampulnya telanjang bulat kecuali yang tertutup oleh buah jeruk. Tertulis,
“Melon Greta Boleh Ambil’.
Frank muncul lagi membawa sepasang cangkir. “Nih,”
ucapnya, seraya menyerahkan satu cangkir padaku lalu menempatkan miliknya di
atas sofa tak berbentuk di depannya. “Jadi,” sambil merentangkan kedua belah
lengannya, umpama Kubilai Khan menyambut Marco Polo di Xanadu, “gimana menurut
kamu?”
“Nyaman,” aku menggaok. “Nyaman betul.”
“Rumahku istanaku,” ujarnya bersukacita, lantas menghirup
tehnya.
“Meski …” aku memulai.
“Yeah?”
“Yah, mesti kukatakan,” ucapku, dengan nada sembarang
bergurau supaya tidak terlihat sungkan, “sepertinya ada masalah dengan penjaga
pintumu.”
“Penjaga pintu?” ulang Frank.
“Iya, penjaga pintu,” sahutku, sambil berusaha mempertahankan
senyumku. “Kamu tahulah, orangnya teledor sekali.”
“Enggak ada penjaga pintu, Charlie, adanya juga
gelandangan.”
“Gelandangan?”
“Yeah, dia tinggalnya dalam kardus di tangga situ.”
“Oh,” suaraku mengecil. “Pantas dia enggak pakai topi.”
Timbul jeda. “Penjaga pintu,” Frank terkikih sendiri.
Cahaya berusaha masuk melewati jendela yang sempit, cahaya
redup kelabu yang lebih menyerupai remah. Aku merunduk penuh perenungan ke arah
tehku, yang mengandung serpihan. Sesaat kemudian hati-hati kuucapkan, “Kuduga
itu sebabnya dia lama sekali membawakan tas-tasku ke atas.”
Frank menurunkan cangkirnya, seraya meringis. “Ah, Charlie
….”
“Menurutmu,” aku memberanikan diri, “dia enggak mungkin
lupa kan ruangan yang mana—“
Namun Frank sudah melompat dari tempat duduknya dan
meluncur cepat menuruni tangga. Aku pun bangkit dan terburu-buru mengejarnya,
menyusulnya ke sebelah luar pintu depan. Ia tengah berdiri mengamati kardus dan
selimut yang sampai beberapa saat lalu didiami si orang gelandangan/penjaga
pintu. “Jancuk,” ucapnya, sambil mengusap-usap dagu.
“Dia sudah enggak ada,” sahutku mubazir. Jalanan kosong
kecuali dua anak berwajah bundar yang memandangi kami dari trotoar di seberang.
Yang satu berdiri dalam troli supermarket, yang lain mencengkam pegangannya. Keduanya
bergeming sama sekali.
“Ayo,” Frank menyodok igaku lalu turun ke jalan. Kami
sampai di seberang jalan yang diisi banyak bangunan besar flat dari bata terak.
Di situ kami berbelok ke kiri melewati tanah kosong yang disesaki rumput liar
dan mobil gosong. Lalu kami tiba di bungker beton panjang dengan daun penutup
jendela dari metal. Aku melangkah perlahan-lahan mengikuti Frank ke pintunya.
Ia terhenti.
“Kenapa? Dia di sini?”
“Charlie,” ucapnya serius. “Kamu jangan pernah sekali-kali masuk ke sini, ya?”
“Baik,” cicitku. Ia pun masuk, sedang aku menunggu,
bersiul tanpa melodi sementara kedua tanganku dalam saku, berusaha melebur
dengan lingkungan di sekitarku. Entah mana saja bangunan di sini yang ada
penghuninya. Jendela toko-tokonya tertutup oleh teralis tebal. Di beberapa
blok, pakaian berjuntaian keluar dari tali jemuran di balkon, namun
pintu-pintunya dilapisi triplek dan diliputi grafiti. Bangunan-bangunan lainnya
tampak terlalu bobrok untuk dihuni manusia ataupun bangsat—lantas dari lantai
atas terdengar suara radio, atau tampak anak-anak menyembulkan kepala untuk
meludah ke trotoar.
Setelah beberapa saat yang terasa lama, Frank muncul
kembali. Sebelah tangannya menjinjing sebuah koper. Menurut Frank, para
langganan pub setuju bermurah hati menjual kembali barang itu padanya dengan
laba kecil setelah ia bercerita pada mereka tentang aku yang salah mengira
pemadat gelandangan sebagai penjaga pintu.
“Oh,” sahutku, dan demi menutupi keputusasaanku: “Tempat
tadi itu pub?”
Tempat itu bernama Coachman. Dulu di situ ada papan tanda,
namun telah dicuri. “Kamu mungkin pernah lihat di tivi,” ujar Frank, sementara
kami bersusah payah menanjak bukit untuk kembali. “Pernah ada beritanya
sebentar.”
“Apa ada yang tahu tentang barang-barangku yang lain?”
tanyaku sedih, seraya mengguncang koper yang menjadi lebih ringan daripada
sebelumnya.
“Enggak ada.”
“Pada ke mana, ya.”
“Enggak tahu,” sahut Frank kalem. “Hilang.”
Hujan mulai turun lagi.
“Kurasa enggak ada gunanya menghubungi pihak berwenang ….”
“Mereka enggak pernah ke sini lagi, Charlie.”
“Oh.” Air hujan membasahi perbanku. Kepalaku terasa sesak
dan dingin.
“Yah,” aku menimbang-nimbang—aku sedang berusaha supaya
air mataku ini jatuh ke perut saja selama ia memerhatikan—“aku yakin si bujang
gelandangan itu lebih memerlukan uang daripadaku.”
“Kataku sih paling-paling dia bakal beli putauw.”
“Oh, benar juga.”
“Dia enggak jahat sih, kamu kan tadi enggak minta dia
supaya jagain barang kamu.”
“Benar juga.” Kami berbelok kembali ke jalan tempat
tinggal Frank. Anak-anak berwajah bundar masih berdiri di tempat tadi. Frank
membuka kunci pintu sementara aku menatap penuh sesal pada kardus dan selimut
kotor itu. Pada kosen pintu ada tulisan dengan huruf hitam kecil-kecil yang
menantang, ARM THE HOMELESS[1].
“Rumahku istanaku,” ucap Frank, dan masuk.
Ada yang menyambar belakang kepalaku. Aku berpaling dan
melihat kerikil abu-abu kecil di kakiku. Anak-anak berwajah bundar di troli itu
menyeringai padaku. Aku mengikuti Frank ke dalam.
Maka demikianlah aku sampai di Apt C, Sands Villas,
Bonetown.
Persinggahan pertamaku setelah minggat dari Amaurot malam itu yaitu Hotel
Radisson di Bukit Merrion, di mana aku telah memesan kamar. Hotel ini
memamerkan sauna dan kolam, serta menyajikan ikan lidah Dover yang sempurna.
Semua itu cukup membantu menghiburku selama hari-hari pertama nan
mengguncangkan jiwa berada jauh dari rumah. Lalu aku mendapati bahwa kawan
lamaku, Boyd Snooks, kebetulan ada kamar kosong di rumahnya mulai minggu depan.
Aku pun meneleponnya, dan ia berjanji untuk mempersiapkan kamar itu bagiku.
Boyd itu jenis orang yang periang dan cuek. Semasa sekolah ia terkenal karena
bisa membalik kelopak matanya. Kini, walau aku sedang menjadi pesakitan karena
meninggalkan Amaurot, ia meyakinkanku bahwa ini saatnya untuk chez lui[2].
Lantai bawah rumahnya didiami bersama tiga pramugari baru, yang sama-sama
periang, cuek, dan, menurut Boyd, saat senggang menggemari permainan aneh poker
telanjang.
“Entahlah,” sahutku. “Hanya saja aku tidak suka
meninggalkan Bel ….”
“Pramugari pesawat, Charles,” ujarnya garau. “SAS. Tahu
enggak itu? Itu maskapai penerbangan nasional Swedia. Mereka orang Swedia, Charles. Mereka semua
pemain poker yang payah, mereka suka mabuk dan lupa aturan ….”
Singkat cerita, segalanya terasa berjalan dengan teramat baik-baik
saja. Aku bahkan mulai berpikir kalau-kalau aku keliru mengenai kesulitan hidup
di dunia nyata. Meski begitu, tetap saja aku menghabiskan sebagian besar
waktuku di hotel dengan duduk di kamar kalau-kalau Bunda menelepon hendak
meminta maaf dan memohon padaku, putra semata wayangnya, agar melupakan segala
omong kosong soal mencari kerja dan kembali ke rumah. Namun Bunda tidak kunjung
menelepon. Setelah seminggu, aku mengharapkan kepindahan ke rumah Boyd supaya
bisa menyingkir dari hotel. Biarpun ada kolam dan ikan lidah Dover, orang bisa
mati bosan di sana. Selain itu aku mulai agak prihatin soal keuanganku yang
pasti jebol. Aku tidak repot-repot menanyakan harga kamar sewaktu mendaftarkan
kedatanganku, namun aku curiga biayanya besar, apalagi bagi orang yang
tunjangannya sudah diputus. Sudah lama aku tidak memeriksa saldo bankku, namun
tiap kali aku memikirkannya aku mengalami perasaan dingin yang ganjil,
seakan-akan kuburanku telah dilangkahi[3].
Mesti pula kukatakan bahwa ada sedikit ketidaknyamanan
dengan beberapa tamu lain setelah pada suatu malam di bar aku menakuti seorang
gadis kecil, dan aku pun mulai merasa kehadiranku tidak lagi diterima dengan
senang hati. Kejadian itu sama sekali tidak disengaja—saat itu aku sedang minum
barang segelas-dua dan, sejenak lupa akan cacat rupaku yang mengerikan,
membayangkan barangkali lucu juga mengejutkan gadis kecil itu dengan menyembul
tiba-tiba dari balik pilar. Namun anak itu tidak melihat sisi lucunya. Malah
dokter hotel harus memberi dia obat penenang. Lebih-lebih lagi ternyata gadis
itu anak orang Amerika, yang selalu muram bila anak mereka ditakut-takuti
orang. Pokoknya mereka mengeluh pada pengawas hotel. Lalu ia memutuskan aku ini
Elemen Buruk dan ingin aku keluar sesegera mungkin. Aku memaklumi ini dari babu
kamar, setelah suatu pagi aku memojokkan dia untuk mencari tahu sebabnya tidak
ada lagi permen gratis di bantalku.
Akibatnya pada pukul delapan malam sebelum hari aku
dijadwalkan pergi, aku sudah mengemas koper-koperku, yang telah dikirimkan Mbok
P dari Amaurot. Frank diminta menjemputku dengan van keesokan harinya pada
pukul sepuluh dan membantuku pindah. Aku tengah berbaring di tempat tidur
sambil minum sebotol kecil crème de
menthe[4] saat telepon berdering. “Panggilan dari
Bapak Snooks,” ucap resepsionis.
Ada masalah dengan kamar di rumahnya. “Orang yang mau
pergi kena pilek,” ucap Boyd. “Pindahnya ditunda.”
“Oh keparat,” sahutku.
“Brutalnya lagi,” ujarnya sengau. “Kami semua kena. Biar
begitu, semestinya dia sudah mendingan dan minggat seminggu atau dua minggu
lagi. Mudah-mudahan enggak kelamaan buatmu.”
“Apa boleh buat,” kataku. Karena ia sendiri kedengarannya
tidak sehat, aku memberitahunya supaya tidak usah khawatir dan bahwa aku akan
membuat rencana lain.
“Itu baru semangat,” sambut Boyd, seraya menahan bersin.
“Bayangkan para pramugarinya.”
Aku meletakkan gagang telepon dan menggigit bibir. Bar
mini yang gundul menatapku dengan tuduhan dari seberang ruangan. Baiklah, ini
tamparan. Aku beranjak dan mengambil kembali buku alamatku, lalu menghabiskan
setengah jam berikut menelepon para kenalan kalau-kalau ada yang bisa
menolongku. Hasilnya nihil. Mereka yang tidak kabur ke London, seperti Pongo,
tinggal di Dublin dalam teror mematikan induk semangnya—iblis-iblis lalim dari
era Victoria yang bahkan tidak memperbolehkan mereka menggantung bingkai foto,
apalagi menjamu tamu. “Maaf, Charles,” gumam mereka tegas, lantas, dengan
terdesak, “Sudah dulu, ya.”
Akhirnya, tampak tidak ada pilihan selain menelan harga
diriku dan menelepon rumah. Bunda yang menjawab telepon, tentu saja. “Charles, betapa manisnya dirimu menelepon, baru saja aku menanyai Mbok P untuk kedua kali kira-kira apa yang sedang kamu
perbuat. Kamu tahu aku masih tidak percaya kamu telah terbang dari sarang, kami
semua sangat merindukanmu—“
“Benarkah?” sahutku. Bagaimanapun juga, barangkali ini
tidaklah sebegitu memalukan. “Karena sebetulnya …” dan aku pun menjelaskan
tentang Boyd serta kesulitanku.
Timbul kesunyian yang menggelisahkan begitu aku selesai
bicara. Saat menyahut lagi, suara Bunda bernada sok tragis, kompensasi
berlebihan yang biasa ia gunakan bila ada yang tanpa berpikir panjang
menyulitkan dirinya. “Oh sayang … sulitnya keadaanmu,” ia berujar. “Tetapi
tidakkah kamu tahu kami agak kelimpahan orang di sini sekarang, sayang. Kamu
tahu kan sandiwaranya mulai dipertunjukkan di kota malam ini dan … yah, kami
pikir mengingat kamu tidak ada di sini—“
“Kuharap Bunda enggak menempatkan Orang-orang Kurang Mampu
itu di kamarku,” tukasku tajam. “Aku enggak mau kasurku dikerumuni telur kutu
dan semacamnya.”
“Ah, bukan, bukan Orang Kurang Mampu,” ujarnya selembut
sutra. “Sebenarnya kami hendak memberikan kamarmu untuk Harry.”
Ia menunggu sejenak. Lantas ketika aku tidak kunjung
berucap apa pun, ia menambahkan dengan ceria, “Ada sofa, tentu saja, kamu
selalu bisa tidur di sana, kalau tidak tahu mau ke mana lagi …. Atau mungkin
salah seorang temanmu ada kasur lebih?”
“Oh iya,” suaraku melalui gigi yang tercengkam,
seakan-akan gagasan itu baru saja terpikir olehku. “Ide bagus. Aku akan menelepon
teman-teman.”
“Meneleponlah, sayang, kalau masih belum tahu mau ke
mana.”
“Iya, iya.”
“Ini kesempatanmu, Charles. Kamu telah membentangkan
sayap, sekarang kamu mesti terbang tinggi, kamu tahu kami semua amatlah
bangga—“
Kuletakkan telepon. Harry! Kurasakan darahku menggelegak
oleh amarah. Si congkak itu, dengan kuda Troya dan rambut nyentriknya, sekarang
dia yang jadi anak emas? Kuangkat lagi telepon, dan memutar nomor resepsionis
untuk memberi tahu mereka keinginanku memperpanjang waktu tinggal.
“Tentu saja, Pak,” ujar si gadis resepsionis. “Tolong
nomor kamarnya.”
Aku memberi dia nomor kamarku. Sejenak ia mendiamkanku.
“Bapak Hythloday?” ucapnya, begitu kembali.
“Ya?”
“Maaf, Pak, tetapi kamarnya sudah dipesan.”
“Kamar untuk satu orang saja? Untuk semalam pun?”
“Maaf, Pak.”
Si pengawas hotel sudah beraksi lebih dulu! Aku mulai
mengalami perasaan gelisah karena terkejar oleh semacam cara kerja yang tidak
bisa kukendalikan, seolah-olah, dengan meninggalkan Amaurot, aku telah
menyerahkan diriku seutuhnya pada kehendak Takdir, dan tidak ada yang bisa
kuperbuat selain menurutinya dengan patuh hingga terbawa ke mana diinginkannya.
Aku mengambil Baileys[5]
terakhir dari kulkas di bawah cermin, menuangkannya ke gelas plastik dan
menghampiri jendela. Hotel Radisson dikitari taman seluas ribuan meter persegi.
Lahannya dulu milik biara. Barangkali di sinilah dulu para biarawati bermain
kasti dan petak umpet saat hari cerah.
Mau bagaimana lagi. Aku harus menemukan hotel lain,
terutama yang murah. Masih ada beberapa kartu kredit yang bisa kugunakan. Aku
pun kembali pada lemari di sisi tempat tidur, mengangkat telepon lagi, dan
memutar nomor Frank untuk memberi tahu dia aku batal pindah.
“Gimana ceritanya?” sahut Frank. Mulutnya penuh oleh entah
apa.
“Enggak penting,” kataku gusar. “Pokoknya aku harus
tinggal di tempat lain beberapa minggu ini.”
“Pasti gede ya biayanya,” ujar suara itu. “Tempat kayak
gitu pasti rada berat bayarnya.”
“Aku akan bertahan,” balasku sengit.
“Yeah, tapi,” sambungnya, lantas terdiam untuk menelan—bakso ayam, mendadak aku merasa mendapat
pencerahan yang disertai keyakinan tak tergoyahkan akan suara kunyahan itu—“tapi
gini, kenapa kamu enggak nginap di rumahku saja dulu?”
Aku terkejut. “Apa?” gagapku. “Apa?”
Ia mengulangi tawarannya. Aku mencari-cari alasan untuk
menolaknya, namun setelah segala pusaran dan gelombang yang terjadi malam itu
aku menyadari ketidaksanggupanku berpikir lurus. “Aku enggak mau merepotkanmu,”
ucapku lemah.
“Cuek aja lagi,” ia meyakinkanku.
Di kejauhan aku merasa mendengar nyanyian, seolah-olah
asalnya dari para biarawati hantu. “Wah, baik sekali,” aku berupaya terdengar
bersyukur, “benar-benar baik sekali.”
“Bagus,” sahut Frank.
Maka keesokan paginya aku meninggalkan kamar dan
menurunkan koper-koperku dengan elevator ke lobi, tempat aku menyerahkan kunci.
Setiap gerakan, setiap transaksi sosial sekecil apa pun entah bagaimana serasa
ada yang menyorot dari belakang dan memberkati, seperti pesakitan yang
menghitung langkah dalam hati sementara disuruh berjalan ke tiang gantungan.
Frank menanti di luar hotel, bersandar pada van putih karatannya sambil melipat
kedua lengan. Ada yang menggambar penis pada debu di sisi kendaraannya.
“Baik-baik saja?”
"Fantastis," sahutku. "Fantastis."
"Fantastis," sahutku. "Fantastis."
[1] Artinya kurang lebih: “PERSENJATAI
GELANDANGAN.”
[2] (Bahasa Perancis) berada
di rumahnya—rumah Boyd
[3] “Someone had walked over my grave”, ungkapan Inggris dari abad
pertengahan berdasarkan kepercayaan bahwa antara dunia orang hidup dan dunia
orang mati dapat saling berhubungan; jika seseorang merasa merinding maka
berarti ada orang lain yang melangkahi tempat di mana orang tersebut akan
dikuburkan
[4] Sopi manis rasa mentol
berwarna hjau atau bening
[5] Minuman beralkohol yang
dibuat dari wiski Irlandia, krim, gula, dan kakao
Tidak ada komentar:
Posting Komentar