Apartemen Frank merupakan bagian dari
bangunan tinggi berbata merah—dari era Georgia[1], menurut
penampakan jendela berbentuk busur di atas pintu—yang dulu mestilah pernah
menjadi rumah bandar terhormat, bahkan dimuliakan. Di mana-mana terdapat jejak
masa lalu yang lebih mulia lagi, berupa fragmen-fragmen ukiran halus dari karya
plester asli. Namun fragmen ukiran itu tidak lebih daripada sekadar jejak, bak
potongan tembikar di lumpur. Bagian depan bangunan telah menghitam dan rusak
akibat debu puluhan tahun, dan sebagian besar perabotnya yang asli pecah
sewaktu bagian dalamnya dibagi menjadi rumah-rumah petak yang teramat kecil.
Induk semangnya kini mantan Garda[2] yang memiliki
beberapa properti di kawasan itu dan, menurut Frank, “bajingan biar Garda
juga”.
Hampir seluruh bagian dari
Apt C berupa pojok, seakan-akan siapa pun yang membangun tempat itu menambal
ruang tambahan dari sudut dan ceruk yang tersisa. Ruangan-ruangannya bergoyang
secara tidak lazim, dan dinding tertentu tidak bisa disandari karena, begini
yang kukutip, “menyangga langit-langit”. Bahkan cahaya matahari pun agaknya
sulit mengatasi kenyentrikan flat tersebut. Bisa dibilang, cahaya datang
melalui jendela, dan seketika terhenti, sambil menautkan jari ke bibir.
Akibatnya di dalam selalu agak gelap—atau lembap,
mungkin lembap kata yang lebih tepat.
Tidak ayal lagi inilah apartemen terlembap yang pernah kutinggali.
Aku tidur di kasur yang silsilahnya tidak jelas, dalam ruangan yang kira-kira sebesar salah satu lemari sapu berukuran lebih kecil di Amaurot, bersama harta benda yang para langganan Coachman cukup baik untuk tidak mencurinya—buku pengembangan diri, peralatan bercukur, jas makan malam terbaik-cadangan, kaus kaki, memorabilia Gene Tierney, jurnal pemikiran yang sebagian besar belum terpikirkan—ditumpuk teratur di sampingku. Sebagian besar apartemen ditempati loakan Frank. Tiap hari ia pulang membawa lebih banyak rombengan berpeti-peti dari van miliknya, dan menjatuhkan isinya di mana saja boleh. Tempat rokok, sepatu balet, bingkai jendela, buku lagu pujian, batu umpak, mesin penghitung uang, kuda goyang, cantelan gambar dinding, barang-barang yang sudah tidak utuh bagiannya, bagian-bagian yang terlepas dari barang utuhnya—ke mana pun memandang kau dihadapkan dengan elemen-elemen yang tercerabut dari kehidupan orang lain.
Aku tidur di kasur yang silsilahnya tidak jelas, dalam ruangan yang kira-kira sebesar salah satu lemari sapu berukuran lebih kecil di Amaurot, bersama harta benda yang para langganan Coachman cukup baik untuk tidak mencurinya—buku pengembangan diri, peralatan bercukur, jas makan malam terbaik-cadangan, kaus kaki, memorabilia Gene Tierney, jurnal pemikiran yang sebagian besar belum terpikirkan—ditumpuk teratur di sampingku. Sebagian besar apartemen ditempati loakan Frank. Tiap hari ia pulang membawa lebih banyak rombengan berpeti-peti dari van miliknya, dan menjatuhkan isinya di mana saja boleh. Tempat rokok, sepatu balet, bingkai jendela, buku lagu pujian, batu umpak, mesin penghitung uang, kuda goyang, cantelan gambar dinding, barang-barang yang sudah tidak utuh bagiannya, bagian-bagian yang terlepas dari barang utuhnya—ke mana pun memandang kau dihadapkan dengan elemen-elemen yang tercerabut dari kehidupan orang lain.
“Aku enggak mengerti,”
kataku, sembari memeriksa raket tenis Dunlop yang baru saja tiba. “Bagaimana
kamu tahu mana yang berharga, dan mana yang, mengerti kan, sampah?”
Frank berpikir sejenak.
“Barang yang enggak dibeli orang yang sampah,” ucapnya.
“Oh,” sahutku.
Kebanyakan barang dibeli
orang. Jelas ini masa subur dalam bisnis penyelamatan bangunan. Separuh kota
dibongkar lalu dibangun lagi. Barang-barang dapat diambili dengan harga murah,
kemudian dijual di atas harga sebenarnya pada semua pemilik pub baru, hotel
baru, serta rumah baru yang ingin memberi properti mereka sentuhan autentisitas.
“Semua taik rombeng ini,” Frank mengayunkan tangan di atas jarahan terbaru yang
tersebar di lantai, “kayak ladam, pelang, helm pemadam kebakaran
gitulah—pub-pub senang banget barang gitu. Mereka sange sama persneling lama
buat ditaruh di dinding supaya kesannya makin jadul gitu. Sama juga flat baru.
Orang tuh enggak suka barang-barang baru. Mereka pengin ada kenangan sama yang
lawas-lawas gitulah.”
“Kalau begitu, kenapa mereka
enggak berhenti merobohkan bangunan lama saja?” kataku. “Kalau orang pada gila
banget sama yang lawas-lawas.”
“Kalau gitu entar kita jadi
enggak ada kerjaan.”
Karena ditumpuk asal-asalan
begitu, loakan tersebut tampak serupa—berupa kesenduan masa lalu berbau apak
yang memenuhi ruangan bak parfum lama. Sepanjang hari, saat Frank keluar rumah,
aku sendiri merasa agak menyerupai relik. Tidak ada yang kuperbuat, selain
memainkan jumbai kimonoku—yang barangkali kedengarannya tidaklah luar biasa,
namun ini kekosongan yang lain daripada biasanya, kekosongan yang mendebarkan,
menggelisahkan, dan tidak memuaskan. Aku jarang pergi ke luar, selain terobosan
singkat ke SPBU, tempat orang bisa membeli kebutuhan sehari-hari dengan harga
yang mengada-ada. Sebagian besar waktuku dilalui di jendela, dengan memandangi
suramnya perkampungan jembel di bawah sana.
Jalanan di Bonetown bernuansa
muram dan kelabu, tanpa pepohonan ataupun hiasan, dan kekelabuan, kemuraman ini
tergurat dengan sendirinya ke dalam wajah para penghuninya. Aku melihat adanya
dua strata yang nyata dalam masyarakat Bonetown. Pertama, penduduk asli. Mereka
ini, kasarnya, sekeji gerombolan bangsat mana pun di dunia ini. Mereka biadab,
berpakaian jelek, dan menghabiskan hari dengan berjalan sempoyongan dari pub ke
bandar judi ke SPBU, sambil membawa-bawa anak yang tak terhitung
jumlahnya—kuperhatikan, banyak di antara anak-anak itu yang sangat mirip Frank.
Aku menyatakan ini pada Frank, namun ia cuma mengecap dan berucap misterius
soal betapa terlihat mirip seseorang sesungguhnya tidak membuktikan apa-apa di
pengadilan.
Golongan kedua, yang jarang
berhubungan dengan golongan pertama, merupakan orang-orang asing. Perawakan dan
ukuran mereka bermacam-macam, dan, setidaknya menurut Frank, mereka muncul
kurang lebih dalam semalam saja, walau agaknya tidak seorang pun tahu dari mana
asal mereka, atau cara persisnya mereka berlabuh di daerah ini. “Mungkin mereka
korban huru-hara di Bosnia itu,” sangkaku. “Kayak Mbok P dan rombongannya.”
“Huru-hara yang itu atau yang
lainnya,” sahut Frank sambil mengangkat bahu. “Perang enggak habis-habis.”
Agaknya mereka semua
penganggur, dan serta-merta aku berpikiran bahwa kami dapat memanfaatkan
situasi ini untuk meminta orang membersihkan rumah dengan upah relatif kecil.
Tetapi, Frank langsung menolak. “Mak aku kerjanya bersih-bersih, Charlie,”
ujarnya. “Jadi aneh aja, gitu.”
Saat malam kompleks ini
dikuasai Pemuda setempat, dan siapa pun yang tidak berminat merampok ataupun
meneror orang-orang tua diharapkan berada di rumah saja atau menanggung
akibatnya. Para pemuda ini
menghibur diri dengan aneka cara. Kadang mereka membakar barang-barang, atau
menggambar swastika dengan semprotan pada pintu rumah para pencari suaka.
Adakalanya datang mobil curian, sehingga mereka bisa bersukaria memacu
kendaraan itu naik-turun jalanan berjam-jam. Namun, sering kali mereka cuma berkumpul membentuk
geng-geng yang meremangkan di pojok jalan, saling berjualan heroin.
Bangunan-bangunannya berisik oleh teriakan. Mau tak mau ada bayi mulai
meraung-raung, dan lewat tembok aku biasa mendengar tetangga bertengkar. Beberapa kali terdengar suara tembakan
menggema dari arah Coachman. Frank memberitahuku betapa orang-orang dari
permukiman setempat biasa turun dengan masker ninja dan senapan untuk merampok
pub tersebut, lantas besoknya kembali ke sana untuk membeli minuman dan membawa
serta barang-barang yang diambil.
Kadang, selagi merana di
jendela, aku melihat sepasang mata mengintip balik padaku dari bangunan tinggi
di seberang, lantas aku pun teringat pada Mirela yang melambaikan tangan serupa
bidadari padaku dari Folly. Kemudian tampak anak-anak berwajah bundar beserta
troli supermarket mereka, selalu yang satu sedang mendorong dan yang lain
berdiri memandang ke samping, jari-jari mungilnya menggenggam pelek—menderu bak
peziarah kucel yang lupa arah dan tujuan dan kini hanya berputar-putar terus di
sekitar jalanan buntu yang itu-itu saja.
Hampir tidak perlu dikatakan
lagi bahwa aku masih jauh dari merasa nyaman kumpul kebo bersama Frank. Apalagi
pada hari-hari pertama, aku merasa seperti Jack, tinggal di pucuk Pohon Kacang
bersama raksasa pemakan orang Inggris. Meski begitu, dibandingkan dengan mimpi
buruk Hobbes[3]
di sekitarku ini, Frank jadi terlihat agak kurang menakutkan. Selain itu, ada
begitu banyak hal lain yang kurenungkan sehingga dengan segera aku hampir mulai
terbiasa akan repih kebaikannya, makan malam cepat saji pemberiannya, serta
candaannya yang tidak lucu—
“Eh, Charlie, pernah dengar
enggak tentang orang cebol yang masuk ke toilet cewek?”
“Sepertinya belum, bung ….”
“Yeah, dia nutupin mukanya
pakai kardus!”
“Ha ha, iya, lucu banget,
wah, sepertinya sudah waktunya tidur—“
“Baru jam delapan kok,
Charlie.”
“Iya, tapi, besok sibuk,”
seraya mengangkat diri dari sofa.
“Sibuk?”
“Yah, enggak benar-benar sibuk sih, maksudku sepertinya aku
mungkin menonton satu-dua film … eh, bung, jadi ingat aku—pinjam lima puluh
paun lagi dong? Kita harus punya anggur yang layak nih. Aku enggak bisa terus
minum Riesling[4]
murahan dari SPBU itu, aku jadi bisulan.”
“Eh, yeah, Charlie, enggak
masalah,” dan ia pun mengelupaskan lembaran uang dari gepokan tebal di
kantongnya.
“Terima kasih. Yah, selamat
malam ya.”
“Malam, Charlie.”
Sering kali saat malam ia
keluar minum-minum bareng kawanannya, lalu keesokan harinya menghiburku dengan
pengalaman-pengalaman luar biasa mereka—betapa si anu “Ste” membeli “sabu-sabu”
dari si polan “Mick si Kontol”, tetapi saat dihirup ternyata itu bukan
“sabu-sabu”, itu zat untuk membunuh semut, maka Ste pun mengamuk, mulai
menggigiti piring, dan berusaha merenggut bola mata Mick. “Kapan-kapan kamu
mesti keluar bareng kita, Charlie,” ucapnya sesekali. “Seru banget, tuh
bocah-bocah.”
“Okelah,” kataku, sementara
cerita itu sendiri saja sudah cukup membuatku meriang.
Sepertinya aku kelewat larut
dalam perenungan untuk menanyai diriku sendiri apa gerangan yang diharapkan
Frank dari membiarkanku tinggal di sini. Aku tidak tahu-menahu persoalan antara
dia dan Bel. Apa pun itu, nama Bel tidak pernah disebut-sebut di apartemen.
Namun kadang aku mendapati Frank memandangku dengan suatu tatapan khusus yang
memendam asa, seakan-akan memang ia mengharapkanku untuk menarik Bel keluar
dari topi. Aku juga penasaran biarpun sambil merinding kalau-kalau ia berencana
memanfaatkanku demi membalas dendam pada Bel, atau menahanku sebagai semacam
Tawanan Cinta.
Meski begitu biasanya ia
datang dan pergi tanpa menggangguku. Aku bisa duduk dan menonton televisi tanpa
terusik. Karena sudah diabaikan oleh dunia, aku pun memutuskan bahwa
sekaranglah waktunya untuk menyelesaikan proyek Gene Tierney, atau, kalau mau
lebih terperinci, memulai proyek Gene Tierney. Tiap siang seusai sarapan, ketika Frank bekerja, aku
menutup gorden (untuk formalitas, supaya ruangannya gelap permanen), duduk di
kursi dengan buku catatan serta segelas Riesling yang rasanya mengerikan, dan
menonton film Gene Tierney, dimulai dari yang awal sekali yaitu The Return of Frank James—di situ
penampilannya celaka sampai-sampai Harvard
Lampoon menyebutnya Penemuan Tierney Wanita Terburuk 1940 dan lebih dari seorang kritikus secara semena-mena
membandingkan dia dengan Minnie Mouse.
Biarpun begitu, bagiku yang sedang nelangsa ini, film-filmnya bagaikan
dikirim dari suatu alam yang lebih luhur dan ramah—kilasan cahaya dari
mercusuar nan jauh di mata bagi kapal yang terhenti karena kurang angin dan
terhalang oleh kabut. Aku butuh
film-film itu. Aku terdesak menontonnya, dan segera aku sampai pada film The Razor’s Edge (1946)[5].
Film ini salah satu
favoritku. Tokoh utamanya, yang dimainkan oleh Tyrone Power, adalah pilot yang
telah kembali dari Perang Dunia I. Ia sama sekali tidak menyukai kengerian yang
disaksikannya dalam perang tersebut dan enggan mengambil bagian dalam lonjakan
ekonomi pascaperang, walaupun Gene, tunangannya, menolak menikahinya kecuali
kalau ia memiliki pekerjaan. Film itu dibuka di suatu pesta dansa mentereng
klub janapada di bawah bintang-bintang. Gene mengajak si tokoh utama menyisih
ke punjung dalam keremangan terang bulan dan berusaha meyakinkan tunangannya
itu akan keuntungan dari ekonomi yang tengah membubung tinggi. Gene memberi
tahu si tokoh utama bahwa Amerika akan segera menjadi negara kaya dan mengerdilkan
apa pun dalam sejarah. Ini merupakan kesempatan khusus bagi pemuda seperti
dirinya dan ia seharusnya menyambut peluang tersebut agar menjadi bagian dari
padanya. Namun Tyrone Power, seraya menatap sendu kejauhan, memberi tahu Gene
bahwa hal itu, di matanya, sama sekali tidak berarti. Ia lantas mengatakan pada
Gene bahwa dirinya hendak pindah ke Paris, menjadi gelandangan.
Gene mengikuti Tyrone Power
ke Perancis. Selanjutnya ada adegan terkenal ketika Gene membawa Tyrone Power
kembali ke apartemennya dan, dengan mengenakan gaun hitam memikat yang
menyerupai selubung pisau kelam, berupaya untuk terakhir kali merayu lelaki itu
agar memasuki dunia merkantilisme. Gaun itu dirancang oleh Oleg Cassini,
pengungsi brilian dari Rusia yang dinikahi Tierney pada 1941. Dalam balutan
gaun tersebut Gene memperlihatkan bukti yang berlebihan bahkan bagi si mantan
pilot suci untuk melawan, setidaknya sepanjang durasi ciuman.
Kuakui ada perasaan terhubung
secara khusus dengan Tyrone Power dalam film ini, terkait sikap membangkang
kami terhadap kehampaan masyarakat modern. Mungkin saja aku sudah
mempertimbangkan untuk menuruti jejaknya dan memindahkan pendirianku ini dari
Bonetown ke lingkungan Paris yang lebih simpatik, seandainya ada sedikit
kebetulan berupa wanita cantik bergaun hitam atau warna lainnya yang mengejarku
ke sana. Akan tetapi, seiring dengan berlalunya waktu, semakin jelas saja bahwa
tidak akan ada kejadian begitu.
Sejak aku pindah kemari tidak
seorang pun dari Amaurot meneleponku, bahkan Mirela pun tidak, walau pernah ada
percakapan menjanjikan antara kami di ruang dansa waktu itu. Sandiwara Terbakar Habis telah mulai
dipertunjukkan di teater kecil di belakang stasiun Tara Street pada malam aku
dikeluarkan dari Hotel Radisson. Ada ulasan pendek mengenai sandiwara tersebut
di koran yang kuambil dari lobi hotel, bukan karena teramat antusias, melainkan
menyetujui betul yang dikatakan sebagai “penampilan pertama yang pantang
mundur” dari Para Pemain Amaurot. Segala yang kubaca tentang mereka sepertinya
terjadi di planet lain. Usai sudah rasa terima kasih Mirela, pikirku nestapa.
Kini aku bukan lagi tuan tanah—karena kini aku tunawisma, sebagaimana dulunya
dia!—rupanya segalanya telah terlupakan.
Adapun Bel, tanpa bermaksud
bermain kata, aku teramat yakin ia telah mengempaskan diri dalam belle époque[6]-nya, tanpa sedikit pun berpikiran bahwa belas kasihannya
telah secara sembrono mengutukku dengan api penyucian dosa ini: walau bukan berarti aku tidak memikirkan
dia, tidak sedikit-sedikit ingin tahu apa gerangan yang dilakukannya sementara
aku duduk menghitungi partikel debu di kursi jebol ini; bukan berarti tiap
malam aku tidak memimpikan rumah, decit
roda troli di sebelah luar jendelaku menjadi gada-gada karatan Mbah Thompson, deru lalu lintas di kejauhan merupakan
suara ombak di pantai Killiney, suasana
malam di kota yang penuh kesuraman menjadi senja Juli ketika aku dan Bel
mengadakan pesta di pekarangan, dengan
Manhattan[7] serta sup
lobster tertata di bawah matahari yang lekas terbenam merentang sejambon
flamingo melintasi seluruh langit; hingga
“Ayo”, bisik Bel, dan kami pun bergandengan tangan menyelinap menembus
pepohonan, ke puncak tebing di mana Ayah telah berjaga dan mendeklamasikan
puisi; di mana langit telah beralih biru temaram seakan-akan untuk selamanya
dan kami pun memandang lautan berlabuh dan tercampakkan lagi oleh rayuan bulan,
dan cahaya kecil-kecil pada daratan jauh di seberang bak nyala kapal karam ….
Kemudian suatu malam aku
terbangun oleh suara gebukan yang terdengar membawa malapetaka. Kegaduhan itu
menggema di langit-langit, dinding, dan lantai atau serupanya. Seluruh
apartemen bergetar tanpa ampun seakan-akan ada gempa kecil terbatas di tempat
tertentu saja.
Aku langsung berpikiran bahwa
ada yang sedang berusaha menghancurkan bangunan ini. Ini pernah terjadi
sebelumnya, Frank bercerita padaku: agaknya saat pengembang tidak bisa
menggusur orang dari hunian yang hendak dirobohkan, mereka akan datang tengah
malam dan pura-pura tidak sengaja mengemudikan lori ke arah bangunan itu. Aku
pun menggosok-gosok mata lalu mengenakan kimono, bermaksud keluar dan memberi
tahu orang-orang itu bahwa mereka salah rumah. Namun begitu melangkah ke ruang tamu aku menyadari
bahwa kegaduhan itu asalnya dari rumah ini. Mesin stereo yang sangat besar
menampakkan wujud di atas televisi. Di samping benda tersebut, sambil
mengibas-ngibaskan kepalanya seiring dengan kegaduhan itu, terdapat mahkluk
yang agaknya musang besar mengilap yang telah belajar berjalan menggunakan dua
kaki. Atau begitulah kesan yang kuperoleh dalam
sepersekian detik sebelum si musang meluncurkan diri ke arahku, lantas, kaget
tiada habis, aku mendapati diriku di lantai sedang dicekik.
Orang ini sungguh-sungguh
sudah berpengalaman mencekik. Dengan cerdik ia meredam perlawananku dengan
membanting-banting kepalaku ke lantai selagi mencengkam leherku. Semenit
kemudian jelas sudah ia menguasaiku dan bisa dibilang bahwa seandainya aku
tidak berhasil menjerit sebelum ia mencengkeram batang tenggorokanku, aku
mungkin sudah lekas mati tersiksa. Namun tepat sebelum aku pingsan, muncul
tangan di pundaknya dan menariknya, lantas serta-merta kehebohan pun terhenti.
Setelah bergulir sambil batuk-batuk sejenak, aku cukup pulih untuk menyeret
separuh diriku ke atas kursi—dan melihat Frank, bukannya memukuli penyerangku
sampai jadi bubur darah, malah menjabat tangan orang itu dan menepuk-nepuk
punggungnya!
“Baik-baik saja Droyd!” kata
Frank. “Gimana memek lu?”
“Lumayan, Frankie,” si musang
terkikih-kikih, “lumayan.” Ia bertubuh kecil dan mengenakan semacam setelan olahraga dengan lapisan dari satin, seperti yang dikenakan aktor-aktor
di pementasan Terbakar Habis waktu
itu. Di seputar lehernya ada rantai emas yang berat, adapun di tangannya
cincin-cincin norak begitu pula tato janggal bertinta biru yang terlihat
seperti bikinan sendiri.
“Ada yang mau menjelaskan
padaku apa-apaan ini?” aku bergarau. “Siapa orang ini? Kesambet setan apa dia
berbuat begitu, datang kemari tengah malam enggak pakai permisi?”
“Ini Droyd, Charlie,” ujar
Frank, lantas berpaling pada orang itu. “Ngapain emangnya kamu ke sini?”
“Aku baru keluar,” kata si
musang.
“Keluar dari mana?” kejarku.
“Dari penjara. Frankie, siapa ini homo?”
“Itu Charlie. Kamu baik-baik
saja, Charlie?”
Aku melambaikan sebelah
tangan dengan tabah dari posisiku di lantai, karena tadi aku roboh lagi demi
mengambil napas.
“Kamu harusnya enggak nyekek
dia kayak gitu, dia tuh rada sensitif gitu.”
“Bukan salah aku,” balas
suara satunya entah dari sebelah mana kepalaku. “Tadi tuh aku enggak nyangka
tahu-tahu ada mumi Mesir nongol kayak gitu.”
“Ha!” Aku menimbrung lagi
dengan suara serak. “Lucu, ya, karena, mengerti kan, tadi tuh aku enggak
menyangka ada orang asing menyusup ke rumahku dan membangunkanku pada waktu
yang enggak kira-kira—“
“Masih kira-kira kok,
Charlie, aku aja belum makan malam.”
“Lucu deh, aku juga belum
kok,” kudengar si bujang musang itu berkata, lantas tentu saja Frank
mengajaknya makan malam bersama kami. Diam-diam aku mencoba minggat, kembali ke
kamarku, namun Frank menjambret lenganku. “Ayolah, Charlie,” katanya. “Yuk
ikutan makan bareng kita. Entar kita semua kan jadi sobat karib.” Maka, baru
setengah jam sehabis diseret dari kasur dan dihajar, aku mendapati diriku duduk
di meja bersama mereka berdua, sembari mendengarkan Frank menyidik si penyusup
tentang bagaimana ia menikmati waktunya selama berada di “tempat yang
jauh”—seakan-akan ia baru pulang dari berendam di Carlsbad[8] saja! Sambil
mati kaku aku membatin kok bisa aku sampai menggiring hidupku ke jalan yang
buruk ini.
“Enggak buruk-buruk amat
kok,” kata Droyd. “Biasa aja, ada enak enggak enaknya. Di situ tuh kita bisa
ketemu sama orang yang kayak di film-film. Kayak kamu tahu kan adegan di Lethal Weapon pas Riggs pakai baju
kekang terus dia nyopot engsel bahunya supaya bisa lepas?”
“Jijik banget tuh adegannya,”
Frank mengingatnya dengan girang.
“Jadi, di Joy[9]
tuh aku ada teman yang bisa kayak gitu. Jadi, dia bisa nyopot engsel bahunya
tapi enggak bisa ngebalikinnya lagi. Sebenarnya sih bukan dia sendiri yang
nyopot tapi sama orang lain namanya Johnny Jari-Buntung. Nah ini dia orang yang
kayak di film tuh, yang betulannya ….”
Agaknya Droyd ditahan karena
kegiatannya selaku begundal penjaja narkoba setempat yang disebut Sepupu Benny.
Sepupu Benny ini tinggal di gedung apartemen yang terletak di sebelah barat,
dan sebenarnya ia bukan sepupu siapa-siapa. Selama persinggahanku di Bonetown
aku mendengar namanya disebut terus, dengan suara direndahkan serta tatapan
sembunyi-sembunyi ke belakang. Bahkan Frank pun tampaknya agak gentar terhadap
orang itu.
“Jancuk,” ujar Frank.
“Gimana ceritanya kamu terlibat sama tuh bajingan?”
“Waktu itu kan aku madat,”
kata Droyd blakblakan. “Kamu tahu sendiri gimana. Uang enggak pernah cukup. Aku
mulai deh ngegarong nenek-nenek. Tapi terus itu enggak cukup, jadi aku mulai
ngegarong mobil. Tapi terus itu enggak cukup juga. Jadi aku mulai kerja sama
Benny. Ya wajar aja sih kalau dipikir-pikir. Dia suka kasih diskon karyawan.”
Ia mengunyah, menelan, dan meletakkan garpunya. “Ah yeah, awalnya sih
senang-senang saja,” ucapnya disertai desahan. “Tapi akhirnya sia-sia, sia-sia.
Lagian, itu semua udah lewat. Aku udah berubah, ya pak.”
Droyd mencondongkan badan dengan siku melekat di lutut dan mematahkan buku jemarinya. Cahaya televisi
bersembunyi-sembunyian di wajahnya yang ceking. Sesaat hampir-hampir aku merasa
kasihan padanya, dan hendak bertanya apakah ia menggunakan heroin untuk
menggantikan harga diri yang tidak diberikan masyarakat padanya, ketika, sambil
mengalihkan perhatian ke piring di hadapannya, ia berkata, “Eh, kamu merhatiin
enggak pasta tuh bunyi beceknya kayak nyoliin cewek?”
“Hah?” sahut Frank.
“Dengar deh.” Droyd mengambil
garpu lalu menekan-nekankannya pada pasta hingga terdengar bunyi menepuk,
menyeruput, dan mengisap. “Ngerti kan? Kedengarannya tuh persis kayak waktu
jari ngocok memek.”
Aku meletakkan piringku dan
menarik napas dalam-dalam. “Hei,” imbauku.
“Benar juga,” sahut Frank.
“Ajaib, ya.”
“Hei, berhenti dong, bisa
enggak sih?”
Namun kini Frank telah
bergabung dengan pasta di piringnya,
dan suasana pun jadi penuh bebunyian cabul. “Coba deh, Charlie. Ajaib lo.”
Aku tidak tahan lagi. Seraya
menempelkan saputangan ke bibir, aku terhuyung-huyung menjauh dari meja,
menyambar telepon sementara mereka tidak melihat, dan membawa benda itu ke
kamarku. Di sana, seraya berlutut dalam kegelapan, aku mengusap setetes air
mata dan memutar nomor Boyd. Lama rasanya hingga telepon diangkat. Lantas yang
terdengar di ujung sana hanyalah suara garau yang pelan.
“Boyd?” bisikku. “Ini kamu?”
“Charles …” sahut suara garau
mengibakan itu.
Ia seperti bukan dirinya
saja—malah, ia kedengarannya seperti bukan manusia. Aku dilanda gelombang rasa
takut yang menggentarkan. “Kamu kenapa?” tanyaku. “Kamu kena pilek parah juga?”
“Bukan pilek,” bisiknya.
“Bukan? Jadi apa dong?”
“Demam Lassa[10],” ucapnya
sendu.
“Demam Lassa?”
“Sepertinya,” sahutnya,
seraya berjeda sebentar akibat serangan batuk panjang yang tiba-tiba.
“Tetapi mana mungkin,” aku
bersungut-sungut, seraya mencomot telepon dan membawanya ke seberang ruangan.
“Kok bisa? Dari mana kira-kira kamu kena demam Lassa?”
“Pramugari,” ujarnya pahit.
“Oh,” lututku terasa lumpuh
dan kurebahkan diri di kasur. “Oh, sial.”
Salah seorang dari pramugari
tersebut membawanya dari Afrika, dan kini seluruh rumah kena penyakit itu.
Mereka semua dikarantina, kata Boyd. “Bahkan ada polisi berjaga di pintu,”
ucapnya muram. “Kalau-kalau kami mencoba kabur dan menggosok-gosokkan diri ke
penjaga toko setempat. Enggak ada yang boleh masuk selain dokter.”
Aku merosot bersandarkan
dinding. Aku tertampar oleh perasaan ngeri akan situasi tak terelakkan
sebagaimana yang telah kualami sebelumnya di hotel. Seakan-akan aku bukanlah
penguasa atas nasibku sendiri, seakan-akan ada seseorang atau sesuatu yang
hadir untuk memberiku pelajaran. Tawa carut membahana dari dapur.
“Maaf, bung,” gumam Boyd.
Kuusap rahangku pilu. Mau apa
lagi. Boyd pun terdengar semakin parah saja kondisinya seiring dengan
berjalannya menit. Aku menyuruhnya tidur sebelum ia semaput.
“Ya,” suaranya tertelan di
ujung sambungan. “Baiknya begitu. Badaknya akan segera datang, mengerti kan.”
“Benar, jadi tidurlah.”
“S i al … wabah sialan,
Charles … sedikit-sedikit aku jadi bangun … ingin main poker telanjang ….”
“Iya, iya. Hei, jadilah anak
baik dan—“
“Aku kasih tahu dia, ‘g’mana
bisa kamu main poker telanjang? M’k’s’d’ku, kamu kan b’d’k keparat, jadi (a)
pertama kamu enggak punya tangan, dan
(b) kamu enggak … sama sekali … pakai baju, jadi s’dah jelas, jelas kan ….”
Droyd tidak pulang ke
rumahnya malam itu, begitu pula keesokan paginya, dan hampir sepanjang siang
berikutnya aku terpaksa mendengar apa yang dia sebut, agaknya tanpa ironi,
sebagai “musik”nya. Kadang kedengarannya seperti metal raksasa yang—tank,
mungkin, atau seperangkat perkakas yang sangat besar—terguling-guling menuruni
tangga yang tidak habis-habis. Kadang kedengarannya seperti seratus ribu
pasukan Nazi berderap melewati Place de la République. Agaknya bebunyian itu secara umum bermaksud
menangkap suara runtuhnya peradaban, dengan sedemikian nyaring hingga ketika
diperdengarkan orang hanya mampu berbaring di kasur sambil menggigil.
Sudah tentu orang tidak suka
bersikap judes, namun keesokan harinya ketika ia masih ada aku mulai merasa
bahwa kebaikan hati kami tengah dimanfaatkan. Selagi bagian ingar-bingar dalam kegaduhan
yang diputarkannya, aku menggiring Frank ke sisi dapur untuk bicara singkat.
“Ada apa, Charlie?” serunya,
seraya mengambil sekaleng bir dari kulkas.
“Aku bilang tadi, sudah tentu
orang enggak suka bersikap judes,” aku balas berteriak sambil menutupi kedua
belah telingaku, “tapi yang kumaksud, dia enggak ada rencana pulang
sewaktu-waktu?”
“Enggak tahu, Charlie. Kenapa
kamu enggak tanya dia?”
“Aku enggak mau ah
tanya-tanya—“ tukasku. Sia-sia saja. Seiring dengan setiap gebukan
cangkir-cangkir di rak piring meloncat semakin ke tepi, sudah jelas bagaimana
nantinya.
“Begini, si Droyd tuh
soalnya—nih, mau minum?”
“Enggak,” sahutku, namun ia
tidak mendengar dan menyerahkan sekaleng Hobson’s Choice[11] yang sudah
dibuka. Itu bir termurah yang sedang didiskon di SPBU.
“Soalnya Droyd itu sebenarnya
enggak punya rumah. Jadi mungkin mending dia di sini dulu, sampai problemnya
beres. Maksudnya sih kita enggak mau kan dia balik ke si Sepupu Benny jancuk
itu, gitu.”
“Enggak,” kataku, “enggak,
idealnya kita—“
“Lagian, rumah ini cukuplah
buat kita bertiga. Enak kan ada musik, tempatnya jadi rada meriah, ya enggak?”
Aku hendak menanggapi secara
sarkastis, namun seketika menyadari bahwa gara-gara musik itu tambalan di
langit-langit jadi copot, alih-alih aku pun kembali ke kamar dan mengepompong
diriku sebisa mungkin dalam selimut rombeng.
Di sisi lain, sepertinya aku
berutang budi pada Droyd. Karena harus mengambil keputusan sendiri, akibatnya
aku mungkin terapung-apung selamanya dalam fuga pasca-Amaurot. Berkat dia, situasinya
seketika nyaris jadi tidak tertahankan lagi.
Contoh sederhana saja,
sungguh berat berbagi ruangan dengan dia. Ia membuat Frank terlihat seperti
Noel Coward[12].
Sementara aku berupaya menonton Pertandingan Uji Coba kriket, ia terus saja
merusak suasana dengan meneriakkan “Howzat”[13] pada waktu
yang tidak tepat, bahkan setelah aku menjelaskan panjang-lebar padanya secara
cermat maksud istilah tersebut. Ia
bersikeras menyebut tim Pakistan sebagai “Keling” sedang Inggris sebagai
“homo”. Udara selalu sesak oleh asap rokok kanabis, yang diisapnya kurang lebih
tanpa henti, akibatnya aku terus terkantuk-kantuk. Selain itu, tiap sekitar
lima menit, tanpa ternyana, boleh dibilang, stereonya berdebuk mahakencang
hingga aku melonjak dari tempat dudukku. Saat kutanya kalau-kalau ia sudi mematikan stereonya
barang sejenak dan mungkin melanjutkan bacaannya, dikatakannya padaku ia
“mending menyetrika karungnya[14]”. Setelah
percakapan terakhir inilah, seingatku, aku beranjak mengambil koran yang kucuri
dari Hotel Radisson untuk melihat kalau-kalau aku bisa menemukan tempat tinggal
yang lain.
Ada beberapa kolom berisi
apartemen yang disewakan. Aku melingkari setengah lusin dan mencatat waktu
kunjungnya. Semuanya mahal, seperti kata Droyd sewaktu melihat yang kulakukan.
“Jancuk!” serunya,
seraya membaca dari balik bahuku. “Dari mana kamu mau dapat uangnya?”
“Itu urusanku,” ujarku
sengit, sambil merenggut koran itu dari penglihatannya.
“Sekarang mah orang mesti
jadi jutawan buat hidup di kota,” renungnya.
“Iya, sudahlah,” gerutuku.
Namun toh ada kesulitan. Aku tidak perlu membuka laporan kartu kreditku yang
dengan baik hatinya telah diteruskan Bunda padaku untuk mengetahui bahwa masaku
sebagai jutawan telah lama berlalu. Tetapi sungguh aku tidak bisa terus-terusan
hidup seperti ini. Mau bagaimana lagi selain meminjam uang lagi pada Frank.
Namun, saat aku membawa Frank menyisih untuk bicara singkat mengenai hal
tersebut malamnya, ia bilang dirinya tidak punya uang untuk keperluan itu.
“Apa maksudmu?” ujarku.
“Kupikir bisnis lagi melonjak.”
“Enggak melonjak banget
juga,” sahutnya. “Lagian harus bayar sewa, makan, dan sebagainya buat kalian
kan ….”
“Baik, baik,” sergahku. Apa
karena ia menikmati diriku jadi hina? Apa karena itu? Kuseka kening dengan
punggung tangan.
“Kamu kan bisa kerja,
Charlie. Aku ada teman yang punya gudang, kalau kamu mau aku bisa nelepon dia.
Anaknya baik kok, lagian uangnya—“
“Kerja, oh iya,” cetusku.
“Kenapa aku enggak kerja saja, menjual jiwaku pada penawar tertinggi, dan semua
orang pun senang. Menurutku, ya, itu pemikiran teramat rendah dari yang disebut sebagai masyarakat ini bahwa zaman sekarang satu-satunya cara manusia dapat bertahan
hidup yaitu dengan mengorbankan cita-cita,
mimpi, dan seluruh jati dirinya—“
“Itu dia,” Frank menyetujui.
“Kayak babeku bilang, di dunia ini enggak ada yang gampang.”
“Tunggu sebentar,” mendadak
mataku menangkap sesuatu pada koran di meja. “Lihat ini—“ aku melipat halaman
itu dan mengangkatnya. “Muak dengan balapan tikus di dunia kerja? Masih menanti
potongan pai[15]
Anda?”
“Mana?”
“Nih, lihat? Yang ada gambar
painya, dengan tikus yang terlihat sedih?”
“Oh iya.”
“Capek melihat teman-teman
Anda maju sementara Anda terjebak oleh pekerjaan yang itu-itu saja? Dublin
sedang melonjak, dan ada cukup bagian untuk semua orang. Jika Anda menginginkan
potongan pai Anda, hubungi Sirius Recruitment, ahli solusi TI, multimedia, dan
bisnis elektronik terbaik dan terkemuka di Irlandia SEKARANG JUGA. Mengapa
buang waktu lagi? Teleponlah sekarang juga dan BERGABUNGLAH DENGAN PESTANYA!”
Kuletakkan koran itu kembali disertai perasaan terbebas dari cela. “Yah, ini
dia, bung. Ini dia jawabannya. Sampaikan salamku pada Broadway[16], kalau kau
sempat.”
“Eh, bukannya itu kerja
serbakomputer, Charlie?”
“Apaan tuh?”
“Kayak, TI, multimedia, dan
seterusnya.”
“Jadi, kenapa kalau iya? Aku
bukan idiot, kan? Aku pernah kuliah, aku bisa belajar caranya memultimediakan
dan sebagainya. Lagi pula, itu mah cuma jargon industri. Pokoknya mereka ingin
orang yang punya semangat pasti-bisa, seperti diriku. Aku mau pergi dan menemui
mereka ah.”
“Yeah, kalau itu enggak
berhasil aku bisa nelepon temanku ….”
“Ya, yah, terima kasih deh,
walaupun aku mau-mau saja terperangkap dalam balapan tikus kumuh di gudang
sedangkan, mengerti kan, teman-temanku pada maju dan Bel berkeliaran di
awang-awang teatrisnya yang indah,” sambil menjangkau kulkas untuk mengambil
sekaleng bir, “aku harus mulai memikirkan diriku sendiri. Aku tidak akan
menghabiskan tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku dengan tidur di lantai rumah
orang.”
“Kamu butuh rumah sendiri oke
deh,” Frank menyetujui.
“Yah tentu saja aku maunya
sih pindah ke rumah yang dulu,” aku menarik tutup kaleng itu dengan mantap di
meja. “Di dunia ideal terang saja itu bukan persoalan. Tetapi teater edan
inilah yang diinginkan Bel dan jangan harapkan aku supaya menggantungkan
hidupku kalau-kalau nanti rencana itu berjalan keliru. Aku harus meninggalkan
rumah itu dan, mengerti kan, menuntut potongan paiku. Sekarang aku berdikari.
Sampaikan salamku pada Broadway.”
“Yeah, tadi kamu sudah bilang
itu Charlie.”
“Yah, aku
bersungguh-sungguh.”
[1] 1714 – 1830 (1837), masa
pemerintahan dalam sejarah Inggris oleh raja-raja yang semuanya bernama George
(George I, George II, George III, dan George IV)
[2] Sebutan bagi polisi di Irlandia
[3] Thomas Hobbes (1588 – 1679),
filsuf Inggris yang menyatakan bahwa tanpa adanya pemerintahan absolut manusia
akan saling memerangi
[4] Anggur putih dari Eropa atau
California
[5] Dalam kurun waktu antara The Return of Frank James (1940) dan The Razor’s Edge (1946) Gene Tierney membintangi 14 film lainnya
[6] Masa keemasan
[7] Jenis koktail
[10] Penyakit akut disebabkan oleh
virus, pertama kali dikenali di Afrika
[11] Selain nama bir, Pilihan Hobson merupakan ungkapan untuk pilihan yang hanya memiliki satu opsi, “ambil atau
tinggalkan”, konon berasal dari Thomas Hobson (1544 – 1631), pemilik peternakan
di Inggris
[12] Aktor, dramawan, dan komposer
Inggris (1899- 1973)
[13] Dari “how is that?”, seruan dalam pertandingan kriket dari pemain
penangkap bola pada wasit
[14] “sack(+ing) dapat berarti
perampokan, penggarongan
[15] “Slice of the pie” dapat berarti bagian dari keuntungan
[16] “Give My Regards to Broadway”, lagu karya George M. Cohan untuk
pertunjukan musikal Little Johnny Jones yang
pertama kali dipentaskan di teater Broadway pada 1904. Lagu ini dinyanyikan
pada tokoh yang hendak berlayar ke Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar