Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170513

Bayangan (Isaac Bashevis Singer, 1965)


Sejak pindah ke desa, aku merasa diriku mulai mengantuk pada pukul sepuluh malam. Aku pergi tidur bersamaan dengan burung-burung betet dan ayam-ayamku di kandang. Di tempat tidur, dengan saksama aku membaca Phantasm of the Living[1], meskipun semestinya aku segera mematikan lampu. Hingga pukul dua pagi aku dicengkam oleh tidur tanpa mimpi—atau pernah juga dengan mimpi yang tak dapat kuingat. Pada pukul dua, aku bangun dalam keadaan segar sepenuhnya. Kepalaku berdengung dengan banyaknya rencana dan kemungkinan. Pada malam musim dingin yang hendak kukisahkan, muncul ilham padaku untuk menulis tentang seorang Komunis—sebetulnya, teoritikus Komunis—yang menghadiri sebuah konferensi sayap kiri mengenai perdamaian dunia dan melihat hantu. Aku melihat semuanya dengan jelas: ruang pertemuannya, potret Marx dan Engels, mejanya yang dilapisi selembar kain hijau, serta si Komunis, Morris Krakower, seorang pria gemuk pendek berambut cepak dan sepasang mata laksana baja di balik pince-nez[2] berlensa tebal. Konferensi itu berlangsung di Warsawa pada tahun tiga puluhan, pada era terjadinya teror oleh para pengikut Stalin dan Pengadilan Mokswa. Morris Krakower menyembunyikan pembelaannya terhadap Stalin dalam jargon teori Marxis, tapi semua orang dapat menangkap maksudnya. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa hanya kediktatoran proletariat yang dapat menjamin kedamaian, dan, oleh karena itu, tidak ada penyelewengan baik ke kanan maupun ke kiri yang boleh dibiarkan. Perdamaian dunia ada di tangan NKVD[3].

Setelah menyampaikan laporan, para delegasi berkumpul dalam acara ramah-tamah. Sekali lagi, Kamerad Krakower berbicara. Secara resmi, ia salah seorang delegasi, namun nyatanya ia perwakilan dari Komintern. Janggutnya yang seperti janggut kambing mengingatkan orang pada Lenin. Suaranya berbunyi seperti logam pejal. Ia tertambat sepenuhnya pada Marxisme dan menguasai beberapa bahasa. Ia memberi kuliah di Sorbonne. Setahun dua kali, ia bepergian ke Mokswa. Dan, seakan ini semua belum cukup, ia juga putra orang kaya: ayahnya memiliki beberapa sumur minyak di dekat Drohobycz. Sebagai seorang petugas partai, ia tidak memerlukan gaji.

Morris Krakower pandai berkonspirasi, namun intrik tidak diperlukan di sini. Pers dibolehkan mengikuti pertemuan tersebut dan polisi telah menyusupkan mata-mata mereka, namun Morris tidak takut ditangkap. Bahkan kalaupun ia ditahan, itu tidak akan menjadi tragedi besar. Di penjara, ia bisa mencurahkan waktunya untuk membaca. Ia akan menyelundupkan naskah-naskahnya ke luar untuk menggerakkan massa. Beberapa minggu di penjara malah hanya akan meningkatkan martabat seorang pekerja Partai.

Di luar, cuaca beku. Salju turun menjelang malam. Acara minum teh berakhir, dan Morris Krakower menuju hotelnya. Jalanan licin, menyerupai padang putih yang dilintasi oleh trem-trem listrik separuh kosong. Para pemilik toko telah menurunkan tirai jendela mereka dan sedang tidur nyenyak. Di atas bubungan atap, tak terhitung banyaknya kerlip bintang. Seandainya di planet lainnya ada makhluk berakal, pikir Krakower, barangkali kehidupan mereka juga diatur oleh rencana lima tahunan. Ia tersenyum membayangkannya. Bibirnya yang tebal terbuka, menampakkan giginya yang kotak-kotak besar.

Seorang wanita gila duduk di pinggir jalan. Di sampingnya ada sekeranjang penuh koran usang dan kain gombal. Matanya menyorot galak. Ia bercakap-cakap sendiri dan tak keruan. Tak jauh dari situ, seekor kucing jantan meraung. Seorang penjaga malam dengan tudung dan jaket berbulu sedang mengecek kunci para pemilik toko. Morris Krakower masuk ke dalam hotelnya, mengambil kunci dari petugas, dan menaiki lift ke lantai empat. Panjangnya koridor mengingatkan dirinya pada penjara. Ia membuka pintu ke ruangannya dan masuk. Seprainya telah diganti oleh pelayan. Yang perlu dilakukannya tinggal mencopot pakaian. Konferensi besok dimulai telat, jadi Morris bisa segera tidur.

Ia mengenakan piama baru. Betapa tidak karismatiknya seorang tokoh bertelanjang kaki dalam piama yang tidak pas ukurannya! Ia berbaring di kasur dan mematikan lampu meja. Ruangan itu pun menjadi gelap dan sejuk, dan dengan segera ia tertidur.

Tiba-tiba, ia merasa selimut di kakinya ditarik. Ia pun bangun. Apa itu? Apa ada kucing di ruangan ini? Anjing? Ia mengenyahkan kantuknya dan menyalakan lampu. Tidak ada apa-apa. Pastilah itu cuma khayalannya. Ia mematikan lampu dan merebahkan diri, tapi ada yang mulai menarik selimutnya lagi. Mau tak mau Morris menariknya kembali atau bagian lain tubuhnya akan tersingkap. “Apa-apaan ini?” ia bertanya-tanya sendiri. Sekali lagi ia menyalakan lampu. Rupanya, ia merasa cemas. Ia terkejut, sebab toh kesehatannya baik-baik saja dan istirahatnya cukup akhir-akhir ini. Segalanya pun berjalan dengan lancar di konferensi.

Ia mengangkat selimut dan memeriksa seprai. Ia turun dari tempat tidur dan memastikan pintu telah dikunci. Ia menengok ke dalam lemari. Tidak ada apa-apa. “Pasti aku cuma bermimpi,” ia menyimpulkan, meski ia menyadari itu bukanlah mimpi. “Halusinasi?” Morris Krakower gemas pada dirinya sendiri. Ia mematikan lampu dan kembali ke tempat tidur. “Cukup dengan semua kebodohan ini!”

Tapi pastilah ada seseorang yang menarik selimutnya lagi. Morris duduk di tempat tidurnya dengan segenap tenaga hingga pegas kasurnya berbunyi keras. Ada semacam makhluk tak terlihat yang sedang menarik selimutnya dengan kekuatan tangan manusia. Morris tidak bergerak sama sekali. “Apa aku sudah gila?” pikirnya. Apa aku tengah mengalami gangguan saraf?

Ia melepaskan selimut, dan kehadiran yang tak kasat mata itu, kekuatan yang keberadaannya mustahil, dengan lekas menariknya sampai ke ujung tempat tidur. Morris tersingkap hingga lutut. “Setan apa ini?” ucapnya keras-keras. Ia ketakutan meski tak mau mengakuinya. Ia mendengar jantungnya berdebar keras. Ini mesti ada penjelasannya. Tidak mungkin ini hantu.

Begitu kata itu memasuki kepalanya, kengerian mencengkeramnya. Barangkali ini semacam sabotase. Tapi oleh siapa? Dan bagaimana? Seluruh selimutnya telah jatuh dari tempat tidur. Morris hendak menyalakan lampu, tapi ia tak dapat menemukan saklarnya. Kakinya dingin, tapi kepalanya panas. Tak sengaja ia menjatuhkan lampu dari meja. Ia melompat dari tempat tidur dan berusaha menyalakan lampu di atas kepalanya, tapi ia menubruk kursi. Ia mencapai saklar dan menyalakan lampu. Selimutnya tergeletak di lantai. Kap pada lampu di meja tadi telah lepas dari lampunya. Lagi-lagi Morris menengok ke dalam lemari, beranjak ke jendela, dan menaikkan kerai. Jalanan putih dan lengang. Ia mencari-cari pintu menuju ke ruangan lainnya, tapi tidak ada satu pun. Ia membungkuk dan meraba-raba kolong tempat tidur, lalu membuka pintu ke koridor. Tidak ada siapa-siapa. “Haruskah aku memanggil portir? Tapi apa yang bisa kusampaikan padanya? Tidak, aku tidak bisa mempermalukan diriku sendiri!” putusnya. Ia menutup pintu, menguncinya, dan menurunkan kerai. Ia meletakkan kembali selimut pada tempat tidur dan memasang kap pada lampu. “Ini gila,” gumamnya.

Morris Krakower berpeluh, meski ruangan itu dingin. Telapak tangannya basah. “Ini pasti semacam neurasthenia[4],” ucapnya, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia merasa lebih baik membiarkan lampunya menyala untuk sementara, namun merasa malu akan kekecutan hatinya itu. “Aku tidak boleh sampai jadi korban takhayul!” Ia memadamkan lampu dan kembali ke tempat tidur dengan langkah goyah. Ia bukan lagi Morris Krakower yang percaya diri seperti sebelumnya, juru bicara Komintern. Kini ia seorang pria yang ketakutan. Akankah apa pun itu menariki selimutnya lagi?

Sejenak, Morris berbaring diam. Selimutnya pun bergeming. Dari luar jendela, ia mendengar suara term listrik teredam. Ia toh sedang berada di pusat kota yang beradab dan bukannya di gurun ataupun di Kutub Utara. “Ini semua hanya dalam pikiranku saja!” pikirnya. “Aku harus tidur!” Ia memejamkan mata. Serta-merta ia merasakan sentakan. Bukan, itu bukan sekadar sentakan melainkan renggutan yang kuat. Dalam sekejap, selimutnya diseret sampai ke pinggangnya. Morris menjangkau, menangkap selimutnya, dan berusaha merenggutnya kembali cepat-cepat. Tapi ia harus mengerahkan segenap tenaganya, sebab pengunjung malamnya itu menarik dengan kuat dari arah berlawanan. Pengunjungnya itu lebih kuat, sehingga Morris mau tak mau menyerah. Ia mendesah, menggerutu, mencaci-maki. Perjuangan singkat itu membuatnya bersimbah peluh. “Kutukan apa yang menimpaku!” ucapnya, meniru ekspresi yang biasa digunakan ibunya. Demi apa kegilaan semacam ini mesti terjadi padanya! Bagaimana bisa? “Ya Tuhan, mungkinkah setan itu benar-benar ada? Jika begitu, maka runtuhlah segalanya.”



Aku tertidur dan memimpikan salah satu mimpi yang muncul berulang-ulang selama bertahun-tahun. Aku tengah berada di sebuah gudang bawah tanah tanpa jendela. Aku menggunakannya sebagai tempat persembunyian, kalau bukan menempatinya. Gudang itu tinggi dan gelap. Lantainya kotor bekas roda dan bergunduk. Aku merasa takut, tapi aku tahu aku harus tetap berada di sana selama beberapa waktu. Aku membuka sebuah pintu dan mendapati diriku berada di sebuah ruangan yang sempit dan gelap dengan sebuah tempat tidur terbuat dari jerami tanpa alas. Aku duduk di tempat tidur itu dan berusaha menenangkan diri, tapi ketakutanku malah menjadi-jadi. Aku mendengar suara-suara. Sesosok gelap, sehalus jaring laba-laba, bergerak perlahan di sekitar koridor, sambil berbisik-bisik. Aku harus melarikan diri, tapi jalan kembalinya tertutup. Aku mencari jalan keluar lainnya, tapi adakah? Koridornya menyempit, berliku, dan menurun. Aku tidak lagi berjalan tapi merayap, seperti cacing, menuju sebuah lorong, tapi akankah aku mencapainya? Tunggu! Aku meninggalkan sesuatu di ruangan lain—sebuah dokumen, sebuah naskah—dan aku harus kembali untuk mengambilnya. Ini bukan satu-satunya rintangan. Ajaib, kutil-kutil menyerupai tanduk bertumbuhan di lenganku. Saat-saat terakhir dalam mimpi itu penuh dengan kesukaran berlika-liku yang terlalu banyak dan ganjil untuk diingat. Seketika segalanya menjadi tak masuk akal, dan dalam mimpiku sekalipun aku menyadari bahwa aku harus bangun dari mimpi buruk ini, sebab kekuatan yang menuntunnya tak pernah hendak mengambil risiko menampakkan diri. Ia bermain-main sesuka hatinya. Ia melontarkan racauan mengerikan, menjelmakan ilusi menjadi gambaran olok-olok.

Aku membuka mataku dan menyadari bahwa aku harus ke kamar mandi. Alangkah ruwetnya cara untuk memberi tahu orang bahwa ia harus kencing! Setelahnya, aku kembali ke tempat tidurku dan berbaring dalam diam, masih takjub akan lika-liku otak yang sedang tidur. Mungkinkah ada penjelasan mengenai semua ini? Adakah suatu hukum yang mengatur mimpi buruk? Satu hal yang pasti: mimpi ini berulang bagaikan motif dalam sebuah simfoni kegilaan.

Beberapa waktu kemudian, aku teringat akan tokoh utamaku, Morris Krakower. Apa yang terjadi padanya? Oh, ya, lawannya yang bisu menarik lebih keras, dan Morris mau tak mau melepasnya. Saking terpikatnya ia dalam permainan itu sampai-sampai sesaat ketakutannya terlupakan. Tahu-tahu, makhluk yang satunya itu berhenti menarik selimut, dan Morris Krakower melihat sesosok wujud. Ia menyadari bahwa tarik-menarik selimut ini semata cara untuk mendapatkan perhatiannya atas makhluk halus tersebut.

Tak jauh dari padanya, di ujung tempat tidur, berdiri Kamerad Damschak yang beberapa tahun lalu pergi ke Rusia Soviet, mengumumkan serangan amarah yang isinya menuduh sejumlah penulis pengikut Trotsky, dan kemudian menghilang. Wajahnya menyerupai Damschak, namun tubuhnya seakan terkelupas bagaikan kadaver yang digunakan di sekolah kedokteran untuk pelajaran anatomi. Urat dan pembuluh darahnya terlihat jelas, memancarkan cahaya berpendar. Morris Krakower amat terpesona hingga lagi-lagi ia lupa akan ketakutannya. Makhluk halus itu berangsur-angsur memudar di hadapan tatapan takjubnya. Selama beberapa saat, yang tersisa tinggal selaput atau jejak serupa jaring-jaring samar, tak lagi tampak namun tak sepenuhnya sirna. Seketika jaring-jaring itu pun lenyap.

Morris Krakower berbaring diam selama beberapa menit atau barangkali detik (siapa yang dapat menghitung waktu dalam keadaan seperti itu?). Lalu ia menggapai lampu dan menyalakannya. Sekarang ia sudah tidak ketakutan. Ia mengambil selimut, yang tadi nyaris jatuh seluruhnya dari tempat tidur. Ia tahu dengan amat pasti bahwa sekarang ia tidak akan diganggu lagi. Ini cara Kamerad Damschak untuk memaksa Morris menyaksikan hantunya.

Tapi bagaimana? Dan mengapa? Bagaimana memahaminya? Ini menentang penjelasan ilmiah. Bagai makanan yang tersangkut di tenggorokan, yang tak dapat ditelan ataupun dikeluarkan, hal itu memancangkan sebuah pertanyaan dalam pikiran Morris yang tak dapat dijawab ataupun dienyahkan. Otaknya menjadi hening. Untuk pertama kali dalam ingatannya, pikirannya kosong sama sekali, seakan terkatung-katung dalam sebuah ruang hampa. Ia merasa kedinginan, namun ia bukannya menyelimuti dirinya. Ia berharap semuanya itu hanya mimpi. Tapi sesuatu menyadarkannya bahwa ia tahu bedanya antara mimpi dan kenyataan. Sepintas ia menatap jam di meja—waktu menunjukkan pukul tiga lewat seperempat. Ia mengangkat jam itu ke dekat telinganya dan mendengarkan mesin di dalamnya bekerja. Di luar, sebuah trem listrik melintas, dan ia bisa mendengar roda-rodanya bergesekan. Kehidupan nyata masih ada.

Beberapa lama, Morris duduk di tempat tidurnya tanpa memikirkan apa-apa, tanpa teori apa-apa—seorang pengikut Lenin yang baru saja melihat hantu. Lalu ia berbaring, menyelimuti dirinya, mengalasi kepalanya dengan bantal. Ia memejamkan matanya, meski tak berani mematikan lampu.

“Jadi, apa yang mesti dilakukan sekarang?” Ia bertanya-tanya sendiri, dan tak dapat menemukan jawabannya. Ia tertidur, dan ketika terbangun lagi, ia tahu jawabannya: itu semua hanya mimpi. Kalau tidak begitu, ia, Morris Krakower, harus melepaskan segalanya: Komunisme, ateisme, materialisme, Partai, segala pendirian dan tanggung jawabnya. Dan apa yang mesti dilakukannya kemudian? Menjadi religius? Berdoa di sinagoge? Ada kenyataan yang harus diingkari, sekalipun oleh dirinya sendiri. Ada rahasia yang harus disimpan hingga ke dalam kubur.

Satu hal yang jelas: Damschak yang senyatanya tak ada di sini, sebab jasadnya ada di Rusia. Yang Morris lihat adalah bayangan mental, yang dibangun otaknya karena sebab tertentu. Barangkali itu karena Morris dan Damschak dulunya bersahabat, dan ia belum dapat berdamai dengan kenyataan bahwa di Rusia Damschak berkhianat. Orang toh bisa bermimpi selagi terjaga.

Morris Krakower tertidur lagi. Paginya, ketika ia mengangkat kerai, cahaya matahari menyirami ruangan itu. Musim dingin sama cerahnya dengan musim panas. Morris mengamati selimut. Ia mendapati bekas jarinya pada kain tersebut. Benangnya tampak terurai. Jadi ini menunjukkan apa? Sudah pasti, ia benar-benar menariki selimut itu semalam. Tapi di ujung satunya selimut itu tidak tampak adanya bekas perlawanan. Hantu itu tidak meninggalkan jejak.

Malam itu Kamerad Krakower menyampaikan pidato singkat tanpa logika, kemantapan, dan kelancaran sebagaimana yang disampaikannya pada hari kemarin. Sesekali ia menggagap; ia berbuat kekeliruan. Berkali-kali ia mencopot pince-nez dari hidungnya dan memasangnya kembali. Pokok pidatonya yaitu bahwa sekarang ini hanya ada satu partai yang revolusioner: Partai Komunis. Alat pemerintahan Partai yang utama yaitu Komite Pusat dan sekretariatnya. Meragukan Partai berarti meragukan Marx, Lenin, Stalin, dan kejayaan proletariat yang penghabisan—dengan kata lain, membelot pada kelompok kapitalisme, imperialisme, fasisme, agama, dan takhayul.[]



Isaac Bashevic Singer (1902-1991) adalah penulis Amerika-Yahudi kelahiran Polandia. Ia memperoleh penghargaan Nobel Sastra pada 1978. Cerpen ini aslinya ditulis dalam bahasa Yiddish pada 1965 dengan judul “Di Temes” (dalam bahasa Inggris secara harfiah: “The Themes”) dan diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Aliza Shevrin yang pertama kali dipublikasikan di The New Yorker, 26 Januari 2015 dengan judul “Inventions”.



[1] Buku karangan Edmund Gurney (1847-1888), Frederic W. H. Myers (1843-1901), dan Frank Podmore (1856-1910) yang terbit pada 1886 dalam dua volume dan membahas tentang telepati.
[2] Kacamata tanpa gagang.
[3] Narodnyy komissariat vnutrennikh del atau Komisariat Rakyat untuk Urusan dalam Negeri, dibentuk pada 1934 oleh Partai Komunis se-Uni Soviet (Bolshevik) dan dibubarkan pada 1954.
[4] Gangguan jiwa yang menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan tidur, cepat marah, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: