“Era baru
jahanam,” suara Hoyland melalui sesuap selada kepiting. Ia menatap mulas pada
kawanan orang keuangan yang sedang makan sajian siang penuh selera di ruangan
panjang dengan banyak hiasan itu. Kami berada di salah satu kafe baru.
Ruangannya lega, berpenyangga kayu, dan dilapisi poster-poster dari 1920-an.
Aku baru saja menanyai Hoyland sebabnya ia mengenakan setelan yang menyesalkan
itu.
“Kamu
tahu, seharusnya aku enggak berada di sini sama sekali,” ujarnya. “Aku telah
mengundurkan diri dari kehidupan ramai. Pindah kembali ke Inggris, berpikir
untuk memancing barang beberapa bulan sebelum memulai lagi malapetaka—yah,
tahulah. Rencana paling sempurna belum tentu menjamin keberhasilan, Hythers.
Balik ke Kerry sedang ada perang habis-habisan antara si babe dan dewan kota.”
“Perang?
Eh, kamu benar soal roti lapis ini ….”
“Karena
mozzarella-nya. Diimpor langsung dari
Tyrol, pakai helikopter.” Ia
menepuk-nepuk mulutnya dengan serbet. “Tampaknya dewan diam-diam mengeluarkan
undang-undang licik sehingga mereka boleh mendirikan penginapan di seluruh
tanjung. Tempat itu pun tertutup oleh bangunan.
Ngeri deh, mirip kaleng sarden mahal. Gambarannya
rumah-rumah itu kosong sepuluh bulan dalam setahun dan saat Juli kamu diserbu
gerombolan orang Jerman purba yang saling ber-‘Heil Hitler’ saat berjumpa di warung desa. Sekarang mereka ingin
mengubah taman jadi lapangan golf—ah, terima kasih sayang …” saat si pramusaji
perempuan menurunkan kopi pesanan kami. “Yah, tentu saja si babe gusar. Ia
menghubungi semua pengacara di Munster, menghabiskan seharian mondar-mandir di
rumah menggerutu soal Dunkerque[1].
‘Kita akan memerangi mereka di pantai, Hoyland,’ katanya. Sudah enggak terhitung lagi aksi yang
dilakukannya. Tentu saja mereka balas
menuntut kami.” Dengan muram ia menjumputi kain mansetnya yang murahan.
“Sementara itu, enggak ada yang punya banyak uang. Dan ketimbang rihat barang
sejenak untuk memikirkan soal, tahulah, hidup, tujuan, si babe mengirimku balik
ke sini, supaya mencari uang demi Upaya Perang itu—ia menyebutnya Upaya Perang,
Charles. Aku bilang padanya penghasilanku saja
hampir enggak cukup buatku bertahan hidup. Ia enggak mau tahu.” Hoyland mengangkat bahunya lesu. “Karena
itulah ini kemerosotan nasib yang menyesalkan bagiku. Bagaimana denganmu?”
Sembari
menarik napas dalam-dalam, aku menyampaikan ringkasan kisahku, mulai dari
perjuanganku yang tanpa pamrih demi menyelamatkan Amaurot hingga keadaanku
sekarang yang dalam pengasingan dan usaha memalukanku untuk memperoleh
pekerjaan.
Hoyland
kaget. “Kerja? Kamu?”
“Sayangnya
iya.”
“Tetapi
bagaimana dengan tradisi Italia yang kamu gandrungi itu—apa itu, spirulina …?”
“Sprezzatura.”
“Itu
dia, bagaimana tuh?”
Aku
mengangkat bahu. “Mau enggak mau, bos.”
“Aku
enggak pernah berpikiran bakal menjumpai hari ketika kamu harus mendapat kerja,”
katanya, sambil menggeleng-geleng. “Dunia macam apa ini?” Ia tampak begitu
putus asa.
Aku
terkejut. Aku tidak ingat dia pernah begini suram. “Dunia ini bisa saja lebih
buruk lagi,” cetusku. “Seenggaknya sekarang ini orang bisa hidup layak,
maksudku lagi ada semacam lonjakan ekonomi….”
“Ha!”
sahut Hoyland.
“Ha?”
“Itu
mah tipuan,” katanya. “Bukan apa-apa itu selain muslihat jahanam.”
“Oh.”
“Aku
enggak menyangkal sekarang jadi ada banyak orang kaya. Tetapi kukasih tahu nih,
Hythers, mereka enggak termasuk orang-orang seperti aku dan kamu. Zaman sekarang
pengetahuan elementer seperti teologi enggak akan membawa kita ke mana-mana.
Semuanya serbakomputer sekarang. Bagi masyarakat teknologi ini, kita
benar-benar ketinggalan. Kita ini manusia rendahan. Berita basi.”
“Masak
sih seburuk itu,” kataku.
“Memang,”
ujarnya, seraya mengelap piringnya dengan sebongkah roti. “Memang lebih buruk.
Lihat aku, Hythloday. Lihat pergelangan
tangan ini. Dulu pergelangan tanganku seperti milik bocah Rusia umur dua
belas tahun yang berbakat main piano. Sekarang pergelangan tangan ini menyusut
jadi tidak ada apa-apanya. Yang sebelah keseleo sewaktu main pingpong minggu
kemarin, pingpong, Charles!”
“Hei,
kamu meludah, bos ….”
“Peduli
amat!” jerit Hoyland, sambil memukuli meja. “Kamu juga bakal meludah, kalau kamu
mengerti seperti apa rasanya! Menghabiskan seharian mengetik VOID dan
PowerPoint jahanam, pulang ke rumah sempit di blok apartemen dengan pagar
listrik supaya enggak dimasuki orang kampung, enggak pernah bertemu orang satu
pun dari hari ke hari—bukan begitu caranya manusia hidup! Aku pernah hidup sebelumnya,
aku tahu bahwa bukan begitu namanya hidup!”
Orang-orang
kantoran di meja sebelah terdiam dan melancarkan lirikan waspada pada kami.
Hoyland
mengambil napas dalam-dalam. “Maaf,” katanya. Ia menyeret ke luar rokok dari
pak di hadapannya lalu dinyalakannya. Dengan heran aku mengamati keningnya yang
berkerut-kerut. Aku merasa agak seperti Dante, tidak sengaja berjumpa salah
seorang kenalan lama di lingkaran neraka yang tidak berbatas.
“Jadi
lonjakan ekonomi tuh begini, eh?” ujarku. “Enggak kayak yang dibilang Scott
Fitzgerald[2],
ya?”
“Akan
kuberi tahu kamu seperti apa rasanya,” ucapnya murung. “Rasanya kayak berada di
Roma semasa Caligula. Semua orang di sekitarmu berpesta seks, sementara kamu
orang tolol yang terjebak menjaga kudanya[3].”
Ia menghirup rokoknya dengan berat. “Seluruhnya akan binasa,” katanya suram,
“dan yang habis diperbuat orang-orang cuma makan keju mahal banyak-banyak.”
Di
luar hujan mulai turun. Di samping kami para orang kantoran itu sedang ribut
mengobrol soal pengambilalihan atau lainnya. Hoyland sunyi menghabiskan rokok.
“Ada
ketemu dengan teman-teman dulu?” akhirnya ia berucap. “Pongo, orang-orang itu
lah?”
“Sesekali,”
jawabku. “Sekarang Pongo di London.”
“Beruntung
tuh bangsat,” sahutnya. Sesaat ia menatap jauh, lantas sambil lalu ia bersuara,
“Kudengar Patsy kembali.”
Aku
bermain kuda-kudaan dengan wadah garam dan mencongklangnya menyusuri meja. “Oh
ya?”
“Ya,
ada yang melihat dia bekerja di kafe.”
“Oh,”
sahutku hambar.
“Kristus,
Hythloday,” ujar Hoyland datar, “kamu sadar selama ini kita dibodohi?”
“Apa
maksudmu?” tanyaku.
“Kamu
tahu maksudku. Enggak memperbaiki masalah. Membiarkan satu geng tercerai demi
seorang cewek.”
Aku
menggembungkan pipi dan berembus keras-keras.
“Hei,
sialan, bagaimana menurutmu?”
“Oh
persetan,” ujarku berang, “Enggak tahu deh. Itu enggak terjadi
sekonyong-konyong kan? Mungkin sudah takdirnya begitu. Mungkin geng sudah
enggak berguna bagi satu sama lain lagi, dan itu cuma, tahulah, katalisnya.
Maksudku, ya ampun, kalau Patsy Olé
satu-satunya yang mengikat kita, Patsy Olé yang
kesetiaannya ibarat bola di papan rolet—“
“Terus
kenapa?” tukas Hoyland pahit. “Jadi sekarang sepanjang sisa hidup kita
benar-benar surut dalam dunia kecil kita sendiri-sendiri yang terpencil,
begitukah?”
“Entahlah,”
kataku. “Kita enggak bisa berpura-pura itu enggak terjadi, kan? Bagaimana
mungkin aku tahu jawabannya?”
Kami
pun terpuruk oleh kesunyian yang membandel.
“Pastinya
masyarakat jadi gusar gara-gara perusahaan diambil alih,” salah satu dari orang
perusahaan itu berdeklamasi penuh semangat di sebelah kami. “Tetapi begitulah
yang terjadi dalam revolusi. Kalian
harus paham bahwa ini paradigma yang sama
sekali baru dalam manajemen.”
Hoyland
menjamah rokok lagi namun tidak menyalakannya. Saat melihat arloji, ia
mengumpat dan beranjak. “Aku harus balik nih,” katanya. “Majikanku enggak
menoleransi keterlambatan. Tetapi hei, Hythers—aku senang kita bertemu.
Kapan-kapan kita mesti minum brendi bareng. Malam biasanya aku lowong.”
Dengan
sendirinya aku mengangguk. Tahu-tahu semua orang pergi, berbondong-bondong
mengerubungi pintu, membentangkan payung. Hoyland menjangkau dompetnya lalu
menyerahkan kartu padaku. “Meneleponlah,” katanya. “Tolol membiarkan segalanya
jadi berantakan.” Sesaat ia bimbang, menatap kosong pada kerumunan yang keluar.
Di bibirnya melekat rokok yang belum dinyalakan. “Kamu tahu, aku masih
memikirkan dia,” ucapnya galau. Lantas ia menaikkan kerahnya dan berlalu
bersama orang-orang lainnya kembali ke bulevar. Beberapa menit kemudian kafe
itu lengang.
Sialan,
aku lupa betapa orang tidak bisa bepergian sejauh dua puluh yard di kota ini
tanpa bertemu orang yang dikenalnya, yang ingin menggali-gali masa lalu.
Barangkali itulah sebabnya seluruh tempat ini dirobohkan. Sementara pramusaji
bergerak dari meja ke meja membawa baki, menumpuk piring-piring, wajah-wajah
lama muncul di hadapanku menembus hujan, seperti para pemain sandiwara yang
kembali menaiki panggung ….
Tentu
saja kami semua tergila-gila pada Patsy, walau tidak seorang pun dari kami yang
pernah mengklaim sungguh-sungguh mengenal dia, atau memahami dia. Ia bagaikan
bulan yang bergerak melintasi kediaman Zodiak—mengistimewakan tiap-tiap orang
di antara kami bergiliran, namun tetap senantiasa berjarak: kasihnya daya
misterius yang tidak bisa disingkap namun tidak pula berani diingkari. Bila
diingat lagi, tidak pelak ia sungguh senang berada pada orbitnya sendiri, di
mana ia dapat menikmati kekacauan yang diakibatkan oleh dirinya, juga badai,
topan, dan pola-pola penyimpangan cuaca lain yang disebabkan daya tariknya yang
khas. Namun kami sama-sama berharap akan menjadi orang yang pada akhirnya
memboyong dia ke bumi.
Kesempatanku
pun tiba pada musim semi itu. Suatu hari ia muncul di sampingku, kurang lebih
secara harfiah, di tengah-tengah pawai bunga lonceng biru dan bunga forget-me-not. Entah bagaimana persisnya
ia sampai di situ, namun aku tidak menanyakan apa-apa. Seketika aku tunduk oleh
pesonanya, sebagaimana semua orang.
Aku
tidak ingat persisnya yang kami lakukan bersama, atau yang kami katakan pada
satu sama lain. Mungkin saja kami tidak berbuat atau berucap apa pun sama
sekali. Waktu sendiri agaknya terpikat: menjadi satu malam yang tidak berawal
ataupun berakhir, yang melaluinya kami terapung-apung berpegangan tangan
seakan-akan tercemplung dalam mimpi indah. Sekalipun ia tidak pernah
sungguh-sungguh mengakui, sekalipun sebagian dirinya selalu tampak berada di
tempat lain, namun aku—sembari menghabiskan waktu bergalau mempelajari Yeats,
mencari-cari pencerahan, baris yang dapat melancarkan dirinya padaku—namun aku
menganggap bahwa ini perkara waktu belaka.
Masalahnya
yaitu sebagian dirinya yang kurasa selalu entah bagaimana berada di tempat lain
biasanya, lebih spesifiknya, bersama Hoyland Maffey. Memang, Hoyland sering
menyertai kami, mendukung kami menyaksikan musim semi yang mengagumkan. Aku
merasa kurang lazim ada pihak ketiga membarengi dua sejoli yang tengah
sedemikian jatuh cinta. Akhirnya aku menyampaikan ini pada Patsy.
“Maksudmu
apa?” ujarnya.
“Maksudku,
biasanya pasangan itu berdua saja.”
“Tetapi
Hoyland teman kita, Charles. Teman karib
kita. Enggak adil dong meninggalkan dia cuma karena kita lagi kasmaran.”
Cara
dia menyebut karib barangkali sudah
cukup, namun begitu ia melanjutkan, dengan sama sekali lancar, untuk menyangkal
bahwa ada sesuatu di antara dirinya dan Hoyland, segala keraguan yang
kutanggungkan pun padam. Seketika itu pula aku tahu bahwa ia menyampaikan kisah
yang sama persis mengenai diriku pada Hoyland. Aku tahu ia tahu aku tahu, dan
aku tahu bahwa Hoyland juga tahu.
Musim
semi penuh pesona pun serta-merta tercemari. Tiap momennya dibayangi kecurigaan
dan tipu daya. Berkali-kali ketika aku dan Patsy berdua saja di perpustakaan—dengan
lilin berkobar lemah pada birai sementara kami mendekati momen penyatuan
memabukkan yang rasanya tak terelakkan lagi—bel pintu pun berbunyi dan Patsy
bangkit dari meja biliar sembari berkata, “Oh bagus, itu pasti Hoyland,”
sepintas lalu seolah-olah barusan kami cuma lagi kebosanan bermain Scrabble.
Lalu muncullah Hoyland, seringai muram serta kilatan matanya memantulkan
bayanganku sendiri. “Halo, Hythers, baru saja terpikir untuk mampir ….”
“Ha
ha, dengan senang hati, bos, mau minum apa?”
Segera
cintaku pada Patsy sepenuhnya tergantikan oleh benciku pada Hoyland. Tiap kali
jauh dari Patsy aku merasa tersiksa, membayangkan keduanya bersama. Saat
bersama Patsy aku terombang-ambing di antara upaya menyedihkan untuk
mengesankan dia dan usaha yang sama-sama menyedihkannya untuk mengetahui
kejujuran hati perempuan itu. Kucurahkan berjam-jam demi mengurai arti dari
setiap hirupan napasnya yang lembut, setiap batuknya yang samar, maupun setiap
gerakan alisnya yang terangkat separuh. Tentu saja Patsy tak memiliki kejujuran
hati; kalaupun ada itu bukanlah untuk kami. Namun sekalipun jika pada waktu itu
aku telah mengetahui ini, hampir tidak ada bedanya. Yang terpenting di atas
segala-galanya bagiku yaitu merintangi bekas temanku.
Akhirnya,
menjelang penghujung April, situasinya menjadi gawat. Patsy akan pergi ke Roma
selama beberapa minggu untuk mengerjakan tugas skripsi, yang berhubungan dengan
pelukis renaisans Rafael[4]
serta para gundiknya. Aku pun mengadakan pesta perpisahan, dan berhasil
mengalahkan pesta tandingan Hoyland dengan menyewa trio jaz setempat kesukaan
Patsy untuk acara itu. Acara soirée[5], atau begitulah kata orang. Malam itu
hawanya gerah. Purnama perak meraja. Orang pada berpesta pora mabuk-mabukan di
pekarangan, berikut (dengar-dengar) ada striptis oleh Bunty Chopin teman
sekolah Bel dulu, lengkap dengan bulu-bulu merak segala.
Namun
aku dan Hoyland masa bodoh dengan pesta itu. Sepanjang malam kami bertatapan
mengancam dari kursi masing-masing di sudut berseberangan ruang resital.
Bangkit cuma untuk menambah wiski. Sesekali Patsy masuk dengan luwesnya dari
taman tempat trio tersebut bersiap. Lalu ia menyalutkan dirinya pada salah satu
dari kami, jelas-jelas bermaksud mengompori pihak yang tidak bersalut di kursi
seberang, dan selalu berhasil.
Pukul
empat pagi, baik aku maupun Hoyland menghampiri bufet dan mendapati tinggal ada
seporsi wiski yang tersisa di karaf. Kami bertatapan, lantas pesta itu
selebihnya—cakap-cakap, peragaan trompet, seru-seruan dari pekarangan—serasa
menyurut. Tinggal ada kami berdua: buntu.
“Silakan,”
kataku.
“Enggak,
enggak, silakan,” balasnya.
“Kawanku
sayang, kamu kan tamunya.”
“Enggak
apa-apa, benar kok, aku sudah cukup minum.”
“Oh,
kamu sudah cukup minum, ya?”
“Ya,
sebenarnya aku sudah cukup minum.”
“Wah,
kalau begitu, aku juga.”
“Wah,
‘kalau begitu’ aku ingin tahu mau kamu apakan itu.”
“Aku—ah
… itu ….” Sekarang giliranku namun benakku benar-benar kosong. Wiski telah
mengubah otakku menjadi tanur panas kering. Aku bisa mendengar bisik-bisik di
sekelilingku bagaikan kayu meretih, dan terdengar Patsy menyiulkan
“Sophisticated Lady”[6]
selagi menyinggahi lorong. Saat itulah kebetulan aku melihat ada sarung tangan
tertinggal di atas piano. Aku merenggutnya sebelah, dan menjatuhkan sarung
tangan itu di kaki Hoyland. Cungap-cangip merebak di ruangan. “Aku menantangmu
duel, itu dia,” kataku.
Hoyland
tampak terkejut. “Sungguh?” ujarnya.
“Yah
…” sahutku tak keruan. Seketika itu Patsy masuk dan menanyai gadis di baris
terluar ada kejadian apa. “Charles ingin Hoyland menghabiskan wiski, tetapi
menurut Hoyland Charleslah yang mestinya menghabiskan itu, jadi Charles
menantang Hoyland berduel,” kata gadis itu.
“Oh,”
ucap Patsy. Kedengarannya ia terkesan.
“Ya,”
kataku pada Hoyland.
“Baik,”
sahut Hoyland, yang telah kembali tenang dan dengan congkak mengilapkan kancing
mansetnya. “Pedang atau pistol?”
“Pistol
lah,” kataku, sambil mencibir, “Pedang.”
Persiapan
segera dilakukan. Pistol antik dibawa turun dari ruang studi, tempat Ayah
menyimpan keduanya dalam keadaan terisi di dalam meja—rahasia yang seharusnya
tidak diketahui olehku maupun Bel. Dengan khidmat kami memilih pendamping: Boyd
Snooks dengan diriku, sedang Fluffy Elgin bersama Hoyland. Setelah sia-sia
membujuk kami supaya membatalkan duel itu, Pongo setuju menjadi hakim. Selain
pihak-pihak ini, semua orang, termasuk Patsy, diminta untuk tetap berada dalam
rumah. Pukul lima pagi, kami pun keluar lewat pintu belakang.
Kami
melangkahi rerumputan panjang menuju gazebo,
yang baru saja dikosongkan oleh trio jaz. Di atas kami langit semburat merah
muda. Beberapa burung yang bangun awal berkicau di dahan. Fluffy Elgin tidak
bisa berhenti terkikih-kikih. Hoyland mengedip padaku dari bawah pohon apel
yang dicanteli jasnya. Saat bicara, suara Pongo nyaring, tegang, dan memecah
keheningan pagi. “Tuan-tuan,” ucapnya, memanggil kami berkumpul di hadapan gazebo lalu meminta kami berjabat
tangan, sebelum membuka kotak dari kayu mahoni itu: “Pilihlah senjata kalian.”
Pistolnya
berat, kusam, dan berlaras panjang. Pongo mengarahkanku ke posisi, berdiri saling
membelakangi dengan Hoyland. Aku menyadari betapa dinginnya hawa. Setiap detail
taman menjalar ke arahku.
“Saat
kuberi aba-aba, kalian mesti berjalan sepuluh langkah. Setelah itu, saat kuberi
isyarat, berbaliklah dan menghadap satu sama lain. Saat aku melempar topi ke
atas, kalian boleh menembak. Paham? Baik. Mulai melangkah. Satu ….”
Saat
mengambil langkah, sambil menjulurkan kakiku yang kaku di bagian lutut,
sementara embun membasahi manset pantalonku, aku sungguh takjub akan
perbuatanku ini. Namun ini memang tindakan yang berarti: malah, berarti
istimewa.
“Dua
… tiga ….”
Pada
saat itu, setiap unsur kehidupanku saling melekat. Jika terjadi yang
seburuk-buruknya, sehingga aku mati di sini, maka aku mati di tamanku sendiri,
dikelilingi oleh kawan-kawan, demi kehormatan wanita yang kutahu tanpa ayal
lagi merupakan cintaku yang sejati dan abadi. Dari sekian banyak kematian yang
pernah terjadi, tampaknya cara begini tidaklah buruk.
“Lima
…. Enam ….”
Berengsek,
aku sadar belum berpamitan pada Bel. Ia sedang pergi memasang tata lampu untuk
suatu pertunjukan. Mungkin begitu memang lebih baik—Bel cenderung menjadi
perusak suasana saat ada pesta dan aku yakin ia juga tidak bakal menyetujui
duel. Lagi pula, ia sangat mencela Patsy Olé, yang
menurutnya Bunglon dari Dalkey[7].
Kucatat dalam hati supaya menyebut Bel di antara pesan-pesan terakhirku.
“Delapan
…” seru Pongo. “Sembilan ….”
Kikihan
Fluffy Elgin berubah menjadi cegukan sehingga ia harus duduk.
“Sepuluh
…. Oh sial, tunggu sebentar ….”
Terdengar
suara bertapak lantas sunyi. Waktu berlalu. Aku menggigil bersama moncong
pistol yang terasa dingin di pipiku. Kupandangi rumpun bunga peony, sambil bengong menelusuri bentuk
daunnya, tangkainya yang berseri, daun bunganya. Fluffy cegukan dengan sedih.
“Hei,
Boyd,” panggilku, beberapa saat kemudian.
“Ya?”
sahut Boyd dari gelondong tempat dia menyuruh Fluffy menahan napas.
“Ada
apa sih?”
“Enggak
tahu juga sih,” kata Boyd. “Tahu-tahu Pongo kabur entah ke mana.”
“Apa?”
suara Hoyland berembus dari posisinya di bawah pepohonan pinus.
“Sepertinya
ada yang mesti diambilnya di rumah,” kata Boyd. “Kurasa ia enggak bakal lama.”
Ia mulai bersenandung sendiri.
“Dinginnya
kurang ajar nih,” tandasku.
“Boleh
enggak kami duduk?” Hoyland penasaran. “Atau seenggaknya berbalik lah?”
“Enggak
tahu ya,” sahut Boyd. “Kamu mesti tanya Pongo, kan dia hakimnya.”
Kami
pun bergeming. Semakin banyak burung berciap-ciap. “Sinar mataharinya langsung
kena mataku nih,” keluh Hoyland. Terdengar suara mobil dipacu di jalan raya.
Gigiku
mulai gemertuk.
“Raaaaaah!” tahu-tahu Boyd berteriak, kami jadi terlonjak.
“Apa-apaan—“
“Aku
mau menakuti Fluffy,” Boyd minta maaf.
“Hik—hik—hik—“
Fluffy cegukan parah, sambil lunglai memilin bulu merak di jemarinya.
“Edan
nih,” kataku dan berbalik, lantas Hoyland segera melompat-lompat sambil
menyerukan bahwa aku telah melanggar kesepakatan duel sehingga atas kealpaan
itu dialah pemenangnya.
“Jangan
konyol ah,” kataku. “Aku mau mencari Pongo. Bukan begini caranya melaksanakan
duel,” Kulempar pistol ke bawah pohon apel lalu kembali menuju rumah. Hoyland
bergegas menyusulku.
Pongo
tidak ada di dapur, ataupun di ruang makan. Hoyland memeriksa perpustakaan
sementara aku melihat ruang duduk, namun di sana juga Pongo tidak ada. Ia tidak
termasuk orang-orang yang bergelimpangan di ruang resital, ataupun ada di
antara orang-orang salah kawin yang telah memampangkan kamar-kamar tidur.
“Dia
seakan-akan menghilang,” kata Hoyland.
“Sangat
ganjil,” ujarku.
“Padahal
sampai tadi tugasnya dilaksanakan dengan sangat baik,” ucap Hoyland.
Kemudian—tepat
ketika kami hendak menyerah dan menyudahi pencarian—kami menemukan Pongo. Ia
ada di ruang penyimpanan barang, hampir terbenam di antara berlapis-lapis
mantel yang menjuntai di dinding belakang. Ekspresi pelik membeku di wajahnya,
antara takjub dan girang. Tangannya memegang gelas brendi yang tampak
menunjukkan kemenangan. Kami pun menanyai dia ada kejadian persetan apa
barusan. Ia pun memberi tahu kami dengan suara sayup tersendat-sendat bahwa ia
baru saja diberi oral seks oleh Patsy Olé.
Di
belakangku, terdengar gerantang pistol Hoyland menjatuhi lantai.
“Apa?”
bisikku.
“Aku
kemari cuma mau ambil topi,” Pongo termangu.
“Tetapi—tetapi—“
repet Hoyland, “tetapi ke mana dia sekarang?”
“Pergi,”
sahut Pongo.
“Pergi?”
“Setengah
jam lagi dia terbang ke Italia,” kata Pongo seperti mengigau. “Taksinya sudah
menunggu di luar.”
“Tetapi
ini enggak masuk akal,” kataku, tak mengacuhkan muatan beracun dalam perut yang
tengah mementaskan danse macabre[8].
“Maksudmu—kamu barusan di sini sekadar mengurus keperluanmu, ketika tahu-tahu ia
masuk, lalu …” aku tertegun. Kejadian itu terlalu ngeri untuk dibayangkan.
“Ya,”
sahut Pongo. “Kurang lebih begitu. Lalu ia mengambil mantelnya dan pergi.” Ia
menyesap brendinya penuh perenungan. “Wanita luar biasa dia itu,” ucapnya.
Hoyland
mengerang pelan. Kami berdua terbungkuk bak sepasang lansia.
“Bagaimana
dengan kami?” Hoyland berhasil menggaok. “Dia enggak bilang apa-apa soal kami?”
Pongo memikir-mikir. “Dia bilang,” akhirnya
ia ingat, “saluté—“ lalu mengangkat gelasnya untuk kami
berdua.
[1] Dunkerque merupakan kota di
utara Perancis. Pantainya menjadi lokasi pertempuran antara sekutu (Inggris,
Kanada, Perancis, Polandia, Belgia, dan Belanda) melawan Nazi Jerman pada 26
Mei – 4 Juni 1940.
[2] Suasana lonjakan ekonomi di
Amerika Serikat pada 1920-an dapat dilihat dalam salah satu karya F. Scott
Fitzgerald, The Great Gatsby
[3] Caligula memiliki kuda
kesayangan bernama Incitatus yang diberinya jabatan, rumah mewah, dan pelayan
[4] Pelukis Italia (1483 – 1520)
[5] Pesta yang diadakan malam-malam
di rumah pribadi
[6] Lagu jaz gubahan Duke Ellington
(1932)
[7] Daerah pinggir kota Dublin
bagian selatan, kampung halaman banyak
selebriti, di antaranya Bono U2 dan Enya
[8] Tari kematian, berasal dari
Eropa abad pertengahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar