Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170527

An Evening of Long Goodbyes, Bab 8 (2/2) (Paul Murray, 2003)

“Era baru jahanam,” suara Hoyland melalui sesuap selada kepiting. Ia menatap mulas pada kawanan orang keuangan yang sedang makan sajian siang penuh selera di ruangan panjang dengan banyak hiasan itu. Kami berada di salah satu kafe baru. Ruangannya lega, berpenyangga kayu, dan dilapisi poster-poster dari 1920-an. Aku baru saja menanyai Hoyland sebabnya ia mengenakan setelan yang menyesalkan itu.

“Kamu tahu, seharusnya aku enggak berada di sini sama sekali,” ujarnya. “Aku telah mengundurkan diri dari kehidupan ramai. Pindah kembali ke Inggris, berpikir untuk memancing barang beberapa bulan sebelum memulai lagi malapetaka—yah, tahulah. Rencana paling sempurna belum tentu menjamin keberhasilan, Hythers. Balik ke Kerry sedang ada perang habis-habisan antara si babe dan dewan kota.”

“Perang? Eh, kamu benar soal roti lapis ini ….”

“Karena mozzarella-nya. Diimpor langsung dari Tyrol, pakai helikopter.” Ia menepuk-nepuk mulutnya dengan serbet. “Tampaknya dewan diam-diam mengeluarkan undang-undang licik sehingga mereka boleh mendirikan penginapan di seluruh tanjung. Tempat itu pun tertutup oleh bangunan. Ngeri deh, mirip kaleng sarden mahal. Gambarannya rumah-rumah itu kosong sepuluh bulan dalam setahun dan saat Juli kamu diserbu gerombolan orang Jerman purba yang saling ber-‘Heil Hitler’ saat berjumpa di warung desa. Sekarang mereka ingin mengubah taman jadi lapangan golf—ah, terima kasih sayang …” saat si pramusaji perempuan menurunkan kopi pesanan kami. “Yah, tentu saja si babe gusar. Ia menghubungi semua pengacara di Munster, menghabiskan seharian mondar-mandir di rumah menggerutu soal Dunkerque[1]. ‘Kita akan memerangi mereka di pantai, Hoyland,’ katanya. Sudah enggak terhitung lagi aksi yang dilakukannya. Tentu saja mereka balas menuntut kami.” Dengan muram ia menjumputi kain mansetnya yang murahan. “Sementara itu, enggak ada yang punya banyak uang. Dan ketimbang rihat barang sejenak untuk memikirkan soal, tahulah, hidup, tujuan, si babe mengirimku balik ke sini, supaya mencari uang demi Upaya Perang itu—ia menyebutnya Upaya Perang, Charles. Aku bilang padanya penghasilanku saja hampir enggak cukup buatku bertahan hidup. Ia enggak mau tahu.” Hoyland mengangkat bahunya lesu. “Karena itulah ini kemerosotan nasib yang menyesalkan bagiku. Bagaimana denganmu?”

Sembari menarik napas dalam-dalam, aku menyampaikan ringkasan kisahku, mulai dari perjuanganku yang tanpa pamrih demi menyelamatkan Amaurot hingga keadaanku sekarang yang dalam pengasingan dan usaha memalukanku untuk memperoleh pekerjaan.

Hoyland kaget. “Kerja? Kamu?”

“Sayangnya iya.”

“Tetapi bagaimana dengan tradisi Italia yang kamu gandrungi itu—apa itu, spirulina …?”

Sprezzatura.”

“Itu dia, bagaimana tuh?”

Aku mengangkat bahu. “Mau enggak mau, bos.”

“Aku enggak pernah berpikiran bakal menjumpai hari ketika kamu harus mendapat kerja,” katanya, sambil menggeleng-geleng. “Dunia macam apa ini?” Ia tampak begitu putus asa.

Aku terkejut. Aku tidak ingat dia pernah begini suram. “Dunia ini bisa saja lebih buruk lagi,” cetusku. “Seenggaknya sekarang ini orang bisa hidup layak, maksudku lagi ada semacam lonjakan ekonomi….”

“Ha!” sahut Hoyland.

“Ha?”

“Itu mah tipuan,” katanya. “Bukan apa-apa itu selain muslihat jahanam.”

“Oh.”

“Aku enggak menyangkal sekarang jadi ada banyak orang kaya. Tetapi kukasih tahu nih, Hythers, mereka enggak termasuk orang-orang seperti aku dan kamu. Zaman sekarang pengetahuan elementer seperti teologi enggak akan membawa kita ke mana-mana. Semuanya serbakomputer sekarang. Bagi masyarakat teknologi ini, kita benar-benar ketinggalan. Kita ini manusia rendahan. Berita basi.”

“Masak sih seburuk itu,” kataku.

“Memang,” ujarnya, seraya mengelap piringnya dengan sebongkah roti. “Memang lebih buruk. Lihat aku, Hythloday. Lihat pergelangan tangan ini. Dulu pergelangan tanganku seperti milik bocah Rusia umur dua belas tahun yang berbakat main piano. Sekarang pergelangan tangan ini menyusut jadi tidak ada apa-apanya. Yang sebelah keseleo sewaktu main pingpong minggu kemarin, pingpong, Charles!”

“Hei, kamu meludah, bos ….”

“Peduli amat!” jerit Hoyland, sambil memukuli meja. “Kamu juga bakal meludah, kalau kamu mengerti seperti apa rasanya! Menghabiskan seharian mengetik VOID dan PowerPoint jahanam, pulang ke rumah sempit di blok apartemen dengan pagar listrik supaya enggak dimasuki orang kampung, enggak pernah bertemu orang satu pun dari hari ke hari—bukan begitu caranya manusia hidup! Aku pernah hidup sebelumnya, aku tahu bahwa bukan begitu namanya hidup!”

Orang-orang kantoran di meja sebelah terdiam dan melancarkan lirikan waspada pada kami.

Hoyland mengambil napas dalam-dalam. “Maaf,” katanya. Ia menyeret ke luar rokok dari pak di hadapannya lalu dinyalakannya. Dengan heran aku mengamati keningnya yang berkerut-kerut. Aku merasa agak seperti Dante, tidak sengaja berjumpa salah seorang kenalan lama di lingkaran neraka yang tidak berbatas.

“Jadi lonjakan ekonomi tuh begini, eh?” ujarku. “Enggak kayak yang dibilang Scott Fitzgerald[2], ya?”

“Akan kuberi tahu kamu seperti apa rasanya,” ucapnya murung. “Rasanya kayak berada di Roma semasa Caligula. Semua orang di sekitarmu berpesta seks, sementara kamu orang tolol yang terjebak menjaga kudanya[3].” Ia menghirup rokoknya dengan berat. “Seluruhnya akan binasa,” katanya suram, “dan yang habis diperbuat orang-orang cuma makan keju mahal banyak-banyak.”

Di luar hujan mulai turun. Di samping kami para orang kantoran itu sedang ribut mengobrol soal pengambilalihan atau lainnya. Hoyland sunyi menghabiskan rokok.

“Ada ketemu dengan teman-teman dulu?” akhirnya ia berucap. “Pongo, orang-orang itu lah?”

“Sesekali,” jawabku. “Sekarang Pongo di London.”

“Beruntung tuh bangsat,” sahutnya. Sesaat ia menatap jauh, lantas sambil lalu ia bersuara, “Kudengar Patsy kembali.”

Aku bermain kuda-kudaan dengan wadah garam dan mencongklangnya menyusuri meja. “Oh ya?”

“Ya, ada yang melihat dia bekerja di kafe.”

“Oh,” sahutku hambar.

“Kristus, Hythloday,” ujar Hoyland datar, “kamu sadar selama ini kita dibodohi?”

“Apa maksudmu?” tanyaku.

“Kamu tahu maksudku. Enggak memperbaiki masalah. Membiarkan satu geng tercerai demi seorang cewek.”

Aku menggembungkan pipi dan berembus keras-keras.

“Hei, sialan, bagaimana menurutmu?”

“Oh persetan,” ujarku berang, “Enggak tahu deh. Itu enggak terjadi sekonyong-konyong kan? Mungkin sudah takdirnya begitu. Mungkin geng sudah enggak berguna bagi satu sama lain lagi, dan itu cuma, tahulah, katalisnya. Maksudku, ya ampun, kalau Patsy Olé satu-satunya yang mengikat kita, Patsy Olé yang kesetiaannya ibarat bola di papan rolet—“

“Terus kenapa?” tukas Hoyland pahit. “Jadi sekarang sepanjang sisa hidup kita benar-benar surut dalam dunia kecil kita sendiri-sendiri yang terpencil, begitukah?”

“Entahlah,” kataku. “Kita enggak bisa berpura-pura itu enggak terjadi, kan? Bagaimana mungkin aku tahu jawabannya?”

Kami pun terpuruk oleh kesunyian yang membandel.

“Pastinya masyarakat jadi gusar gara-gara perusahaan diambil alih,” salah satu dari orang perusahaan itu berdeklamasi penuh semangat di sebelah kami. “Tetapi begitulah yang terjadi dalam revolusi. Kalian harus paham bahwa ini paradigma yang sama sekali baru dalam manajemen.”

Hoyland menjamah rokok lagi namun tidak menyalakannya. Saat melihat arloji, ia mengumpat dan beranjak. “Aku harus balik nih,” katanya. “Majikanku enggak menoleransi keterlambatan. Tetapi hei, Hythers—aku senang kita bertemu. Kapan-kapan kita mesti minum brendi bareng. Malam biasanya aku lowong.”

Dengan sendirinya aku mengangguk. Tahu-tahu semua orang pergi, berbondong-bondong mengerubungi pintu, membentangkan payung. Hoyland menjangkau dompetnya lalu menyerahkan kartu padaku. “Meneleponlah,” katanya. “Tolol membiarkan segalanya jadi berantakan.” Sesaat ia bimbang, menatap kosong pada kerumunan yang keluar. Di bibirnya melekat rokok yang belum dinyalakan. “Kamu tahu, aku masih memikirkan dia,” ucapnya galau. Lantas ia menaikkan kerahnya dan berlalu bersama orang-orang lainnya kembali ke bulevar. Beberapa menit kemudian kafe itu lengang.

Sialan, aku lupa betapa orang tidak bisa bepergian sejauh dua puluh yard di kota ini tanpa bertemu orang yang dikenalnya, yang ingin menggali-gali masa lalu. Barangkali itulah sebabnya seluruh tempat ini dirobohkan. Sementara pramusaji bergerak dari meja ke meja membawa baki, menumpuk piring-piring, wajah-wajah lama muncul di hadapanku menembus hujan, seperti para pemain sandiwara yang kembali menaiki panggung ….

Tentu saja kami semua tergila-gila pada Patsy, walau tidak seorang pun dari kami yang pernah mengklaim sungguh-sungguh mengenal dia, atau memahami dia. Ia bagaikan bulan yang bergerak melintasi kediaman Zodiak—mengistimewakan tiap-tiap orang di antara kami bergiliran, namun tetap senantiasa berjarak: kasihnya daya misterius yang tidak bisa disingkap namun tidak pula berani diingkari. Bila diingat lagi, tidak pelak ia sungguh senang berada pada orbitnya sendiri, di mana ia dapat menikmati kekacauan yang diakibatkan oleh dirinya, juga badai, topan, dan pola-pola penyimpangan cuaca lain yang disebabkan daya tariknya yang khas. Namun kami sama-sama berharap akan menjadi orang yang pada akhirnya memboyong dia ke bumi.

Kesempatanku pun tiba pada musim semi itu. Suatu hari ia muncul di sampingku, kurang lebih secara harfiah, di tengah-tengah pawai bunga lonceng biru dan bunga forget-me-not. Entah bagaimana persisnya ia sampai di situ, namun aku tidak menanyakan apa-apa. Seketika aku tunduk oleh pesonanya, sebagaimana semua orang.

Aku tidak ingat persisnya yang kami lakukan bersama, atau yang kami katakan pada satu sama lain. Mungkin saja kami tidak berbuat atau berucap apa pun sama sekali. Waktu sendiri agaknya terpikat: menjadi satu malam yang tidak berawal ataupun berakhir, yang melaluinya kami terapung-apung berpegangan tangan seakan-akan tercemplung dalam mimpi indah. Sekalipun ia tidak pernah sungguh-sungguh mengakui, sekalipun sebagian dirinya selalu tampak berada di tempat lain, namun aku—sembari menghabiskan waktu bergalau mempelajari Yeats, mencari-cari pencerahan, baris yang dapat melancarkan dirinya padaku—namun aku menganggap bahwa ini perkara waktu belaka.

Masalahnya yaitu sebagian dirinya yang kurasa selalu entah bagaimana berada di tempat lain biasanya, lebih spesifiknya, bersama Hoyland Maffey. Memang, Hoyland sering menyertai kami, mendukung kami menyaksikan musim semi yang mengagumkan. Aku merasa kurang lazim ada pihak ketiga membarengi dua sejoli yang tengah sedemikian jatuh cinta. Akhirnya aku menyampaikan ini pada Patsy.

“Maksudmu apa?” ujarnya.

“Maksudku, biasanya pasangan itu berdua saja.”

“Tetapi Hoyland teman kita, Charles. Teman karib kita. Enggak adil dong meninggalkan dia cuma karena kita lagi kasmaran.”

Cara dia menyebut karib barangkali sudah cukup, namun begitu ia melanjutkan, dengan sama sekali lancar, untuk menyangkal bahwa ada sesuatu di antara dirinya dan Hoyland, segala keraguan yang kutanggungkan pun padam. Seketika itu pula aku tahu bahwa ia menyampaikan kisah yang sama persis mengenai diriku pada Hoyland. Aku tahu ia tahu aku tahu, dan aku tahu bahwa Hoyland juga tahu.

Musim semi penuh pesona pun serta-merta tercemari. Tiap momennya dibayangi kecurigaan dan tipu daya. Berkali-kali ketika aku dan Patsy berdua saja di perpustakaan—dengan lilin berkobar lemah pada birai sementara kami mendekati momen penyatuan memabukkan yang rasanya tak terelakkan lagi—bel pintu pun berbunyi dan Patsy bangkit dari meja biliar sembari berkata, “Oh bagus, itu pasti Hoyland,” sepintas lalu seolah-olah barusan kami cuma lagi kebosanan bermain Scrabble. Lalu muncullah Hoyland, seringai muram serta kilatan matanya memantulkan bayanganku sendiri. “Halo, Hythers, baru saja terpikir untuk mampir ….”

“Ha ha, dengan senang hati, bos, mau minum apa?”

Segera cintaku pada Patsy sepenuhnya tergantikan oleh benciku pada Hoyland. Tiap kali jauh dari Patsy aku merasa tersiksa, membayangkan keduanya bersama. Saat bersama Patsy aku terombang-ambing di antara upaya menyedihkan untuk mengesankan dia dan usaha yang sama-sama menyedihkannya untuk mengetahui kejujuran hati perempuan itu. Kucurahkan berjam-jam demi mengurai arti dari setiap hirupan napasnya yang lembut, setiap batuknya yang samar, maupun setiap gerakan alisnya yang terangkat separuh. Tentu saja Patsy tak memiliki kejujuran hati; kalaupun ada itu bukanlah untuk kami. Namun sekalipun jika pada waktu itu aku telah mengetahui ini, hampir tidak ada bedanya. Yang terpenting di atas segala-galanya bagiku yaitu merintangi bekas temanku.

Akhirnya, menjelang penghujung April, situasinya menjadi gawat. Patsy akan pergi ke Roma selama beberapa minggu untuk mengerjakan tugas skripsi, yang berhubungan dengan pelukis renaisans Rafael[4] serta para gundiknya. Aku pun mengadakan pesta perpisahan, dan berhasil mengalahkan pesta tandingan Hoyland dengan menyewa trio jaz setempat kesukaan Patsy untuk acara itu. Acara soirée[5], atau begitulah kata orang. Malam itu hawanya gerah. Purnama perak meraja. Orang pada berpesta pora mabuk-mabukan di pekarangan, berikut (dengar-dengar) ada striptis oleh Bunty Chopin teman sekolah Bel dulu, lengkap dengan bulu-bulu merak segala.

Namun aku dan Hoyland masa bodoh dengan pesta itu. Sepanjang malam kami bertatapan mengancam dari kursi masing-masing di sudut berseberangan ruang resital. Bangkit cuma untuk menambah wiski. Sesekali Patsy masuk dengan luwesnya dari taman tempat trio tersebut bersiap. Lalu ia menyalutkan dirinya pada salah satu dari kami, jelas-jelas bermaksud mengompori pihak yang tidak bersalut di kursi seberang, dan selalu berhasil.

Pukul empat pagi, baik aku maupun Hoyland menghampiri bufet dan mendapati tinggal ada seporsi wiski yang tersisa di karaf. Kami bertatapan, lantas pesta itu selebihnya—cakap-cakap, peragaan trompet, seru-seruan dari pekarangan—serasa menyurut. Tinggal ada kami berdua: buntu.

“Silakan,” kataku.

“Enggak, enggak, silakan,” balasnya.

“Kawanku sayang, kamu kan tamunya.”

“Enggak apa-apa, benar kok, aku sudah cukup minum.”

“Oh, kamu sudah cukup minum, ya?”

“Ya, sebenarnya aku sudah cukup minum.”

“Wah, kalau begitu, aku juga.”

“Wah, ‘kalau begitu’ aku ingin tahu mau kamu apakan itu.”

“Aku—ah … itu ….” Sekarang giliranku namun benakku benar-benar kosong. Wiski telah mengubah otakku menjadi tanur panas kering. Aku bisa mendengar bisik-bisik di sekelilingku bagaikan kayu meretih, dan terdengar Patsy menyiulkan “Sophisticated Lady”[6] selagi menyinggahi lorong. Saat itulah kebetulan aku melihat ada sarung tangan tertinggal di atas piano. Aku merenggutnya sebelah, dan menjatuhkan sarung tangan itu di kaki Hoyland. Cungap-cangip merebak di ruangan. “Aku menantangmu duel, itu dia,” kataku.

Hoyland tampak terkejut. “Sungguh?” ujarnya.

“Yah …” sahutku tak keruan. Seketika itu Patsy masuk dan menanyai gadis di baris terluar ada kejadian apa. “Charles ingin Hoyland menghabiskan wiski, tetapi menurut Hoyland Charleslah yang mestinya menghabiskan itu, jadi Charles menantang Hoyland berduel,” kata gadis itu.

“Oh,” ucap Patsy. Kedengarannya ia terkesan.

“Ya,” kataku pada Hoyland.

“Baik,” sahut Hoyland, yang telah kembali tenang dan dengan congkak mengilapkan kancing mansetnya. “Pedang atau pistol?”

“Pistol lah,” kataku, sambil mencibir, “Pedang.”

Persiapan segera dilakukan. Pistol antik dibawa turun dari ruang studi, tempat Ayah menyimpan keduanya dalam keadaan terisi di dalam meja—rahasia yang seharusnya tidak diketahui olehku maupun Bel. Dengan khidmat kami memilih pendamping: Boyd Snooks dengan diriku, sedang Fluffy Elgin bersama Hoyland. Setelah sia-sia membujuk kami supaya membatalkan duel itu, Pongo setuju menjadi hakim. Selain pihak-pihak ini, semua orang, termasuk Patsy, diminta untuk tetap berada dalam rumah. Pukul lima pagi, kami pun keluar lewat pintu belakang.

Kami melangkahi rerumputan panjang menuju gazebo, yang baru saja dikosongkan oleh trio jaz. Di atas kami langit semburat merah muda. Beberapa burung yang bangun awal berkicau di dahan. Fluffy Elgin tidak bisa berhenti terkikih-kikih. Hoyland mengedip padaku dari bawah pohon apel yang dicanteli jasnya. Saat bicara, suara Pongo nyaring, tegang, dan memecah keheningan pagi. “Tuan-tuan,” ucapnya, memanggil kami berkumpul di hadapan gazebo lalu meminta kami berjabat tangan, sebelum membuka kotak dari kayu mahoni itu: “Pilihlah senjata kalian.”

Pistolnya berat, kusam, dan berlaras panjang. Pongo mengarahkanku ke posisi, berdiri saling membelakangi dengan Hoyland. Aku menyadari betapa dinginnya hawa. Setiap detail taman menjalar ke arahku.

“Saat kuberi aba-aba, kalian mesti berjalan sepuluh langkah. Setelah itu, saat kuberi isyarat, berbaliklah dan menghadap satu sama lain. Saat aku melempar topi ke atas, kalian boleh menembak. Paham? Baik. Mulai melangkah. Satu ….”

Saat mengambil langkah, sambil menjulurkan kakiku yang kaku di bagian lutut, sementara embun membasahi manset pantalonku, aku sungguh takjub akan perbuatanku ini. Namun ini memang tindakan yang berarti: malah, berarti istimewa.

“Dua … tiga ….”

Pada saat itu, setiap unsur kehidupanku saling melekat. Jika terjadi yang seburuk-buruknya, sehingga aku mati di sini, maka aku mati di tamanku sendiri, dikelilingi oleh kawan-kawan, demi kehormatan wanita yang kutahu tanpa ayal lagi merupakan cintaku yang sejati dan abadi. Dari sekian banyak kematian yang pernah terjadi, tampaknya cara begini tidaklah buruk.

“Lima …. Enam ….”

Berengsek, aku sadar belum berpamitan pada Bel. Ia sedang pergi memasang tata lampu untuk suatu pertunjukan. Mungkin begitu memang lebih baik—Bel cenderung menjadi perusak suasana saat ada pesta dan aku yakin ia juga tidak bakal menyetujui duel. Lagi pula, ia sangat mencela Patsy Olé, yang menurutnya Bunglon dari Dalkey[7]. Kucatat dalam hati supaya menyebut Bel di antara pesan-pesan terakhirku.

“Delapan …” seru Pongo. “Sembilan ….”

Kikihan Fluffy Elgin berubah menjadi cegukan sehingga ia harus duduk.

“Sepuluh …. Oh sial, tunggu sebentar ….”

Terdengar suara bertapak lantas sunyi. Waktu berlalu. Aku menggigil bersama moncong pistol yang terasa dingin di pipiku. Kupandangi rumpun bunga peony, sambil bengong menelusuri bentuk daunnya, tangkainya yang berseri, daun bunganya. Fluffy cegukan dengan sedih.

“Hei, Boyd,” panggilku, beberapa saat kemudian.

“Ya?” sahut Boyd dari gelondong tempat dia menyuruh Fluffy menahan napas.

“Ada apa sih?”

“Enggak tahu juga sih,” kata Boyd. “Tahu-tahu Pongo kabur entah ke mana.”

“Apa?” suara Hoyland berembus dari posisinya di bawah pepohonan pinus.

“Sepertinya ada yang mesti diambilnya di rumah,” kata Boyd. “Kurasa ia enggak bakal lama.” Ia mulai bersenandung sendiri.

“Dinginnya kurang ajar nih,” tandasku.

“Boleh enggak kami duduk?” Hoyland penasaran. “Atau seenggaknya berbalik lah?”

“Enggak tahu ya,” sahut Boyd. “Kamu mesti tanya Pongo, kan dia hakimnya.”

Kami pun bergeming. Semakin banyak burung berciap-ciap. “Sinar mataharinya langsung kena mataku nih,” keluh Hoyland. Terdengar suara mobil dipacu di jalan raya.

Gigiku mulai gemertuk.

Raaaaaah!” tahu-tahu Boyd berteriak, kami jadi terlonjak.

“Apa-apaan—“

“Aku mau menakuti Fluffy,” Boyd minta maaf.

“Hik—hik—hik—“ Fluffy cegukan parah, sambil lunglai memilin bulu merak di jemarinya.

“Edan nih,” kataku dan berbalik, lantas Hoyland segera melompat-lompat sambil menyerukan bahwa aku telah melanggar kesepakatan duel sehingga atas kealpaan itu dialah pemenangnya.

“Jangan konyol ah,” kataku. “Aku mau mencari Pongo. Bukan begini caranya melaksanakan duel,” Kulempar pistol ke bawah pohon apel lalu kembali menuju rumah. Hoyland bergegas menyusulku.

Pongo tidak ada di dapur, ataupun di ruang makan. Hoyland memeriksa perpustakaan sementara aku melihat ruang duduk, namun di sana juga Pongo tidak ada. Ia tidak termasuk orang-orang yang bergelimpangan di ruang resital, ataupun ada di antara orang-orang salah kawin yang telah memampangkan kamar-kamar tidur.

“Dia seakan-akan menghilang,” kata Hoyland.

“Sangat ganjil,” ujarku.

“Padahal sampai tadi tugasnya dilaksanakan dengan sangat baik,” ucap Hoyland.

Kemudian—tepat ketika kami hendak menyerah dan menyudahi pencarian—kami menemukan Pongo. Ia ada di ruang penyimpanan barang, hampir terbenam di antara berlapis-lapis mantel yang menjuntai di dinding belakang. Ekspresi pelik membeku di wajahnya, antara takjub dan girang. Tangannya memegang gelas brendi yang tampak menunjukkan kemenangan. Kami pun menanyai dia ada kejadian persetan apa barusan. Ia pun memberi tahu kami dengan suara sayup tersendat-sendat bahwa ia baru saja diberi oral seks oleh Patsy Olé.

Di belakangku, terdengar gerantang pistol Hoyland menjatuhi lantai.

“Apa?” bisikku.

“Aku kemari cuma mau ambil topi,” Pongo termangu.

“Tetapi—tetapi—“ repet Hoyland, “tetapi ke mana dia sekarang?”

“Pergi,” sahut Pongo.

Pergi?”

“Setengah jam lagi dia terbang ke Italia,” kata Pongo seperti mengigau. “Taksinya sudah menunggu di luar.”

“Tetapi ini enggak masuk akal,” kataku, tak mengacuhkan muatan beracun dalam perut yang tengah mementaskan danse macabre[8]. “Maksudmu—kamu barusan di sini sekadar mengurus keperluanmu, ketika tahu-tahu ia masuk, lalu …” aku tertegun. Kejadian itu terlalu ngeri untuk dibayangkan.

“Ya,” sahut Pongo. “Kurang lebih begitu. Lalu ia mengambil mantelnya dan pergi.” Ia menyesap brendinya penuh perenungan. “Wanita luar biasa dia itu,” ucapnya.

Hoyland mengerang pelan. Kami berdua terbungkuk bak sepasang lansia.

“Bagaimana dengan kami?” Hoyland berhasil menggaok. “Dia enggak bilang apa-apa soal kami?”

Pongo memikir-mikir. “Dia bilang,” akhirnya ia ingat, “saluté—“ lalu mengangkat gelasnya untuk kami berdua.



[1] Dunkerque merupakan kota di utara Perancis. Pantainya menjadi lokasi pertempuran antara sekutu (Inggris, Kanada, Perancis, Polandia, Belgia, dan Belanda) melawan Nazi Jerman pada 26 Mei – 4 Juni 1940.
[2] Suasana lonjakan ekonomi di Amerika Serikat pada 1920-an dapat dilihat dalam salah satu karya F. Scott Fitzgerald, The Great Gatsby
[3] Caligula memiliki kuda kesayangan bernama Incitatus yang diberinya jabatan, rumah mewah, dan pelayan
[4] Pelukis Italia (1483 – 1520)
[5] Pesta yang diadakan malam-malam di rumah pribadi
[6] Lagu jaz gubahan Duke Ellington (1932)
[7] Daerah pinggir kota Dublin bagian selatan, kampung halaman banyak selebriti, di antaranya Bono U2 dan Enya
[8] Tari kematian, berasal dari Eropa abad pertengahan

Tidak ada komentar: