Kolese Trinity,
tempat aku bersilang pedang sejenak dengan pendidikan tinggi, terletak tepat di
jantung Dublin. Karena sebagian besar waktuku di sana kuhabiskan dengan
membolos kuliah untuk bermain croquet[1]
bersama Hoyland, atau kelayapan bareng dia di jalan, aku jadi mengenal baik
kota itu. Tempatnya mengasyikkan, agak terseok-seok, menyerupai sepatu tua,
yang sebagian besarnya mencakup restoran kecil cepat saji, pusat perbelanjaan
kelas kambing, serta pub-pub kumuh yang dilanggani orang-orang tua penyakitan.
Pada waktu itu teman-teman sebayaku biasa mengobrolkan tempat tujuan emigrasi
setelah lulus—pada masa itu Dublin bukanlah jenis kota yang dipertimbangkan
orang sebagai tempat menetap, jika ia punya semangat dan ambisi. Kukatakan
“pada masa itu”, walaupun baru beberapa tahun lalu. Itu bukti begitu aku
melangkah ke luar dari bis bahwa segalanya telah berubah.
Frank
benar. Ke mana pun melihat ada saja yang sedang digali, dibangun ulang, atau
dibongkar. Hostel-hostel dan toko-toko bobrok telah tiada, di tempatnya kini
berdiri kafe-kafe mewah, toko-toko mungil nan elok penuh furnitur kromium
bergaya minimalis, serta modiste-modiste mempertunjukkan mode terkini dari
Paris dan London. Suasana mendedas oleh uang dan potensi. Papan tanda Lowongan
Kerja digantung di jendela-jendela. Jalan dipadati orang dan klakson mobil.
Rasanya seperti berada di balik layar pertunjukan musikal—semua orang bergegas
menuju posisinya, dekor dinaik-turunkan—atau salah satu film komedi Ealing[2]
lawas di mana ada kapal karam dan kargonya yang berisi wiski terdampar di
pantai suatu pulau teramat kecil di Skotlandia, kecuali di sini alih-alih wiski
petinya penuh setelan produksi Italia serta ponsel, dan alih-alih mabuk para
pribumi berlari mondar-mandir mengepas celana serta menelepon satu sama lain.
Langit
sudah terang, membubuhkan awan putih-emas secara impasto[3]. Matahari Oktober yang condong menjadikan
segalanya tampak baru dicetak. Selagi aku berdiri di Jembatan O’Connell
memeriksa peta jalanku, dengan sungai mengalir di bawahku, aneka cahaya dan
suara di mana-mana, terdesak oleh payung, tas sekolah, koran, gawai elektronik.
Semuanya terasa sungguh menakjubkan. Lalu ada
yang menubrukku sehingga petaku jatuh, dan aku pun hanyut dalam keramaian. Kami
menerjang plaza College Green, pada setiap celah disusul oleh anak sungai
orang-orang yang lebih banyak lagi. Mudah untuk meyakinkan diri bahwa ini
bukanlah sekadar sekumpulan acak tubuh yang secara kebetulan menuju arah yang
sama, melainkan suatu massa, pergerakan,
dalam perjalanannya untuk berbuat sesuatu yang mendalam. Aku begitu tercengkam oleh keseluruhan
suasana itu hingga hampir saja aku melewati Vuk, yang sedang membungkuk di
pagar dalam antrean orang-orang asing tidak keruan. Ia menyapaku lalu aku pun berhenti, mengucap halo, dan
menanyakan yang ia lakukan. “Menunggu,” kata Vuk—aku bilang Vuk, walau tidak
bisa bersumpah bahwa ia benar-benar bukan Zoran—“dokumen.”
“Benarkah?”
Ada sejuta orang kiranya di depan dia, dan antrean tersebut tidak tampak
bergerak sama sekali. Aku memberi tahu Vuk bahwa toko agen koran[4]
terdekat ramainya tidak sampai separuh di sini, kalau ia mau pergi ke sana
saja, namun tampaknya ia tidak mengerti perkataanku. Barangkali ini
mengingatkan dia akan kampungnya, antrean untuk mendapat roti, dan sebagainya.
Semestinya aku menanyakan kabar Mirela, namun aku tidak mau menunda urusanku,
dan kalau-kalau gadis itu mencium Harry lebih baik aku tidak mengetahuinya.
Cepat-cepat aku mengarang alasan lalu melanjutkan perjalanan ke Alun-alun
Merrion.
Sirius
Recruitment bertempat di gedung abu-abu yang anggun dengan pintu kaca berwarna,
di mana aku mengadakan inspeksi singkat terhadap diriku sebelum masuk. Perlu
disebutkan bahwa busanaku tidaklah ideal untuk kesempatan tersebut—jas makan
malam tampak agak mengecoh, sedang rompi tetek bengek yang terlalu menyolok.
Akan tetapi, pakaianku selebihnya telah sekali lagi diperedarkan di antara para
langganan Coachman, jadi aku tidak ada pilihan. Lagi pula diam-diam kurasa
penampilanku ini cukup bergaya, seperti dalam The Mummy Takes Manhattan, meski Frank bilang aku lebih menyerupai
pelayan Frankestein, dan Droyd menyebutku homo. Namun nanti mereka akan
menyaksikan bahwa kekurangan dalam gayaku ini lebih daripada sekadar
mengimbangi semangat pasti-bisa.
Aku
memasuki ruangan lapang yang diterangi cahaya teduh keperakan. Dari jauh
merebak gerincing giring-giring. Tumbuhan lilac
segar menghiasi meja resepsionis. Salah satu dinding ruangan ditutupi
foto-foto, yang menunjukkan tim Sirius Recruitment bersama para pelanggan yang
puas, atau bersenang-senang setelah seharian bekerja keras. Semua orang
tersenyum dan memeluk satu sama lain. Setelah horor dalam kehidupanku baru-baru
ini, segala ketenteraman dan penyambutan ini terasa agak mencengangkan. Malah,
sesaat aku hanya berdiri dan menganga, seperti si orang yang tersandung jalan
pintas ke surga[5].
Kemudian ada suara menyapaku, suara dengan musikalitas tak terperikan.
“Halo,”
suara itu.
Aku
mengedarkan pandangan. Di balik meja duduk resepsionis cantik. “H-halo,”
balasku tergagap-gagap. Ia sangat elok, kulitnya kecokelatan dan menyerupai
peri. Ia mengenakan telepon kepala berwarna emas yang begitu mungil dan tampak
sangat beradab.
“Sepertinya
Anda tersesat,” ucapnya jenaka.
“Tidak,”
aku memulai, lantas terdiam—menyadari seketika itu juga, untuk kali pertama
sejak Folly meledak, bahwa tak mungkir lagi aku memang tersesat. “Tepatnya,
iya,” kataku. “Maksudku, aku sedang mencari pekerjaan.”
“Kalau
begitu Anda berada di tempat yang tepat untuk memulainya,” ia tertawa. “Isi
formulir ini dan Gemma akan menemui Anda sebentar lagi. Ia bosnya,” ia
menambahkan. “Tetapi jangan khawatir, orangnya sangat menyenangkan.”
Aku
duduk di sofa panjang yang mewah dan mulai mengisi formulir. Isiannya tidak
begitu sulit. Ada beberapa halaman (Riwayat Kerja; Bahasa; Kemampuan dan
Kecakapan Lain, Rencana Jangka Panjang, dan Cita-cita) yang bisa kuloncati. Aku
segera selesai dan bisa kembali memalingkan perhatian pada foto-foto. Dalam
benak aku menyelipkan diriku di samping si resepsionis cantik saat tamasya staf
ke trek gokar, menyemprotinya dengan Silly String[6]
pada pesta ulang tahun seseorang yang ketiga puluh ….
“Charles?”
Aku
tersentak. Seorang wanita berdiri di ujung lengkungan meja resepsionis—wanita
jangkung lagi anggun, dengan keriput halus di sudut mata. “Gemma!” Aku melambung
menjabat tangannya.
“Ikut
ke bilik saya,” ia tertawa.
Kami
mengulir melewati semacam jalur ruwet berkonsep terbuka yang tersusun atas
pot-pot tanaman, alat pendingin air minum, serta mesin cappuccino. Di mana-mana karyawan berbicara pada telepon atau
mengetuk-ngetuk papan komputer dalam kepuasan yang hening. Bilik Gemma berada
di belakang, di dekat jendela panjang dengan pemandangan kebun rempah bergaya
Victoria yang terawat baik.
“Pertama-tama,
Charles,” ucapnya, seraya mengisyaratkanku supaya duduk, “Saya ingin berterima
kasih padamu karena sudah datang menjumpai saya hari ini.”
“Tidak
apa-apa,” sahutku. Dinding biliknya disesaki lebih banyak foto: geng Sirius di
pertunjukan rodeo, di puncak Gedung Empire State, di pergelaran Cats.
“Sebelum
kita membicarakan tentang dirimu,” kata Gemma, “saya akan memberitahumu sedikit
tentang agen kami, dan mudah-mudahan meyakinkanmu bahwa kamu telah membuat
keputusan yang tepat dengan datang kemari.” Kuperhatikan ia tidak tampak resah
sama sekali karena perbanku. Seakan-akan ia mampu melihat menembusnya, pada
pria di baliknya. “Kenapa Sirius? Yah, seperti yang kita berdua ketahui,
Irlandia sedang mengalami pertumbuhan baru dalam sejarahnya. Malah ekonomi kita
dicemburui di seluruh Eropa.”
Kecuali
ia sebenarnya menyukai perban ini,
mendadak terpikir olehku, bukannya tidak mungkin—
“Dari
mana asalnya pertumbuhan ini? Jawabannya mudah saja: kamu.”
“Aku?”
sahutku.
“Ya,”
ia mengangguk. “Kamu, beserta lulusan muda lainnya seperti dirimu. Kamu mengerti
kan, tenaga kerja muda Irlandia yang berpendidikan tinggi, bermotivasi tinggi
lah yang menjadikan negara ini prospek menarik bagi perusahaan-perusahaan asing
yang hendak menanamkan modal. Revolusi teknologi informasi mewujudkan hal-hal
yang beberapa tahun lalu tampak menyerupai fiksi sains, dan di Irlandia inilah
kita telah mampu menempatkan diri kita di baris terdepan teknologi mutakhir
tersebut. Charles, kamu mau mochaccino?”
“Ya,
boleh, Gemma.”
“Di
Sirius,” ia melanjutkan, sambil melangkah ke mesin kromium nan berkilauan di
pojok ruangan, “kami sadar bahwa para karyawan kami—mitra kami, begitulah kami
menyebutnya—termasuk yang amat terbaik di dunia. Itulah sebabnya saat saya dan Bryan mendirikan
perusahaan ini, pada pertengahan tahun sembilan puluhan—“ ia menuding pada foto
Bryan yang tengah duduk di kap Saab emas sementara lengannya merangkul Gemma,
di sebelah luar gedung abu-abu yang anggun ini—“kami memutuskan bahwa kami
tidak akan menjadi salah satu dari tempat-tempat menjemukan yang mengirim para
karyawan temporernya ke Timbuktu untuk menjilat amplop sehari itu.” Dengan
lihai ia menggerakkan tuas dan kenop mesin tersebut, mengeluarkan rekahan uap
ke susu. “Kami menganggap karyawan kami bukan
sebagai automaton untuk disuruh-suruh, melainkan individu kreatif dan berbakat
dengan gaya tersendiri.” Ia
menyerahkan cangkir padaku lalu duduk di depanku. “Segala macam klien kami
layani. Selaku mitra Sirius, kamu bisa saja merancang laman untuk perusahaan
rintisan lokal, atau mengerjakan solusi elektronik bagi perusahaan
multinasional raksasa cabang Irlandia. Kamu bisa pula menciptakan simulator tiga
dimensi untuk usaha pengeboran minyak—atau membuat perangkat lunak khusus bagi
agen rekrutmen terbaik!”
Kami
sama-sama tertawa, walau aku tidak pasti akan perkataannya. “Saya bisa
menjanjikanmu bahwa kamu tidak akan pernah bosan di sini, Charles. Kami ingin
kamu mengembangkan bakatmu sepenuhnya—sebab dengan begitulah kami tampil prima,
dan kita sama-sama menghasilkan lebih banyak uang!”
Kami
tertawa lagi. “Tetapi seriusnya,” kakinya tidak lagi disilangkan dan duduknya
dimajukan, “yang saya maksudkan yaitu tanpa dirimu Sirius Recruitment pun tidak
ada. Jadi, meskipun saya kepala perusahaan ini, boleh dibilang sayalah yang bekerja untukmu.” Gemma menyesap mochaccino dari cangkir lalu menjilat busanya. Kubayangkan diriku
berselingkuh dengan Gemma, sementara Bryan tersedu-sedu kesepian dalam Saab
miliknya. “Sebagian orang mungkin mengira bukan begitulah caranya menjalankan
bisnis. Mereka mungkin menyebut kami naif, atau pemimpi. Namun kami mengatakan
pada mereka, masa depan itu mimpi. Dan bisnis kami menciptakan masa depan.
Perubahan yang kita saksikan kini di sekitar kita di kota ini—mobil-mobil baru,
hotel-hotel baru, restoran, bar sushi—menggantungkan
keberadaannya pada revolusi teknologi—pada orang-orang seperti dirimu dan saya.
Kami memprakirakan tidak lama lagi semua orang akan mengikuti cara kita.”
Ia
melontar rambut gelapnya yang halus ke belakang lalu melipat kedua tangannya.
“Tetapi cukup perkenalan dirinya. Nah, Charles, apa yang membuatmu tertarik
pada perusahaan kami?”
“Hmm?
Maaf?”
“Kenapa
kamu memilih Sirius Recruitment?”
“Oh
….” Dari tadi aku sibuk memikirkan yang akan kuperbuat saat si resepsionis
cantik menangkap basah aku dan Gemma; situasinya benar-benar menjepit. “Yah,
sebagian besar karena isi iklan itu. Seluruh balapan tikus itu, mengerti kan,
aku mulai cukup bosan dengan itu.”
Ia
mengangguk memberi dorongan, mengisyaratkanku supaya terus.
“Yah,
maksudku, sebenarnya sih…” aku memulai. “Sebenarnya ….”
Sebenarnya,
aku tidak yakin seberapa banyak yang mesti kusampaikan pada dirinya. Namun
kemudian aku menatap mata kelabu nan teduh itu dan segalanya pun tertumpah
keluar: para penumpang gelap yang membersamai Mbok P, gerombolan teater Bel,
Bunda memberikan kamarku pada orang lain, Boyd dan para pramugari pesawat,
hingga pindah ke rumah Frank. “Tetapi maksudku tuh persoalan Frank belum ada
apa-apanya,” kataku padanya. “Ada lagi perkara si Droyd. Misalnya saja,
kemarin, ia mengeringkan cuciannya di oven padahal aku sudah terang-terangan
melarangnya. Sekarang seluruh apartemen jadi berbau kaus kaki. Sama sekali
sudah enggak bisa ditoleransi lagi. Kalau aku enggak menemukan tempatku sendiri
entah apa yang bakal kuperbuat. Maksudku aku sudah kena bintil-bintil nih. Jadi
kamu mengerti kan penting betul aku segera mendapat potongan paiku.”
Gemma
mempertimbangkan ini tanpa suara. Lantas ujarnya perlahan, “Charles, semua itu
alasan yang bagus. Sebab kamu tidak bisa memisahkan pekerjaanmu dari
kehidupanmu, ya kan? Bagaimana mungkin kamu berlaku adil pada elan dan gaya
pribadimu kalau kamu tidur di lantai rumah orang?”
“Inilah
yang kutanyakan pada diriku sendiri,” sahutku.
“Oke,”
ucap Gemma. “Jadi, yang penting jangan panik. Betul-betul ada ribuan perusahaan
yang mengemis anak-anak muda melek komputer seperti dirimu pada kami. Tinggal
mencocokkan riwayatmu dengan profil usaha yang paling sesuai dengan dirimu.
Jadi mari jangan buang-buang waktu lagi, dan kita ….” Ia membuka formulir
lamaran lantas membaliknya lagi disertai raut prihatin. “Charles, kamu tahu kan
buklet ini isinya ada empat halaman?”
“Ya,”
jawabku.
“Sebab
saya perhatikan ada banyak bagian yang kosong di sini.”
“Aku
enggak perlu repot-repot mengisi sebagian besarnya,” terangku.
“Oh,”
ucap Gemma. “Oke. Memang tidak ada alasan kamu harus mengisi formulir yang
membosankan, kan, kita bisa langsung … oke, jadi di sini disebutkan bahwa di
perguruan tinggi gelar sarjanamu Teologi.” Ia mendongak. “Pasti menarik!”
“Ya,”
sahutku sayup. “Sebenarnya, itu idenya Ayah, itu satu-satunya jurusan di
Trinity yang bisa kumasuki, jadi rencananya kuliah di situ dulu sampai tingkat
tiga lalu harapannya sih pindah ke Hukum.”
“Hukum,
ah, begitu ya. Lalu …?”
“Yah,
lalu Ayah meninggal.”
“Oh
….” Gemma menciut mundur. “Oh, saya turut berduka ….”
“Enggak
apa-apa kok,” aku meyakinkan dia. “Tetapi akibatnya sementara ini pindah ke
Hukumnya ditunda dulu.”
“Ya,”
Gemma mengangguk serius, “jadi sebagai gantinya kamu ….”
“Waktu
itu aku berhenti kuliah,” kataku. “Aku merasa memerlukan waktu untuk berpikir.”
“Oke,
baik, lalu kamu …?”
“Sebenarnya,
begitulah sampai sekarang,” kataku padanya.
“Oh,”
sahut Gemma. “Oh.” Tatapannya merunduk, seolah-olah meneliti halaman-halaman
kosong pada formulir lamaran itu. “Jadi semenjak waktu itu kamu terus …
berpikir?”
“Oh,
tahulah, berkeluyuran, mengerjakan ini itu.” Aku menyesap mochaccino di cangkirku dengan penuh perenungan. “Lucu ya waktu tuh
rasanya berlalu begitu saja?”
“Memang,”
Gemma menyetujui dengan berat, seraya menautkan jemari dan menekan-nekannya ke
tiap sisi hidungnya. “Jelasnya yang saya tanyakan di sini, Charles, yaitu
bagaimana ini semua bertalian dengan riwayat kerjamu dalam teknologi
informasi.”
“Mmm,”
sahutku begitu saja, sambil mengusap-usap dagu.
“Barangkali
kamu bisa menyampaikan apa persisnya yang menarik perhatianmu dalam bidang ini
…?”
Aku
merasa mencium suatu gelagat dalam suaranya. Aku tidak bisa menyatakannya
secara persis, namun aku mulai mengalami perasaan tak terperikan bahwa aku
telah keliru dalam suatu detail penting. Mendadak aku teringat pada si manajer
bank dan betapa aku telah mengguncangkan keyakinannya akan sistem kerjanya
dengan kekalahanku di meja bakarat serta hipotek yang tak terkendali. Aku tidak
mau berbuat serupa pada Gemma.
“Jadi,”
sahutku pelan-pelan, “faktanya sekarang ini teknologi informasi merupakan
kebutuhan mutlak. Tidak bisa dihindari. Sebab maksudku semua orang butuh
informasi, kan, atau kalau tidak, tahulah, bagaimana kita dapat mengetahui
segala hal? Maka sekarang ini ke mana pun orang pergi, ada informasi.”
Diam-diam kutatap Gemma sepintas. Ia sedang mengunyah ujung bolpoin. Entah
apakah ini pertanda baik atau buruk. “Dan teknologi,” lanjutku, “hampir sama
saja, di mana-mana, membuat berbagai hal jadi lebih cepat dan … dan …” sesaat
aku bimbang, tetapi kemudian inspirasi meletup—“dan bila kita memikirkannya,
sungguh adakah cara yang lebih baik untuk mencari informasi, daripada dengan
teknologi? Dan vice versa, adakah
cara yang lebih baik untuk mempelajari teknologi, daripada dengan, tahu
kan, informasi?”
“Baik,”
Gemma berujar samar begitu aku selesai. “Baik.” Ia mengangkat formulir lamaran
itu lagi. “Charles, untuk arsip saya sendiri ada yang perlu saya pastikan, jadi
kalau kamu tidak berkeberatan, saya hendak membacakan daftar aplikasi dan bahasa
komputer. Kalau kamu pernah menggunakan, mengakrabi, atau menghadapi
istilah-istilah tersebut dengan cara apa pun, saya ingin kamu mengatakan ‘Ya’,
oke?”
“Oke,”
aku menyetujui.
“Quark,” ucapnya.
“Apa?”
sahutku.
“Word,” ucapnya. Aku menyadari ia telah
mulai membacakan daftarnya. “Excel. PowerPoint.”
Daftarnya
panjang. Sesekali ia mendongak menatapku sepintas untuk memeriksa apakah aku
masih ada. Sementara ia melanjutkan, rasa malu merayapi pipiku. Begitu banyak
bahasa, begitu banyak aplikasi! Bagaimana mungkin aku lalai menguasainya
sekalipun cuma satu? Terus saja ia menyambung “VOID. Basic Basic. Advanced Basic
Basic”—dan yang sanggup kuperbuat hanya duduk dan mendengarkan, sementara
ia mendeklamasikan rentetan kata tak berarti bagaikan sajak futuristis nan
mengerikan.
Akhirnya
daftar itu berakhir. Gemma menatapku tajam. Aku mendeham dan diam-diam
membenahi dasiku. “Charles,” ucapnya, “saya mungkin gegabah, tetapi saya tebak
kecakapan multimediamu kurang lebih setara dengan kecakapan TI-mu?”
Aku
mengangguk kelu. Aku berpikir-pikir apakah sekarang waktunya untuk memunculkan
semangat pasti-bisaku.
“Jadi
singkatnya, Charles,” agak mendadak Gemma bangkit lalu melihat ke arah kebun
rempah di luar, “boleh dibilang kamu tidak
pernah bekerja mencari nafkah, benar begitu?”
“Tidak
juga,” aku mengakui. Aku baru ingat bahwa aku pernah memelihara merak-merak
Ayah selama beberapa tahun, namun aku tidak yakin pengalaman ini relevan. Lagi
pula, mengingat bahwa sesungguhnya kebanyakan dari merak-merak itu mati dalam
perawatanku, aku memutuskan mungkin lebih baik tidak menyebutnya sama sekali.
“Minat?”
ucap Gemma. “Hobi?”
“Aku
suka menonton film lawas,” kataku. “Biasanya ada yang bagus diputar di televisi
siang-siang, sekitar waktu makan siang.”
“Ya,”
Gemma mengertak-ngertakkan kuku pada meja tulisnya yang berlapis kayu halus
kelabu kebiruan. “Saya perlu yang lebih proaktif daripada itu, Charles. Kamu
perlu membantuku sedikit. Apa yang, katakan kamu ingin menjadi apa.”
“Menjadi
…?” Aku tidak pernah sungguh-sungguh ingin menjadi
apa pun yang spesifik—tidak seperti Bel, yang ingin menjadi aktris sejak
usianya dua belas tahun, dan sebelum itu mengadakan persiapan sungguh-sungguh
demi momen ketika ia menjadi Tsarina.
“Taruhlah
begini, di mana kamu melihat dirimu lima tahun lagi?”
Kutempelkan
jari di bibir bawahku. Pertanyaan
yang mendesak. Lima tahun! Aku
mengkhayalkan diriku di masa depan, yang telah menguasai seluk-beluk dunia nan
kompleks ini, serta atribut kehidupan suksesku nanti. Aku membayangkan diriku berada di ruangan mewah,
dengan gambar-gambar bergaya Art Deco,
langit-langit berupa cermin, serta jendela otomatis yang menampakkan
pemandangan kota di bawah, di mana aku duduk menghadap komputer mengetikkan
Solusi tanpa susah payah. Aku mengangankan bar trendi tempat aku minum-minum
gimlet bersama teman-teman baruku, dan betapa pada akhir pekan kami suka
bermain gokar, atau menonton pertunjukan Cats.
Aku tampak segar dan puas. Segalanya
tersedia, hidup baik-baik saja. Namun kemudian
pikirku, lima tahun, dan aku pun
bertanya-tanya, ingin tahu saja, seperti apa gerangan penampakan Amaurot pada
waktu itu—seketika alam paralel di mana aku sukses berkarier pun buyar, dan aku
telah berada kembali di rumah itu, sedang berjalan melewati kebun buah
mengenakan kimono khusus merokok, sambil menggusah jelatang dengan tongkat
bagus, sementara di pekarangan Bel mondar-mandir memegang bundel kertas,
sembari menggumamkan dialog sandiwara yang audisinya hendak ia ikuti, lalu Mbok
P muncul di ambang pintu membawa kendi berisi limun, begitu pula Bunda, Mirela,
dan siapa pun lainnya yang ingin berada di tempat itu, kami semua masih di sana
tanpa mengkhawatirkan soal bagaimana, atau mengapa—
“Charles?”
“Oh,
ya,” sahutku, kebingungan. “Benar. Lima tahun. Yah, di mana saja bisa,
sebenarnya. Maksudnya, aku orangnya enggak spesifik.”
Gemma
mendesah. “Charles, kamu mengerti kan, itu tidak cukup. Bagaimana bisa saya
menempatkanmu kalau kamu saja tidak tahu di mana kamu ingin ditempatkan? Sekarang
ini pemberi kerja menghendaki komitmen. Ia hendak mengetahui bahwa kamu memiliki
impian dan ambisi yang sama. Karena dari situlah lonjakan ekonomi ini terjadi,
Charles. Ini bukan sekadar mengenai modal ventura Amerika Serikat serta
pemotongan drastis pajak perseroan Irlandia. Ini mengenai sekumpulan pemuda
berbakat yang terhubung karena sebuah mimpi. Mimpi, Charles, kamu mengerti?
Orang tidak cukup hanya berkeliaran di jalan mencari potongan painya, kalau
mereka bahkan tidak memahami apa yang
dimaksud dengan pai tersebut, Charles. Maksud saya, apa kamu bahkan menginginkan pai tersebut?”
“Yah,
aku ingin makan sih,” ujarku resah, “mengerti kan, dan aku sangat ingin
tidur di ranjang lagi.”
“Tentu
saja kamu ingin!” tukas Gemma. “Tentu saja kamu ingin tinggal di rumah bagus dan
mengemudikan mobil mentereng. Siapa yang tidak? Tetapi yang dibutuhkan calon
pemberi kerja lebih daripada itu. Dan
kepentingan saya adalah begitu saya mengirimkan ini lewat faks,” ia mengangkat formulir lamaran itu, “yang akan dilihatnya bukanlah individu berbakat dan
bersemangat sebagaimana dirimu yang saya kenal, melainkan orang yang hidupnya berhenti, tiga tahun lalu.”
Aku
memucat. Berhenti? Bisa-bisanya ia
mengucapkan itu, padahal begitu banyak yang telah terjadi? Perjalanan Bel
melalui perguruan tinggi, rentetan pacarnya yang tak layak diomongkan, upayaku
untuk mengulang kehidupan beradab era Renaisans, robohnya Bunda, robohnya Mbok
P, kematian Ayah, dan segala jeritan saat pemakaman menyeramkan itu—
“Oke,”
Gemma berucap ringan, seraya menepukkan kedua belah tangan pada pahanya.
“Charles, saya ingin berterima kasih sekali lagi karena sudah datang hari ini.
Dan saya tidak akan mengucapkan selamat tinggal, sebab saya tahu bahwa kamu akan
kembali ke sini begitu kamu sudah mengetahui yang ingin kamu lakukan.” Foto-foto
di papan pengumumannya kini tampak bernuansa sayu, seakan-akan entah bagaimana
mereka jadi berbalik memunggungiku. “Sebab ada suatu tempat di luar sana yang
tengah menanti dirimu. Tinggal cukup menginginkannya saja.”
“Apa?”
sahutku linglung. “Oh …” menyadari ia sudah mengulurkan tangan. Lunglai aku
menjabatnya dan berdiri.
“Jadi
sampai jumpa lagi,” tandasnya, seraya mengarahkanku ke jalan keluar.
“Sampai
jumpa,” kataku.
“Sampai
jumpa,” ucap si resepsionis cantik begitu aku kembali melewati lobi. Aroma lilac membersamaiku sebentar sampai ke
jalan.
Kota
ini sekarang terlihat sungguh berbeda. Matahari telah pulang sementara langit
redup perunggu bergayut di atas jalan. Di mana-mana derek bekerja, bor
mengorok, pembobok beton bergetar. Bunyinya memekakkan telinga, dan seiring
langkah rasanya semakin tidak tertahankan saja—keriuhan, ketergesa-gesaan,
pawai wajah asing yang tiada habisnya ini, masing-masing memberikan interogasi
singkat sebelum kembali berbaur dalam kerumunan yang tak keruan bentuknya.
Saat
memasuki Jalan Clare, aku melihat serombongan orang Amerika tua-tua mengenakan
jas hujan mengilap bercampur aduk dengan banyak sekali anak sekolahan pribumi
berwajah pucat. Karena ingin menghindari mereka, aku pun menunduk melewati
lawang Lincoln Place memasuki almamaterku. Langsung aku menyesal, karena
seketika itu juga aku menyaksikan bahwa Trinity sekalipun tidak terselamatkan
dari kebinasaan era baru. Mesin-mesin
ampelas menyerbu gedung Museum. Golgotanya perpustakaan sedang dibangun di sebelah
barat. Diiringi pedih yang sekonyong-konyong bertingkah, aku mencari-cari
serumpun kecil pepohonan di sudut terpencil lapangan kriket di mana, pada suatu
malam yang pening lagi memalukan, aku dan Patsy sedang rapat-rapatnya
menyempurnakan cinta kami, atau cintaku bagaimanapun juga. Namun tempat itu telah dipagari, dan dari
balik tiang-tiang pancangnya terdengar buldoser tengah mengganyang. Rasanya
menyedihkan. Aku heran pada orang-orang mengilap ini yang tampaknya tidak
peduli, yang berjalan riang melewati penghancuran ini seakan-akan mereka baru
lahir kemarin.
Aku
sedang berjalan melewati New Square terbelit oleh pikiran suram saat ada yang
memanggil namaku. Aku berpaling dan melihat orang kantoran gemuk yang
mengenakan setelan biru murahan. Ia berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke
saku pada landaian yang mengarah ke gedung Kesenian, di mana elite Trinity
biasa berkumpul untuk mengecam, bersenda gurau, merokok berpuntung-puntung.
Awalnya kukira ia mestilah hantu, atau bayang-bayang yang keluar dari
kenanganku.
“Memang kamu,” ucapnya. “Tadi aku
mengenali, ah ….” Ia menepuk dadanya. Aku merunduk lalu melihat ujung
saputanganku yang bermonogram menyembul dari saku jas.
“Hoyland
Maffey,” sahutku. “Wah, wah.”
“Sudah
lama ya,” kata Hoyland.
“Ya,”
ujarku. Setelah itu, aku sungguh tidak tahu mau bicara apa. Ternyata begitu
pula dirinya. Sesaat kami cuma berdiri dengan canggung, tidak yakin hendak
melanjutkan percakapan ini.
“Lucu
ya mesti ketemu dirimu di sini,” katanya, sambil menuding pepohonan, bangunan.
“Kamu lagi apa, bernostalgia?”
“Ya,
sepertinya.” Lemak pinggangnya kentara menggembung—namun entah bagaimana ia
juga tampak menyusut, tidak begitu menyerupai Hoyland dahulu. Tidak ayal lagi
ia berpikir sama tentang diriku. Aku bisa menyaksikan dia diam-diam melirik
perban kepalaku, memperdebatkan akan menanyaiku soal itu atau tidak. Ia diam
saja. Kesunyian itu pun mencapai taraf yang memalukan. “Baiklah!” ucapnya tak
terbantahkan.
“Ya!”
susulku disertai tawa gelisah, dan hendak undur diri saat ia menandaskan:
“Charles—“
“Ada
apa?”
Matanya
yang biru berkedip-kedip ke arah Menara Lonceng yang bergaya Barok Akhir. “Aku
penasaran saja,” suaranya tertahan dan tegang, “apakah merakmu masih ada?”
Aku
memerah, dan tidak langsung menyahut. Lalu terlintas jawaban yang biasa, begitu
pula permainan croquet, acara
kelayapan, segala kehangatan masa lalu kami. “Sebenarnya masih,” kataku. “Dan
kamu—seingatku dulu kamu punya burung laut? Sepertinya dulu kamu memelihara bangau
beberapa?”
Hoyland
bergeming sesaat, seraya menatap kejauhan. “Bangau?” sahutnya. “Ada beberapa.
Tetapi, dipikir lagi, terlalu sedikit untuk disebut-sebut ….”
Para mahasiswa melirik penuh hinaan sementara tawa kami meledak. Kami pun melakukan jabat tangan rahasia. Hoyland lalu mengatakan bahwa sudah waktunya makan siang dan, karena tidak ada lagi yang kunanti selain petang di perkampungan kumuh, aku pun setuju dia membelikanku roti lapis.
Para mahasiswa melirik penuh hinaan sementara tawa kami meledak. Kami pun melakukan jabat tangan rahasia. Hoyland lalu mengatakan bahwa sudah waktunya makan siang dan, karena tidak ada lagi yang kunanti selain petang di perkampungan kumuh, aku pun setuju dia membelikanku roti lapis.
[1] Permainan mendorong-dorong bola
kayu ke gawang di lapangan
[2] Dalam 1947 – 1957 Studio Ealing
di Inggris memproduksi film-film komedi, di antaranya Whisky Galore! (1949) sebagai yang dimaksud
[3] Lukisan dengan pigmen
tebal-tebal sehingga menampakkan jejak kuas atau pisau aduk
[4] Koran dan dokumen dapat berarti
sama dalam bahasa Inggris (paper dan papers)
[5] Back Door to Heaven, film Amerika Serikat produksi 1939
[6] Atau aerosol string, merupakan tabung mainan yang jika disemprotkan akan
mengeluarkan semacam benang elastis dari plastik, sering digunakan dalam
acara-acara perayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar