Baiklah, baiklah, sekarang
kukisahkan pengalamanku. Tentu saja, bukan dari masa yang kuingat sampai
sekarang, sebab riwayat semasa bayi bukanlah riwayatku, melainkan riwayat
ibu-bapakku. Begitu pula dengan cerita yang telah berlalu, bagiku adalah cerita
orang lain, walaupun orang itu adalah aku sendiri. Berbelit-belit perkataan
ini, tapi jangan heran, karena ceritanya juga berbelit-belit. Aku yang dulu
bukanlah aku yang sekarang, sehingga pantaslah bila cerita yang sudah dialami
olehku dulu itu disebut sebagai cerita orang lain.
Pembaca tentu minta bukti.
Memang, sekarang zamannya bukti. Ya, baiklah!
Dahulu aku disebut “Aden”, yaitu kependekan dari Raden. Kata ibuku, raden berasal dari kata “rahadiyan[1]”,
tapi mohon maaf lupa lagi artinya. Tapi sekarang aku disebut “Emang” atau
paling untung disebut “Bung”.
Tiga tahun lalu aku masih dianggap keluarga oleh Raden Rojak, pamanku, wedana di Leuwisari. Tapi sekarang kenal pun tidak. Ini menandakan bahwa aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang.
Rumahku yang dulu dilapisi
ubin, rumah gedung. Tapi sekarang hanyalah kamar yang luasnya enam meter
persegi. Ah, banyak lagi buktinya. Cukup saja sampai di situ, ya?
Cerita ini bukan karena aku
rindu akan masa lalu, sama sekali bukan. Malah kalau bisa ingin dilupakan. Apa
gunanya membicarakan kenikmatan yang telah lalu: kenal dengan juragan anu,
sahabatku jadi dalem, kerabatku jadi residen, dan seterusnya, dalam
kehidupan yang sebegini melarat? Aku bukanlah pelamun, tapi aku pada waktu sekarang
ini sedang berjuang mencari nasi untuk sendiri serta anak
istri. Cukup aku bersukacita bila memiliki uang untuk membeli keperluan
sehari-hari.
Aku jadi tukang becak. Sekali
lagi: tukang becak. Itu “perkakas” untuk mencari rezeki. Kakiku menjadi mesin
yang bensinnya adalah sepiring nasi yang disediakan Imas, istriku yang setia.
Hati-hati, jangan kira mau menyombongkan diri punya istri setia. Tapi ini
bukti. Imas setia kepada suaminya yang menjadi tukang becak.
Ingat, pembaca janganlah
menertawakan, tapi kalau tertawa silakan saja. Tukang becak pun sesama, bukan?
Sesama manusia yang tidak patut ditertawakan. Malah Babah Oey, juraganku,
sampai menasihati, begini katanya: “Mang, Mang jangan ngelaca ina jadi tukang
dolong becak. Ingat sama omongan bahasa oweh: Fei siao len wei ti i yi. Altinya:
Jangan ketawain olan lain itu kewajiban kita olang nyang telutama.”
“Lebih-lebih, Bah,” kataku
seraya memancal becak. Hati penuh pepatah Cina: Fei siao len wei ti i yi …. Fei siao len wei ti i yi! Jangan
ketawain! Jangan ketawain!
.
Bogor! Ya, Bogor. Siapa yang
belum ke Bogor? Di sana ada Kebun Raya yang termasyhur sebagai tempat
suka-suka. Ada museum tempat orang mencari informasi. Di sana ada badak,
macan, kerangka paus, dan seribu macam satwa. Ada batu tulis yang katanya
peninggalan kerajaan Pajajaran, makam Raden Saleh, sekolah-sekolah tinggi, ah,
segala-galanya ada di sana. Bogor kota yang “indah”, begitu kata orang. Hawanya
menyenangkan. Hasil buminya melimpah: talas, salak, nangka, jambu, palawija,
dan seterusnya. Siapa yang belum ke Bogor?
Yang disebut Bogor oleh orang
lain, olehku disebut Bogor juga. Hanya cara memandangnya yang beda. Bagiku:
jalan-jalan di Bogor itu boleh dikatakan seperti sawah bagi petani, kantor bagi
pegawai, sekolah bagi guru, Kebun Raya bagi yang mau mencari jodoh.
Jalan-jalan di Bogor tempatku
berusaha mencari rezeki, becak perkakasnya, mendepak pedal pekerjaannya, hilir
mudik mencari orang yang enggan berjalan.
Selain indah, menyenangkan,
dan nyaman bagi orang-orang, bagiku ada yang disesalkan. Kenapa Bogor
jalanannya menanjak dan menurun, tidak rata? Kenapa gang-gang di Bogor
kecil-kecil lagi diberi pembatas sehingga becak tidak bisa masuk? Ah, kalau
bisa oleh pihak yang berwenang, Jalan Gunung Batu ditugar, Empang, Jalan Pulo,
atau Pancasan ditambal, supaya aku enak mengayuh becak di jalan yang rata.
Kalau seperti itu kan aku
senang, seperti petani punya sawah yang tanahnya subur atau pegawai punya
atasan yang baik. Tapi, ah … seribu keinginan, seribu ketidakmampuan. Karena
aku hanyalah manusia yang ditakdirkan jadi tukang becak.
Tapi lagi.
Apa gunanya aku melamunkan
macam-macam? Bukankah aku cuma tukang becak? Bukankah Bogor tetap saja Bogor?
Tidak bisa diubah lagi. Tidak bisa dibeli seperti terasi, tidak bisa dibeli
seperti orang punya gelar. 2 x 2 = 4, Bogor beserta angan-angannya tetap saja
Bogor. Babah Oey di Gang Sepatu, juraganku, Imas di rumah, istriku, Esih
anakku, dan aku tetaplah aku. Titik …. Tidak ada yang lain!
Sekali lagi aku punya
pepatah. Jangan menertawakan! Fei siao len wei ti i yi! Jangan
ketawain, itu kewajiban kita olang nyang telutama!
Tapi ….
Belumkah kuceritakan caraku
waktu menjalankan tugas? Ya, baiklah sekarang aku ceritakan:
Ketika itu aku sedang
menongkrong di Jalan Perniagaan. Hari Minggu pagi-pagi, waktu Bogor sedang
cukup ramai. Banyak yang berpelesir: sedan-sedan menuju Puncak ke arah timur,
orang-orang pada berkerumun di loket Kebun Raya. Ramai, walaupun banyak toko
yang tutup. Tapi aku tak ambil pusing, aku sedang meminum air hangat untuk
sarapan, sebab tadi Imas tak menyediakan makanan. Salahku sendiri, tak ada duit
untuk membeli beras, sebab perolehan kemarin sudah habis kemarin pula. Aku
beserdawa. Kuisap keretek. Mencungkil sisa makanan yang terselip di gigi, lalu
sisa makanan itu masuk ke kerongkongan bersamaan dengan asap rokok. Serdawa
lagi: Alhamdulillah ….
“Becak!” seorang jejaka
perlente memanggilku.
“Becak, Neng?” jawabku sambil
mengendurkan tali kolor.
“Iya. Ke Jalan Jakarta berapa
duit?”
“Ah, lima rupiah saja.”
“Lima perak?” ia melotot.
Lalu tersenyum, bukan mengajak tersenyum kepadaku, tapi kepada gadis yang ada
di sampingnya.
“Jadi ayo,” ucap jejaka itu
seraya menyuruh gadis manis itu naik terlebih dahulu.
“Silakan, Neng.”
Siap. Aku memancal pedal.
Menggeleser maju. Tercium wanginya tubuh gadis kota. Silir-semilir …. Walau
memasuki Jalan Lawangsaketeng, jalan paling bau di Bogor, tempatnya ikan asin
dan terasi, tetap minyak wangi dapat menaklukkan bebauan.
Sembari bernapas aku
menghirup udara dalam-dalam sekali.
Dalam hati, “Aduh orang lain
mah ….”
“Buat apa lah ke Kebun Raya,”
kata si lelaki. “Mending di situ. Tidak ada yang bakal mengganggu.”
“Ke City saja nanti. Katanya
ramai,” ujar si gadis.
“Ah, banyak gangguan. Mending
di situ.”
“Sebal sih suka usil.” Melirik
gadis itu, mendelik kepada si lelaki sembari tertawa. Lengan si lelaki
merangkul bahu perempuan itu. Sesekali menowel.
Ingatlah pembaca, saya tukang
becak. Kewajibanku hanya menonton.
“Jangan begitu ah, nanti
itu,” kata si perempuan.
“Itu apa, justru untung kalau
begitu.”
“Waaah …” sambung si
perempuan seraya membelalak.
Setelah itu, si lelaki
berbisik mendekat ke telinga si perempuan. Sayang tidak kedengaran semuanya,
yang jelas, katanya, “… kamar kosong … pura-pura … ya?”
Cekikikan keduanya tertawa.
“Beres, bukan?” ucap si
lelaki lagi, “di Kebun Raya kan terbuka, di bioskop cuma dua dimensi.”
“Wah, kalau di situ?”
“Tertutup, empat mata, empat
kaki.”
“Apa sih,” sambung si gadis
sambil lagaknya celingukan berasa jengah.
“Tiga dimensi, malah seribu
dimensi karena alam kenyataan semuanya juga. Bukan dongeng, bukan cerita
seperti di film ….”
Perempuan itu diam saja.
“Begitu, bukan?” lelaki itu
bertanya.
“Diam ah.”
Aku pun terus mengayuh
sembari mendengarkan, tidak bisa menimbrung atau mencampuri, seakan-akan sedang
mendengarkan radio. Bungkam!
“Sudah, di sini.”
Cekit, aku mengerem becak.
Turunlah mereka. Setelah
memberikan uang, segera mereka memasuki satu gang seperti yang tidak sabar. Aku
melirik sebentar. Sedari ketika itu sudah tidak tahu lagi pergi ke mana mereka
seterusnya. Kewajibanku hanya mengantarkan dari Jalan Perniagaan ke Jalan
Jakarta, dibayar lima perak, habis perkara.
“Manusia,” ucapku dalam hati.
Tapi tak perlulah aku
mencampuri cerita orang. Tidak ada gunanya. Lagipula aku tak akan tertawa,
lantaran ingat pepatah Babah Oey: Fei siao len wei ti i yi! Jangan ketawain
olang laen.
Lalu aku kembali mengeluyur
mencari muatan. Orang Sunda, orang Ambon, Jawa, Haji, tukang dagang, yang
beragama Islam, Buddha, Kristen, boleh duduk di jok becakku. Kalau perlu dan
bisa, barang pun boleh masuk, malah kepada mayat atau anjing pun aku tak akan
pilih kasih: asal ada yang membayar, asal mendapat duit. Duit! Duit! Itulah
sebenarnya yang dicari. Mata selalu beringas kanan-kiri ke tepi ke pinggir
barangkali ada yang melambaikan tangan. Jika ada suara memanggil, “Becak!”
cukuplah menyenangkan hati: lebih sedap daripada nyanyi Upit atau Mang Koko[2],
lebih nikmat daripada pagutan lele di kail tukang pancing. Ya, setiap orang
punya kesenangannya masing-masing.
Aku pun, dia pun. Yang baca
pun, semuanya!
Jalan Bubulak terus ke arah
barat, menurun, melewati rel kereta api, terus, berbelok ke kiri ke Jalan
Cikeumeuh. Tapi tetap saja sepi. Hasil keringatku belum cukup untuk membayar
sewa becak kepada Babah Oey.
“Ayo siapa yang mau naik!”
hati seolah-olah menjerit. Sementara kaki terus mendepak pedal meskipun sudah
pegal. Pantat sudah panas, lengan sudah penat.
Memang jadi tukang becak
sudah sewajarnya demikian, bukan?
“Becak!” suara perempuan
memanggilku (= becak). Berhentilah. Perempuan lagi yang mau naik. Kebetulan?
Malah sekarang cuma perempuan berdua, berlarian memburuku dari emper Asrama
Putri.
“Becak, Mang, ke City,” katanya.
“Silakan,” jawabku sembari
turun.
Setelah adu tawar, naiklah
mereka. Maju perlahan-lahan. Kali ini wanginya tidak begitu semerbak, tapi
cukup selayaknya saja.
“Bagaimana ya ujiannya?” yang
berbaju kuning bertanya kepada temannya.
“Heeh, ujian perbaikan
ternyata sama susahnya.”
“Sudah senang cuma satu,
pakai ditambah lagi jadi dua.”
“Apa saja yang perlu ujian
perbaikan?”
“Ilmu Pasti dan Ilmu Hayat.”
“Malu … aduh, kalau sampai tidak lulus.”
“Malu dengan Pak Rachman?”
yang berbaju merah keputih-putihan bertanya.
“Ah, ke siapa saja.”
“Pak Ubeng guru yang baik itu
tidak membantu, ya?”
Banyak lagi yang dibicarakan
mereka soal pelajaran sepertinya. Aku terus mendengarkan. Tapi sekarang ada
tambahan. Hati ini melamun:
“Emh, kalau anakku, Esih bisa
masuk ke sekolah yang agak tinggi, bakal sangat membahagiakan. Barangkali
nasibnya tidak akan seperti aku. Tapi tidak terbayang dari mana punya untuk
membiayainya. Ia baru kelas dua Sekolah Rakyat. Untung tidak ada adik,
bagaimana kalau ada, mungkin tambah banyak saja urusan. Mudah-mudahan saja ….”
“Triiit …” suara peluit
polisi.
“Hei, tukang becak!” sentak
yang meniup peluit itu.
Aku terperanjat. Segera saja
mengerem.
“Tidak lihat ini setop?”
Aku tidak menjawab, hanya cepat-cepat mundur
lagi.
“Hati-hati dong, Mang,” kata
yang bajunya merah keputih-putihan.
“Iya, Emang melamun saja,” si
kuning menyambung.
“Lah benar tidak kelihatan.”
Sesudah setopan kembali
berwarna hijau, cepat becak dimajukan lagi menyusuri Jalan Perniagaan.
Sedang anteng begitu, tak
sengaja terlihat oleh sudut mata, istriku, Imas, sedang menyusuri trotoar.
Sehabis dari Pasar Bogor sepertinya, karena menjinjing belanjaan.
Waktu ia berhenti
melihat-lihat selop di etalase, aku merasa kasihan. Ingat dia ingin dibelikan
sandal, tapi belum terlaksanakan.
Sepertinya aku memandang itu
terhubung dengan dia, Imas menoleh. Bertubrukkanlah penglihatan.
“Ah, Imas …” dalam hati. Ia
tersenyum. Mengerling ke para penumpang. Aku turut tersenyum.
“Mas,” kataku.
“Kang? Balik dari pasar.”
“Heeh,” jawabku sembari
lanjut berjalan.
Tampak roman Imas waktu
melihat aku sedang menanjak mengayuh becak, seperti yang merasa sedih: merasa
kasihan. Padahal yang aku bawa tidak kurang tidak lebih perempuan, sebangsa
dirinya. Punyakah rasa cemburu? Tidak, tak akan, jauh dari memiliki rasa itu.
Karena dirinya tahu, aku begini sedang membuktikan, bahwa aku cinta kepada
Imas. Sekali lagi: aku cinta kepada Imas. Usaha mengayuh becak untuk mencari
sesuap nasi, itulah buktinya.
Bersama itu aku terus
tinggalkan Imas yang tengah bergeming seolah-olah aku tidak cinta kepada
dirinya.
Sekali lagi aku punya
pepatah: Jangan tertawakan aku! Ingatlah perkataan Babah Oey: Fei siao len
wei ti i yi …!
Sekarang ada dua lelaki yang
naik. Yang seorang gendut, yang lain tegap. Entah berapa pikul beratnya, hanya
saja terasa ban yang asalnya keras jadi empuk. Dikayuhnya harus mengeluarkan
tenaga setengah mati, setangnya berat dan terdengar becak berderit-derit
seperti mau ringsek.
Mereka naik dekat masjid
Empang, mau ke Maxim. Jalannya menanjak. Terpaksa olehku becak didorong sebab
terlalu berat kalau dikayuh. Mendaki! Ah, mengapakah tanjakan ini curam sekali?
Keringat besar keringat kecil keluar semuanya membasahi kaus yang sudah cabik.
Sudah begitu yang naik anteng
saja duduk tanpa belas kasihan. Benar ternyata, bukan hanya pada geguritan—Batu
Tulis Gunung Salak, tanjakan Empang tempatnya menangis—bukan semata kata
bujangga yang kaya fantasi, tapi olehku dibuktikan. Memang kalau tidak ingat
pada kewajiban dan kelelakian, betapa ingin menangis, mana tahu kesusahan akan
lenyap. Bukankah katanya menangis itu obat kesedihan? Tapi tidak, aku pantang
menangis walaupun menderita, karena uang! Uang! Uang! Yang kuasa! Ada uang,
pohon pun dapat berlubang dan tanjakan Empang jadi rata. Apakah yang bisa meratakan? Uang atau
tenagaku? Ah, itu pertanyaan yang teramat sulit: uang tanpa tenaga takkan
berjalan, begitu pula tenaga tanpa uang sama takkan melaju. Tenaga dan uang tak
bisa dipisahkan bagiku tukang becak. Begitu pula untuk yang lain. Nyata memang “benda”
yang “berharga” di dunia adalah uang! Gemerincingnya tengahan[3]
dan ketipan[4],
gemerisiknya perakan, ringgitan[5],
dst.
Itukah tujuan manusia hidup?
Ah, aku tak bisa menjawab, menyerahkannya kepada ahli advis, sebab aku sekadar
tukang becak.
Akhirnya tanjakan Empang
terlewat juga. Terus memancal lagi, menyusuri jalan raya. Di sana teramat
ramainya. Kendaraan lain dan orang lewat memenuhi jalan.
Kalau dari belakang
kedengaran tuter mobil, cepat aku menyisi. Tapi kalau aku yang menderingkan
bel, mobil-mobil tiada yang memperhatikan.
Licik! Licik! Tapi mau usul,
usul ke siapa, mau memarahi sopirnya tak kuasa sebab “kendaraan” punyaku tak
kurang tak lebih hanya sekadar becak. Kenapakah aku hendak melawan hukum alam:
yang kecil dimakan dan dihinakan yang besar? Ya, itu adalah hukum yang paling
dimusuhi oleh manusia, tapi kenyataan tetap begitu tak bisa diubah. Aku tukang
becak, tidak bisa mengadvis persoalan itu. Dan bisanya hanya beromong yang
keluar dari mulut yang dihiasi gigi kuning tanpa bau odol, dan keadaan yang
sedemikian, seperti aku, jangankan disimak, didengar pun tidak akan. Malah
dicibir, malah ditertawakan, disebut: kera tua sok paham atau ikut campur yang
bukan urusannya.
Tapi tentang hal itu aku
memperkarakan: aku manusia, yang membaca manusia, sama-sama manusia.
Tapi lagi, memang tidak perlu
aku begitu-begituan, lantaran sekarang aku sedang anteng mengayuh di jalan raya
akan ke Maxim.
Dalam keributan suara
kendaraan beserta yang wira-wiri, terdengar suara, “Bapaaa …!”
Ketika ditoleh, ah si Esih,
anakku, buah hati yang jadi harapanku kelak. Sekali lagi ia berteriak, “Bapaaa …!”
Ia mengejar, mengejar becak,
mengejar bapaknya. Olehku ditengok lagi tapi tidak bisa aku berhenti, lantaran
sedang menjalankan kewajiban.
“Bapaaa! Bapa!”
Ia berlari makin kencang. Aku
terus menanjak dengan kayuh, tak acuh.
“Bapa! Mana duit?”
“Heh?” tanyaku sambil
terengah, sesak.
“Duit buat beli kue kenari
sama balon tiup.” Esih mengikuti sambil memegangi sepatbor belakang.
Olehku pura-pura tidak
dilayani.
“Bapa! Mana?”
Ah, dasar anak-anak. Kalau
sudah meminta terus-terus meminta, tak tahu waktu dan tempat.
“Bapa …!” Esih memelas.
Napasnya megap-megap, sudah capek.
“Bapa aku ikut,” ia mengganti
siasat.
“Is!” aku menyentak.
“Ikuuut,” suaranya menahan
tangis.
“Tidak boleh,” jawabku.
“Mana dong duit?”
Mengalah, segera aku
mengambil duit satu talen dari kantung baju tetapi sembari terus mengayuh.
Kulemparkan seperti memberi kepada anjing. Jatuhnya berbunyi. Lekas-lekas oleh
si Esih diburu tampak teramat gembira. Ia tertawa, aku pun tertawa sedih.
Dalam hati, “Emh, Esih anak
bapa ….” Tapi lain waktu aku hampir menangis, tidak pantas aku cengeng, demi
kepentingan dia aku harus seperti binatang. Binatang yang tak punya rasa
kemanusiaan.
Tapi aku tidak perlu malu kepada
orang lain, sebab orang lain tak akan menertawakanku.
Tak guna menertawakan orang.
Ingatlah pada omongan Babah Oey: Fei siao len wei ti i yi … Jangan
ketawain olang laen, itu kuwajiban kita olang nyang telutama.
Aku terus mengayuh becak,
mengayuh, mengayuh, mengayuh demi mencari sepiring nasi, untuk aku bawa kepada
anak istri.
Terdengar anak-anak di sisi
jalan pada bernyanyi: “Saya mau tamasya, berkliling-kliling kota, hendak
melihat-lihat, keramaian yang ada. Saya panggilkan becak, kereta tak berkuda ….
Becak! Becak! Coba bawa saya!”
Ha! Harkatku sama dengan
kuda! Peduli, asal aku dapat duit.
Itulah tujuan. Mencari yang
mau naik di dalam Kota Bogor, tempatku sekarang.
Ke Sempur? Ke Gang Menteng?
Ke Kebon Jahe? Ke Jalan Polisi II? Aku “siap” mengantarkan.
Apabila pembaca kebetulan ke
Bogor, jangan bawa sepeda, jangan bawa bronfiets[6],
supaya olehku diantarkan ke mana jua.
Amal sambil usaha atau usaha
sambil amal? Berserah!
Sebab aku hanyalah tukang
becak, Babah Oey juraganku, Imas istriku, Esih anakku dan jalan di Bogor tempat
usahaku.[]
Cerpen “Ngabéca” karya Wahyu Wibisana mula-mula
dimuat dalam Warga nomor 148, 15 September 1955, kemudian diterbitkan
dalam buku kumpulan cerpen Hiji Tanggal nu Dipasinikeun (PT. Dunia
Pustaka Jaya bekerja sama dengan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda, cetakan
kesatu, Oktober 2017, edisi elektronik, 2018, tersedia di Ipusnas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar