Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (7) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Ariel Urquiza (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chikako Kobayashi (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kader Abdolah (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (30) Mark Sundeen (1) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (3) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (358) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (3) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Garrett (1) Sam Malissa (1) Samantha Schnee (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Suzumo Sakurai (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wahyu Wibisana (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (7) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

An Evening of Long Goodbyes, Bab 12 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Rencana awalnya sih sandiwara itu diselesaikan dan diserahkan pada Bel sebelum pembukaan sandiwara baru Harry, dengan harapan mereka membat...

20251206

Becak (Wahyu Wibisana, 1955)

Baiklah, baiklah, sekarang kukisahkan pengalamanku. Tentu saja, bukan dari masa yang kuingat sampai sekarang, sebab riwayat semasa bayi bukanlah riwayatku, melainkan riwayat ibu-bapakku. Begitu pula dengan cerita yang telah berlalu, bagiku adalah cerita orang lain, walaupun orang itu adalah aku sendiri. Berbelit-belit perkataan ini, tapi jangan heran, karena ceritanya juga berbelit-belit. Aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang, sehingga pantaslah bila cerita yang sudah dialami olehku dulu itu disebut sebagai cerita orang lain.

Pembaca tentu minta bukti. Memang, sekarang zamannya bukti. Ya, baiklah!

Dahulu aku disebut “Aden”, yaitu kependekan dari Raden. Kata ibuku, raden berasal dari kata “rahadiyan[1]”, tapi mohon maaf lupa lagi artinya. Tapi sekarang aku disebut “Emang” atau paling untung disebut “Bung”.

Tiga tahun lalu aku masih dianggap keluarga oleh Raden Rojak, pamanku, wedana di Leuwisari. Tapi sekarang kenal pun tidak. Ini menandakan bahwa aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang.

Rumahku yang dulu dilapisi ubin, rumah gedung. Tapi sekarang hanyalah kamar yang luasnya enam meter persegi. Ah, banyak lagi buktinya. Cukup saja sampai di situ, ya?

Cerita ini bukan karena aku rindu akan masa lalu, sama sekali bukan. Malah kalau bisa ingin dilupakan. Apa gunanya membicarakan kenikmatan yang telah lalu: kenal dengan juragan anu, sahabatku jadi dalem, kerabatku jadi residen, dan seterusnya, dalam kehidupan yang sebegini melarat? Aku bukanlah pelamun, tapi aku pada waktu sekarang ini sedang berjuang mencari nasi untuk sendiri serta anak istri. Cukup aku bersukacita bila memiliki uang untuk membeli keperluan sehari-hari.

Aku jadi tukang becak. Sekali lagi: tukang becak. Itu “perkakas” untuk mencari rezeki. Kakiku menjadi mesin yang bensinnya adalah sepiring nasi yang disediakan Imas, istriku yang setia. Hati-hati, jangan kira mau menyombongkan diri punya istri setia. Tapi ini bukti. Imas setia kepada suaminya yang menjadi tukang becak.

Ingat, pembaca janganlah menertawakan, tapi kalau tertawa silakan saja. Tukang becak pun sesama, bukan? Sesama manusia yang tidak patut ditertawakan. Malah Babah Oey, juraganku, sampai menasihati, begini katanya: “Mang, Mang jangan ngelaca ina jadi tukang dolong becak. Ingat sama omongan bahasa oweh: Fei siao len wei ti i yi. Altinya: Jangan ketawain olan lain itu kewajiban kita olang nyang telutama.”

“Lebih-lebih, Bah,” kataku seraya memancal becak. Hati penuh pepatah Cina: Fei siao len wei ti i yi  …. Fei siao len wei ti i yi! Jangan ketawain! Jangan ketawain!

.

Bogor! Ya, Bogor. Siapa yang belum ke Bogor? Di sana ada Kebun Raya yang termasyhur sebagai tempat suka-suka. Ada museum tempat orang mencari informasi. Di sana ada badak, macan, kerangka paus, dan seribu macam satwa. Ada batu tulis yang katanya peninggalan kerajaan Pajajaran, makam Raden Saleh, sekolah-sekolah tinggi, ah, segala-galanya ada di sana. Bogor kota yang “indah”, begitu kata orang. Hawanya menyenangkan. Hasil buminya melimpah: talas, salak, nangka, jambu, palawija, dan seterusnya. Siapa yang belum ke Bogor?

Yang disebut Bogor oleh orang lain, olehku disebut Bogor juga. Hanya cara memandangnya yang beda. Bagiku: jalan-jalan di Bogor itu boleh dikatakan seperti sawah bagi petani, kantor bagi pegawai, sekolah bagi guru, Kebun Raya bagi yang mau mencari jodoh.

Jalan-jalan di Bogor tempatku berusaha mencari rezeki, becak perkakasnya, mendepak pedal pekerjaannya, hilir mudik mencari orang yang enggan berjalan.

Selain indah, menyenangkan, dan nyaman bagi orang-orang, bagiku ada yang disesalkan. Kenapa Bogor jalanannya menanjak dan menurun, tidak rata? Kenapa gang-gang di Bogor kecil-kecil lagi diberi pembatas sehingga becak tidak bisa masuk? Ah, kalau bisa oleh pihak yang berwenang, Jalan Gunung Batu ditugar, Empang, Jalan Pulo, atau Pancasan ditambal, supaya aku enak mengayuh becak di jalan yang rata.

Kalau seperti itu kan aku senang, seperti petani punya sawah yang tanahnya subur atau pegawai punya atasan yang baik. Tapi, ah … seribu keinginan, seribu ketidakmampuan. Karena aku hanyalah manusia yang ditakdirkan jadi tukang becak.

Tapi lagi.

Apa gunanya aku melamunkan macam-macam? Bukankah aku cuma tukang becak? Bukankah Bogor tetap saja Bogor? Tidak bisa diubah lagi. Tidak bisa dibeli seperti terasi, tidak bisa dibeli seperti orang punya gelar. 2 x 2 = 4, Bogor beserta angan-angannya tetap saja Bogor. Babah Oey di Gang Sepatu, juraganku, Imas di rumah, istriku, Esih anakku, dan aku tetaplah aku. Titik …. Tidak ada yang lain!

Sekali lagi aku punya pepatah. Jangan menertawakan! Fei siao len wei ti i yi! Jangan ketawain, itu kewajiban kita olang nyang telutama!

Tapi ….

Belumkah kuceritakan caraku waktu menjalankan tugas? Ya, baiklah sekarang aku ceritakan:

Ketika itu aku sedang menongkrong di Jalan Perniagaan. Hari Minggu pagi-pagi, waktu Bogor sedang cukup ramai. Banyak yang berpelesir: sedan-sedan menuju Puncak ke arah timur, orang-orang pada berkerumun di loket Kebun Raya. Ramai, walaupun banyak toko yang tutup. Tapi aku tak ambil pusing, aku sedang meminum air hangat untuk sarapan, sebab tadi Imas tak menyediakan makanan. Salahku sendiri, tak ada duit untuk membeli beras, sebab perolehan kemarin sudah habis kemarin pula. Aku beserdawa. Kuisap keretek. Mencungkil sisa makanan yang terselip di gigi, lalu sisa makanan itu masuk ke kerongkongan bersamaan dengan asap rokok. Serdawa lagi: Alhamdulillah ….

“Becak!” seorang jejaka perlente memanggilku.

“Becak, Neng?” jawabku sambil mengendurkan tali kolor.

“Iya. Ke Jalan Jakarta berapa duit?”

“Ah, lima rupiah saja.”

“Lima perak?” ia melotot. Lalu tersenyum, bukan mengajak tersenyum kepadaku, tapi kepada gadis yang ada di sampingnya.

“Jadi ayo,” ucap jejaka itu seraya menyuruh gadis manis itu naik terlebih dahulu.

“Silakan, Neng.”

Siap. Aku memancal pedal. Menggeleser maju. Tercium wanginya tubuh gadis kota. Silir-semilir …. Walau memasuki Jalan Lawangsaketeng, jalan paling bau di Bogor, tempatnya ikan asin dan terasi, tetap minyak wangi dapat menaklukkan bebauan.

Sembari bernapas aku menghirup udara dalam-dalam sekali.

Dalam hati, “Aduh orang lain mah ….”

“Buat apa lah ke Kebun Raya,” kata si lelaki. “Mending di situ. Tidak ada yang bakal mengganggu.”

“Ke City saja nanti. Katanya ramai,” ujar si gadis.

“Ah, banyak gangguan. Mending di situ.”

“Sebal sih suka usil.” Melirik gadis itu, mendelik kepada si lelaki sembari tertawa. Lengan si lelaki merangkul bahu perempuan itu. Sesekali menowel.

Ingatlah pembaca, saya tukang becak. Kewajibanku hanya menonton.

“Jangan begitu ah, nanti itu,” kata si perempuan.

“Itu apa, justru untung kalau begitu.”

“Waaah …” sambung si perempuan seraya membelalak.

Setelah itu, si lelaki berbisik mendekat ke telinga si perempuan. Sayang tidak kedengaran semuanya, yang jelas, katanya, “… kamar kosong … pura-pura … ya?”

Cekikikan keduanya tertawa.

“Beres, bukan?” ucap si lelaki lagi, “di Kebun Raya kan terbuka, di bioskop cuma dua dimensi.”

“Wah, kalau di situ?”

“Tertutup, empat mata, empat kaki.”

“Apa sih,” sambung si gadis sambil lagaknya celingukan berasa jengah.

“Tiga dimensi, malah seribu dimensi karena alam kenyataan semuanya juga. Bukan dongeng, bukan cerita seperti di film ….”

Perempuan itu diam saja.

“Begitu, bukan?” lelaki itu bertanya.

“Diam ah.”

Aku pun terus mengayuh sembari mendengarkan, tidak bisa menimbrung atau mencampuri, seakan-akan sedang mendengarkan radio. Bungkam!

“Sudah, di sini.”

Cekit, aku mengerem becak.

Turunlah mereka. Setelah memberikan uang, segera mereka memasuki satu gang seperti yang tidak sabar. Aku melirik sebentar. Sedari ketika itu sudah tidak tahu lagi pergi ke mana mereka seterusnya. Kewajibanku hanya mengantarkan dari Jalan Perniagaan ke Jalan Jakarta, dibayar lima perak, habis perkara.

“Manusia,” ucapku dalam hati.

Tapi tak perlulah aku mencampuri cerita orang. Tidak ada gunanya. Lagipula aku tak akan tertawa, lantaran ingat pepatah Babah Oey: Fei siao len wei ti i yi! Jangan ketawain olang laen.

Lalu aku kembali mengeluyur mencari muatan. Orang Sunda, orang Ambon, Jawa, Haji, tukang dagang, yang beragama Islam, Buddha, Kristen, boleh duduk di jok becakku. Kalau perlu dan bisa, barang pun boleh masuk, malah kepada mayat atau anjing pun aku tak akan pilih kasih: asal ada yang membayar, asal mendapat duit. Duit! Duit! Itulah sebenarnya yang dicari. Mata selalu beringas kanan-kiri ke tepi ke pinggir barangkali ada yang melambaikan tangan. Jika ada suara memanggil, “Becak!” cukuplah menyenangkan hati: lebih sedap daripada nyanyi Upit atau Mang Koko[2], lebih nikmat daripada pagutan lele di kail tukang pancing. Ya, setiap orang punya kesenangannya masing-masing.

Aku pun, dia pun. Yang baca pun, semuanya!

Jalan Bubulak terus ke arah barat, menurun, melewati rel kereta api, terus, berbelok ke kiri ke Jalan Cikeumeuh. Tapi tetap saja sepi. Hasil keringatku belum cukup untuk membayar sewa becak kepada Babah Oey.

“Ayo siapa yang mau naik!” hati seolah-olah menjerit. Sementara kaki terus mendepak pedal meskipun sudah pegal. Pantat sudah panas, lengan sudah penat.

Memang jadi tukang becak sudah sewajarnya demikian, bukan?

“Becak!” suara perempuan memanggilku (= becak). Berhentilah. Perempuan lagi yang mau naik. Kebetulan? Malah sekarang cuma perempuan berdua, berlarian memburuku dari emper Asrama Putri.

“Becak, Mang, ke City,” katanya.

“Silakan,” jawabku sembari turun.

Setelah adu tawar, naiklah mereka. Maju perlahan-lahan. Kali ini wanginya tidak begitu semerbak, tapi cukup selayaknya saja. 

“Bagaimana ya ujiannya?” yang berbaju kuning bertanya kepada temannya.

“Heeh, ujian perbaikan ternyata sama susahnya.”

“Sudah senang cuma satu, pakai ditambah lagi jadi dua.”

“Apa saja yang perlu ujian perbaikan?”

“Ilmu Pasti dan Ilmu Hayat.”

“Malu … aduh, kalau sampai tidak lulus.”

“Malu dengan Pak Rachman?” yang berbaju merah keputih-putihan bertanya.

“Ah, ke siapa saja.”

“Pak Ubeng guru yang baik itu tidak membantu, ya?”

Banyak lagi yang dibicarakan mereka soal pelajaran sepertinya. Aku terus mendengarkan. Tapi sekarang ada tambahan. Hati ini melamun:

“Emh, kalau anakku, Esih bisa masuk ke sekolah yang agak tinggi, bakal sangat membahagiakan. Barangkali nasibnya tidak akan seperti aku. Tapi tidak terbayang dari mana punya untuk membiayainya. Ia baru kelas dua Sekolah Rakyat. Untung tidak ada adik, bagaimana kalau ada, mungkin tambah banyak saja urusan. Mudah-mudahan saja ….”

“Triiit …” suara peluit polisi.

“Hei, tukang becak!” sentak yang meniup peluit itu.

Aku terperanjat. Segera saja mengerem.

“Tidak lihat ini setop?”

Aku  tidak menjawab, hanya cepat-cepat mundur lagi.

“Hati-hati dong, Mang,” kata yang bajunya merah keputih-putihan.

“Iya, Emang melamun saja,” si kuning menyambung.

“Lah benar tidak kelihatan.”

Sesudah setopan kembali berwarna hijau, cepat becak dimajukan lagi menyusuri Jalan Perniagaan.

Sedang anteng begitu, tak sengaja terlihat oleh sudut mata, istriku, Imas, sedang menyusuri trotoar. Sehabis dari Pasar Bogor sepertinya, karena menjinjing belanjaan.

Waktu ia berhenti melihat-lihat selop di etalase, aku merasa kasihan. Ingat dia ingin dibelikan sandal, tapi belum terlaksanakan.

Sepertinya aku memandang itu terhubung dengan dia, Imas menoleh. Bertubrukkanlah penglihatan.

“Ah, Imas …” dalam hati. Ia tersenyum. Mengerling ke para penumpang. Aku turut tersenyum.

“Mas,” kataku.

“Kang? Balik dari pasar.”

“Heeh,” jawabku sembari lanjut berjalan.

Tampak roman Imas waktu melihat aku sedang menanjak mengayuh becak, seperti yang merasa sedih: merasa kasihan. Padahal yang aku bawa tidak kurang tidak lebih perempuan, sebangsa dirinya. Punyakah rasa cemburu? Tidak, tak akan, jauh dari memiliki rasa itu. Karena dirinya tahu, aku begini sedang membuktikan, bahwa aku cinta kepada Imas. Sekali lagi: aku cinta kepada Imas. Usaha mengayuh becak untuk mencari sesuap nasi, itulah buktinya.

Bersama itu aku terus tinggalkan Imas yang tengah bergeming seolah-olah aku tidak cinta kepada dirinya.

Sekali lagi aku punya pepatah: Jangan tertawakan aku! Ingatlah perkataan Babah Oey: Fei siao len wei ti i yi …!

Sekarang ada dua lelaki yang naik. Yang seorang gendut, yang lain tegap. Entah berapa pikul beratnya, hanya saja terasa ban yang asalnya keras jadi empuk. Dikayuhnya harus mengeluarkan tenaga setengah mati, setangnya berat dan terdengar becak berderit-derit seperti mau ringsek.

Mereka naik dekat masjid Empang, mau ke Maxim. Jalannya menanjak. Terpaksa olehku becak didorong sebab terlalu berat kalau dikayuh. Mendaki! Ah, mengapakah tanjakan ini curam sekali? Keringat besar keringat kecil keluar semuanya membasahi kaus yang sudah cabik.

Sudah begitu yang naik anteng saja duduk tanpa belas kasihan. Benar ternyata, bukan hanya pada geguritan—Batu Tulis Gunung Salak, tanjakan Empang tempatnya menangis—bukan semata kata bujangga yang kaya fantasi, tapi olehku dibuktikan. Memang kalau tidak ingat pada kewajiban dan kelelakian, betapa ingin menangis, mana tahu kesusahan akan lenyap. Bukankah katanya menangis itu obat kesedihan? Tapi tidak, aku pantang menangis walaupun menderita, karena uang! Uang! Uang! Yang kuasa! Ada uang, pohon pun dapat berlubang dan tanjakan Empang jadi rata. Apakah yang bisa meratakan? Uang atau tenagaku? Ah, itu pertanyaan yang teramat sulit: uang tanpa tenaga takkan berjalan, begitu pula tenaga tanpa uang sama takkan melaju. Tenaga dan uang tak bisa dipisahkan bagiku tukang becak. Begitu pula untuk yang lain. Nyata memang “benda” yang “berharga” di dunia adalah uang! Gemerincingnya tengahan[3] dan ketipan[4], gemerisiknya perakan, ringgitan[5], dst.

Itukah tujuan manusia hidup? Ah, aku tak bisa menjawab, menyerahkannya kepada ahli advis, sebab aku sekadar tukang becak.

Akhirnya tanjakan Empang terlewat juga. Terus memancal lagi, menyusuri jalan raya. Di sana teramat ramainya. Kendaraan lain dan orang lewat memenuhi jalan.

Kalau dari belakang kedengaran tuter mobil, cepat aku menyisi. Tapi kalau aku yang menderingkan bel, mobil-mobil tiada yang memperhatikan.

Licik! Licik! Tapi mau usul, usul ke siapa, mau memarahi sopirnya tak kuasa sebab “kendaraan” punyaku tak kurang tak lebih hanya sekadar becak. Kenapakah aku hendak melawan hukum alam: yang kecil dimakan dan dihinakan yang besar? Ya, itu adalah hukum yang paling dimusuhi oleh manusia, tapi kenyataan tetap begitu tak bisa diubah. Aku tukang becak, tidak bisa mengadvis persoalan itu. Dan bisanya hanya beromong yang keluar dari mulut yang dihiasi gigi kuning tanpa bau odol, dan keadaan yang sedemikian, seperti aku, jangankan disimak, didengar pun tidak akan. Malah dicibir, malah ditertawakan, disebut: kera tua sok paham atau ikut campur yang bukan urusannya.

Tapi tentang hal itu aku memperkarakan: aku manusia, yang membaca manusia, sama-sama manusia.

Tapi lagi, memang tidak perlu aku begitu-begituan, lantaran sekarang aku sedang anteng mengayuh di jalan raya akan ke Maxim.

Dalam keributan suara kendaraan beserta yang wira-wiri, terdengar suara, “Bapaaa …!”

Ketika ditoleh, ah si Esih, anakku, buah hati yang jadi harapanku kelak. Sekali lagi ia berteriak, “Bapaaa …!”

Ia mengejar, mengejar becak, mengejar bapaknya. Olehku ditengok lagi tapi tidak bisa aku berhenti, lantaran sedang menjalankan kewajiban.

“Bapaaa! Bapa!”

Ia berlari makin kencang. Aku terus menanjak dengan kayuh, tak acuh.

“Bapa! Mana duit?”

“Heh?” tanyaku sambil terengah, sesak.

“Duit buat beli kue kenari sama balon tiup.” Esih mengikuti sambil memegangi sepatbor belakang.

Olehku pura-pura tidak dilayani.

“Bapa! Mana?”

Ah, dasar anak-anak. Kalau sudah meminta terus-terus meminta, tak tahu waktu dan tempat.

“Bapa …!” Esih memelas. Napasnya megap-megap, sudah capek.

“Bapa aku ikut,” ia mengganti siasat.

“Is!” aku menyentak.

“Ikuuut,” suaranya menahan tangis.

“Tidak boleh,” jawabku.

“Mana dong duit?”

Mengalah, segera aku mengambil duit satu talen dari kantung baju tetapi sembari terus mengayuh. Kulemparkan seperti memberi kepada anjing. Jatuhnya berbunyi. Lekas-lekas oleh si Esih diburu tampak teramat gembira. Ia tertawa, aku pun tertawa sedih.

Dalam hati, “Emh, Esih anak bapa ….” Tapi lain waktu aku hampir menangis, tidak pantas aku cengeng, demi kepentingan dia aku harus seperti binatang. Binatang yang tak punya rasa kemanusiaan.

Tapi aku tidak perlu malu kepada orang lain, sebab orang lain tak akan menertawakanku.

Tak guna menertawakan orang. Ingatlah pada omongan Babah Oey: Fei siao len wei ti i yi Jangan ketawain olang laen, itu kuwajiban kita olang nyang telutama.

Aku terus mengayuh becak, mengayuh, mengayuh, mengayuh demi mencari sepiring nasi, untuk aku bawa kepada anak istri.

Terdengar anak-anak di sisi jalan pada bernyanyi: “Saya mau tamasya, berkliling-kliling kota, hendak melihat-lihat, keramaian yang ada. Saya panggilkan becak, kereta tak berkuda …. Becak! Becak! Coba bawa saya!

Ha! Harkatku sama dengan kuda! Peduli, asal aku dapat duit.

Itulah tujuan. Mencari yang mau naik di dalam Kota Bogor, tempatku sekarang.

Ke Sempur? Ke Gang Menteng? Ke Kebon Jahe? Ke Jalan Polisi II? Aku “siap” mengantarkan.

Apabila pembaca kebetulan ke Bogor, jangan bawa sepeda, jangan bawa bronfiets[6], supaya olehku diantarkan ke mana jua.

Amal sambil usaha atau usaha sambil amal? Berserah!

Sebab aku hanyalah tukang becak, Babah Oey juraganku, Imas istriku, Esih anakku dan jalan di Bogor tempat usahaku.[]

 

Cerpen “Ngabéca” karya Wahyu Wibisana mula-mula dimuat dalam Warga nomor 148, 15 September 1955, kemudian diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Hiji Tanggal nu Dipasinikeun (PT. Dunia Pustaka Jaya bekerja sama dengan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda, cetakan kesatu, Oktober 2017, edisi elektronik, 2018, tersedia di Ipusnas).



[1] Sunda: yang dihormati

[2] Upit Sarimanah (1928 – 1992) pesinden era ’50-an membawakan lagu-lagu Sunda. Mang Koko (1917 – 1985) seniman Sunda.

[3] ½ rupiah

[4] 1/10 rupiah

[5] Rp 2,50

[6] Sepeda kumbang atau sepeda yang dilengkapi dengan motor; jika motornya mati, dapat didayung dengan kaki.

Tidak ada komentar: