Sudah larut malam saat ia pulang. Istrinya duduk di serambi
di depan rumah. Ia mendekati anak lelaki mereka yang berusia lima tahun dan
sedang terbaring sakit di tempat tidur. Ia melepaskan syalnya. Sambil menyeka
kepala dan jenggotnya yang pendek, ia menanyakan keadaan Bari pada istrinya.
Hampir menangis, istrinya menjawab,
“Demamnya masih tinggi. Ia sangat lemah dan berbaring saja seharian. Ia juga
tidak berselera makan. Aku sudah memberinya sup berkali-kali, tapi ia tidak mau
memakannya.”
Sang ayah bersandar pada tempat tidur,
dan berkata pada anak lelakinya, “Bari, putraku. Bari, anakku. Bagaimana
keadaanmu? Mana yang sakit?”
Bari membuka matanya pelan-pelan,
menatap kedua orangtuanya, dan berkata dengan suara lemah, “Seluruh badanku
sakit.”
Sang ayah berlutut, menimang kepala
bocah itu, dan berkata, “Tidak apa-apa. Kau akan sembuh, dengan doa…. Sekarang
duduklah, ayo, dan cobalah makan sedikit saja. Ayah membawakan pisang untukmu.”
Ia mendudukkan anaknya dengan hati-hati. Ibunya segera menyiapkan makanan. Lalu dengan lembut keduanya menyuapi anak mereka. Setelah itu, Bari mengerang sepanjang malam. Ibu dan ayahnya mendudukkannya dan menjaganya.
Ia mendudukkan anaknya dengan hati-hati. Ibunya segera menyiapkan makanan. Lalu dengan lembut keduanya menyuapi anak mereka. Setelah itu, Bari mengerang sepanjang malam. Ibu dan ayahnya mendudukkannya dan menjaganya.
Pagi harinya, Sarwar memberi dua ratus
rupe pada istrinya dan berkata, “Banyak yang harus kukerjakan dan aku mesti
pergi ke pasar. Bawalah anak kita ke dokter.”
Sarwar meninggalkan rumah dan tiba di
bangunan tempat menaruh gerobak-gerobak. Ia memberi lima rupe pada penjaga,
membuka rantai di sekeliling gerobaknya, mendorongnya, dan berbalik. Matahari
belum terbit saat ia dengan gerobaknya memasuki pasar yang ramai. Ia berhenti
di depan sebuah toko dan berkata pada pemiliknya, “Assalamualaikum, Badar.”
Pengusaha toko yang gendut itu berbaring
di sebuah dipan. Perutnya buncit dan kancing bajunya terbuka. Ia beringsut,
memegang kepalanya yang besar dan gundul, menyeka janggutnya, dan mengusap
kumisnya yang panjang. Ia melirik Sarwar dan berkata, “Kemarilah, Sarwar. Hari
ini aku tidak akan memberimu tebu. Kau masih berutang banyak rupe padaku.”
Sarwar menjawabnya sambil merendah,
“Badar, kemarin daganganku sama sekali tidak laku. Lalu lintasnya membuatku
tidak bisa ke mana-mana. Semua tebu yang kubawa mengering. Seharusnya aku
menyerahkan uangnya padamu kemarin, tapi anakku sedang sakit keras, jadi
uangnya kupakai untuk membeli obat.”
Ujar Badar, “Begini, Sarwar. Ada ratusan
penjaja keliling yang bekerja padaku. Setiap pagi aku membagikan tebu pada
mereka semua. Malamnya mereka kembali padaku dengan membawa uang. Tapi sekarang
ini sudah beberapa lama aku berbisnis denganmu, dan kau menyimpan uangnya untuk
dirimu sendiri. Sebelumnya tidak apa-apa, tapi sekarang tampaknya kau dirasuki
setan, mengajukan kebohongan semacam itu.”
Sarwar menjawab, “Begini, selama tiga
tahun ini aku memperoleh tebu darimu, seberapa sering aku telat membayar? Tapi
anakku sudah lama sakit dan biaya pengobatannya mahal. Biarlah aku berutang
padamu, tak apa, Badar, janganlah khawatir, Allah Maha Pengasih, uangnya akan
segera kukembalikan.”
Si pengusaha toko tak setuju, namun
Badar memohon-mohon sehingga akhirnya Badar memberinya tebu seharga lima ratus
rupe. Ia mengambil gerobaknya dan mulai berjalan menuju Persimpangan Pacha Khan
dan Jalan Charsada, tempat ia biasanya berada. Ia mengeluarkan sebuah pisau
lipat yang besar dari gerobak dan mulai menguliti tebu. Sebentar kemudian ia
sudah mengupas sekitar dua puluh sampai tiga puluh batang. Ia mengambil alat
pemotong dan meletakkan tebu itu di hadapannya. Bunyinya bekertak-kertak saat
ia membaginya menjadi potongan-potongan kecil. “Tebu segar… tebu segar….” Dari
pagi hingga siang ia berusaha menjual sepuluh sampai lima belas kilo, namun
pada sore hari penjualannya menurun, meski tak henti-hentinya ia menyerukan
“tebu segar… tebu segar….”
Ia menyortir hasil perolehannya menjadi
tumpukan uang kertas dalam pecahan sepuluh, lima, dan dua rupe. Uang yang rusak
ditumpuk terpisah dan ia mulai menghitung semuanya. Jumlahnya sekitar tujuh
atau delapan ratus dua puluh rupe. Ia menarik napas dalam-dalam dan berucap
sendiri, “Ya Allah, bagaimana ini, bagaimana aku akan melunasi tebu ini jika
aku juga perlu membeli obat?”
Pasar itu menjadi ramai pada malam hari
dan Sarwar masih menyerukan “tebu segar… tebu segar….” Ia melihat sekelompok
pemuda mengenakan pakaian olah raga. Beberapa di antaranya membawa tongkat
kriket dan bola. Sepuluh orang lagi menyusul mereka menuju Taman Shahi Bagh.
Sarwar berucap sendiri, “Akan ada banyak orang yang bermain di taman itu. Ayo,
bawa gerobakmu ke sana. Insyaallah sisa tebu ini akan terjual di sana,” dan
mendorong gerobaknya.
Ia bergegas sepanjang jalan utama hingga
mencapai persimpangan. Di situ seorang polisi lalu lintas sedang berdiri. Entah
mengapa polisi itu mulai meneriakinya. Ia mendekati Sarwar, menendang
gerobaknya, dan berkata, “Cepat sana, balik lagi!”
Sarwar berucap padanya sambil memohon,
“Sampai pintu masuk taman besar itu saja.”
Polisi lalu lintas itu lalu berujar,
“Kau tidak mau menurut kemarin dan aku memukulmu sedikit saja. Hari ini aku
akan memukulimu sampai kau tidak akan mengenali dirimu sendiri.”
Sarwar menyahut, “Pak, bahkan kemarin
kau tak membolehkanku masuk. Berkilo-kilo tebuku mengering dan aku menderita
kerugian. Di rumah anakku sedang sakit dan daganganku ini bukanlah kepunyaanku
sendiri.”
Namun polisi lalu lintas itu hanya
menyeringai dan berkata, “Hei, Muhajir, aku tidak akan membiarkanmu masuk.
Pergilah sekarang juga,” dan menempeleng Sarwar berkali-kali.
Menyadari bahwa syalnya
terjatuh, Sarwar kembali untuk mengambilnya. Matanya berkaca-kaca. Ia berkata
pada si polisi, “Pukullah aku, lakukan apa pun yang menyenangkan dirimu, tapi
biarkanlah aku sampai pintu masuk taman itu.”
Polisi lalu lintas itu makin berang dan
menyahut, “Enyahlah sekarang. Kalau tidak, aku akan menahanmu dan gerobakmu.”
Tak peduli bagaimanapun Sarwar memohon
dan meminta, polisi itu tidak akan membiarkannya lewat. Akhirnya Sarwar berkata
padanya, “Aku tak berdaya. Jangan lakukan ini padaku. Kalau tidak, aku akan
bunuh diri dan tanganmu akan bersimbah darahku.”
“Enyahlah sekarang. Kalau tidak, aku
akan melemparmu ke kolong mobil orang,” kata polisi itu.
Sarwar yang masih sesat akal itu
menjawab dengan pilu, “Aku tidak mau menyusahkan pengendara mobil. Aku akan
bunuh diri dan membuatmu merasa bersalah.”
Polisi lalu lintas itu, yang sedang
mengarahkan para pengendara motor sementara bercekcok dengan Sarwar, berujar,
“Aku menyuruhmu pergi. Terbanglah ke tiang itu dan enyahlah.”
Mendengar itu, Sarwar berlari dan mulai
memanjat tiang listrik. Para pejalan kaki dan penjaga toko yang terheran-heran
berucap pada satu sama lain, “Lihat orang itu… lihat….”
Begitu mencapai puncak tiang, Sarwar
berseru pada si polisi, “Sekarang aku akan menampilkan sebuah pertunjukan pada
orang-orang, sebuah tontonan yang disebabkan olehmu.”
Dari bawah, polisi itu berseru balik,
“Perlihatkan padaku, perlihatkan pertunjukanmu.”
Sarwar merenggut dua buah kabel listrik.
Ia bergelantungan pada benda itu dan berjuntaian. Dengan suara meletus, kabel
itu mengalirkan arus pendek. Percikan keperakan melayang, dan Sarwar terlontar
ke udara bagai burung yang berkemilapan sebelum jatuh ke tanah bagai sepotong
kayu kering.[]
Khan Mohammad Sind
adalah penyair, penulis prosa, dan jurnalis, berdiam di Kabul.
Cerpen ini aslinya
ditulis dalam bahasa Pashto dan diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Anders Widmark.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar