Sepanjang waktu Pak Appleseed memerhatikan kami, tanpa lelah
berpatroli melewati panas yang tak tertahankan di Zona Pengolahan B, atau
mengintai ke bawah dari bilik akrilik mandornya bak monster laba-laba bercelana
jengki. Bila berdiri tegak, tingginya mesti hampir tiga meter, namun ia tidak
pernah berdiri tegak. Ia suka membungkuk hingga kedua bahunya mengitari leher,
sambil terus-terusan menggerutu penuh laknat dengan suara serak parau. Badannya
kerempeng, kacamatanya tebal, bibirnya berkeluk ke bawah, dan kami semua takut
padanya. Pada hari-hari pertama, ketika aku masih menggenggam asa untuk
memberontak, lari, atau membebaskan diri bagaimanapun caranya, selalu saja
bayangan akan Pak Appleseed yang mencegahku.
Kuduga karena bahasa Inggrisku paling baik maka ia
membedakanku sebagai orang kepercayaannya. Bukan berarti ia ada perhatian
pribadi padaku, begitulah katanya blakblakan.
“Aku benci haram jadah seperti kamu, tahu itu, Goblok?”
katanya.
“Ya, Pak Appleseed.”
“Aku baca berkasmu. Aku tahu jenis orang seperti kamu, ya.
Dikiranya bisa hidup seenak udel, dan kue-kue Batang Pohon berjatuhan begitu
saja dari langit.”
“Ya, Pak Applessed.”
“’Ya, Pak Appleseed’,” beonya. Tatapan jahat dari bola
matanya yang kuning menghunjamku menembus masker gula yang mengeras.
Belum pernah kujumpai orang yang demikian bergairah
membaktikan dirinya pada kebencian. Ia benci setiap orang yang bekerja di Mr
Dough. Ia benci negara asal mereka. Ia mencatat semacam klasemen liga mengenai
bangsa-bangsa yang paling ia benci, yang posisinya bisa naik turun.
“Kamu pernah bertemu yang sedungu orang-orang Latvia itu?”
Tahu-tahu ia menyorongkan badan, sembari mengunyah biskuit garing dan bersandar
pada tepi ban berjalanku. “Pantas saja negara mereka rongsok begitu. Mestilah gara-gara
mereka si Stalin dogol itu mabuk-mabukan. Kalau sepuluh tahun lalu dari menara
gadingmu yang menjulang kamu bilang padaku bahwa suatu hari aku akan bertanggung
jawab atas sekelompok orang Latvia, Goblok, aku tidak akan peduli. Tetapi
sekarang begini adanya. Sekarang ini agaknya bekerja di perusahaan roti
internasional tidaklah memadai bagi orang Irlandia.” Sejenak ia memandangi Zona
Pengolahan B dengan kuyu, barangkali tengah mengenang masa yang lebih baik.
“Biar begitu, sejujurnya, kurasa ada untungnya juga orang-orang Latvia ini.
Murah. Tidak ribut-ribut soal serikat sekerja atau apalah semacamnya. Omeli
saja secukupnya dan mereka biasanya mengerti yang kumaksudkan. Lagi pula mereka
pekerja keras.” Ia terkikih-kikih. “Para haram jadah gemar benar akan Koleksi
Barang Mewah yang Tak Habis-habis. Pikirmu mereka punya koleksi begitu di
tempat asal mereka, Goblok? Di Latvia? Pikirmu mereka sudah kelimpahan barang
mewah di sana?”
“Tidak, Pak Appleseed.”
“Tidak, Pak,” Pak Appleseed terkikih-kikih. Lalu sepintas ia
memandangku, yang tengah menatap murung pada batang demi batang kue yang
berlalu sambil berharap ia akan meninggalkanku kembali pada halusinasiku, dan
wajahnya pun menggelap. “Oh, boleh saja kamu menyebutku rasis, Goblok. Boleh
saja kamu mengira dirimu lebih baik dari padaku. Tetapi biar kusampaikan satu
hal, Tuan Jurusan Teologi, Tuan Kolese Trinity, aku tinggal menelepon saja sekali lalu mereka akan menerbangkan
penggantimu dari Latvia lebih cepat daripada kamu bisa bilang Abner
Applese—sebenarnya, ada dua hal, yang kedua yaitu aku juga makan bangku
universitas, hanya saja nama universitasnya Universitas Kehidupan. Dan mungkin
aku tidak pandai meninggikan diri, tetapi di tempat parkir sana ada Lexus biru
atas namaku yang sudah dibayar lunas dan tidak seorang pun dapat mengambilnya dari diriku. Ingatkan aku lagi, Goblok,
berapa Lexus katamu yang kamu punya di tempat parkir situ? Ada berapa?”
“Tidak ada,” gumamku.
“Benar itu, Goblok, berkat segala kebiasaanmu bermewah-mewah—apa itu dulu?”
“Bukan apa-apa,” tegasku, lalu ia menampar punggungku dan
berkata bahwa setidaknya aku punya selera humor, sifat yang mesti dimiliki
pekerja, dan bahwa menurutnya masa depan baik menantiku di perusahaan ini, atau
yang hendak diperbuatnya seandainya kontrakku bukan sementara, yang berarti aku
akan terus menjadi tukang meluruskan roti sepanjang sisa umurku, yang
omong-omong per harinya dihitung.
Segera saja menjadi jelas bahwa aku tidak akan mempelajari
nilai-nilai, mewujudkan potensiku, atau apa pun yang serupa itu di Mr Dough.
Juga tampak jelas bahwa untuk sementara waktu aku tidak akan keluar dari
balapan tikus dan ikut berpesta. Begitu aku menyimpan cek, Frank langsung
mencariku, menuntut haknya. Kalau bukan untuk belanja makanan, ya untuk alat
pemanas, dan kalau bukan untuk alat pemanas, ya untuk sewa rumah—
“Sewa rumah? Maksudmu apa, sewa rumah? Minggu lalu kan aku
sudah memberimu uang buat sewa rumah, kamu apakan itu?”
“Yeah, tapi ngerti kan minggu ini sewanya naik. Lagian waktu
itu kamu cuma kasih aku dua puluh paun terus besoknya kamu pinjam lima puluh
buat beli ikan gede yang itu tuh ….”
“Kebetulan saja ‘ikan gede’nya tuh salmon liar dari Donegal,
dan asal tahu saja ya lima puluh paun itu hampir enggak ada apa-apanya. Aku
sedang berusaha mempertunjukkan semacam kehidupan beradab di sini, maksudku
ampun ya Tuhan, kita bukan binatang buas, ya kan?”
“Yeah, tapi ngerti kan kita udah nunggak, Charlie ….”
“Huh,” sahutku. Barang siapa yang telah menyaksikan usaha
Frank dalam mengatur rumah tangga, ini hampir bukan kejutan. Tiap beberapa
minggu sekali ia duduk di meja dapur dengan satu pak Hobson’s Choice beserta
kantong plastik penuh bon, kuitansi, carikan kertas, dan tatakan bir yang pada
dinomori asal-asalan, yang dituangnya hingga menumpuk di tengah-tengah meja.
Lalu, dengan pelan dan hati-hati, ia meminum kaleng demi kaleng. Lalu, ketika
semua kalengnya habis, beberapa jam setelah mula-mula duduk, disertai desahan
pelan ia menyapu tumpukan bonnya kembali ke kantong plastik, yang ditaruhnya
dengan hati-hati di tong sampah.
Jarang-jarang aku menjumpai orang yang sebegitunya
membutuhkan akuntan. Namun rekening bank saja Frank tidak punya. “Bank itu kecu, Charlie,” katanya. “Kalau aku mau kasih duit ke kecu, aku kasih aja ke kecu yang aku kenal, bukannya ke bramacorah.” Alih-alih ia menyimpan uang di “persembunyian rahasia”,
yaitu kaus kaki klub sepak bola Celtic di bawah tempat tidurnya.
Kurasa ia juga punya banyak uang, dan ia menegurku cuma
karena sebal. Sejak Bel berkunjung, agaknya kami berdua jadi cekcok melulu—biasanya
soal uang, walau apa pun bisa saja memicunya. Kentara betul bahwa Frank juga
sedang jemu-jemunya, walau bertingkah sebaliknya. Oh, ia bersenda gurau dengan
Droyd seakan-akan tidak ada masalah. Ia minum berkaleng-kaleng dan madat
berlinting-linting, tetapi bakso ayam di piringnya tidak tersentuh, dan lebih
dari sekali aku mendapati barang hasil penyelamatan bangunan mengumpet di balik
sofa, penyek dan meliuk sampai tidak keruan lagi bentuk rupanya. Ia biadab dan
tidak tertahankan bahkan menurut taraf hidupnya, dan aku bersyukur ia lagi
sering-sering pergi ke luar ketimbang biasanya, dan tidak balik hingga larut.
Seiring dengan tibanya musim dingin, sementara aku dan Frank
sama-sama tercemplung dalam kejemuan, agak mengherankan bahwa Droyd juga terpuruk
dalam kesedihan. Frank tidak pernah mengajak dia berpelesir, dan selain
melancong ke klinik metadon serta menjumpai pengawas bebas bersyaratnya, Droyd
tidak ke mana-mana. Ia biasa menghabiskan sepanjang malam duduk-duduk saja di
jendela, sambil menatap jalanan yang disapu hujan. Ia juga tidak memutar
musiknya sesering dulu, walau aku tidak bisa berpura-pura risau karena ini. Toh pada suatu malam ia bertanya kalau-kalau aku
bisa memeriksa ejaan pada tulisannya. Ia lalu menyerahkan selembar serbet
kotor yang pada permukaannya tertatah tulisan dalam aksara paku.
“Apa nih?” tanyaku.
“Siaran pers,” kata Droyd. “Buat musik aku.”
“Oh.”
“Mesti kasih tahu orang-orang Droyd udah balik,” jelasnya.
“Baru tahu kamu suka mengarang,” kataku.
“Pa?”
“Musik, maksudnya.”
“Ah yeah.” Ia mengamat-amati salah satu bongkahan cincin
emasnya. “Yah gitu aku belum apa-apa sih, soalnya kan kemarin aku masuk penjara
gitulah. Tapi aku mau ngemusik sih, kalau urusanku udah beres. Manggung di
klub-klub gede. Rotterdam. Ibiza. Pernah ke Ibiza?”
“Belum,” kataku.
“Maut deh pokoknya,” ia mengendus-endus. “Di sana tuh ada
klub busa. Lantainya dikasih busa. Terus cewek-cewek pada ngedatengin kita,
grepe-grepe. Ajaiblah.”
“Ya, kedengarannya memang seru sih ….” Aku sudah meneliti
serbet itu dari sisi yang berbeda-beda, namun tetap saja rahasia di balik
paku-paku tersebut tidak terungkap. “Menurutku sih kelihatannya ini sudah oke,”
kataku. “Bagaimana kalau kamu membacakannya, jadi kita bisa tahu kedengarannya seperti apa.”
“Oke deh.” Ia mengambil kembali serbetnya lalu, sambil
menyusurkan jarinya pada paku-paku tersebut, membaca dengan nada datar lagi
terputus-putus. “Buat DJ Droyd semuanya soal musik. Dia kayak mesin karena
enggak ada yang bisa ngehentiin dia. Juga karena enggak ada yang berarti buat
dia selain ritme, satu-satunya harapan buat masa depan. Ia dikenal sebagai sang
Droyd[1]
buat ngelambangin yang dia sampein di musiknya. Menurut dia kita hidup di zona
perang masa depan dan keadaannya bakal makin parah. Ketika terjadi perang
melawan robot dan komputer dua-duanya bakal menang dengan mudah mungkin karena
mereka enggak capek atau lapar kayak manusia dan mereka enggak pernah nyerah
enggak kayak manusia. Satu-satunya harapan yaitu dengan menjadi robot itu
sendiri dan enggak ambekan makan perasaan kayak orang bego. Beginilah yang dia sampein.” Ia tengadah. “Sejauh ini baru
gitu sih.”
“Menarik sekali,” kataku. “Mungkin agak menyimpang sedikit di
akhir, seluruhnya soal perang melawan robot. Biar begitu, secara keseluruhan,
keren banget.”
“Ini kenyataan,” ujar Droyd dengan suara rendah, sambil
menurunkan ujung topinya.
“Apaan?”
“Semua ini lah,” sembari mengibas-ngibaskan tangannya pada
kesemrawutan yang tersebar merata di ruangan, “semuanya ilusi. Waktu di Joy
kami nonton film soal itu. Alatnya baru dibikin sama orang-orang komputer jadi
pas di dalam situ kita enggak bakal ngeh sama yang ada di luar, bentuknya tuh
kayak kepompong yang bisa manen energi[2].”
“Waw,” sahutku.
“Yeah,” ujarnya.
Terlepas dari lanturan soal metafisika yang sesekali
dilontarkannya, ketegangan di antara kami mulai mengendur dalam beberapa minggu
itu. Droyd menceritakan padaku tentang kali pertama ia dan Frank bertemu. Waktu
itu Frank hendak menyelamatkan bak mandi dari bangunan yang diambil alih
pemerintah lalu mendapati Droyd tengah tidur di dalamnya. Frank pun membawa
Droyd kembali ke flat dengan van bersama rongsokan lain. Frank membiarkan Droyd
berdiam di sofa hingga pulih, yang ternyata hampir setahun.
“Terus sesudah itu?” selidikku.
“Waktu itu aku mulai pakai narkoba,” ucapnya, seraya menyeka
hidung dengan cuek. “Tahu sendirilah, awalnya cuma ngisep dikit buat coba-coba
pas udah beberapa pil, tahu-tahu udah ngegarong kedai aja.”
“Terus kerja buat Sepupu Benny …?”
“Yeah, tapi itu semua udah lewat,” ujarnya. “Hei, kamu paling
banyak nyoba berapa pil?”
“Hmm, kuingat-ingat dulu ….”
“Pernah ya aku makan sampai tujuh belas biji, waktu itu aku
sama Frankie lagi nge-rave di
parkiran kampung. Gila bangetlah, ada lima menit jantung aku berhenti. Aku
mesti dibawa ke rumah sakit pakai helikopter terus pakai kursi roda sampai dua
minggu terus ada dokter bilang sama aku kalau aku ngepil lagi aku bakal mati.”
Matanya berkabut penuh kenangan. “Aku bilang ke dia lu aja yang mati.”
Sejauh yang dapat kucerna, “pil” ini semacam pil penambah
energi, yang efeknya mirip dengan suplemen multivitamin. Menurut Droyd, para
binatang jalang serta orang-orang yang dari kumpulannya terbuang biasa
berkumpul dan mengudap pil-pil itu di “pesta rave”, ajojing luaruang yang diselenggarakan pada tengah malam di
bawah jalan raya atau lapangan becek.
“Lapangan!” sahutku. “Tetapi kalau hujan bagaimana?”
Droyd mengangkat bahu. “Mau gimanapun keadaannya kita mesti
bisa ngelihat sisi lucunya, ya kan?” Sambil menggerak-gerakkan lutut, ia
beralih kembali pada sudut lowong di jendela yang gelap. “Karena kalau enggak,
ngerti kan, apa untungnya?”
Seiring dengan berlalunya hari demi hari di Mr Dough, yang tiap hari sama saja dengan hari kemarinnya, ada satu
pertanyaan yang sering kuajukan pada diriku sendiri. Usahkan memperoleh
giliranku untuk maju, serta memenuhi impian yang lama
kuidam-idamkan untuk menjadi warga masyarakat yang berhasil, aku merasa mulai
menyimpang jauh tanpa arah dari kehidupanku sendiri. Sementara
batangan-batangan kue yang menuju mesin pemberi lapisan gula melebur jadi satu
dalam tatapanku, begitu pula jam demi jam dan hari demi hari berpadu menjadi
bentangan yang terurai, dan hidup itu sendiri serupa aksesori pada ban
berjalan. Tampaknya tidak ada pembenaran apa pun agar kehidupan seperti ini tidak
berlangsung terus selamanya. Kemudian suatu malam kebetulan Frank di rumah
saja.
Saat itu kami bertiga tengah duduk bersama-sama menonton
televisi. Frank suka menonton kanal berita dua puluh empat jam, yang biasanya
terdapat cuplikan mengenai ledakan di perang ini atau itu. Aku punya teori bahwa minatnya ini
berhubungan dengan pengalamannya di Lebanon bersama Pasukan Penjaga Perdamaian
PBB, walau bila mendengar ceritanya kau akan mengira bahwa yang mereka perbuat
di sana cuma leyeh-leyeh dan mengusili para Marinir Amerika Serikat, dengan
mengendap-endap di belakang mereka lantas meletuskan balon di telinga mereka,
sambil menyerukan “Masuk! Masuk[3]!”
Cuplikan tank bergulir di reruntuhan rumah seorang wanita
tergantikan oleh iklan. Timbul kartun matahari dengan mata berputar-putar bak
kena obat bius diiringi musik dengan gebukan bertalu-talu melatari penampakan
serupa pulau penjara untuk kaum skinhead[4].
“Ibiza,” ucap Droyd sesumbar. “Kapan-kapan aku sama Frankie
mau ke Ibiza, iya kan Frankie?”
“Ah yeah,” sahut Frank.
“Kapan-kapan,” Droyd menguap, seraya meregangkan kedua lengan
lebar-lebar, “kita bilang persetan ah, terus cabut, dadah kontol …. Ngebir
seharian di pantai, malam-malam ke klub ngegrepein cewek-cewek, betul Frankie?”
“Ah yeah,” ulang Frank sayu, sembari meremukkan kaleng dan
menjatuhkannya ke lantai.
Droyd berpaling dan lama menatap Frank dengan pandang
menghinakan. “Jancuk,” katanya.
“Apa?” sahut Frank.
“Dia tuh cuma cewek, Frank.”
Frank tetap saja bertampang lugu lagi dungu.
“Lu ngertilah gue ngomong apa,” kata Droyd, sambil mulai
menggerak-gerakkan badan. “Seloyongan aja kayak orang bego.” Ia berdiri. “Tiga
L, Frankie, siapa tuh yang dulu bilang ke gue? Lengketin, Lobangin, Lupain,
siapa tuh yang dulu bilang?”
“Hei!” protesku. “Itu adikku ya yang kamu omongkan!”
“Sebodo amat!” balas Droyd berapi-api. “Lihat tuh
gara-garanya! Si Frank jadi enggak mau ikutan gelut di luar. Dia jadi enggak
mau ke Ziggy ngepil-ngepil. Kamu tahu enggak dia ngapain tiap malam? Tahu enggak?”
Frank terkelu.
“Yeah,” Droyd berjalan mengitari Frank, suaranya bergetar,
“lu pikir gue enggak tahu kan, dasar kontol. Bohong ke gue, teman lu sendiri.
Bilang ke gue lu mau minum-minum bareng Niallser, Micker, Ste, sama Rogan
Congorgede. Mereka bilang udah berbulan-bulan enggak ngelihat lu.” Droyd
berbalik padaku hingga tampak jerawat menghitam pada wajahnya yang putih pucat.
“Malam kemarin aku ngumpet di van pengin tahu sebenarnya dia ke mana sih. Dia
nyetir ke Killiney, terus duduk-duduk
di sana, ngeliatin laut.”
Malu Frank membuang matanya ke bawah.
Droyd mengentak-entakkan kaki mengitari ruangan sambil
mengibas-ngibaskan lengan. “Laut!”
teriaknya. “Laut jancuk!”
Frank tidak menyahut. Tatapannya mengibakan. Di kursi
tubuhnya menciut. Droyd menyambar jaket dari lantai lalu mengenakan topi,
lantas kembali berdiri menghalangi Frank dari televisi. “Gue enggak bisa terima!” pekiknya. “Gue enggak kenal
lagi sama lu yang sekarang!” Berbarengan dengan itu ia
memelesat ke luar apartemen dan membanting pintu, meninggalkan Frank bersama
diriku pada kesunyian panjang lagi menggelisahkan. “… pernyataan mengejutkan
mengenai kesalahan dalam pos keuangan dan politik,” televisi bersuara, seraya
menampilkan pria gemuk bersetelan kelabu bersusah payah menembus para reporter
di luar Kastel Dublin[5].
Sesaat Frank terdengar menggumam dan berpura-pura menyeka
mata.
Izinkan aku sejenak mengakui bahwa biasanya aku bukanlah
orang yang dikenal peka terhadap orang lain. Bel selalu memperingatiku akan
sifatku ini—malah, dulu ia menjadikannya semacam hiburan. Kapan pun ia mengajak
teman-teman sekolahnya mampir, malamnya ia menghampiriku dan bertanya
keras-keras, “Charles, apa itu empati?” dan aku, yang selalu berniat
memeriksanya di kamus namun tidak pernah sempat, tetapi merasa terdesak untuk
menjawab, akan berkata bahwa bukankah itu ketika ada yang menguap lalu
akibatnya orang lain jadi menguap juga, dan semua temannya pun berkotek jahat,
kemudian Bel berucap pada mereka, “Lihat kan? Rasanya tuh kayak tinggal bareng
sofa beanbag[6]
yang bisa gerak-gerak sendiri.”
Maka diiringi keterkejutan serta kegelisahan yang teramat
sangat—sebagaimana yang dialami orang bila, katakanlah, ada yang tidak sengaja
menduduki puding—seketika itu aku merasakan firasat telak akan yang tengah
dialami Frank, sebab aku menyadari bahwa beberapa minggu ini batinku
mengalaminya juga. Aku pun menghampiri dia dan menanyakan keadaannya.
“Ah, Charlie …” ucapnya terputus-putus, matanya yang serupa
mata babi berkilauan. “Ah, Charlie ….”
“Sudah, sudah,” kataku, sambil menepuk-nepuk pergelangan
tangannya. “Aku mengerti kok.”
Sambil memukuli kepalanya sendiri, ia berseru, “Bego banget
sih aku! Kirain kami bisa balik lagi, padahal aku enggak tahu—aku bahkan enggak
tahu kenapa juga awalnya dia mau sama aku.”
“Jangan konyol ah,” kataku. “Bel punya banyak alasan. Kamu,
kamu tahulah, kamu ini Frank. Kamu punya van. Usahamu lancar. Kamu juga menghajar
orang-orang itu, si bajingan dan konco-konconya.”
Ia menggeleng-geleng sedih. “Coba kamu lihat dia waktu itu,
Charlie, cara dia ngelihat aku—kayak dia tuh malu sama aku, kayak aku tuh cuma
bangsat ….” Bulir air mata yang besar-besar melekat menuruni hidungnya.
“Oh, Bel mah malu sama semua orang,” kataku. “Dulu dia suka
bilang ke orang-orang aku ini ditaruh di rumah situ buat jadi eksperimen
pemerintah—nih, ambil ….” Aku menyerahkan tisu pada dia. Baru kusadari maksud
siaran pers Droyd waktu itu. “Aku tahu rasanya, kamu
tahulah, segalanya jadi berantakan. Tetapi kamu enggak boleh putus asa. Ada
banyak ikan di laut, dan seterusnya.”
Anggukannya tidak meyakinkan. Kami pun hanyut dalam kesunyian
menggelisahkan, dan salah seorang dari kami kini terselubung oleh huruf-huruf serupa
paku yang sulit dimengerti. Ada banyak ikan di laut: hiburan apaan itu. Tetapi
apa lagi yang bisa kukatakan padanya? Ia bukanlah yang pertama-tama tampil di
layar dengan canggungnya lantas perasaannya yang membabi buta itu tercabik oleh
kerumitan serta banyaknya segi pada diri wanita.
Ia bukanlah yang pertama-tama membayangkan diri telah mengalami kisah cinta nan agung, hanya untuk
menyadari kemudian bahwa selama ini ia cuma membacakan perannya—bahwa ini
audisi belaka, bahwa dirinya sekadar sesuatu yang dijumpai Bel dalam perjalanan
ke mana pun itu yang dikehendaki gadisnya.
Sialan, batinku disertai perasaan yang sekonyong-konyong
mendesak, kenapa sih Bel tidak bisa berbuat yang semestinya? Seharusnya tidak
seperti ini kesudahannya, hubungan segitiga yang telah kami bangun dengan amat
hati-hati, berikut tegangan-tegangannya yang mudah membangkitkan emosi,
puncak-puncak serta pertentangan-pertentangannya. Seharusnya ada bibir yang
gemetar, air mata, saling tuduh; kata-kata sengit, harapan-harapan yang luluh,
adegan mengeloyor ke luar ruangan dengan dramatis. Kemudian, ketika lambat-laun
Bel menginsafi jati dirinya, serta tradisi agung dari mana ia berasal, akhirnya
ia pun mafhum bahwa cinta ini sungguh tidak boleh jadi—maka ia pun bersedih, berkeluyuran di rumah bermuram durja
sampai berbulan-bulan, hingga ketika abangnya yang penyayang walau kerap
disalahpahami berhasil membujuknya supaya tersenyum, ia pun tersadar bahwa
langit masih biru, dan kembali pada kami. Tidak semestinya Bel sekadar jenuh,
lantas minggat begitu saja dari hubungan segitiga ini. Tidak semestinya Bel
serta-merta menyelipkan kawanannya berikut si bangsat yang merebut wewenang
atas kamar abang penyayangnya dan pada dasarnya mengetahui saudaranya itu terusir ke dinginnya luar.
Namun memang itulah yang diperbuat Bel. Setelah semua yang terjadi, aku menyadari diriku senasib
dengan sosok cemong yang terisak-isak di sampingku. Kini dalam muram kurenungkan
diriku yang harus memulai semuanya dari awal lagi. Aku harus menemukan tempat
bagi diriku dalam kehidupan watak baru ini—Bel baru yang menghafal dialognya,
menyanyikan lagu-lagu Doris Day, serta berharap dari lubuk hatinya yang
terdalam supaya bisa pergi berpentas di London! Broadway! Lautan tak terperikan
telah bergulung di antara kami, selagi malam menjulur dan gelap merembes melewati sudut dan celah apartemen cacat ini.
[1] Droid, robot cerdas
[2] Energy pod dari Google
[3] Incoming, sandi militer yang biasa digunakan Tentara Amerika
Serikat untuk menandakan adanya tembakan artileri, roket, atau mortir musuh
yang bisa dikenali lewat bunyi serupa siulan saat proyektilnya melintas
[4] Budaya yang lahir dari kalangan
pemuda pekerja kelas bawah Inggris pada 1960, dicirikan dengan kepala plontos
dan sepatu bot
[5] Kompleks utama pemerintahan
Irlandia
[6] Sofa berisi butiran gabus yang
bentuknya fleksibel mengikuti kontur orang yang mendudukinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar