Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170627

An Evening of Long Goodbyes, Bab 9 (3/3) (Paul Murray, 2003)

Sepanjang waktu Pak Appleseed memerhatikan kami, tanpa lelah berpatroli melewati panas yang tak tertahankan di Zona Pengolahan B, atau mengintai ke bawah dari bilik akrilik mandornya bak monster laba-laba bercelana jengki. Bila berdiri tegak, tingginya mesti hampir tiga meter, namun ia tidak pernah berdiri tegak. Ia suka membungkuk hingga kedua bahunya mengitari leher, sambil terus-terusan menggerutu penuh laknat dengan suara serak parau. Badannya kerempeng, kacamatanya tebal, bibirnya berkeluk ke bawah, dan kami semua takut padanya. Pada hari-hari pertama, ketika aku masih menggenggam asa untuk memberontak, lari, atau membebaskan diri bagaimanapun caranya, selalu saja bayangan akan Pak Appleseed yang mencegahku.

Kuduga karena bahasa Inggrisku paling baik maka ia membedakanku sebagai orang kepercayaannya. Bukan berarti ia ada perhatian pribadi padaku, begitulah katanya blakblakan.

“Aku benci haram jadah seperti kamu, tahu itu, Goblok?” katanya.

“Ya, Pak Appleseed.”

“Aku baca berkasmu. Aku tahu jenis orang seperti kamu, ya. Dikiranya bisa hidup seenak udel, dan kue-kue Batang Pohon berjatuhan begitu saja dari langit.”

“Ya, Pak Applessed.”

“’Ya, Pak Appleseed’,” beonya. Tatapan jahat dari bola matanya yang kuning menghunjamku menembus masker gula yang mengeras.

Belum pernah kujumpai orang yang demikian bergairah membaktikan dirinya pada kebencian. Ia benci setiap orang yang bekerja di Mr Dough. Ia benci negara asal mereka. Ia mencatat semacam klasemen liga mengenai bangsa-bangsa yang paling ia benci, yang posisinya bisa naik turun.

“Kamu pernah bertemu yang sedungu orang-orang Latvia itu?” Tahu-tahu ia menyorongkan badan, sembari mengunyah biskuit garing dan bersandar pada tepi ban berjalanku. “Pantas saja negara mereka rongsok begitu. Mestilah gara-gara mereka si Stalin dogol itu mabuk-mabukan. Kalau sepuluh tahun lalu dari menara gadingmu yang menjulang kamu bilang padaku bahwa suatu hari aku akan bertanggung jawab atas sekelompok orang Latvia, Goblok, aku tidak akan peduli. Tetapi sekarang begini adanya. Sekarang ini agaknya bekerja di perusahaan roti internasional tidaklah memadai bagi orang Irlandia.” Sejenak ia memandangi Zona Pengolahan B dengan kuyu, barangkali tengah mengenang masa yang lebih baik. “Biar begitu, sejujurnya, kurasa ada untungnya juga orang-orang Latvia ini. Murah. Tidak ribut-ribut soal serikat sekerja atau apalah semacamnya. Omeli saja secukupnya dan mereka biasanya mengerti yang kumaksudkan. Lagi pula mereka pekerja keras.” Ia terkikih-kikih. “Para haram jadah gemar benar akan Koleksi Barang Mewah yang Tak Habis-habis. Pikirmu mereka punya koleksi begitu di tempat asal mereka, Goblok? Di Latvia? Pikirmu mereka sudah kelimpahan barang mewah di sana?”

“Tidak, Pak Appleseed.”

“Tidak, Pak,” Pak Appleseed terkikih-kikih. Lalu sepintas ia memandangku, yang tengah menatap murung pada batang demi batang kue yang berlalu sambil berharap ia akan meninggalkanku kembali pada halusinasiku, dan wajahnya pun menggelap. “Oh, boleh saja kamu menyebutku rasis, Goblok. Boleh saja kamu mengira dirimu lebih baik dari padaku. Tetapi biar kusampaikan satu hal, Tuan Jurusan Teologi, Tuan Kolese Trinity, aku tinggal menelepon saja sekali lalu mereka akan menerbangkan penggantimu dari Latvia lebih cepat daripada kamu bisa bilang Abner Applese—sebenarnya, ada dua hal, yang kedua yaitu aku juga makan bangku universitas, hanya saja nama universitasnya Universitas Kehidupan. Dan mungkin aku tidak pandai meninggikan diri, tetapi di tempat parkir sana ada Lexus biru atas namaku yang sudah dibayar lunas dan tidak seorang pun dapat mengambilnya dari diriku. Ingatkan aku lagi, Goblok, berapa Lexus katamu yang kamu punya di tempat parkir situ? Ada berapa?”

“Tidak ada,” gumamku.

“Benar itu, Goblok, berkat segala kebiasaanmu bermewah-mewah—apa itu dulu?”

“Bukan apa-apa,” tegasku, lalu ia menampar punggungku dan berkata bahwa setidaknya aku punya selera humor, sifat yang mesti dimiliki pekerja, dan bahwa menurutnya masa depan baik menantiku di perusahaan ini, atau yang hendak diperbuatnya seandainya kontrakku bukan sementara, yang berarti aku akan terus menjadi tukang meluruskan roti sepanjang sisa umurku, yang omong-omong per harinya dihitung.

Segera saja menjadi jelas bahwa aku tidak akan mempelajari nilai-nilai, mewujudkan potensiku, atau apa pun yang serupa itu di Mr Dough. Juga tampak jelas bahwa untuk sementara waktu aku tidak akan keluar dari balapan tikus dan ikut berpesta. Begitu aku menyimpan cek, Frank langsung mencariku, menuntut haknya. Kalau bukan untuk belanja makanan, ya untuk alat pemanas, dan kalau bukan untuk alat pemanas, ya untuk sewa rumah—

“Sewa rumah? Maksudmu apa, sewa rumah? Minggu lalu kan aku sudah memberimu uang buat sewa rumah, kamu apakan itu?”

“Yeah, tapi ngerti kan minggu ini sewanya naik. Lagian waktu itu kamu cuma kasih aku dua puluh paun terus besoknya kamu pinjam lima puluh buat beli ikan gede yang itu tuh ….”

“Kebetulan saja ‘ikan gede’nya tuh salmon liar dari Donegal, dan asal tahu saja ya lima puluh paun itu hampir enggak ada apa-apanya. Aku sedang berusaha mempertunjukkan semacam kehidupan beradab di sini, maksudku ampun ya Tuhan, kita bukan binatang buas, ya kan?”

“Yeah, tapi ngerti kan kita udah nunggak, Charlie ….”

“Huh,” sahutku. Barang siapa yang telah menyaksikan usaha Frank dalam mengatur rumah tangga, ini hampir bukan kejutan. Tiap beberapa minggu sekali ia duduk di meja dapur dengan satu pak Hobson’s Choice beserta kantong plastik penuh bon, kuitansi, carikan kertas, dan tatakan bir yang pada dinomori asal-asalan, yang dituangnya hingga menumpuk di tengah-tengah meja. Lalu, dengan pelan dan hati-hati, ia meminum kaleng demi kaleng. Lalu, ketika semua kalengnya habis, beberapa jam setelah mula-mula duduk, disertai desahan pelan ia menyapu tumpukan bonnya kembali ke kantong plastik, yang ditaruhnya dengan hati-hati di tong sampah.

Jarang-jarang aku menjumpai orang yang sebegitunya membutuhkan akuntan. Namun rekening bank saja Frank tidak punya. “Bank itu kecu, Charlie,” katanya. “Kalau aku mau kasih duit ke kecu, aku kasih aja ke kecu yang aku kenal, bukannya ke bramacorah.” Alih-alih ia menyimpan uang di “persembunyian rahasia”, yaitu kaus kaki klub sepak bola Celtic di bawah tempat tidurnya.

Kurasa ia juga punya banyak uang, dan ia menegurku cuma karena sebal. Sejak Bel berkunjung, agaknya kami berdua jadi cekcok melulu—biasanya soal uang, walau apa pun bisa saja memicunya. Kentara betul bahwa Frank juga sedang jemu-jemunya, walau bertingkah sebaliknya. Oh, ia bersenda gurau dengan Droyd seakan-akan tidak ada masalah. Ia minum berkaleng-kaleng dan madat berlinting-linting, tetapi bakso ayam di piringnya tidak tersentuh, dan lebih dari sekali aku mendapati barang hasil penyelamatan bangunan mengumpet di balik sofa, penyek dan meliuk sampai tidak keruan lagi bentuk rupanya. Ia biadab dan tidak tertahankan bahkan menurut taraf hidupnya, dan aku bersyukur ia lagi sering-sering pergi ke luar ketimbang biasanya, dan tidak balik hingga larut.

Seiring dengan tibanya musim dingin, sementara aku dan Frank sama-sama tercemplung dalam kejemuan, agak mengherankan bahwa Droyd juga terpuruk dalam kesedihan. Frank tidak pernah mengajak dia berpelesir, dan selain melancong ke klinik metadon serta menjumpai pengawas bebas bersyaratnya, Droyd tidak ke mana-mana. Ia biasa menghabiskan sepanjang malam duduk-duduk saja di jendela, sambil menatap jalanan yang disapu hujan. Ia juga tidak memutar musiknya sesering dulu, walau aku tidak bisa berpura-pura risau karena ini. Toh pada suatu malam ia bertanya kalau-kalau aku bisa memeriksa ejaan pada tulisannya. Ia lalu menyerahkan selembar serbet kotor yang pada permukaannya tertatah tulisan dalam aksara paku.

“Apa nih?” tanyaku.

“Siaran pers,” kata Droyd. “Buat musik aku.”

“Oh.”

“Mesti kasih tahu orang-orang Droyd udah balik,” jelasnya.

“Baru tahu kamu suka mengarang,” kataku.

“Pa?”

“Musik, maksudnya.”

“Ah yeah.” Ia mengamat-amati salah satu bongkahan cincin emasnya. “Yah gitu aku belum apa-apa sih, soalnya kan kemarin aku masuk penjara gitulah. Tapi aku mau ngemusik sih, kalau urusanku udah beres. Manggung di klub-klub gede. Rotterdam. Ibiza. Pernah ke Ibiza?”

“Belum,” kataku.

“Maut deh pokoknya,” ia mengendus-endus. “Di sana tuh ada klub busa. Lantainya dikasih busa. Terus cewek-cewek pada ngedatengin kita, grepe-grepe. Ajaiblah.”

“Ya, kedengarannya memang seru sih ….” Aku sudah meneliti serbet itu dari sisi yang berbeda-beda, namun tetap saja rahasia di balik paku-paku tersebut tidak terungkap. “Menurutku sih kelihatannya ini sudah oke,” kataku. “Bagaimana kalau kamu membacakannya, jadi kita bisa tahu kedengarannya seperti apa.”

“Oke deh.” Ia mengambil kembali serbetnya lalu, sambil menyusurkan jarinya pada paku-paku tersebut, membaca dengan nada datar lagi terputus-putus. “Buat DJ Droyd semuanya soal musik. Dia kayak mesin karena enggak ada yang bisa ngehentiin dia. Juga karena enggak ada yang berarti buat dia selain ritme, satu-satunya harapan buat masa depan. Ia dikenal sebagai sang Droyd[1] buat ngelambangin yang dia sampein di musiknya. Menurut dia kita hidup di zona perang masa depan dan keadaannya bakal makin parah. Ketika terjadi perang melawan robot dan komputer dua-duanya bakal menang dengan mudah mungkin karena mereka enggak capek atau lapar kayak manusia dan mereka enggak pernah nyerah enggak kayak manusia. Satu-satunya harapan yaitu dengan menjadi robot itu sendiri dan enggak ambekan makan perasaan kayak orang bego. Beginilah yang dia sampein.” Ia tengadah. “Sejauh ini baru gitu sih.”

“Menarik sekali,” kataku. “Mungkin agak menyimpang sedikit di akhir, seluruhnya soal perang melawan robot. Biar begitu, secara keseluruhan, keren banget.”

“Ini kenyataan,” ujar Droyd dengan suara rendah, sambil menurunkan ujung topinya.

“Apaan?”

“Semua ini lah,” sembari mengibas-ngibaskan tangannya pada kesemrawutan yang tersebar merata di ruangan, “semuanya ilusi. Waktu di Joy kami nonton film soal itu. Alatnya baru dibikin sama orang-orang komputer jadi pas di dalam situ kita enggak bakal ngeh sama yang ada di luar, bentuknya tuh kayak kepompong yang bisa manen energi[2].”

“Waw,” sahutku.

“Yeah,” ujarnya.

Terlepas dari lanturan soal metafisika yang sesekali dilontarkannya, ketegangan di antara kami mulai mengendur dalam beberapa minggu itu. Droyd menceritakan padaku tentang kali pertama ia dan Frank bertemu. Waktu itu Frank hendak menyelamatkan bak mandi dari bangunan yang diambil alih pemerintah lalu mendapati Droyd tengah tidur di dalamnya. Frank pun membawa Droyd kembali ke flat dengan van bersama rongsokan lain. Frank membiarkan Droyd berdiam di sofa hingga pulih, yang ternyata hampir setahun.

“Terus sesudah itu?” selidikku.

“Waktu itu aku mulai pakai narkoba,” ucapnya, seraya menyeka hidung dengan cuek. “Tahu sendirilah, awalnya cuma ngisep dikit buat coba-coba pas udah beberapa pil, tahu-tahu udah ngegarong kedai aja.”

“Terus kerja buat Sepupu Benny …?”

“Yeah, tapi itu semua udah lewat,” ujarnya. “Hei, kamu paling banyak nyoba berapa pil?”

“Hmm, kuingat-ingat dulu ….”

“Pernah ya aku makan sampai tujuh belas biji, waktu itu aku sama Frankie lagi nge-rave di parkiran kampung. Gila bangetlah, ada lima menit jantung aku berhenti. Aku mesti dibawa ke rumah sakit pakai helikopter terus pakai kursi roda sampai dua minggu terus ada dokter bilang sama aku kalau aku ngepil lagi aku bakal mati.” Matanya berkabut penuh kenangan. “Aku bilang ke dia lu aja yang mati.”

Sejauh yang dapat kucerna, “pil” ini semacam pil penambah energi, yang efeknya mirip dengan suplemen multivitamin. Menurut Droyd, para binatang jalang serta orang-orang yang dari kumpulannya terbuang biasa berkumpul dan mengudap pil-pil itu di “pesta rave”, ajojing luaruang yang diselenggarakan pada tengah malam di bawah jalan raya atau lapangan becek.

“Lapangan!” sahutku. “Tetapi kalau hujan bagaimana?”

Droyd mengangkat bahu. “Mau gimanapun keadaannya kita mesti bisa ngelihat sisi lucunya, ya kan?” Sambil menggerak-gerakkan lutut, ia beralih kembali pada sudut lowong di jendela yang gelap. “Karena kalau enggak, ngerti kan, apa untungnya?”

Seiring dengan berlalunya hari demi hari di Mr Dough, yang tiap hari sama saja dengan hari kemarinnya, ada satu pertanyaan yang sering kuajukan pada diriku sendiri. Usahkan memperoleh giliranku untuk maju, serta memenuhi impian yang lama kuidam-idamkan untuk menjadi warga masyarakat yang berhasil, aku merasa mulai menyimpang jauh tanpa arah dari kehidupanku sendiri. Sementara batangan-batangan kue yang menuju mesin pemberi lapisan gula melebur jadi satu dalam tatapanku, begitu pula jam demi jam dan hari demi hari berpadu menjadi bentangan yang terurai, dan hidup itu sendiri serupa aksesori pada ban berjalan. Tampaknya tidak ada pembenaran apa pun agar kehidupan seperti ini tidak berlangsung terus selamanya. Kemudian suatu malam kebetulan Frank di rumah saja.

Saat itu kami bertiga tengah duduk bersama-sama menonton televisi. Frank suka menonton kanal berita dua puluh empat jam, yang biasanya terdapat cuplikan mengenai ledakan di perang ini atau itu. Aku punya teori bahwa minatnya ini berhubungan dengan pengalamannya di Lebanon bersama Pasukan Penjaga Perdamaian PBB, walau bila mendengar ceritanya kau akan mengira bahwa yang mereka perbuat di sana cuma leyeh-leyeh dan mengusili para Marinir Amerika Serikat, dengan mengendap-endap di belakang mereka lantas meletuskan balon di telinga mereka, sambil menyerukan “Masuk! Masuk[3]!”

Cuplikan tank bergulir di reruntuhan rumah seorang wanita tergantikan oleh iklan. Timbul kartun matahari dengan mata berputar-putar bak kena obat bius diiringi musik dengan gebukan bertalu-talu melatari penampakan serupa pulau penjara untuk kaum skinhead[4].

“Ibiza,” ucap Droyd sesumbar. “Kapan-kapan aku sama Frankie mau ke Ibiza, iya kan Frankie?”

“Ah yeah,” sahut Frank.

“Kapan-kapan,” Droyd menguap, seraya meregangkan kedua lengan lebar-lebar, “kita bilang persetan ah, terus cabut, dadah kontol …. Ngebir seharian di pantai, malam-malam ke klub ngegrepein cewek-cewek, betul Frankie?”

“Ah yeah,” ulang Frank sayu, sembari meremukkan kaleng dan menjatuhkannya ke lantai.

Droyd berpaling dan lama menatap Frank dengan pandang menghinakan. “Jancuk,” katanya.

“Apa?” sahut Frank.

“Dia tuh cuma cewek, Frank.”

Frank tetap saja bertampang lugu lagi dungu.

“Lu ngertilah gue ngomong apa,” kata Droyd, sambil mulai menggerak-gerakkan badan. “Seloyongan aja kayak orang bego.” Ia berdiri. “Tiga L, Frankie, siapa tuh yang dulu bilang ke gue? Lengketin, Lobangin, Lupain, siapa tuh yang dulu bilang?”

“Hei!” protesku. “Itu adikku ya yang kamu omongkan!”

“Sebodo amat!” balas Droyd berapi-api. “Lihat tuh gara-garanya! Si Frank jadi enggak mau ikutan gelut di luar. Dia jadi enggak mau ke Ziggy ngepil-ngepil. Kamu tahu enggak dia ngapain tiap malam? Tahu enggak?”

Frank terkelu.

“Yeah,” Droyd berjalan mengitari Frank, suaranya bergetar, “lu pikir gue enggak tahu kan, dasar kontol. Bohong ke gue, teman lu sendiri. Bilang ke gue lu mau minum-minum bareng Niallser, Micker, Ste, sama Rogan Congorgede. Mereka bilang udah berbulan-bulan enggak ngelihat lu.” Droyd berbalik padaku hingga tampak jerawat menghitam pada wajahnya yang putih pucat. “Malam kemarin aku ngumpet di van pengin tahu sebenarnya dia ke mana sih. Dia nyetir ke Killiney, terus duduk-duduk di sana, ngeliatin laut.”

Malu Frank membuang matanya ke bawah.

Droyd mengentak-entakkan kaki mengitari ruangan sambil mengibas-ngibaskan lengan. “Laut!” teriaknya. “Laut jancuk!”

Frank tidak menyahut. Tatapannya mengibakan. Di kursi tubuhnya menciut. Droyd menyambar jaket dari lantai lalu mengenakan topi, lantas kembali berdiri menghalangi Frank dari televisi. “Gue enggak bisa terima!” pekiknya. “Gue enggak kenal lagi sama lu yang sekarang!” Berbarengan dengan itu ia memelesat ke luar apartemen dan membanting pintu, meninggalkan Frank bersama diriku pada kesunyian panjang lagi menggelisahkan. “… pernyataan mengejutkan mengenai kesalahan dalam pos keuangan dan politik,” televisi bersuara, seraya menampilkan pria gemuk bersetelan kelabu bersusah payah menembus para reporter di luar Kastel Dublin[5].

Sesaat Frank terdengar menggumam dan berpura-pura menyeka mata.

Izinkan aku sejenak mengakui bahwa biasanya aku bukanlah orang yang dikenal peka terhadap orang lain. Bel selalu memperingatiku akan sifatku ini—malah, dulu ia menjadikannya semacam hiburan. Kapan pun ia mengajak teman-teman sekolahnya mampir, malamnya ia menghampiriku dan bertanya keras-keras, “Charles, apa itu empati?” dan aku, yang selalu berniat memeriksanya di kamus namun tidak pernah sempat, tetapi merasa terdesak untuk menjawab, akan berkata bahwa bukankah itu ketika ada yang menguap lalu akibatnya orang lain jadi menguap juga, dan semua temannya pun berkotek jahat, kemudian Bel berucap pada mereka, “Lihat kan? Rasanya tuh kayak tinggal bareng sofa beanbag[6] yang bisa gerak-gerak sendiri.”

Maka diiringi keterkejutan serta kegelisahan yang teramat sangat—sebagaimana yang dialami orang bila, katakanlah, ada yang tidak sengaja menduduki puding—seketika itu aku merasakan firasat telak akan yang tengah dialami Frank, sebab aku menyadari bahwa beberapa minggu ini batinku mengalaminya juga. Aku pun menghampiri dia dan menanyakan keadaannya. 

“Ah, Charlie …” ucapnya terputus-putus, matanya yang serupa mata babi berkilauan. “Ah, Charlie ….”

“Sudah, sudah,” kataku, sambil menepuk-nepuk pergelangan tangannya. “Aku mengerti kok.”

Sambil memukuli kepalanya sendiri, ia berseru, “Bego banget sih aku! Kirain kami bisa balik lagi, padahal aku enggak tahu—aku bahkan enggak tahu kenapa juga awalnya dia mau sama aku.”

“Jangan konyol ah,” kataku. “Bel punya banyak alasan. Kamu, kamu tahulah, kamu ini Frank. Kamu punya van. Usahamu lancar. Kamu juga menghajar orang-orang itu, si bajingan dan konco-konconya.”

Ia menggeleng-geleng sedih. “Coba kamu lihat dia waktu itu, Charlie, cara dia ngelihat aku—kayak dia tuh malu sama aku, kayak aku tuh cuma bangsat ….” Bulir air mata yang besar-besar melekat menuruni hidungnya.

“Oh, Bel mah malu sama semua orang,” kataku. “Dulu dia suka bilang ke orang-orang aku ini ditaruh di rumah situ buat jadi eksperimen pemerintah—nih, ambil ….” Aku menyerahkan tisu pada dia. Baru kusadari maksud siaran pers Droyd waktu itu. “Aku tahu rasanya, kamu tahulah, segalanya jadi berantakan. Tetapi kamu enggak boleh putus asa. Ada banyak ikan di laut, dan seterusnya.”

Anggukannya tidak meyakinkan. Kami pun hanyut dalam kesunyian menggelisahkan, dan salah seorang dari kami kini terselubung oleh huruf-huruf serupa paku yang sulit dimengerti. Ada banyak ikan di laut: hiburan apaan itu. Tetapi apa lagi yang bisa kukatakan padanya? Ia bukanlah yang pertama-tama tampil di layar dengan canggungnya lantas perasaannya yang membabi buta itu tercabik oleh kerumitan serta banyaknya segi pada diri wanita. Ia bukanlah yang pertama-tama membayangkan diri telah mengalami kisah cinta nan agung, hanya untuk menyadari kemudian bahwa selama ini ia cuma membacakan perannya—bahwa ini audisi belaka, bahwa dirinya sekadar sesuatu yang dijumpai Bel dalam perjalanan ke mana pun itu yang dikehendaki gadisnya.

Sialan, batinku disertai perasaan yang sekonyong-konyong mendesak, kenapa sih Bel tidak bisa berbuat yang semestinya? Seharusnya tidak seperti ini kesudahannya, hubungan segitiga yang telah kami bangun dengan amat hati-hati, berikut tegangan-tegangannya yang mudah membangkitkan emosi, puncak-puncak serta pertentangan-pertentangannya. Seharusnya ada bibir yang gemetar, air mata, saling tuduh; kata-kata sengit, harapan-harapan yang luluh, adegan mengeloyor ke luar ruangan dengan dramatis. Kemudian, ketika lambat-laun Bel menginsafi jati dirinya, serta tradisi agung dari mana ia berasal, akhirnya ia pun mafhum bahwa cinta ini sungguh tidak boleh jadi—maka ia pun bersedih, berkeluyuran di rumah bermuram durja sampai berbulan-bulan, hingga ketika abangnya yang penyayang walau kerap disalahpahami berhasil membujuknya supaya tersenyum, ia pun tersadar bahwa langit masih biru, dan kembali pada kami. Tidak semestinya Bel sekadar jenuh, lantas minggat begitu saja dari hubungan segitiga ini. Tidak semestinya Bel serta-merta menyelipkan kawanannya berikut si bangsat yang merebut wewenang atas kamar abang penyayangnya dan pada dasarnya mengetahui saudaranya itu terusir ke dinginnya luar.

Namun memang itulah yang diperbuat Bel. Setelah semua yang terjadi, aku menyadari diriku senasib dengan sosok cemong yang terisak-isak di sampingku. Kini dalam muram kurenungkan diriku yang harus memulai semuanya dari awal lagi. Aku harus menemukan tempat bagi diriku dalam kehidupan watak baru ini—Bel baru yang menghafal dialognya, menyanyikan lagu-lagu Doris Day, serta berharap dari lubuk hatinya yang terdalam supaya bisa pergi berpentas di London! Broadway! Lautan tak terperikan telah bergulung di antara kami, selagi malam menjulur dan gelap merembes melewati sudut dan celah apartemen cacat ini.



[1] Droid, robot cerdas
[2] Energy pod dari Google
[3] Incoming, sandi militer yang biasa digunakan Tentara Amerika Serikat untuk menandakan adanya tembakan artileri, roket, atau mortir musuh yang bisa dikenali lewat bunyi serupa siulan saat proyektilnya melintas
[4] Budaya yang lahir dari kalangan pemuda pekerja kelas bawah Inggris pada 1960, dicirikan dengan kepala plontos dan sepatu bot
[5] Kompleks utama pemerintahan Irlandia
[6] Sofa berisi butiran gabus yang bentuknya fleksibel mengikuti kontur orang yang mendudukinya

Tidak ada komentar: