Hari-hari berikutnya amatlah berat. Aku tercengkeram oleh
kejemuan nan melumpuhkan. Sekali aku kembali ke alun-alun, namun aku tidak
sanggup melanjutkan pencarian kerja. Yang mampu kulakukan cuma menyeret diri
dari lantai kamar ke sofa. Seiring dengan berlalunya hari, masalah keuanganku
kian binasa. Bahkan semakin sulit saja membayangkan cara yang memungkinkan bagi
diriku supaya bisa keluar dari masalah ini, yang hanya memperparah kejemuanku
berikut keenggananku mengatasinya. Alih-alih aku menyibukkan diri dengan proyek
Gene Tierney. Kusaluti diriku dengan film-filmnya, terserap ke dalam
film-filmnya, sebagaimana dahulu ia berusaha untuk mencurahkan dirinya. Aku
bernafsu menonton tiap-tiap film, berhati-hati merujuk silang masing-masingnya
dengan biografi Gene, dan memetakan yang terlintas.
Jika mengamati kehidupan Gene dari awal sampai akhir,
terlihat jelas bahwa pernikahannya dengan Oleg Cassini merupakan peristiwa yang
menyebabkan segala bencana lain yang menimpanya—pelanggaran mula yang
membangkitkan Murka, yang hingga saat itu bergeming di tubir-tubir
kehidupannya. Malah, menikahi Oleg Cassini merupakan satu-satunya pemberontakan
yang pernah diperbuat Gene. Gene dibesarkan supaya menjadi gadis baik-baik, dan
ia selalu penurut—hidup bersahaja bersama ibunya di Hollywood, menyerahkan cek
bayaran ke perusahaan yang didirikan ayahnya, kena marah jika bermewah-mewah.
Kemudian muncullah Cassini.
Oleg Cassini orang Rusia, putra wanita bangsawan yang lari ke
Amerika setelah takluknya Tentara Putih. Ia juga desainer, buaya darat, dan
bukan tamatan Yale, sehingga tidak sesuai dengan bayangan orang tua Gene akan
pasangan yang cocok sekiranya mereka duduk bersama dan merencanakan pernikahan
itu. Orang tua Gene tidak akan menyetujui hubungan asmara keduanya. Ayah Gene
bilang bahwa jikalau putrinya menikahi Cassini, ia akan menganggap gadis itu
sinting. Adapun pihak studio merestui. Apa pun menurut orang tua Gene, pada
waktu itu tidak ada yang menentang studio. Studiolah yang menciptakanmu, dan
mereka dapat menghancurkanmu dengan sama mudahnya. Namun Gene sedang kasmaran.
Gene pikir persoalan mungkin mereda begitu keduanya menikah
dan tidak ada lagi yang dapat mengusik hubungan mereka. Maka, dengan menyamar,
ia dan Cassini kawin lari ke Las Vegas. Pada malam pernikahan mereka, Gene
kembali ke Los Angeles. Demi kepentingan diplomatis, ia telah bersepakat dengan
Oleg untuk menghabiskan malam itu sendiri-sendiri: hanya untuk mendapati bahwa
ibunya telah memecat para pelayan dan terbang pulang ke New York City. Kejadian
ini belum apa-apa.
Orang tua Gene dan studio kini menggabungkan kekuatan.
Paramount memecat Cassini adapun studionya Gene, Fox, menolak untuk menerima
lelaki itu. Sementara itu, orang tua Gene mengadu pada pers bahwa Cassini telah
memanfaatkan putri mereka dan berusaha supaya pernikahan itu dibatalkan.
Sekonyong-konyong pengantin baru itu menyadari diri mereka masuk dalam daftar
hitam kalangan Hollywood, dikucilkan oleh teman-teman mereka. Cassini masih
menganggur; di sisi lain, Gene bekerja terus-terusan, dan mereka pun semakin
jarang bertemu. Seiring dengan tekanan yang mulai nyata, ayah dan ibu Gene
menelepon kapan pun sempat, berusaha membujuk putri mereka supaya meninggalkan
Cassini. Di tengah-tengah segala persoalan ini, pada waktu pengambilan gambar Heaven Can Wait, Gene mendapati dirinya
hamil, sementara Amerika memasuki Perang Dunia Kedua.
Setelah demikian banyaknya huru-hara pribadi, terjadinya
Perang Dunia Kedua mestilah terasa melegakan. Pertentangan-pertentangan
dikesampingkan, negara menyibukkan diri dengan “menyingsingkan lengan baju”.
Cassini nan gagah berani bergabung dengan kavaleri. Gene, seperti kebanyakan bintang,
ambil bagian dalam kampanye obligasi perang. Ia berkeliling negeri, berpidato
di pabrik-pabrik serta rapat-rapat terbuka. Seminggu sebelum ia tiba di Kansas,
di mana divisi Cassini ditempatkan, ia tampil di Kantin Hollywood untuk
menghibur para marinir. Beberapa hari kemudian ia didiagnosis menderita rubela.
Ia menyembunyikan keadaannya—jika
ada aktris yang hamil selama jangka waktu kontrak, studio akan menangguhkan
gajinya. Pada 1943, belum diketahui adanya hubungan antara rubela pada tahap
awal kehamilan dan kerusakan otak pada kanak-kanak. Pada Oktober Gene
melahirkan bayi perempuan prematur dengan bobot sekitar satu kilogram. Ia
menamai anaknya Daria.
Baru setahun kemudian surat kabar memberitakan tentang
epidemi rubela di Australia yang rupa-rupanya telah membuahkan satu generasi
penderita tuna grahita. Gene pun mulai menerima bahwa bayinya boleh jadi bukan
hanya telat berkembang, melainkan juga menanggung masalah berat. Para ahli
dipanggil dengan biaya besar (dibayar oleh mantan pacar Gene, Howard Hughes,
sebelum memulai pengasingan diri setelah kecelakaan pesawat yang menyebabkan
dirinya cacat). Pendapat semua ahli tersebut sama. Sudah telanjur ada kerusakan
selagi bayi dalam kandungan dan tidak dapat dipulihkan. Yang terbaik bagi semua
pihak ialah menempatkan anak itu di panti.
Gene tersiksa oleh rasa bersalah dan kebingungan. Bukankah ia
selalu berusaha untuk menjadi orang baik-baik? Bukankah ia selalu menuruti yang
diminta orang? Apa gerangan yang telah diperbuatnya hingga bencana ini menimpa
dirinya beserta orang-orang yang dikasihinya? Ia bertahan selama mungkin. Namun
usianya baru dua puluh empat tahun dan setelah segala yang terjadi ia merasa
amat tertekan. Daria pun ditempatkan di panti, di mana ia tinggal sepanjang
sisa hidupnya dengan akal bayi berusia sembilan belas bulan.
Bertahun-tahun kemudian pada suatu Minggu yang tenang, di
sebuah pesta tenis di LA, kebetulan Gene didekati seorang penggemar. Gadis ini
mantan marinir. Ia bilang pernah bertemu Gene pada pertunjukan di Kantin Hollywood
semasa perang. “Apa malam itu Anda kebetulan ketularan rubela?” tanya si gadis.
Gene mengiyakan, karena memang demikian. Gadis itu tertawa dan katanya waktu
itu seluruh barak kena rubela, namun ia kabur dari karantina, untuk menyelinap
dan berjumpa bintang favoritnya.
Orang lain mestilah sudah
berteriak-teriak, atau meninju gadis itu. Tetapi Gene, yang telah dididik
supaya menjadi peramah, cuma tersenyum dan berlalu.
Aku merasa setelah kejadian itu film-filmnya menjadi semacam
pelarian baginya. Bukan karena kerjanya, bukan pula naskahnya, melainkan
filmnya itu sendiri. Seiring dengan bertambahnya pengkhianatan, seiring dengan
kelahiran anak mereka melampaui gabungan tekanan yang diberikan orang tua
beserta studionya hingga pernikahannya dengan Cassini lambat laun runtuh, aku
merasa bahwa film-filmnya menjadi persembunyiannya, tempat ia dapat melenyapkan
diri. Sebagai contoh, ambillah film The
Ghost and Mrs Muir, di mana ia memerankan janda yang terpikat oleh hantu
gentayangan di bungalo tempatnya baru pindah. Si hantu, diperankan oleh Rex
Harrison, pertama kali terlihat olehnya dalam bentuk potret di ruang tamu—yang
tampaknya kebalikan disengaja dari adegan di Laura, ketika si polisi jatuh cinta pada lukisan Gene, yang telah
dibunuh. Orang jatuh cinta pada hantu, orang jatuh cinta pada lukisan,
film-filmnya diam-diam semakin menunjukkan adanya kecenderungan ini:
kecenderungan dalam film-film itu untuk menyediakan ruang bagi dirinya, semacam
celah—seolah-olah, walaupun film-film tersebut bukanlah miliknya, ia diam-diam
telah mengadakan perjanjian agar dapat melarikan diri ke dalamnya dan menjauh
dari kehidupan, tak tersentuh, sebagai sebuah citra; seakan-akan di situlah
akhirnya ia menemukan ranahnya yang sejati—yang ilusif, berbayang, berantara—
“Charlie, ngebosenin amat sih filmnya.”
—meskipun orang lain tidak mengerti—
“Yeah, Charlie, lagian udah waktunya Hollyoaks[1]
nih.”
“Charlie, bisa enggak kita nonton Hollyoaks dulu baru kamu nonton sisanya nanti?”
“Charlie, kamu dengar kita kan, kok diam aja sih? Charlie?”
“Bah—soalnya aku tahu sehabis Hollyoaks kalian bakal pengin menonton Streetmate, terus Robot Wars,
terus Dawson’s Creek yang sungguh
terlalu itu ….”
“Aku enggak nonton Dawson’s
Creek kok, Charlie.”
“Hei, semalam kalian jelas-jelas meniru adegan di situ.
Keparat, bisa enggak sih kalian duduk saja yang manis barang setengah jam baru
setelah itu aku bisa sungguh-sungguh berbahagia—“
“Aku mau sih ngentot sama itu cewek, kamu gimana, Frankie?
Charlie, kamu mau—“
“Dengar ya, bajingan,” seraya bangkit dengan berang dan
memegang gulungan panduan acara televisi seakan-akan mau mengusir gerombolan
anjing jalanan berkudis, “bisa enggak sih kalian berhenti menggangguku sebentar
saja lagi sehabis itu sumpah deh aku bakal mengembalikan televisi berengsekmu!”
“Oke, oke … demi
jancuk ….” Mereka berdua pun menyelinap ke dapur, cuma untuk bertingkah lagi
sebentar kemudian:
“Kampret, Droyd, coba lu tadi nyimeng.”
“Kutu kupret, Frankie, mana Rizla[2]
gue?”
Lima menit kemudian:
“Frankie?”
“Yeah?”
“Lu pernah enggak merhatiin bayangan lu di sendok gitu, terus
lu pikir, ‘Ah jancuk, gue jadi jungkir balik’?”
“Ya iyalah.”
“Nyeremin ya?”
Film mana pun tidak setiap saat dapat menyekati orang dari
keadaan di sekitarnya, dan malam ini kesabaranku sudah habis. Aku nyaris
kehilangan kendali. Seperti yang kerasukan aku bangkit dari sofa menuju dapur,
dan boleh jadi ada kejadian buruk sekiranya aku tidak teralihkan oleh telepon.
“Ya, apa? Oh ….”
Yang menelepon Gemma Coffey dari Sirius Recruitment. Ia
menelepon untuk menawariku pekerjaan.
Sejenak aku merasa lumpuh. Mungkinkah ini sungguh nyata? Tiba-tiba begini? Apakah akhirnya telah tiba saatnya giliranku untuk maju, untuk memainkan perananku di—
“Charles?” ucapnya.
“Hadir,” sahutku redam.
“Jadi, kamu bisa?”
Aku meyakinkan dia bahwa aku sanggup. Aku menambahkan betapa
berterima kasih diriku padanya karena mengingat diriku dari sekian banyak orang
yang mendatanginya, dan bahwa aku ingin ia tahu aku yakin akan pekerjaan ini, apa pun itu, dan akan bekerja
sebaik-baiknya demi membantu mewujudkan mimpi tersebut—
Ia bilang Bagus, namun itu semua tidaklah begitu penting bagi
pekerjaan satu ini. “Ini cuma pekerjaan sementara, dan tidak sebegitu glamor
seperti yang kita bicarakan dulu. Pada dasarnya ini kerja pabrikan. Tidak
apa-apa kan, Charles?”
“Bukan pabrik stoples,
kan?” kataku, mengingat hadirnya kejutan ironis yang mesti kuterima dengan
tabah dalam hidupku ini.
Gemma bilang itu bukan pabrik stoples, melainkan pabrik roti
di Cherry Orchard. Kukatakan bahwa kalau begitu, aku tidak ada masalah, dan
bahwa aku benar-benar gembira dapat bekerja sama dengan Sirius Recruitment.
Kedengarannya Gemma senang, walau ia menyatakan bahwa secara teknis aku akan
dipekerjakan bukan oleh Sirius Recruitment melainkan anak perusahaannya,
Pobolny Arbitwo Recruitment. “Tetapi itu tidak penting,” kata Gemma. “Yang
penting yaitu saya tidak akan melupakanmu di luar sana, Charles. Datanglah pada
saya dan saya akan mendapatkan yang khusus untukmu.”
Kukatakan ia dapat memercayaiku. Katanya ia tahu itu. Ia
menanyakan kalau-kalau ada kemungkinan aku bisa berbicara dalam bahasa Latvia.
Aku bilang tidak. Katanya itu bukan masalah. Ia memberiku alamat, jalur bis ke
sana, dan nama untukku melaporkan diri—Bapak Appleseed—lalu kami saling
mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan.
Padahal baru sesaat lalu aku hampir menggantung asa! Kini,
seakan-akan ada yang telah melambaikan tongkat ajaib, masalahku pun raib. Kini
aku telah terangkat dari kelesuan dan layarku pun kembali terkembang oleh
angin.
Aku lupa hendak berkelahi dengan Frank dan Droyd. Alih-alih,
aku berdiri di ruang tamu, seraya mengusap-usap dagu dan tersenyum sendiri
sementara kabar baik itu meresapi kalbuku. Wah
wah wah, batinku, berhasil juga cara
begini. Mata Gene pun mengedip padaku dari seberang ruangan tempatnya menunggu,
dijeda selagi memberengut, bersama si hantu.
Pagi berikutnya, selagi masih gelap aku berangkat untuk hari
kerja pertamaku. Aku pergi dengan bis penuh pria-pria bermuka masam yang
menatap dengan cela celana jengkiku yang biru bersih—pemberian bibi perawan tua
kejam dari keluarga Bunda—ke Cherry Orchard, kawasan kumuh lagi suram menyerupai
antah-berantah yang tidak begitu buruk sih. Awalnya kupikir kelakar saja nama
kawasan industri ini sama dengan yang ada di drama Chekhov favorit Bel. Namun,
seiring dengan semakin banyaknya yang kuketahui mengenai pekerjaanku, segera
rasanya tidak lucu lagi.
Sewaktu Gemma memberitahuku bahwa aku akan bekerja di pabrik
roti, aku mengira ia selip lidah. Semua orang juga tahu roti itu bukan dibikin
di pabrik melainkan di toko roti, oleh pria-pria berpipi merah mengenakan topi
tinggi. Namun aku langsung menyadari bahwa akulah yang salah, karena tidak
termungkiri lagi pabrik roti memang ada. Di mana-mana terlihat orang membanting
tulang bak manusia katai dibayangi kuasa alat-alat pemotong dan pengiris, atau
berdiri di tangga, seperti dalam lukisan Hieronymus Bosch[3]
apabila menggambarkan dunia industri, sambil mengaduk isi bejana raksasa yang
berasap menggunakan serok kebesaran. Mesin-mesin berdentang dan mengerang.
Udara bergolak dengan tepung yang bercampur keringat membentuk lapisan lengket
pada kulit dan berkumpul di seputar lekuk mata menjadi bulan sabit yang
beronak. Dari oven-oven yang tidak terlihat, panas bergulung menggelombang tak
henti-henti, menjadikan lantai serupa tungku.
Aku bekerja di Zona Pengolahan B, sebagai tukang meluruskan
roti di Divisi Batang Pohon[4].
Kue Batang Pohon itu hidangan Natal lezat dari marsepen dengan umur simpan
setara plutonium. Orang-orang Eropa di luar Kepulauan Inggris menyukai kue itu,
atau begitulah katanya. Ada lima orang yang bekerja di ruangan itu, tidak
termasuk Pak Appleseed, dan kecuali dampratan Pak Appleseed tidak seorang pun
doyan berkata-kata. Kami memburuh tanpa suara bak Golem-golem yang tersaput
oleh tepung, serupa mesin melakoni gerakan yang itu melulu terus-terusan.
Lakonku memantau Batang-batang Pohon itu saat keluar dari oven melewati lubang
pada dinding, menyingkirkan yang cacat lalu memastikan tiap-tiap bungkal roti
terpasang dengan benar di ban berjalan, tegak lurus dengan bingkainya, selagi
memasuki mesin pemberi lapisan gula. Pak Applessed sudah memperingati akan
malapetaka yang timbul bila bungkal roti memasuki mesin pemberi lapisan gula
dalam posisi selain tegak lurus, dan Pak Appleseed bukanlah orang yang ingin kau
papasi di jalan.
Karena orang takut bercakap-cakap di Zona Pengolahan B, baru
setelah beberapa hari aku mengetahui sebabnya Gemma menanyakan kemampuanku
berbahasa Latvia—ternyata, selain aku dan Pak Appleseed, segenap Divisi Batang Pohon berasal dari Liepaja,
dikumpulkan saat Pobolny Arbitwo, anak perusahaan Sirius, mengadakan bursa
kerja di sana beberapa bulan lalu. Pemufakatan antara kedua pihak itu bagiku
terdengar janggal, namun orang-orang Latvia tersebut bilang bahwa banyak sanak
saudara mereka datang ke Irlandia demi menggali kentang atau membersihkan kolam
renang hotel, sembari menjelaskan bahwa upah mengibakan yang diperoleh di sini
nilainya berkali-kali lipat ketika dikirimkan ke Latvia, maka dengan demikian
dari kesepakatan itu sesungguhnya merekalah yang menang. Tentu saja mereka
kangen rumah, kata mereka. Istri-istri mereka menulis surat tentang betapa
anehnya keadaan di Liepaja, kota yang teramat dirindukan itu, karena tinggal
sedikit pria yang dapat dijumpai. Namun uang yang diperoleh dari Mr Dough cukup
untuk menafkahi orang-orang yang mereka kasihi tersebut, bahkan ditabung sedikit untuk masa depan. Selain itu, dengan
biaya murah, Pobolny Arbitwo menyewakan mereka akomodasi model barak berikut
oven mikrogelombang dan ranjang bertingkat yang nyaman.
“Dan kalian enggak keberatan? Kalian enggak jengkel karena
jenuh, atau panas yang enggak keruan ini?” Kami sedang berada di kantin,
ruangan sempit lagi sesak dengan sebuah meja, mesin penjual otomatis, serta
dinding bercat hijau empedu supaya orang sungkan berlama-lama di situ.
“Bukan panas bandingannya dengan tempat lain,” Bobo, yang
menjalankan mesin pengantongan, berkata tenang. “Misalnya saja, musim panas
lalu kami bekerja di pabrik marmelade di Aachen. Sangat panas sekali. Banyak
tawonnya.” Ucapannya membangkitkan gumam-gumam menyetujui yang terdengar penuh
sesal dari orang-orang di sekeliling meja. “Kami beruntung, ada di Mr Dough
sini,” imbuh Bobo.
“Huh,” sahutku. Terus terang entahkah aku bakal menyebut
diriku beruntung bila diseret separuh keliling bumi demi menghabiskan sepanjang
hari mengolah kue-kue Batang Pohon. Meski begitu, dibandingkan dengan pembuatan
boks, pengepakan, ataupun pengaturan palet, kuduga tugasku di Pelurusan relatif
mudah. Seringnya, batang-batang kue itu sudah pada baik penampakannya, dan
perubahan yang kulakukan kurang lebih tinggal mempercantik—walau tiap sekitar
setengah jam, ada saja yang nekat, menyusup ke ban berjalan dengan posisi
miring membahayakan. Ketika itulah aku menukik, dengan cekatan memutarnya sedikit
ke kiri atau kanan tergantung pada keadaannya, lalu mengirim batang kue
tersebut dengan aman melalui jalurnya ke mesin pemberi lapisan gula. Bencana
pun tertangkal.
Selebihnya aku cuma mengawasi ratusan batang kue yang serupa
berlalu, ratusan demi ratusan batang kue yang serupa …. Aku sangat risau kali
pertama mulai berhalusinasi. Namun orang-orang Latvia itu memberitahuku bahwa
keadaan tersebut lazim saat mengawasi ban berjalan, dan bukan untuk ditakuti
melainkan dinikmati. Segera saja sebagian besar hari menjadi ekskursi
menyenangkan dalam ilusi, memetiki apel berwarna-warni dari kebun Mbah
Thompson, mengolahragakan anjing khayalanku di pekarangan, menyesap gimlet
bersama Mirela sambil melihat pemandangan di luar Folly nirmala, sementara ia
membelai-belai pipiku dan mencumbu ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar