Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170620

An Evening of Long Goodbyes, Bab 9 (2/3) (Paul Murray, 2003)

Hari-hari berikutnya amatlah berat. Aku tercengkeram oleh kejemuan nan melumpuhkan. Sekali aku kembali ke alun-alun, namun aku tidak sanggup melanjutkan pencarian kerja. Yang mampu kulakukan cuma menyeret diri dari lantai kamar ke sofa. Seiring dengan berlalunya hari, masalah keuanganku kian binasa. Bahkan semakin sulit saja membayangkan cara yang memungkinkan bagi diriku supaya bisa keluar dari masalah ini, yang hanya memperparah kejemuanku berikut keenggananku mengatasinya. Alih-alih aku menyibukkan diri dengan proyek Gene Tierney. Kusaluti diriku dengan film-filmnya, terserap ke dalam film-filmnya, sebagaimana dahulu ia berusaha untuk mencurahkan dirinya. Aku bernafsu menonton tiap-tiap film, berhati-hati merujuk silang masing-masingnya dengan biografi Gene, dan memetakan yang terlintas.

Jika mengamati kehidupan Gene dari awal sampai akhir, terlihat jelas bahwa pernikahannya dengan Oleg Cassini merupakan peristiwa yang menyebabkan segala bencana lain yang menimpanya—pelanggaran mula yang membangkitkan Murka, yang hingga saat itu bergeming di tubir-tubir kehidupannya. Malah, menikahi Oleg Cassini merupakan satu-satunya pemberontakan yang pernah diperbuat Gene. Gene dibesarkan supaya menjadi gadis baik-baik, dan ia selalu penurut—hidup bersahaja bersama ibunya di Hollywood, menyerahkan cek bayaran ke perusahaan yang didirikan ayahnya, kena marah jika bermewah-mewah. Kemudian muncullah Cassini.

Oleg Cassini orang Rusia, putra wanita bangsawan yang lari ke Amerika setelah takluknya Tentara Putih. Ia juga desainer, buaya darat, dan bukan tamatan Yale, sehingga tidak sesuai dengan bayangan orang tua Gene akan pasangan yang cocok sekiranya mereka duduk bersama dan merencanakan pernikahan itu. Orang tua Gene tidak akan menyetujui hubungan asmara keduanya. Ayah Gene bilang bahwa jikalau putrinya menikahi Cassini, ia akan menganggap gadis itu sinting. Adapun pihak studio merestui. Apa pun menurut orang tua Gene, pada waktu itu tidak ada yang menentang studio. Studiolah yang menciptakanmu, dan mereka dapat menghancurkanmu dengan sama mudahnya. Namun Gene sedang kasmaran.

Gene pikir persoalan mungkin mereda begitu keduanya menikah dan tidak ada lagi yang dapat mengusik hubungan mereka. Maka, dengan menyamar, ia dan Cassini kawin lari ke Las Vegas. Pada malam pernikahan mereka, Gene kembali ke Los Angeles. Demi kepentingan diplomatis, ia telah bersepakat dengan Oleg untuk menghabiskan malam itu sendiri-sendiri: hanya untuk mendapati bahwa ibunya telah memecat para pelayan dan terbang pulang ke New York City. Kejadian ini belum apa-apa.

Orang tua Gene dan studio kini menggabungkan kekuatan. Paramount memecat Cassini adapun studionya Gene, Fox, menolak untuk menerima lelaki itu. Sementara itu, orang tua Gene mengadu pada pers bahwa Cassini telah memanfaatkan putri mereka dan berusaha supaya pernikahan itu dibatalkan. Sekonyong-konyong pengantin baru itu menyadari diri mereka masuk dalam daftar hitam kalangan Hollywood, dikucilkan oleh teman-teman mereka. Cassini masih menganggur; di sisi lain, Gene bekerja terus-terusan, dan mereka pun semakin jarang bertemu. Seiring dengan tekanan yang mulai nyata, ayah dan ibu Gene menelepon kapan pun sempat, berusaha membujuk putri mereka supaya meninggalkan Cassini. Di tengah-tengah segala persoalan ini, pada waktu pengambilan gambar Heaven Can Wait, Gene mendapati dirinya hamil, sementara Amerika memasuki Perang Dunia Kedua.

Setelah demikian banyaknya huru-hara pribadi, terjadinya Perang Dunia Kedua mestilah terasa melegakan. Pertentangan-pertentangan dikesampingkan, negara menyibukkan diri dengan “menyingsingkan lengan baju”. Cassini nan gagah berani bergabung dengan kavaleri. Gene, seperti kebanyakan bintang, ambil bagian dalam kampanye obligasi perang. Ia berkeliling negeri, berpidato di pabrik-pabrik serta rapat-rapat terbuka. Seminggu sebelum ia tiba di Kansas, di mana divisi Cassini ditempatkan, ia tampil di Kantin Hollywood untuk menghibur para marinir. Beberapa hari kemudian ia didiagnosis menderita rubela.

Ia menyembunyikan keadaannya—jika ada aktris yang hamil selama jangka waktu kontrak, studio akan menangguhkan gajinya. Pada 1943, belum diketahui adanya hubungan antara rubela pada tahap awal kehamilan dan kerusakan otak pada kanak-kanak. Pada Oktober Gene melahirkan bayi perempuan prematur dengan bobot sekitar satu kilogram. Ia menamai anaknya Daria.

Baru setahun kemudian surat kabar memberitakan tentang epidemi rubela di Australia yang rupa-rupanya telah membuahkan satu generasi penderita tuna grahita. Gene pun mulai menerima bahwa bayinya boleh jadi bukan hanya telat berkembang, melainkan juga menanggung masalah berat. Para ahli dipanggil dengan biaya besar (dibayar oleh mantan pacar Gene, Howard Hughes, sebelum memulai pengasingan diri setelah kecelakaan pesawat yang menyebabkan dirinya cacat). Pendapat semua ahli tersebut sama. Sudah telanjur ada kerusakan selagi bayi dalam kandungan dan tidak dapat dipulihkan. Yang terbaik bagi semua pihak ialah menempatkan anak itu di panti.

Gene tersiksa oleh rasa bersalah dan kebingungan. Bukankah ia selalu berusaha untuk menjadi orang baik-baik? Bukankah ia selalu menuruti yang diminta orang? Apa gerangan yang telah diperbuatnya hingga bencana ini menimpa dirinya beserta orang-orang yang dikasihinya? Ia bertahan selama mungkin. Namun usianya baru dua puluh empat tahun dan setelah segala yang terjadi ia merasa amat tertekan. Daria pun ditempatkan di panti, di mana ia tinggal sepanjang sisa hidupnya dengan akal bayi berusia sembilan belas bulan.

Bertahun-tahun kemudian pada suatu Minggu yang tenang, di sebuah pesta tenis di LA, kebetulan Gene didekati seorang penggemar. Gadis ini mantan marinir. Ia bilang pernah bertemu Gene pada pertunjukan di Kantin Hollywood semasa perang. “Apa malam itu Anda kebetulan ketularan rubela?” tanya si gadis. Gene mengiyakan, karena memang demikian. Gadis itu tertawa dan katanya waktu itu seluruh barak kena rubela, namun ia kabur dari karantina, untuk menyelinap dan berjumpa bintang favoritnya.

Orang lain mestilah sudah berteriak-teriak, atau meninju gadis itu. Tetapi Gene, yang telah dididik supaya menjadi peramah, cuma tersenyum dan berlalu.

Aku merasa setelah kejadian itu film-filmnya menjadi semacam pelarian baginya. Bukan karena kerjanya, bukan pula naskahnya, melainkan filmnya itu sendiri. Seiring dengan bertambahnya pengkhianatan, seiring dengan kelahiran anak mereka melampaui gabungan tekanan yang diberikan orang tua beserta studionya hingga pernikahannya dengan Cassini lambat laun runtuh, aku merasa bahwa film-filmnya menjadi persembunyiannya, tempat ia dapat melenyapkan diri. Sebagai contoh, ambillah film The Ghost and Mrs Muir, di mana ia memerankan janda yang terpikat oleh hantu gentayangan di bungalo tempatnya baru pindah. Si hantu, diperankan oleh Rex Harrison, pertama kali terlihat olehnya dalam bentuk potret di ruang tamu—yang tampaknya kebalikan disengaja dari adegan di Laura, ketika si polisi jatuh cinta pada lukisan Gene, yang telah dibunuh. Orang jatuh cinta pada hantu, orang jatuh cinta pada lukisan, film-filmnya diam-diam semakin menunjukkan adanya kecenderungan ini: kecenderungan dalam film-film itu untuk menyediakan ruang bagi dirinya, semacam celah—seolah-olah, walaupun film-film tersebut bukanlah miliknya, ia diam-diam telah mengadakan perjanjian agar dapat melarikan diri ke dalamnya dan menjauh dari kehidupan, tak tersentuh, sebagai sebuah citra; seakan-akan di situlah akhirnya ia menemukan ranahnya yang sejati—yang ilusif, berbayang, berantara—

“Charlie, ngebosenin amat sih filmnya.”

—meskipun orang lain tidak mengerti—

“Yeah, Charlie, lagian udah waktunya Hollyoaks[1] nih.”

“Charlie, bisa enggak kita nonton Hollyoaks dulu baru kamu nonton sisanya nanti?”

“Charlie, kamu dengar kita kan, kok diam aja sih? Charlie?”

“Bah—soalnya aku tahu sehabis Hollyoaks kalian bakal pengin menonton Streetmate, terus Robot Wars, terus Dawson’s Creek yang sungguh terlalu itu ….”

“Aku enggak nonton Dawson’s Creek kok, Charlie.”

“Hei, semalam kalian jelas-jelas meniru adegan di situ. Keparat, bisa enggak sih kalian duduk saja yang manis barang setengah jam baru setelah itu aku bisa sungguh-sungguh berbahagia—“

“Aku mau sih ngentot sama itu cewek, kamu gimana, Frankie? Charlie, kamu mau—“

“Dengar ya, bajingan,” seraya bangkit dengan berang dan memegang gulungan panduan acara televisi seakan-akan mau mengusir gerombolan anjing jalanan berkudis, “bisa enggak sih kalian berhenti menggangguku sebentar saja lagi sehabis itu sumpah deh aku bakal mengembalikan televisi berengsekmu!”

“Oke, oke … demi jancuk ….” Mereka berdua pun menyelinap ke dapur, cuma untuk bertingkah lagi sebentar kemudian:

“Kampret, Droyd, coba lu tadi nyimeng.”

“Kutu kupret, Frankie, mana Rizla[2] gue?”

Lima menit kemudian:

“Frankie?”

“Yeah?”

“Lu pernah enggak merhatiin bayangan lu di sendok gitu, terus lu pikir, ‘Ah jancuk, gue jadi jungkir balik’?”

“Ya iyalah.”

“Nyeremin ya?”

Film mana pun tidak setiap saat dapat menyekati orang dari keadaan di sekitarnya, dan malam ini kesabaranku sudah habis. Aku nyaris kehilangan kendali. Seperti yang kerasukan aku bangkit dari sofa menuju dapur, dan boleh jadi ada kejadian buruk sekiranya aku tidak teralihkan oleh telepon.

“Ya, apa? Oh ….”

Yang menelepon Gemma Coffey dari Sirius Recruitment. Ia menelepon untuk menawariku pekerjaan.

Sejenak aku merasa lumpuh. Mungkinkah ini sungguh nyata? Tiba-tiba begini? Apakah akhirnya telah tiba saatnya giliranku untuk maju, untuk memainkan perananku di—

“Charles?” ucapnya.

“Hadir,” sahutku redam.

“Jadi, kamu bisa?”

Aku meyakinkan dia bahwa aku sanggup. Aku menambahkan betapa berterima kasih diriku padanya karena mengingat diriku dari sekian banyak orang yang mendatanginya, dan bahwa aku ingin ia tahu aku yakin akan pekerjaan ini, apa pun itu, dan akan bekerja sebaik-baiknya demi membantu mewujudkan mimpi tersebut—

Ia bilang Bagus, namun itu semua tidaklah begitu penting bagi pekerjaan satu ini. “Ini cuma pekerjaan sementara, dan tidak sebegitu glamor seperti yang kita bicarakan dulu. Pada dasarnya ini kerja pabrikan. Tidak apa-apa kan, Charles?”

“Bukan pabrik stoples, kan?” kataku, mengingat hadirnya kejutan ironis yang mesti kuterima dengan tabah dalam hidupku ini.

Gemma bilang itu bukan pabrik stoples, melainkan pabrik roti di Cherry Orchard. Kukatakan bahwa kalau begitu, aku tidak ada masalah, dan bahwa aku benar-benar gembira dapat bekerja sama dengan Sirius Recruitment. Kedengarannya Gemma senang, walau ia menyatakan bahwa secara teknis aku akan dipekerjakan bukan oleh Sirius Recruitment melainkan anak perusahaannya, Pobolny Arbitwo Recruitment. “Tetapi itu tidak penting,” kata Gemma. “Yang penting yaitu saya tidak akan melupakanmu di luar sana, Charles. Datanglah pada saya dan saya akan mendapatkan yang khusus untukmu.”

Kukatakan ia dapat memercayaiku. Katanya ia tahu itu. Ia menanyakan kalau-kalau ada kemungkinan aku bisa berbicara dalam bahasa Latvia. Aku bilang tidak. Katanya itu bukan masalah. Ia memberiku alamat, jalur bis ke sana, dan nama untukku melaporkan diri—Bapak Appleseed—lalu kami saling mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan.

Padahal baru sesaat lalu aku hampir menggantung asa! Kini, seakan-akan ada yang telah melambaikan tongkat ajaib, masalahku pun raib. Kini aku telah terangkat dari kelesuan dan layarku pun kembali terkembang oleh angin.

Aku lupa hendak berkelahi dengan Frank dan Droyd. Alih-alih, aku berdiri di ruang tamu, seraya mengusap-usap dagu dan tersenyum sendiri sementara kabar baik itu meresapi kalbuku. Wah wah wah, batinku, berhasil juga cara begini. Mata Gene pun mengedip padaku dari seberang ruangan tempatnya menunggu, dijeda selagi memberengut, bersama si hantu. 

Pagi berikutnya, selagi masih gelap aku berangkat untuk hari kerja pertamaku. Aku pergi dengan bis penuh pria-pria bermuka masam yang menatap dengan cela celana jengkiku yang biru bersih—pemberian bibi perawan tua kejam dari keluarga Bunda—ke Cherry Orchard, kawasan kumuh lagi suram menyerupai antah-berantah yang tidak begitu buruk sih. Awalnya kupikir kelakar saja nama kawasan industri ini sama dengan yang ada di drama Chekhov favorit Bel. Namun, seiring dengan semakin banyaknya yang kuketahui mengenai pekerjaanku, segera rasanya tidak lucu lagi.

Sewaktu Gemma memberitahuku bahwa aku akan bekerja di pabrik roti, aku mengira ia selip lidah. Semua orang juga tahu roti itu bukan dibikin di pabrik melainkan di toko roti, oleh pria-pria berpipi merah mengenakan topi tinggi. Namun aku langsung menyadari bahwa akulah yang salah, karena tidak termungkiri lagi pabrik roti memang ada. Di mana-mana terlihat orang membanting tulang bak manusia katai dibayangi kuasa alat-alat pemotong dan pengiris, atau berdiri di tangga, seperti dalam lukisan Hieronymus Bosch[3] apabila menggambarkan dunia industri, sambil mengaduk isi bejana raksasa yang berasap menggunakan serok kebesaran. Mesin-mesin berdentang dan mengerang. Udara bergolak dengan tepung yang bercampur keringat membentuk lapisan lengket pada kulit dan berkumpul di seputar lekuk mata menjadi bulan sabit yang beronak. Dari oven-oven yang tidak terlihat, panas bergulung menggelombang tak henti-henti, menjadikan lantai serupa tungku.

Aku bekerja di Zona Pengolahan B, sebagai tukang meluruskan roti di Divisi Batang Pohon[4]. Kue Batang Pohon itu hidangan Natal lezat dari marsepen dengan umur simpan setara plutonium. Orang-orang Eropa di luar Kepulauan Inggris menyukai kue itu, atau begitulah katanya. Ada lima orang yang bekerja di ruangan itu, tidak termasuk Pak Appleseed, dan kecuali dampratan Pak Appleseed tidak seorang pun doyan berkata-kata. Kami memburuh tanpa suara bak Golem-golem yang tersaput oleh tepung, serupa mesin melakoni gerakan yang itu melulu terus-terusan. Lakonku memantau Batang-batang Pohon itu saat keluar dari oven melewati lubang pada dinding, menyingkirkan yang cacat lalu memastikan tiap-tiap bungkal roti terpasang dengan benar di ban berjalan, tegak lurus dengan bingkainya, selagi memasuki mesin pemberi lapisan gula. Pak Applessed sudah memperingati akan malapetaka yang timbul bila bungkal roti memasuki mesin pemberi lapisan gula dalam posisi selain tegak lurus, dan Pak Appleseed bukanlah orang yang ingin kau papasi di jalan.

Karena orang takut bercakap-cakap di Zona Pengolahan B, baru setelah beberapa hari aku mengetahui sebabnya Gemma menanyakan kemampuanku berbahasa Latvia—ternyata, selain aku dan Pak Appleseed, segenap Divisi Batang Pohon berasal dari Liepaja, dikumpulkan saat Pobolny Arbitwo, anak perusahaan Sirius, mengadakan bursa kerja di sana beberapa bulan lalu. Pemufakatan antara kedua pihak itu bagiku terdengar janggal, namun orang-orang Latvia tersebut bilang bahwa banyak sanak saudara mereka datang ke Irlandia demi menggali kentang atau membersihkan kolam renang hotel, sembari menjelaskan bahwa upah mengibakan yang diperoleh di sini nilainya berkali-kali lipat ketika dikirimkan ke Latvia, maka dengan demikian dari kesepakatan itu sesungguhnya merekalah yang menang. Tentu saja mereka kangen rumah, kata mereka. Istri-istri mereka menulis surat tentang betapa anehnya keadaan di Liepaja, kota yang teramat dirindukan itu, karena tinggal sedikit pria yang dapat dijumpai. Namun uang yang diperoleh dari Mr Dough cukup untuk menafkahi orang-orang yang mereka kasihi tersebut, bahkan ditabung sedikit untuk masa depan. Selain itu, dengan biaya murah, Pobolny Arbitwo menyewakan mereka akomodasi model barak berikut oven mikrogelombang dan ranjang bertingkat yang nyaman.

“Dan kalian enggak keberatan? Kalian enggak jengkel karena jenuh, atau panas yang enggak keruan ini?” Kami sedang berada di kantin, ruangan sempit lagi sesak dengan sebuah meja, mesin penjual otomatis, serta dinding bercat hijau empedu supaya orang sungkan berlama-lama di situ.

“Bukan panas bandingannya dengan tempat lain,” Bobo, yang menjalankan mesin pengantongan, berkata tenang. “Misalnya saja, musim panas lalu kami bekerja di pabrik marmelade di Aachen. Sangat panas sekali. Banyak tawonnya.” Ucapannya membangkitkan gumam-gumam menyetujui yang terdengar penuh sesal dari orang-orang di sekeliling meja. “Kami beruntung, ada di Mr Dough sini,” imbuh Bobo.

“Huh,” sahutku. Terus terang entahkah aku bakal menyebut diriku beruntung bila diseret separuh keliling bumi demi menghabiskan sepanjang hari mengolah kue-kue Batang Pohon. Meski begitu, dibandingkan dengan pembuatan boks, pengepakan, ataupun pengaturan palet, kuduga tugasku di Pelurusan relatif mudah. Seringnya, batang-batang kue itu sudah pada baik penampakannya, dan perubahan yang kulakukan kurang lebih tinggal mempercantik—walau tiap sekitar setengah jam, ada saja yang nekat, menyusup ke ban berjalan dengan posisi miring membahayakan. Ketika itulah aku menukik, dengan cekatan memutarnya sedikit ke kiri atau kanan tergantung pada keadaannya, lalu mengirim batang kue tersebut dengan aman melalui jalurnya ke mesin pemberi lapisan gula. Bencana pun tertangkal.

Selebihnya aku cuma mengawasi ratusan batang kue yang serupa berlalu, ratusan demi ratusan batang kue yang serupa …. Aku sangat risau kali pertama mulai berhalusinasi. Namun orang-orang Latvia itu memberitahuku bahwa keadaan tersebut lazim saat mengawasi ban berjalan, dan bukan untuk ditakuti melainkan dinikmati. Segera saja sebagian besar hari menjadi ekskursi menyenangkan dalam ilusi, memetiki apel berwarna-warni dari kebun Mbah Thompson, mengolahragakan anjing khayalanku di pekarangan, menyesap gimlet bersama Mirela sambil melihat pemandangan di luar Folly nirmala, sementara ia membelai-belai pipiku dan mencumbu ….



[1] Sinetron di Inggris sejak 1995
[2] Merek kertas untuk melinting tembakau atau ganja (rokok)
[3] Pelukis Belanda (1450 – 1516), karyanya terkenal akan gambaran fantastis, mendetail, dan religius
[4] Yule log, kue yang dibuat menyerupai gelondongan kayu

Tidak ada komentar: