Aku
menganggap perjumpaanku dengan Hoyland jelas merupakan peringatan dari
dewa-dewa, sehingga hari itu aku tidak mencoba agen pencari kerja lain. Hujan
mencurah dan begitu sampai kembali di Bonetown suasana hatiku kacau-balau.
Makin parah lagi sejak dari halte bis aku mesti berurusan dengan pemuda
setempat, yang tampaknya sedang pada mengamuk. Langit menyala oleh ledakan.
Jalan dipenuhi bocah-bocah nakal yang saling meneriaki sambil menyeret kayu,
ban mobil, dan sasaran mudah terbakar lain ke onggokan di depan blok flat.
“Halloween,” Droyd menerangkan, saat aku menyampaikan ini.
“Halloween masih berminggu-minggu lagi,” tukasku masam,
seraya melepas syal sementara di luar rentetan rintih dan gerit logam disusul
sorak-sorai serta suara tubrukan yang kedengarannya akan makan biaya besar. “Mereka
enggak bakal begini terus semalaman, kan? Maksudku sepertinya sebagian dari bocah-bocah itu punya
orang tua, yang mungkin nantinya mulai bertanya-tanya—“
"Ah yeah," ucap Droyd riang, seraya memandangi kerusuhan di bawah. "Biasanya ada sedikit hura-hura di sekitar sini waktu Halloween, benar kan, Frankie?"
“Ah yeah,” Frank menyetujui dengan murung.
“Ah yeah,” Frank menyetujui dengan murung.
“Lihat tuh, ada kucing,” kata Droyd.
“Enggak apa-apa sih ada hura-hura,” ujarku. “Aku juga
menyukai hura-hura. Tetapi itu enggak meredakan kegelisahanku, dan kepalaku
sakitnya sudah serasa mau pecah nih—hei, mungkin enggak para penjual heroin itu
punya Anadin, parasetamol, atau apa pun lah semacamnya?”
“Sepertinya mereka cuma bawa heroin, Charlie.”
“Eh, Frankie, ingat enggak waktu ada mobil damkar ke sini
terus kita semua ngelempar batu ke mereka terus ada nih satu kontol yang aku
pukul pakai papan, ingat enggak?”
“Yeah.”
“Kamu menyerang petugas damkar?” tanyaku sangsi.
“Kami cuma pengin senang-senang.” Sekilas wajah Droyd
bersilang oleh warna perak kemudian merah muda saat ada sepasang roket
membubung. “Emangnya itu berlebihan? Kalau aja mereka ngebiarin kita
senang-senang setahun sekali aja enggak bakal ada yang luka, kan?”
“Senang-senang,” ulangku sinis. “Di luar kelihatannya sudah
seperti di Bosnia saja.” Senyampang mengucapkan itu serta-merta aku merasakan ngilunya kangen
pada Mbok P di rumah beserta bercangkir-cangkir kakao
yang dibuatkannya demi seseorang pada musim hujan seperti ini ….
“Bakal ada damkar lagi enggak ya tahun ini,” kata Droyd,
sembari mengusap-usap kedua belah tangannya.
Diiringi desahan berat, Frank bangkit, menuju kulkas,
mengeluarkan pak berisi enam kaleng Hobson’s Choice lalu meninggalkan ruangan.
“Dia kenapa sih?” tanyaku.
“Itu cewek ke sini tadi,” Droyd mencela.
“Cewek apaan?”
“Cewek yang enggak ada pentilnya,” urai Droyd. “Adik kamu.”
“Dia ke sini tadi? Huh, sialan, kenapa Frank enggak—hei!” Aku
menyerbu ke ruang tamu tepat ketika Frank lenyap ke kamar mandi dan mengunci
pintu. Aku pun maju lalu memukuli pintu dengan dongkol. “Hei!”
“Ada orangnya,” terdengar suara pelan dari dalam.
“Kamu enggak bilang-bilang tadi Bel kemari.”
“Oh yeah,” ujar suara itu, disertai hawa muram. “Betul, tadi
dia nanya kalau-kalau kamu mau nelepon dia.”
“Kenapa kamu enggak bilang padaku dari tadi? Buat apa ia kemari?”
“Eh … enggak tahu,” suara itu menyahut lunak. “Cuma ninggalin
barang yang kupinjemin buat sandiwara. Oh yeah, terus dia pengin mastiin aku
sadar kami udah putus.”
“Dia … oh.” Pantas saja belakangan ini Frank terlihat rada
pendiam.
“Udah aku duga. Tapi dia baik sih udah bilang gitu, jadi aku
ngerti posisiku, gitu.”
“Ah,” sahutku. Beberapa saat berlalu. Agak tak berdaya aku
menatap lapisan putih pada pintu yang menyerpih. “Terus kamu enggak ... itu, kamu
enggak ….”
“Aku, Charlie? Ah, enggak. Baik-baik aja kok.” Kudengar suara
kaleng dibuka di balik pintu, diikuti degukan khas. Karena enggan mendesaknya
terus, aku pun diam-diam pergi.
Bel menerima telepon dengan heboh sehingga aku yakin ada yang
terjadi, dan saat ia bilang dirinya sangat gembira karena aku akhirnya
menelepon aku langsung khawatir. “Kamu yakin kamu baik-baik saja?” tanyaku.
“Kepalamu enggak luka atau kenapa-kenapa, kan?”
“Enggaklah, aku tuh ingin mengobrol dengan kamu, itu saja kok.
Oh Charles, ada kabar bagus, aku sudah enggak sabar menceritakan ini padamu—“
“Oh?” Aku telah belajar supaya waspada kapan pun Bel
mengumumkan ada kabar bagus.
“Iya, soal Harry. Kamu ingat Harry, kan?”
“Tentu. Bagaimana mungkin aku melupakan si Harry?
Mudah-mudahan belum jatuh ke jurang, ya, atau disambar rajawali—“
“Jangan konyol deh, enggak, dia—“ Bel menarik napas
dalam-dalam, “dia memberiku peran utama di sandiwara barunya.”
“Begitu ya? Wah, wah. Selamat ya.”
“Aku baru tahu semalam, menakjubkan ya?”
“Pastinya,” kataku, walau aku tidak yakin keputusan tersebut
memang layak mendapatkan sambutan heboh, sebagaimana yang kini merembes dari
ujung saluran telepon. “Lo bukannya di sandiwara kemarin kamu mendapat peran
utama juga?”
“Itu mah beda, itu peran borongan. Ini—maksudku ternyata
Harry sudah lama sekali mengerjakan ini, tetapi semalam kami mengobrol seru
lalu ia memberitahuku ia baru saja menyadari bahwa ia menulisnya untuk diriku, seolah-olah sandiwara
tersebut hampir-hampir tentang diriku dan ia baru saja
menyadari—“
“Wah, hebat,” kataku, berusaha supaya agak turut bersemangat.
“Lalu bagaimana si Mirela, apa ia bakal main di sandiwara ini juga?”
“Oh, Mirela,” tukas Bel tak sabar. “Jangan mengomongkan
Mirela deh.”
“Tetapi ia bakal main di situ kan?” aku berkukuh penuh harap.
“Iya, tetapi bukan itu intinya,
intinya aku mau menceritakan padamu tentang obrolan seru dengan Harry semalam
….” Di luar rentetan petasan menyembur berisik dan entah dari mana terdengar
kaca jendela bergerincing ke tanah. Aku pun duduk. “Lanjut deh,” ujarku malas.
“Kamu tahu kan semalam hari terakhir pementasan sandiwara
kami—lalu kami mengadakan pesta perpisahan di teater kota, tetapi aku enggak
benar-benar menikmatinya, karena sedih saja rasanya, mengerti kan, ini akhir
sandiwara pertama kami dan proyek pertama yang kami lakukan bersama. Aku mengatakannya
pada Harry dan katanya aneh sebab ia juga merasakan hal yang sama, jadi katanya
kenapa kita enggak minggat saja? Kami pun minggat. Ia tahu caranya memanjat ke
atap gedup dari pintu darurat. Menyenangkan sekali, Charles, di situ kamu bisa
melihat hamparan kota, sangat tenteram, semua bintang terlihat, dan aku pun menyadari bahwa akan terjadi sesuatu ….”
“Sesuatu macam apa?” aku menyela waspada.
“Yah saat itulah kami mengobrol seru.”
“Oh,” sahutku.
“Rasanya benar-benar …” ucapnya seperti melamun, “rasanya
begitu … pernahkah kamu merasa begitu terhubung dengan orang lain ketika
mengobrol sehingga kamu enggak yakin lagi mana di antara kalian yang sedang
bicara, sebab saat orang itu berkata-kata seolah-olah ia sedang mengutarakan
segala pikiranmu yang enggak pernah sanggup kamu nyatakan? Ia memberitahuku berbagai hal seperti ini—misalnya saja tentang drama The Cherry Orchard yang kapan itu aku enggak mendapat perannya,
Harry menyinggung caranya Stanislavski[1]
kamu enggak bisa melakonkan Chekhov kamu harus menjiwai dia, jadi selama tiga
tahun ini di Amaurot pada dasarnya aku telah menjiwai Chekhov cuma aku enggak
menyadarinya, dan aku malah berusaha untuk menjadi orang lain padahal aku sudah
persis menyerupai lakon yang mereka cari—ya Tuhan, dia begitu cepat tanggap,
rasanya seperti—seperti mendengar hatiku
sendiri yang bicara dan menyampaikan secara persis isi benaknya, dan kamu tahu
rasanya aneh saja sebab aku dan dia sudah saling kenal bertahun-tahun, dan baru
sekarang mendadak kami menyadari kami begitu mirip, bahkan sampai ke yang remeh-temeh seperti kami tuh sama-sama
menyukai Doris Day[2], Mozart,
dan Hart Crane[3], dan
suara angin berembus lewat menara SUTET yang kedengarannya seperti nyanyian ….”
Ia terdiam lalu mengulang kepada dirinya sendiri, seakan-akan tidak percaya, “Ya Tuhan.”
“Bukan berarti sekarang hatimu sudah adem ayem ya,” aku
merasa terdesak mengatakannya.
“Iya, tetapi Charles kamu tahu kan seperti apa keadaannya
sejak lulus kuliah,” ujarnya, “terjebak di rumah, merasa seperti diriku ini
enggak hidup, bahkan, seperti aku ini
berada di kawasan kecil lagi terpencil yang bersanding dengan kehidupan,
semacam bersisian jalan dengan kehidupan, namun bukan kehidupan yang
sebetul-betulnya—dan sekarang mendadak dalam sekejap segalanya benar-benar terbuka maksudku ini mengasyikkan sekali, menurutmu ini
mengasyikkan, kan?”
“Frank bagaimana?”
“Apa?” tukas Bel nyaris menyembur. “Maksudmu apa, Frank
bagaimana?”
Aku ragu. Aku tidak tahu yang kumaksudkan. Pertanyaan itu
terlontar begitu saja.
“Sejak kapan kamu peduli pada Frank?” ujar Bel.
Mendadak aku merasa kebingungan. “Enggak tahu,” kataku.
“Agaknya sembrono memperlakukan orang seperti itu, itu saja.”
Bel mengerang. “Charles, kamu bukan mau mulai, kan?”
“Aku bukan mau mulai apa-apa,” kataku. “Tetapi aku ingat
agaknya beberapa minggu lalu kamu bersiap-siap buat tinggal bareng dia. Selain itu, kamu bahkan enggak
menyukai Doris Day.”
“Apa?”
“Doris Day, seingatku kapan pun ada ‘Que Sera Sera’ di radio
kamu berlagak mau muntah, dan tahun lalu sewaktu aku menonton Pillow Talk kamu bilang ia terlihat
seperti boneka seks Arya—“
“Yah, terus kenapa? Apa hubungannya itu dengan yang
lain-lain?”
“Iya, tetapi Mozart juga, samar-samar aku ingat kamu bilang
padaku orang yang menyukai Mozart mestilah diciptakan untuk menaiki elevator
sepanjang hidup mereka. Juga menara-menara SUTET horor itu, malah segala hal
yang katamu sama dengan dirinya—“
“Orang berubah,
kan?” tukasnya. “Kenapa sih kamu ini? Kamu enggak bisa ya sekali saja bergembira
demi aku, bukannya mencari-cari kesalahan? Maksudku, berbulan-bulan lalu kamu
cuma mengeluhkan Frank, dan aku tahu
kamu mulai ada cinta monyet pada Mirela. Jadi bukankah ini yang kamu inginkan?
Maksudku, apa sih memangnya yang kamu inginkan?”
Sekali lagi aku terkelu. Secercah kembang api
menyelamatkanku. Letusannya tepat di sebelah luar jendela, merahnya yang
jahanam terlontar hingga ke dinding kamar. Baru beberapa detik kemudian
gemuruhnya reda. “Ada apa sih di
sana?” suara Bel mendedas dari jauh. “Kedengarannya seperti orang-orang kampung
itu pada ribut-ribut mau menyerang.”
“Serangannya sudah tadi,” sahutku muram. “Sekarang mereka
lagi ada pesta perpisahan.”
Ia tertawa. “Kasihan Charles ini,” katanya. “Sudah begitu di
sini aku meneriakimu pula. Tahu enggak aku tuh berjanji pada diriku sendiri aku
enggak bakal meneriakimu kali ini. Aku bahkan belum menanyakan kabarmu.
Bagaimana kabarmu?”
“Yah—“ aku memulai.
“Charles,” suaranya memotongku, “maaf menyela, tetapi aku ada
pertemuan nih jadi sebelum lupa alasanku ingin mengobrol dengan dirimu—aku
ingin memberitahumu bahwa aku tahu segalanya akan berhasil, bagi kita berdua.
Maksudku segala yang tengah kulalui ini telah menyadarkanku, bahwa ada beberapa
hal yang benar-benar berubah, dan … dan ketika segalanya terasa bertentangan
dengan dirimu, justru saat itulah akan ada yang muncul tanpa terduga-duga dan
tahu-tahu keadaannya akan jadi berbeda. Aku hanya ingin kamu mengetahuinya.”
“Terima kasih,” sahutku kaku.
“Selain itu, maukah kamu memberi tahu Frank kami butuh kursi
roda untuk pertunjukan, kalau-kalau kebetulan ia punya?”
“Baiklah.”
“Aku mesti pergi nih. Ingat-ingat perkataanku ya.”
Aku kembali ke ruang tamu larut dalam pikiran. Frank sudah
keluar dari kamar mandi, dan sunyi menonton televisi bersama Droyd. Di jalan,
kembang api terus meletus bak artileri musuh. Frank dan Droyd yang berimpitan
disinari cahaya yang berpindah-pindah terlihat menyerupai prajurit terjebak di
lubang perlindungan. “Bel pengin kursi roda,” kataku.
“Oke,” sahut Frank, tanpa mengedarkan pandang.
Aku duduk di sofa. Aku merasa seolah-olah sedang melalui
topan. Aku tidak biasa mendengar Bel begitu gembira.
Aku jadi gelisah. Rasanya serupa mobil yang berjalan dengan gigi yang
sesungguhnya tidak ada padanya. Aku penasaran dengan yang telah dikatakan
makhluk tercela itu pada Bel di atas atap.
“—tentara menyatakan bahwa ini hanyalah satu di antara
banyaknya situs serupa yang tersebar di kawasan itu,” ujar televisi,
menunjukkan seorang prajurit sedang menyepak permukaan tanah untuk menunjukkan
benda yang terlihat seperti tumpukan kain compang-camping.
Meski begitu, Bel benar mengenai satu hal. Berbulan-bulan aku
berdoa supaya Frank mundur dari Bel. Tidak ada yang lebih kuinginkan daripada
lepasnya Bel dari Frank, beserta van putihnya yang berkarat dan tata bahasanya
yang cacat. Sekarang ketika saatnya tiba, tentu semestinya aku bersorak kegirangan
atau sedikitnya meresapi kesudahan dan fananya segala
hal. Namun sementara duduk di sofa tak berbentuk, seraya menanti gelora
kemenangan meliputiku, yang ada gerangan
hanyalah perasaan hampa nan mengusik.
Ini tidak masuk akal! Bukankah selama ini aku telah menaruh
perhatian? Apakah hidupku sudah benar-benar ruwet hingga tidak lagi memiliki
pengertian paling mendasar mengenai benar dan salah? Ya ampun, sekarang ketika
satu keberhasilan kecil telah menampakkkan diri, akankah jiwaku ini mencampuri dan mengubahnya menjadi kekalahan?
“Astaga,” aku keceplosan.
“Kenapa, Charlie?”
“Enggak, enggak apa-apa, cuma rada nyeri,” sambil
menepuk-nepuk perban kepalaku. Frank kembali pada televisi sementara aku
menghadapi tanda-tanda yang kian menunjukkan adanya pemberontakan batin.
Aku berusaha melawannya. Aku merujuk pada kenyataan. Aku mengingat momen menjijikkan ia raba-rabaan dengan Bel. Aku mengingat betapa ia telah meledakkan Follyku. Aku memandang kerubin bertampang sayu, hiasan-hiasan taman nan kesepian, lemari tinggi berlaci yang putus asa, semua-muanya barang yang dirampas dari rumah orang. Lewat ekor mata, aku menimbang Frank itu sendiri, yang tengah menatap televisi, dengan kaleng Hobson's Choice bertopang pada perutnya yang tersingkap bergerak-gerak, diiringi getaran membahayakan, naik turun perlahan. Tetap saja rasanya sama. Perasaan hampa itu menolak enyah.
Aku berusaha melawannya. Aku merujuk pada kenyataan. Aku mengingat momen menjijikkan ia raba-rabaan dengan Bel. Aku mengingat betapa ia telah meledakkan Follyku. Aku memandang kerubin bertampang sayu, hiasan-hiasan taman nan kesepian, lemari tinggi berlaci yang putus asa, semua-muanya barang yang dirampas dari rumah orang. Lewat ekor mata, aku menimbang Frank itu sendiri, yang tengah menatap televisi, dengan kaleng Hobson's Choice bertopang pada perutnya yang tersingkap bergerak-gerak, diiringi getaran membahayakan, naik turun perlahan. Tetap saja rasanya sama. Perasaan hampa itu menolak enyah.
[1] Menurut praktisi teater Rusia,
Konstantin Stanislavski (1863 – 1938), pelatihan aktor tidak hanya meliputi
fisik dan vokal, tetapi juga pengalaman
[2] Aktris dan penyanyi Amerika
Serikat yang juga aktivis hak hewan, l. 1922/1924
[3] Penyair Amerika Serikat (1899 –
1932)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar