Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170706

Memahami Bacaan: Teks No.1 (Alejandro Zambra, 2015)


Setelah begitu banyaknya bimbingan belajar, uji latihan, serta uji prestasi dan kecakapan, pastinya ada sesuatu yang kami pelajari. Tapi kami nyaris langsung melupakan semuanya, dan, khawatirnya, untuk selama-lamanya. Hal yang kami pelajari secara sempurna—hal yang akan kami ingat sepanjang sisa umur kami—adalah cara menyontek sewaktu ujian. Demikian kusampaikan penghormatan pada lembar sontekan. Semua materi ujian disalin menjadi tulisan kecil-kecil yang bisa dibaca seukuran karcis bis. Tapi kecakapan yang mengagumkan itu manfaatnya kecil sekali kalau tidak dibarengi dengan keberanian dan keterampilan yang terutama saat momennya tiba, yaitu saat guru lengah dan sepuluh sampai dua puluh detik yang berharga pun dimulai.

Di sekolah kami khususnya, yang secara teori merupakan sekolah paling ketat di Cile, ternyata menyontek itu agak mudah. Ujiannya sering berbentuk pilihan ganda. Masih bertahun-tahun lagi hingga kami menempuh Tes Potensi Akademik dan melamar ke perguruan tinggi, tapi guru-guru kami ingin segera mengakrabkan kami dengan soal-soal pilihan ganda. Meski mereka merancang soal sampai empat versi pada setiap ujian, kami selalu punya cara untuk mendapatkan informasi. Kami tidak perlu menulis apa-apa, memiliki pendapat, ataupun mengembangkan gagasan sendiri. Yang perlu kami lakukan tinggal mengikuti permainan dan memutar akal. Tentu kami belajar. Kadang kami belajar giat sekali. Tapi itu tidak pernah cukup. Kukira caranya adalah dengan merendahkan moral kami. Bahkan kalaupun kami tidak berbuat apa-apa selain belajar, kami tahu bahwa akan selalu ada dua-tiga soal yang sulit dipecahkan. Kami tidak mengeluh. Kami tahu maksudnya: menyontek itu bagian dari kesepakatan.

Kupikir, berkat menyontek, kami mampu mengesampingkan sebagian individualisme kami dan menjadi satu himpunan. Sedih rasanya mengatakan ini, tapi menyontek itu membentuk solidaritas di antara kami. Kadang kami merasa bersalah, merasa bahwa kami ini penipu—apalagi saat kami membayangkan masa depan—tapi penyangkalan dan kemalasan kamilah yang menang.



Kami tidak wajib mengikuti pelajaran agama—nilainya tidak memengaruhi nilai rata-rata kami—tapi menyingkirkannya dari jadwal akan memakan proses birokrasi yang panjang. Lagi pula pelajarannya Pak Segovia benar-benar asyik. Ia terus saja berbicara sendiri tak henti-henti tentang persoalan apa pun selain agama. Topik kesukaannya yaitu seks, dan guru-guru di sekolah kami yang ingin diajaknya begituan. Pada setiap pertemuan kami bergiliran membuat pengakuan singkat. Masing-masing harus mengungkap sebuah dosa, dan setelah mendengarkan keempat puluh lima pengakuan itu—yang berkisar dari Aku mencatut uang kembalian sampai Aku ingin mencaplok tetek tetanggaku dan Aku bermasturbasi sewaktu liburan, selalu yang itu-itu saja—guru kami akan mengatakan bahwa tidak ada dosa kami yang tidak diampuni.

Kukira Cordero lah yang pada suatu hari mengaku bahwa ia telah menyontek saat pelajaran matematika, dan karena Segovia tidak bereaksi, kami semua ikut-ikutan: Aku menyontek sewaktu ulangan bahasa Spanyol, sewaktu ulangan IPA, sewaktu ulangan olah raga (gelak tawa), dan seterusnya. Sambil menahan senyum, Segovia berkata bahwa ia memaafkan kami, tapi kami harus memastikan bahwa kami tidak ketahuan, sebab itu akan sangat tidak termaafkan. Meski begitu, mendadak ia jadi serius. “Kalau kalian semua sudah curang pada usia dua belas,” katanya, “pada usia empat puluh kalian akan menjadi lebih jahat daripada si kembar Covarrubias.”

Kami bertanya siapa itu si kembar Covarrubias dan ia tampak seolah akan menceritakannya pada kami, tapi tidak jadi. Kami mendesaknya, tapi ia tidak mau menjelaskan. Setelahnya, kami menanyai guru-guru lainnya dan bahkan guru BK, tapi tidak seorang pun mau menceritakannya. Alasannya macam-macam: itu rahasia, topik yang sensitif, bisa jadi akan merusak reputasi sekolah yang tanpa cela. Bagaimanapun juga, kami segera melupakan soal itu.

Lima tahun kemudian kami sudah menjadi siswa senior. Saat itu tahun 1993. Suatu hari, ketika aku, Cordero, Parraguez, dan Carlos kecil membolos, kami berpapasan dengan Pak Segovia yang sedang keluar dari kamar bola Tarapacá. Ia sudah bukan guru lagi. Sekarang ia kondektur Metro. Hari itu ia libur. Ia menraktir kami Coca Cola,  dan memesan seseloki pisco untuk dirinya sendiri, meski saat itu masih terlalu pagi untuk minum-minum. Pada waktu itulah akhirnya ia menceritakan pada kami tentang si kembar Covarrubias.



Tradisi keluarga Covarrubias menentukan bahwa anak laki-laki pertama yang lahir harus diberi nama Luis Antonio. Tapi ketika Covarrubias senior mengetahui bahwa anaknya kembar, ia memutuskan untuk membagi nama itu di antara keduanya. Selama tahun-tahun pertama kehidupan mereka, Luis dan Antonio menikmati—atau menderita akibat—perlakuan setara secara berlebihan yang cenderung diberikan orang tua pada anak kembar: mulai dari potongan rambut, pakaian, sampai kelas yang sama di sekolah yang sama.

Ketika si kembar berusia sepuluh tahun, Covarrubias senior memasang sekat di kamar mereka. Dengan rapi ia menggergaji ranjang tua bertingkat di kamar itu menjadi dua ranjang yang serupa. Maksudnya supaya si kembar punya privasi. Tapi tidak banyak yang berubah, sebab mereka masih mengobrol melalui sekat setiap malam sebelum tidur. Meski sekarang mereka menghuni belahan bumi yang berbeda, tapi itu toh planet yang kecil.

Ketika si kembar berusia dua belas tahun, mereka melanjutkan sekolah di sekolah negeri. Saat itulah untuk pertama kalinya mereka benar-benar terpisah. Tujuh ratus dua puluh siswa kelas tujuh yang baru masuk disebar secara acak dan si kembar ditempatkan di kelas yang berbeda. Mereka merasa agak kebingungan di sekolah yang sangat besar dan impersonal itu. Tapi mereka bersemangat dan bertekad untuk berjuang dalam kehidupan baru mereka. Meski dihujani tatapan dan candaan konyol dari teman-teman sekelas mereka (“Kayaknya ada yang dobel nih!”), mereka selalu makan bersama pada jam makan siang.

Pada akhir kelas tujuh, mereka harus memilih antara seni murni dan musik. Mereka memilih seni, dengan harapan mereka akan ditempatkan bersama. Tapi mereka belum beruntung. Pada akhir kelas delapan, ketika mereka harus memilih antara bahasa Prancis dan bahasa Inggris, mereka berencana untuk bersama-sama mengambil bahasa Prancis. Pilihan itu kurang peminatnya, dengan begitu hampir pasti mereka akan berada di kelas yang sama. Tapi, setelah dinasihati Covarrubias senior tentang pentingnya pemahaman bahasa Inggris dalam dunia kini yang penuh persaingan dan keji, mereka menyerah. Selama dua tahun setelahnya, siswa dikelompokkan menurut peringkat. Keadaan mereka tidak membaik, meski nilai-nilai mereka bagus.

Pada tahun berikutnya si kembar memilih jurusan ilmu sastra, dan akhirnya mereka bersama-sama di kelas 3-F. Berada sekelas lagi setelah empat tahun terpisah terasa menyenangkan sekaligus aneh. Fisik mereka masih bukan main miripnya, meski jerawat menjajah wajah Luis, dan Antonio menunjukkan gelagat ingin menonjol. Rambut Antonio panjang, atau dianggap panjang waktu itu, dan dilapisi gel sehingga penampilannya kurang lazim dibandingkan dengan saudaranya. Potongan rambut Luis simpel saja, bergaya militer, dan panjangnya dua jari di atas kerah baju seperti yang ditetapkan peraturan. Antonio juga mengenakan celana yang lebih lebar dan sering pergi ke sekolah dengan sepatu tenis hitam alih-alih sepatu resmi.

Si kembar duduk bersama selama bulan-bulan pertama tahun ajaran. Mereka saling menjaga dan membantu, meski sewaktu bertengkar mereka seakan membenci satu sama lain, yang tentu saja merupakan hal paling wajar di dunia ini. Ada saat-saat ketika kita membenci diri kita sendiri. Jika ada orang di hadapan kita yang nyaris mirip dengan kita, maka tak ayal lagi kebencian kita terarahkan pada orang itu. Tapi sekitar pertengahan tahun, tanpa sebab yang jelas, perselisihan mereka menjadi semakin tajam. Pada waktu itu pula Antonio sama sekali kehilangan minat belajar. Sementara itu, kehidupan Luis berjalan di jalurnya dengan tertib. Hasil studinya tanpa cela. Nilai-nilainya sangat bagus. Malah ialah peringkat satu di kelasnya tahun itu. Herannya, saudaranya ketinggalan dan harus mengulang kelas. Si kembar pun kembali bersimpang jalan.

Hanya ada satu konselor bagi empat ribu lebih siswa. Ia mencurahkan perhatian pada persoalan si kembar dan memanggil orang tua mereka. Ia menawarkan teori, yang tidak penting benar, bahwa Antonio telah digerakkan dorongan bawah sadarnya (konselor itu menjelaskan pada mereka, secara cepat dan tepat, apa persisnya bawah sadar itu) supaya tidak berada bersama-sama saudaranya di dalam satu kelas.

Luis menempuh tahun terakhirnya dengan nilai-nilai yang unggul. Ia mendapat skor yang menjulang dalam semua ujian masuk universitas, terutama Sejarah Cile dan Ilmu-ilmu Sosial, bahkan nilainya hampir yang tertinggi di seluruh negeri. Ia masuk Universitas Cile untuk belajar hukum dengan beasiswa penuh.



Hubungan si kembar tak pernah serenggang selama bulan-bulan pertama Luis di perguruan tinggi. Antonio merasa cemburu saat melihat saudaranya pergi ke universitas, bebas tanpa seragam sementara dirinya masih di SMA. Kadang jadwal mereka berbarengan. Tapi berkat tahu sama-tahu—barangkali semacam telepati antar anak kembar yang kesohor itu—mereka tidak pernah naik bis yang sama.

Mereka saling menghindar dan hampir tidak pernah menyapa satu sama lain, meski mereka sadar bahwa keregangan di antara mereka tidak mungkin berlangsung selamanya. Suatu malam, ketika Luis sudah di semester dua kuliah hukum, Antonio mulai bicara lagi padanya lewat sekat. “Bagaimana kuliah?” tanyanya.

“Apanya?”

“Cewek-ceweknya,” jelas Antonio.

“Oh, ada beberapa yang seksi banget,” jawab Luis sambil berusaha supaya tidak terdengar sombong.

“Yah, aku tahu di sana ada cewek, tapi bagaimana kamu melakukannya?”

“Bagaimana kita melakukan apa?” tanya Luis, yang diam-diam tahu apa persisnya yang ditanyakan saudaranya.

“Kamu kentutnya bagaimana kalau ada cewek?”

“Ya, ditahan saja,” sahut Luis.

Mereka menghabiskan malam itu seperti sewaktu mereka kecil, mengobrol dan tertawa sambil berlomba kentut dan serdawa. Sejak itu mereka kembali tak terpisahkan. Mereka mengidamkan kebebasan, terutama dari Senin sampai Jumat. Pada akhir pekan mereka selalu keluar bersama-sama, adu minum dengan satu sama lain, dan memperdaya orang-orang dengan bertukar tempat, memanfaatkan keadaan fisik mereka yang—berkat rambut baru Luis yang panjang dan kulitnya yang kini bersih—hampir mirip seutuhnya.

Prestasi akademis Antonio meningkat pesat, tapi ia masih bukan seorang siswa teladan. Menjelang tahun terakhirnya di sekolah, ia mulai merasa cemas. Meski ia merasa siap untuk uji potensi, ia tidak yakin akan mampu mendapat nilai cukup yang tinggi supaya bisa belajar hukum di Universitas Cile seperti saudaranya. Gagasan itu pun muncul dari Antonio, tapi Luis langsung menyetujuinya, tanpa pemerasan ataupun persyaratan, dan tanpa sedikit pun rasa takut, sebab ia sama sekali tak terpikir bahwa mereka mungkin saja ketahuan. Pada Desember tahun itu Luis Covarrubias mendaftar untuk mengikuti ujian yang kedua kalinya, dengan menunjukkan kartu identitas Antonio. Ia mengerahkan segala kemampuannya. Ia berusaha sangat keras sampai-sampai ia mendapat skor yang lebih baik daripada yang diperolehnya pada tahun sebelumnya. Malah, skornya paling tinggi di seluruh negeri pada uji Ilmu-ilmu Sosial.



“Tapi kita tidak ada yang punya saudara kembar,” kata Cordero sore itu, saat Segovia mengakhiri ceritanya. Saat itu sepertinya gerimis atau hujan, aku tidak ingat, tapi aku tahu guru itu mengenakan mantel hujan warna biru. Ia bangkit untuk membeli rokok. Saat ia kembali ke meja kami, ia tetap berdiri, barangkali untuk menghidupkan kembali protokol yang telah silam: guru berdiri, siswa duduk. “Kalian masih bisa lolos,” ucapnya. “Kalian tidak tahu betapa istimewanya kalian.”

“Karena kami sekolah di sekolah negeri?” tanyaku.

Ia mengepul-ngepulkan asap rokoknya dengan gelisah, barangkali sudah agak mabuk, dan terdiam sangat lama hingga rasanya tidak penting lagi pertanyaanku itu dijawab, tapi kemudian timbul juga. “Sekolah negeri itu busuk, tapi dunia juga busuk,” ucapnya. “Mereka menyiapkan kalian untuk ini, untuk sebuah dunia tempat orang mengangkangi satu sama lain. Kalian akan berhasil mengerjakan ujian, dengan sangat baik, jangan khawatir. Kan kalian tidak dididik, tapi dilatih.” Kedengarannya kasar, tapi nadanya tidak mencela, atau setidaknya, bukan pada kami.

Kami diam. Saat itu sudah sore sekali, hampir malam. Ia duduk, tampak khusyuk berpikir. “Skorku tidak tinggi,” katanya, ketika tampaknya tidak ada yang akan bicara lagi. “Aku juara di kelas, di seluruh sekolah. Aku tidak pernah curang sewaktu ujian, tapi aku gagal dalam uji potensi, jadi terpaksa aku mengambil pendidikan agama. Aku bahkan tidak percaya Tuhan waktu itu.”

Aku bertanya padanya kalau-kalau sekarang, sebagai kondektur Metro, ia menghasilkan lebih banyak uang. “Dua kali lipatnya,” jawabnya. Aku bertanya lagi apakah sekarang ia percaya Tuhan, dan jawabnya, ya, sekarang ia percaya Tuhan lebih daripada sebelumnya. Aku tidak pernah lupa, aku tidak akan pernah lupa gerak-geriknya waktu itu: dengan rokok menyala di antara jari telunjuk dan tengahnya, ia menatap punggung tangannya seakan sedang mencari-cari pembuluh darahnya, kemudian ia membalikkan tangannya, seakan untuk memastikan bahwa jalan yang menghubungkan jiwa, pikiran, dan hatinya masih ada.

Kami mengucapkan selamat tinggal seakan kami adalah atau pernah menjadi teman. Ia masuk ke bioskop, sedangkan kami menuju Bulnes ke arah Parque Almargro untuk merokok barang beberapa linting.

Aku tidak pernah mendengar kabar Segovia lagi. Kadang sewaktu baru memasuki Metro, aku melihat ke arah pojok tempat kondektur dan membayangkan guru kami ada di sana, sedang menekan tombol-tombol sambil menguap. Adapun si kembar Covarrubias mendapat cukup ketenaran dan, setahuku, mereka tidak pernah berpisah lagi. Mereka menjadi pengacara yang serupa satu sama lain. Aku dengar bahwa sulit membedakan mana yang lebih ulung dan mana yang lebih korup. Mereka punya firma di Vitacura dan memasang tarif yang sama. Tarif yang sepantasnya bagi pelayanan yang sedemikian baik: mahal.



Pertanyaan:

1. Berdasarkan bacaan di atas, pengalaman si kembar Covarrubias di sekolah baru mereka:

A. Menentukan nasib mereka dengan nilai-nilai yang orang tua mereka tanamkan pada diri mereka.
B. Mengguncangkan jiwa, sebab itu memaksa mereka untuk membuat keputusan yang gegabah sehingga memisahkan mereka untuk selama-lamanya.
C. Sedikit demi sedikit membentuk mereka menjadi orang yang berguna bagi masyarakat Cile.
D. Mengubah dua bersaudara yang budiman dan simpatik menjadi bangsat tak bermoral.
E. Menandai awal dari masa yang sulit, yaitu sejak mereka menjadi lebih tangguh dan siap bersaing di dunia yang kejam dan materialistis ini.

2. Judul yang paling tepat untuk cerita ini adalah:

A. “Cara Melatih Kembaran Anda”
B. “Bapak yang Terkasih”
C. “Aku dan Bayanganku”
D. “Menghadapi Pengacara”
E. “Menghadapi Pengacara Kembar”

3. Sehubungan dengan soal pilihan ganda, penulis menegaskan bahwa:

I. Tipe soal tersebut standar digunakan khususnya di sekolah yang bersangkutan untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi ujian masuk universitas.
II. Lebih mudah untuk menyontek pada tipe soal tersebut, dengan cara apa pun juga.
III. Tipe soal tersebut tidak mengharuskan siswa untuk mengembangkan pemikirannya sendiri.
IV. Dengan soal pilihan ganda, guru tidak usah pusing-pusing mengoreksi pada libur akhir pekan.
V. Jawaban yang benar biasanya D.

A. I & II
B. I, III, & V
C. II & V
D. I, II, & III
E. I, II, & IV

4. Keputusan Pak Luis Antonio Covarrubias untuk membagi namanya di antara kedua putra kembarnya menunjukkan bahwa ia:

A. Inovatif
B. Cerdik
C. Adil
D. Keras kepala
E. Pandir

5. Dari bacaan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa guru-guru di sekolah tersebut:

A. Medioker dan keji, sebab mereka menganut model pendidikan yang busuk tanpa sangsi.
B. Kejam dan bengis: mereka suka menyiksa siswa dengan melimpahkan terlalu banyak PR.
C. Diredam kesedihan, sebab gaji mereka kecil.
D. Kejam dan bengis, sebab mereka menderita. Waktu itu semua orang menderita.
E. Teman sebangkuku pilih C, jadi aku juga pilih C.

6. Dari bacaan ini, dapat dipahami bahwa:

A. Para siswa menyontek sewaktu ujian sebab mereka hidup di bawah pemerintahan diktator, dan itu membenarkan segalanya.
B. Menyontek sewaktu ujian tidak buruk amat asal kita pandai melakukannya.
C. Menyontek sewaktu ujian merupakan bagian dari proses pembelajaran bagi setiap manusia.
D. Banyak siswa yang mendapat skor terburuk dalam ujian masuk universitas menjadi guru agama.
E. Guru agama itu orang-orangnya asyik, tapi mereka tidak mesti percaya Tuhan.

7. Maksud dari cerita ini adalah:

A. Untuk menyarankan peluang kerja yang tepat bagi para siswa Cile yang berprestasi baik secara akademis tapi miskin (tidak banyak jumlahnya, tapi mereka benar-benar ada): mereka bisa menjadi joki ujian bagi para siswa yang malas dan kaya.
B. Untuk mengungkap masalah keamanan dalam administrasi ujian masuk universitas, sekaligus untuk mempromosikan usaha yang berkaitan dengan pembacaan biometris, atau sistem lainnya yang dapat membuktikan identitas siswa secara pasti.
C. Untuk mempromosikan firma hukum yang mahal. Dan untuk menghibur.
D. Untuk mengabsahkan pengalaman sebuah generasi yang dapat diperhitungkan sebagai “segerombolan penipu”. Dan untuk menghibur.
E. Untuk menghapus luka masa lalu.

8. Dari pernyataan Pak Segovia berikut ini, manakah yang benar menurut Anda?

A. Kalian tidak dididik, tapi dilatih.
B. Kalian tidak dididik, tapi dilatih.
C. Kalian tidak dididik, tapi dilatih.
D. Kalian tidak dididik, tapi dilatih.
E. Kalian tidak dididik, tapi dilatih.[]




Cerita yang aslinya berbahasa Spanyol ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Megan McDowell dalam The New Yorker, 6 Juli 2015, "Reading Comprehension: Text No. 1".

Tidak ada komentar: