Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170713

An Evening of Long Goodbyes, Bab 10 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Halloween di Bonetown berjalan mulus memasuki November. Tiap malam kerusakan yang terjadi semakin heboh saja. Sembari tergesa-gesa dari halte bis sepulang kerja aku khawatir benar akan nyawaku—meski karena penampilanku yang mencolok para peramai pesta cenderung memandangku sebagai semacam maskot musiman, dan rata-rata menyambutku dengan sorak-sorai serta acungan jempol.

Akhirnya, sekitar tengah bulan, kekerasan mencapai puncaknya. Aku ingat telah mengunci pintu sampai dua kali, dan sedang duduk-duduk bersama Frank berusaha menyimak berita. Namun nyaris mustahil menangkap apa pun, sementara kerusuhan berlangsung di luar jendela. Kaca dipecahkan seakan-akan sudah ketinggalan zaman. Flat dihujani telur, gulungan tisu toilet, serta bom pupuk buatan sendiri. Barang-barang yang secara teoretis tidak mungkin dicuri—tiang listrik, bak sampah, serta satu set mebel kulit imitasi—dicuri pula pada waktunya dan ditambahkan pada tumpukan bahan bakar yang menanjak dan menyala kian tinggi bak mercusuar yang menandakan akhir dunia.

Keesokan paginya kami menemukan kursi roda untuk sandiwara Bel. Kursi roda itu berdiam di pinggir jalan, tanpa terlihat seorang pun yang barangkali sanggup menjelaskan dari mana asalnya, atau siapa pemiliknya hingga semalam—seakan-seakan barang itu memang ditinggalkan khusus untuk kami. Meski di seputarnya ada puing-puing, potongan logam, sampai serpihan daging kucing, kursi roda itu benar-benar utuh: bersih dan baru, malahan, sehingga entah mengapa rasanya ada yang keliru lagi merisaukan sekalipun saat itu kami belum menyadari ada yang hilang dari pemandangan tersebut. Di ambang pintu tidak ada lagi kardus dan selimut. Kenny Si Gelandangan, yang tetap berkemah di luar rumah melalui seburuk-buruknya aneka perseteruan yang terjadi, telah tiada—lenyap secara misterius sebagaimana kemunculan kursi roda tersebut, seakan-akan ada yang menganggap itu merupakan pertukaran yang adil. Tidak ada petunjuk mengenai peristiwa ini, selain pada grafiti kecilnya yang menantang telah dibubuhkan huruf H hitam mematikan.

Harm the Homeless[1],” Droyd membacakan.

“Ke mana ya perginya,” kataku, seraya berlagak cuek padahal tidak.

“Mungkin semalam dia ke taman,” sahut Frank.

“Mungkin dia ke hotel,” ujar Droyd, “atau udah nemuin rumah yang layak.”

Namun kami tahu tidak ada satu pun yang tepat, atau mengapa kami tidak lagi berkata-kata, dan mengapa segalanya terasa sesenyap kematian sementara kami menaikkan kursi roda itu ke bahu dan membawanya ke lantai atas.

Hari-hari berikutnya kursi roda itu berdiam di pojok, memancarkan kilauan yang tak kuindahkan. Akhirnya aku menanyai Frank kapan ia hendak menyingkirkan barang tersebut. Ia menggumam betapa ia sudah berniat mengantarkannya hanya saja minggu itu ia sibuk sekali. Ini dusta, toh hampir seminggu itu ia cuma duduk-duduk di apartemen bersedu-sedu, maka kusampaikan saja padanya. Ia menggeliat sendu. “Aku enggak mau ke sana sendirian, Charlie.”

“Ke sana mana? Ke Amaurot? Kenapa enggak mau?”

“Enggak tahu,” sahutnya, kepalanya lunglai. “Enggak mau aja.”

“Konyol deh,” kataku.

“Yeah,” akunya mengibakan, lantas, dengan nada ceria: “Eh, kamu temenin aku yuk.”

“Aku?”

“Yeah, kamu kan bisa bantuin aku, gitu.”

Sekarang ganti aku yang mesti berdalih. Sementara waktu aku berencana tidak balik ke Amaurot sampai hidupku berhasil. Aku belum mau pulang dalam keadaan serbakurang begini, lalu mendapati Bunda mulai mengoceh dibilang-juga-apa dan aktor-aktor pendengki itu menatap puas padaku—lagi pula kurasa aku tidak bakal tahan menyaksikan Bel lagi-lagi memulai percintaan yang sembrono, berikut segala raba-rabaan memuakkan itu. Tetapi benar-benar deh kursi roda itu hawanya jelek. Akhirnya aku pun menyerah.

Frank hampir tidak berucap sepatah kata pun selama perjalanan. Buku jemarinya putih bertonjolan pada setir. Kuakui aku juga berdebar-debar ketika kami meninggalkan kota menuju jalanan pantai. Angin berkibar-kibar melalui belebas lebar pada jendela yang terbuka. Bangunan-bangunan tergantikan oleh pepohonan, pagar-pagar kayu yang sama persis lewat sekilas-sekilas. Di sebelah kiri laut mengombak sepi timbul tenggelam, bagai bayangan kelabu melangkahi koridor. Kini tampak gerbang besi, lalu pohon berangan kuda dengan bekas luka akibat hantaman Ayah belakangan pada suatu malam. Sekawanan merpati bercerai dari pohon itu selagi Frank membawa kami mendaki jalan untuk mobil di halaman yang tidak rata.

“Rumahnya baik-baik aja ya,” ucap Frank kaku, sementara atap dan bagian atas Amaurot mulai mengintip dari balik pepohonan.

“Mmm ….” Rumah ini terasa lebih besar daripada yang kuingat. Sepertinya akibat tinggal begitu lama di Bonetown, di apartemen sempit. Semakin kami mendekat, semakin tinggi kelihatannya dinding ke menara, semakin kuat bayangan rumah itu mendesak kami beserta van putih karatan ini …. Lalu, dari belakang kami, terdengar bunyi ceria Tin! Tin!

“Setan apa ini …?”

“Kayaknya ada yang lagi muter-muter pakai mobil antik babe lu, Charlie.”

“Terima kasih, bisa kulihat sendiri.” Mercedes hijau gelap itu berada di pekarangan. Asap putih kebiruan mencurah gembira dari knalpotnya saat mobil itu berjalan memutar dengan kecepatan rendah. “Apa-apaan dia ini?”

“Halo! Hai! Hythloday!” Kami diberi salut oleh sosok bertopi baret dengan kacamata pengaman berkendara dari kulit bergaya lawas.

“Itu Harry si germo,” ucap Frank kelam.

“Diamkan saja dia,” kataku. “Cecunguk itu—sudah dua puluh tahun mobil itu enggak dibawa jalan-jalan. Kalau mobil itu meledak, keenakan amat dia.” Aku duduk lagi di kursiku dengan gaya mengancam. “Dasar kurang ajar. Dipikirnya siapa dia itu pakai kacamata konyol begitu, Toad of Toad Hall[2]?”

Dalam keheningan yang menjengkelkan kami melaju lagi lalu berhenti di sebelah luar portik. Kami pun keluar, mengambil kursi roda dari belakang van lalu menurunkannya di undak-undakan. Kunci rumahku hilang beberapa minggu lalu di kolong sofa Frank, yang merupakan Segitiga Bermuda apartemen itu. Biar begitu, kalau diingat-ingat, Mbok P menaruh kunci cadangan di bawah pohon laburnum …. Aku sedang merangkak mencari-cari kunci saat dari belakang terdengar mesin mobil dinyalakan lagi. “Kenapa kamu ini?” ucapku. Frank sudah kembali naik ke balik kemudi van. “Kamu enggak masuk dulu?”

“Enggak ah, Charlie,” sambil menggoyang-goyangkan kepala mengelakkan diri, “enggak, mending balik ke kerjaan—“

“Tetapi sekarang kan Minggu,” protesku. “Kamu enggak mau minum teh dulu, apa?”

“Enggak, baru ingat aku ada yang mesti dikerjain ….”

“Hei, apa enggak bisa nanti saja? Masak kita mau meninggalkan kursi terkutuk ini begitu saja, bantulah aku memasukkannya.” Ia menambah gas mesin, sehingga suaraku tidak terdengar, dan dengan tampang buronan mulai membalikkan arah van lantas kembali menuruni jalan di halaman. “Berengsek, dia enggak bakal menggigitmu lah!” Kuseru dirinya, percuma saja. “Bagaimana aku balik nanti?” Terlambat. Lampu seinnya sudah berkedip-kedip dan van itu pun mencium jalan raya. Sesaat aku berharap ikut kembali bersama dirinya.

Sembari merutuki Frank, aku melanjutkan pencarian kunci. Aku masih mencari saat sejenak kemudian Mercedes antik itu meletup-letup menghampiri.

“Hai, Charles,” ucap Harry, seraya turun dari mobil. “Lama enggak ketemu ya.”

“Ada gara-garanya lah, kamu cecunguk,” gerutuku pelan.

“Kenapa?”

Aku menegakkan badan dan menyorotkan tatapan dingin lagi memperingati. Rambutnya kali ini lebih menyebalkan ketimbang yang biasa, namun peralihan busananya tampak revolusioner. Alih-alih celana panjang tentara, ia mengenakan pantalon necis dari wol, dan jaket kampungannya yang boyak telah digantikan oleh rompi bermotif Aztec yang menjijikkan. “Apaan-apaan kamu ini, keliling-keliling pakai mobil itu?” kataku.

“Cuma coba-coba,” ujarnya enteng. “Sayang saja mobil bagus begitu dikurung di garasi sumpek.”

“Itu mobil barang antik,” sahutku. “Bukan buat dikendarai.”

“Oh, ayolah!” ia tertawa. “Tentu saja itu mobil buat dikendarai. Itulah gunanya mobil, bukan buat didiamkan saja di bawah terpal.” Ia menyapukan tangannya yang bersarung dengan mesra ke sisi mobil hijau gelap itu. “Jalannya masih bagus banget. Paling cuma perlu diutak-atik sedikit.”

“Biarkan saja seperti itulah,” ucapku tegang. “Kuberi tahu ya itu mobil barang antik yang enggak ternilai harganya, dan aku menghendaki mobil itu enggak diapa-apakan.”

“Terserah deh,” ia mengangkat bahu.

Aku memunggungi dia dan melanjutkan pencarianku di bawah pot bunga.

“Kalau kamu mencari kunci, itu enggak ditaruh di situ lagi,” katanya.

Perlahan, aku kembali berdiri sambil menggemeretakkan gigi.

“Jangan khawatir, biar kubukakan kuncinya. Tetapi hei—kamu belum bertemu para penghuni baru, kan ya?”

“Apa, ada tambahan Orang-orang Kurang Mampu lagi?” sahutku ketus.

“Tunggu sebentar ya.” Ia berlari-lari kecil menuju belukar di dekat garasi, lalu mulai menirukan bunyi kotek.

“Begini ya,” kataku, “aku rada terburu-buru nih—“ Karena, aku hendak menjelaskan, namun kemudian merak-merak muncul mengigal dari semak-semak, dan aku pun tercengang.

Mereka hampir-hampir tidak menyerupai makhluk berparasit sebagaimana yang kutinggalkan. Malah, kukira baru kali ini mereka tampak begitu indah. Setiap tulang bulu mereka yang berwarna-warni berkilauan. Setiap mata pada buntut mereka yang mengipas berseri-seri. Selain itu, terlihat adanya gumpalan-gumpalan debu nan lincah, wira-wiri sambil berciap-ciap di depan merak-merak itu.

“Apa,” ucapku sangsi, “meraknya ada yang baru?”

“Bisa dibilang,” sahutnya. “Rosa menetaskannya minggu lalu—kami menamai yang jangkung itu Rosa, dari Rosa Luxemburg[3]?”

“Dia belum pernah beranak,” kataku, sambil mengamat-amati merak yang meragukan itu.

“Yah, sewaktu ke sini kulihat mereka rada sakit, jadi kuubah sedikit dietnya, kubenahi kandangnya—aku mengurusi burung sewaktu tinggal di Guatemala. Kurasa aku mesti memberi mereka suasana penuh kasih sayang, karena setelahnya kita lihat sendiri Rosa jadi punya sepasang buntel kecil yang riang gembira ini, Che dan Chavez kecil.”

Apa-apaan dia di rumahku?

“Ya, yah, mestinya kamu bangga sekali ya,” kataku. “Begini, kalau kamu enggak keberatan aku mau masuk sekarang—“

“Oh, sori,” ujarnya. Ia melompat menaiki undakan dan memutar kuncinya di lubang pintu, lalu melompat lagi menuruni undakan untuk membantuku membawa masuk kursi roda itu. Kami meletakkan barang tersebut di sebelah dalam pintu. Aku memandang Harry. Ia tersenyum beloon padaku.

“Dari sini aku bisa sendiri kok,” kataku.

“Oh, baik,” sahutnya. “Kalau begitu, sampai ketemu lagi ya.”

Ia berjalan dengan santainya kembali ke pekarangan. Sejenak aku bergeming saja di ambang pintu, memenungkan muka koridor ini. Segalanya tampak seperti sewaktu kutinggalkan: ada tanaman kastuba, ada patung Brancusi, ada ornamen kaca bergambar Actaeon menyorotkan hiasan lengkungnya yang ganjil ke lantai. Namun entah mengapa ada yang berbeda—hampir-hampir tidak meyakinkan, perasaan sumbang lagi aneh yang dialami orang ketika akhirnya mengunjungi tempat yang sudah berkali-kali dilihatnya lewat foto. Lantas, seakan-akan ada yang menyengajakan supaya kewaswasan ini mereda, Mbok P bergegas keluar dari dapur dengan sebaki kue berbentuk kupu-kupu beserta kendi berisi jus jeruk.

“Tuan Charles!” jeritnya. “Benarkah ini Tuan? Silakan, Tuan mau ambil kue kupu-kupunya?”

“Terima kasih,” ujarku. Lumayan juga nih.

“Berapa lama Tuan menunggu untuk menjenguk saya?” omelnya. “Mengapa Tuan lama sekali baru ke sini?”

“Oh, kamu tahulah,” sahutku sembarangan saja. “Bagaimana keadaan di sini? Bagaimana rumah ini?”

“Ay, Tuan Charles, kami sangat merindukan Tuan,” ia mendesah, seraya melangkah ke belakangku untuk mengambilkan mantelku. “Sekarang semua orang bekerja, semuanya repot, tidak ada yang sempat duduk, menikmati makanan lezat …. Tetapi Tuan juga kan, Tuan Charles, Tuan juga orang penting, eh? Sekarang Tuan bekerja, punya uang ….”

“Enggak sepenting itu kok,” aku meyakinkan Mbok P, sementara ia melipat mantel itu di atas lengan bawahnya lalu membawanya ke ruang penyimpanan barang. Terdengar kertak tangga di belakangku. Aku mengedarkan pandang—lantas diiringi sedikit sentakan gembira kulihat Bel datang menghampiri.

“Charles!” serunya.

Tidak, tunggu, itu bukan Bel, itu Mirela yang mengenakan kimono perak Bel. Kurasakan jantungku terlonjak mundur, seakan-akan sudah salah belok ke jalan satu arah—

“Ya ampun, bagaimana kabarmu?”

“Apa?” sahutku bingung, sambil berusaha tidak memandangi separuh bulan daging yang berbentuk molek tersingkap lewat lubang kimononya ketika ia menjulurkan badan melewati susuran tangga. “Oh—lumayan baik, lumayan baik ….”

“Coba aku tahu kamu akan datang,” katanya, seraya melangkah menyusuri sela-sela anak tangga. “Penampilanku seperti ini. Kenapa kamu tidak berkunjung kemarin-kemarin? Kamu lupa pada kami?”

“Oh,” aku menggaok, “tahulah ….”

“Sepertinya kehidupanmu yang baru jauh lebih menarik ya. Tetapi kamu bisa meneleponku kan, setidaknya?”

Mesti kujelaskan bahwa sebelum kemari aku sudah mempertimbangkan siasat jika kebetulan bertemu Mirela. Pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak langsung menuding dia tentang pengabaian ataupun ketiadaan perasaannya, karena nadanya yang sopan namun dingin tak tercairkan. Namun, rupa-rupanya kini semua jadi membingungkan, karena ia—yang berjeda tepat di atasku sementara tangannya bertengger pada susuran tangga bak bunga tanaman rambat yang amat elok—terlihat kukuh bahwa akulah yang mengabaikan dia. “Kukira obrolan kita menyenangkan pada malam sesudah sandiwara waktu itu,” ujarnya. “Tetapi lalu kamu pergi begitu saja. Kamu bahkan tidak pamit.”

Aku cuma bisa mangap. Apa aku sudah salah tangkap? Apakah selama ini ia langut padaku?

“Kamu tampak baik-baik saja, Charles,” ucapnya lembut, seraya turun menjejaki anak tangga kedua dari terakhir.

“Perbanku sudah diganti,” bisikku.

Siapa yang tahu kemungkinan yang terjadi seandainya Mirela dibiarkan menginjak ujung tangga. Namun tanpa peringatan kesyahduan kami terburai—oleh Mbok P, yang telah kembali dari ruang penyimpanan barang lantas berdiri di belakangku. Ia mulai mengoceh panjang lebar yang kedengarannya merupakan ceramah sengit dalam bahasa Bosnia.

“Oh Mama, pakai bahasa Inggris dong, bisa enggak sih?” seru Mirela. Akibatnya ceramah tersebut makin kencang saja. “Kenapa enggak menyuruh abang saja sih? Mereka kan cuma duduk-duduk main backgammon[4].”

Mbok P melipat lengan dan memandangi putrinya lekat-lekat. Setelah sejenak memberontak, pertahanan Mirela pun roboh. “Baiklah, baiklah, kalau-kalau ada yang lupa ibuku itu  pembantu.” Mirela berpaling padaku sambil memohon. “Maaf, Charles. Tetapi mungkin kapan-kapan kita ada kesempatan buat mengobrol lagi,” dan kurasakan tangannya meluncur anteng ke arah tanganku lalu meremas jemariku, sebelum ia mendongakkan kepala lalu berderap ke koridor. Kaki protesenya menggerantangkan pembangkangan pada lantai kayu seiring dengan berlalunya ia.

“Mengerti maksudku?” desak Mbok P di sampingku. “Semua orang penting!”

“Ya,” sahutku sayup, sambil mengusap jemari tangan yang beruntung tadi. “Ya ….”

Mbok P lalu mengangkat baki kuenya. “Saya harus membawakan ini ke yang lain. Tuan Charles, Tuan sudah makan siang?”

“Hmm? Apa itu? Makan siang?”

“Mungkin saya buatkan Tuan roti lapis?”

“Oh, enggak, Mbok P, aku baik-baik saja kok, pasti Mbok sudah cukup repot tanpa—“

“Atau keju, kalau Tuan mau?”

“Keju, eh ….” Sudah lama aku tidak makan keju yang layak. “Yah, begini saja. Bagaimana kalau Mbok mengambilkan kejunya sedang aku yang mengantarkan baki ini, ke mana pun itu tujuannya.”

“Ah, Tuan selalu baik hati, Tuan Charles.” Mbok P memberitahuku kue itu buat para aktor di ruang latihan, lalu menepuk-nepuk lenganku dan terkedek-kedek menuju dapur, dari mana Vuk dan Zoran muncul sebentar kemudian, terbirit-birit melewatiku bak kucing habis dibanjur air panas menuju gudang kebun.

Gara-gara Mbok P bilang begitu aku jadi merasa rada lapar. Aku pun memakan sisa roti di baki dan meminum jus jeruknya. Kemudian aku menuju ruang resital. Kudapati hampir seluruh kawanan binatang liar itu telah berkumpul untuk berlatih dialog. Di satu sudut seorang lelaki pendek-gemuk beserta seorang gadis yang mengenakan penjepit rambut tengah memperdebatkan sebuah topi dan apakah benda itu terlihat cukup legal. Di mana-mana di sepanjang dinding ada orang duduk dalam posisi teratai sambil memejamkan mata dan berkomat-kamit. Namun kebanyakan tengah melangkahi lantai, sembari memberengut pada naskah yang dibawanya dan bergumam sendiri. Agaknya ada semacam indra keenam yang menjaga mereka supaya tidak menabrak satu sama lain. Pemandangan yang cukup luar biasa, seperti berada di konvensi pejalan tidur.

“Sayang!” terdengar suara Bunda di belakangku. “Oh, betapa baiknya kau telah datang dan menjengukku! Tetapi betapa pucatnya rupamu, sayangku. Duduklah dan ceritakan padaku ada masalah apa—“

“Oh, halo Bunda, enggak ada apa-apa kok, cuma rada kecapekan kayaknya ….”

“Apa?” Bingung ia tengadah dari lembaran yang dipegangnya. “Oh, halo Charles, kamu sedang apa di sini?”

“Apa?” aku mengejap. “Oh … aku cuma mampir membawakan kursi roda.”

“Kursi roda, bagus sekali! Kita mesti memberi tahu Bel, kursi roda itu untuk perannya—Charles, mengapa kamu membawa-bawa baki kotor?”

“Mbok P yang memberiku,” kataku.

“Ck, ck,” ucap Bunda, sambil menggeleng-geleng. “Apa tidak ada habisnya wanita itu mengambil jalan tikus? Hei, turunkan itu, sayang, kami agak repot tetapi kamu mungkin mau minum apalah selagi di sini.”

Kutinggalkan baki di bufet lalu mengikuti Bunda ke koridor. “Kamu tampak sehat, Charles,” tegasnya, seraya mengangguk pada beraneka Penghuni yang lewat. “Pipimu ada ronanya.”

“Perbanku sudah diganti, kalau itu yang Bunda—“

Ketabahan, itu dia. Aku tahu ini akan bagus untukmu, keluar memasuki dunia nyata yang berat lagi kacau.”

“Ya, Bunda,” seraya terseret-seret di belakangnya menuju ruang makan.

“Bekerja dengan jujur itu menabahkan,” renungnya, seraya menuangkan segelas sherry untukku, kemudian segelas lagi untuk dirinya sendiri, “memberikan sumbangsih, memperoleh imbalannya, pulang naik trem dengan kepuasan karena menyadari bahwa peranan yang dimainkannya, biarpun kecil, sangatlah dibutuhkan bagi keseluruhan. Kepuasan semacam itu tidak ternilai, ya kan, sayang?”

“Tidak,” sahutku, “meski soal bayaran yang sebenarnya, itu sudah diatur supaya—“

“Bagus, karena itulah yang menjaga supaya seluruh dunia terus berputar, Charles, ya kan? Kerjamu apa, persisnya? Semacam Pamong Praja kan, ya? Apakah memang menabahkan?”

“Yah, kurasa kerjaku cukup me—“

“Kamu tahu bahwa kami semua teramat bangga padamu …” gelas di tangan dicengkamnya menjauh[5]. “Meski seperti yang kukatakan di sini pun kami sangat repot, sandiwara baru Harry akan tampil tiga minggu lagi dan kami semua bekerja sekeras orang-orang berkulit hitam. Bukan berarti kami menghasilkan uang dari situ—barangkali kami bisa mendaftarkanmu sebagai salah seorang penyokong kami, Charles?”

“Ha ha,” sahutku malas, hendak menjauhi kotak Pandora yang memuat masalah ekonomi sekaligus Oedipus-kompleks yang melekat pada gagasan satu itu.

“Karya yang hebat, luar biasa. Bisa dibilang, anak itu mengetahui kisah kehidupan sehari-hari, kisah Manusia Biasa. Sebab keadaannya serbaenak bagi kita yang hidup di menara gading dan melakukan kerja Pamong Praja yang nyaman ini, Charles, namun bagaimana dengan yang kurang beruntung? Kamu tahu kan, hidup mereka serbasusah.”

“Ya, bisa kubayangkan—“

“Karena itulah mereka sungguh beruntung memiliki penulis seperti Harry yang memberi mereka suara. Walau aku tidak bisa menyatakan diriku sepenuhnya netral, karena mendapatkan peran kecil, sebagai ibu yang sakit-sakitan.” Ia tertawa, lalu meneguk sherry-nya. Kumanfaatkan jeda itu untuk menanyakan keberadaan Bel agar bisa memberi tahu dia aku sudah membawakan kursi rodanya.

“Oh, hanya Tuhan yang tahu,” sahut Bunda. “Sedang terombang-ambing entah di sebelah mana lantai atas, sepertinya. Bersikaplah yang lembut padanya, belakangan ini ia menjelma Antikristus.”

“Benarkah?” ujarku. “Kedengarannya ia baik-baik saja sewaktu bertelepon denganku.”

“Percayalah padaku,” Bunda menyahut muram. “Lagi pula kelakuannya itu tidak berfaedah, Charles, ketika orang hendak mengusahakan latihan sandiwara, semuanya harus mendayung bersama-sama.” Ia mengeluarkan desahan berat sebagaimana biasa. “Mudah-mudahan saja ia tidak terjerumus ke kebiasaan lama, justru ketika akhirnya ia terlihat mulai bergaul ….”

Aku jadi kecut. “Jangan bilang begitu ah,” kataku. “Mungkin saja ia cuma terlalu bersemangat, Bunda tahu sendiri kan seperti apa dia itu ….”

“Mmm,” ragu-ragu Bunda menanggapi, sambil melekatkan jemarinya pada gelas sherry. Aku pun minta diri dan menaiki tangga diiringi sedikit kegentaran.

Bel berkimono di ujung koridor sebelah luar kamarnya, sambil mondar-mandir menyeret kaki dengan kepala menunduk di atas naskah, dan dengan ganjil menyentak-nyentakkan tangannya yang satu lagi ke samping.

“Aku tidak menghendaki kemurahan hatimu, Ann,” ia berucap. “Malah aku muak dengan seluruh perbuatan sok sucimu. Mungkin kau benar. Mungkin aku orang yang ketus dan egois. Namun aku bisa saja menjadi model yang sebaik kau—bahkan lebih baik, seandainya bukan karena mobil yang menabrakku sewaktu kecil.” Ia terdiam, seakan-akan membiarkan adanya balasan, lantas, dengan marah: “Menolongku? Bagaimana mungkin kau menolongku? Apa kau hendak melambaikan tongkat ajaib sehingga industri mode mau duduk dan memerhatikan kaum penyandang cacat? Apa kau hendak mewujudkan itu sehingga ketika masyarakat melihatku, mereka tidak sekadar mendapati kursi ini, dan mencekokiku dengan stereotip picik mengenai sesosok oh ya Tuhan—“ saat aku menepuk bahunya dan ia pun berputar sambil mendekap naskahnya—“Apa-apaan kamu ini, mengendap-endap begitu?”

“Halo, Charles. Senang berjumpa denganmu, Charles. Charles, betapa baiknya kamu mampir kemari selagi senggang dan membawakan kursi roda tolol ini untuk sandiwara menjemukan kami—“

“Kamu bawa kursi roda?” sahutnya, seraya menduduki salah satu dus berdebu yang berserakan di bordes. “Ditaruh di mana?”

“Di koridor,” ucapku. “Bunda bilang kamu mesti ingin mengetahuinya. Kamu sedang apa sendirian saja di atas sini? Kenapa ada dus di mana-mana?”

“Ini dari loteng. Kami mau mengubek-ubeknya kalau-kalau ada yang bisa dimanfaatkan. Dari tadi aku di sini supaya bisa tenang mempelajari dialogku. Tetapi rupanya aku cuma mengecoh diri.”

“Punya Harrykah yang sedang kamu baca itu? Yang baru itu?”

"Lihat saja sendiri," katanya, seraya menyodorkan naskah padaku lalu beranjak ke kamarnya.



[1] Artinya kurang lebih: “Habisi Gelandangan”
[2] Drama gubahan A. A. Milne, dipertunjukkan pertama kali pada 17 Desember 1929, merupakan fabel petualangan seekor katak bernama Mr Toad
[3] Rosa Luxemburg (5 Maret 1871 – 15 Januari 1919), warga Jerman keturunan Yahudi pejuang Marxisme
[4] Sejenis permainan papan untuk dua orang
[5] Back out, bisa berarti mundur dari komitmen yang telah dibuat, dalam hal ini komitmen untuk mengatasi kecanduan alkohol

Tidak ada komentar: