Halloween di Bonetown berjalan mulus memasuki November. Tiap malam
kerusakan yang terjadi semakin heboh saja. Sembari tergesa-gesa dari halte bis
sepulang kerja aku khawatir benar akan nyawaku—meski karena penampilanku yang
mencolok para peramai pesta cenderung memandangku sebagai semacam maskot
musiman, dan rata-rata menyambutku dengan sorak-sorai serta acungan jempol.
Akhirnya, sekitar tengah bulan, kekerasan mencapai
puncaknya. Aku ingat telah mengunci pintu sampai dua kali, dan sedang
duduk-duduk bersama Frank berusaha menyimak berita. Namun nyaris mustahil
menangkap apa pun, sementara kerusuhan berlangsung di luar jendela. Kaca
dipecahkan seakan-akan sudah ketinggalan zaman. Flat dihujani telur, gulungan
tisu toilet, serta bom pupuk buatan sendiri. Barang-barang yang secara teoretis
tidak mungkin dicuri—tiang listrik, bak sampah, serta satu set mebel kulit
imitasi—dicuri pula pada waktunya dan ditambahkan pada tumpukan bahan bakar
yang menanjak dan menyala kian tinggi bak mercusuar yang menandakan akhir
dunia.
Keesokan paginya kami menemukan kursi roda untuk sandiwara
Bel. Kursi roda itu berdiam di pinggir jalan, tanpa terlihat seorang pun yang
barangkali sanggup menjelaskan dari mana asalnya, atau siapa pemiliknya hingga
semalam—seakan-seakan barang itu memang ditinggalkan khusus untuk kami. Meski
di seputarnya ada puing-puing, potongan logam, sampai serpihan daging kucing,
kursi roda itu benar-benar utuh: bersih dan baru, malahan, sehingga entah
mengapa rasanya ada yang keliru lagi merisaukan sekalipun saat itu kami belum
menyadari ada yang hilang dari pemandangan tersebut. Di ambang pintu tidak ada
lagi kardus dan selimut. Kenny Si Gelandangan, yang tetap berkemah di luar
rumah melalui seburuk-buruknya aneka perseteruan yang terjadi, telah
tiada—lenyap secara misterius sebagaimana kemunculan kursi roda tersebut,
seakan-akan ada yang menganggap itu merupakan pertukaran yang adil. Tidak ada
petunjuk mengenai peristiwa ini, selain pada grafiti kecilnya yang menantang
telah dibubuhkan huruf H hitam mematikan.
“’Harm the Homeless’[1],”
Droyd membacakan.
“Ke mana ya perginya,” kataku, seraya berlagak cuek
padahal tidak.
“Mungkin semalam dia ke taman,” sahut Frank.
“Mungkin dia ke hotel,” ujar Droyd, “atau udah nemuin
rumah yang layak.”
Namun kami tahu tidak ada satu pun yang tepat, atau
mengapa kami tidak lagi berkata-kata, dan mengapa segalanya terasa sesenyap
kematian sementara kami menaikkan kursi roda itu ke bahu dan membawanya ke
lantai atas.
Hari-hari berikutnya kursi roda itu berdiam di pojok,
memancarkan kilauan yang tak kuindahkan. Akhirnya aku menanyai Frank kapan ia
hendak menyingkirkan barang tersebut. Ia menggumam betapa ia sudah berniat
mengantarkannya hanya saja minggu itu ia sibuk sekali. Ini dusta, toh hampir
seminggu itu ia cuma duduk-duduk di apartemen bersedu-sedu, maka kusampaikan
saja padanya. Ia menggeliat sendu. “Aku enggak mau ke sana sendirian, Charlie.”
“Ke sana mana? Ke Amaurot? Kenapa enggak mau?”
“Enggak tahu,” sahutnya, kepalanya lunglai. “Enggak mau
aja.”
“Konyol deh,” kataku.
“Yeah,” akunya mengibakan, lantas, dengan nada ceria:
“Eh, kamu temenin aku yuk.”
“Aku?”
“Yeah, kamu kan bisa bantuin aku, gitu.”
Sekarang ganti aku yang mesti berdalih. Sementara waktu
aku berencana tidak balik ke Amaurot sampai hidupku berhasil. Aku belum mau
pulang dalam keadaan serbakurang begini, lalu mendapati Bunda mulai mengoceh
dibilang-juga-apa dan aktor-aktor pendengki itu menatap puas padaku—lagi pula
kurasa aku tidak bakal tahan menyaksikan Bel lagi-lagi memulai percintaan yang
sembrono, berikut segala raba-rabaan memuakkan itu. Tetapi benar-benar deh
kursi roda itu hawanya jelek. Akhirnya aku pun menyerah.
Frank hampir tidak berucap sepatah kata pun selama
perjalanan. Buku jemarinya putih bertonjolan pada setir. Kuakui aku juga
berdebar-debar ketika kami meninggalkan kota menuju jalanan pantai. Angin
berkibar-kibar melalui belebas lebar pada jendela yang terbuka.
Bangunan-bangunan tergantikan oleh pepohonan, pagar-pagar kayu yang sama persis
lewat sekilas-sekilas. Di sebelah kiri laut mengombak sepi timbul tenggelam,
bagai bayangan kelabu melangkahi koridor. Kini tampak gerbang besi, lalu pohon
berangan kuda dengan bekas luka akibat hantaman Ayah belakangan pada suatu
malam. Sekawanan merpati bercerai dari pohon itu selagi Frank membawa kami
mendaki jalan untuk mobil di halaman yang tidak rata.
“Rumahnya baik-baik aja ya,” ucap Frank kaku, sementara
atap dan bagian atas Amaurot mulai mengintip dari balik pepohonan.
“Mmm ….” Rumah ini terasa lebih besar daripada yang
kuingat. Sepertinya akibat tinggal begitu lama di Bonetown, di apartemen
sempit. Semakin kami mendekat, semakin tinggi kelihatannya dinding ke menara,
semakin kuat bayangan rumah itu mendesak kami beserta van putih karatan ini ….
Lalu, dari belakang kami, terdengar bunyi ceria Tin! Tin!
“Setan apa ini …?”
“Kayaknya ada yang lagi muter-muter pakai mobil antik babe
lu, Charlie.”
“Terima kasih, bisa kulihat sendiri.” Mercedes hijau gelap
itu berada di pekarangan. Asap putih kebiruan mencurah gembira dari knalpotnya
saat mobil itu berjalan memutar dengan kecepatan rendah. “Apa-apaan dia ini?”
“Halo! Hai! Hythloday!” Kami diberi salut oleh sosok
bertopi baret dengan kacamata pengaman berkendara dari kulit bergaya lawas.
“Itu Harry si germo,” ucap Frank kelam.
“Diamkan saja dia,” kataku. “Cecunguk itu—sudah dua puluh
tahun mobil itu enggak dibawa jalan-jalan. Kalau mobil itu meledak, keenakan
amat dia.” Aku duduk lagi di kursiku dengan gaya mengancam. “Dasar kurang ajar.
Dipikirnya siapa dia itu pakai kacamata konyol begitu, Toad of Toad Hall[2]?”
Dalam keheningan yang menjengkelkan kami melaju lagi lalu
berhenti di sebelah luar portik. Kami pun keluar, mengambil kursi roda dari
belakang van lalu menurunkannya di undak-undakan. Kunci rumahku hilang
beberapa minggu lalu di kolong sofa Frank, yang merupakan Segitiga Bermuda
apartemen itu. Biar begitu, kalau diingat-ingat, Mbok P menaruh kunci cadangan
di bawah pohon laburnum …. Aku sedang merangkak mencari-cari kunci saat dari
belakang terdengar mesin mobil dinyalakan lagi. “Kenapa kamu ini?” ucapku.
Frank sudah kembali naik ke balik kemudi van. “Kamu enggak masuk dulu?”
“Enggak ah, Charlie,” sambil menggoyang-goyangkan kepala
mengelakkan diri, “enggak, mending balik ke kerjaan—“
“Tetapi sekarang kan Minggu,” protesku. “Kamu enggak mau minum
teh dulu, apa?”
“Enggak, baru ingat aku ada yang mesti dikerjain ….”
“Hei, apa enggak bisa nanti saja? Masak kita mau
meninggalkan kursi terkutuk ini begitu saja, bantulah aku memasukkannya.” Ia
menambah gas mesin, sehingga suaraku tidak terdengar, dan dengan tampang
buronan mulai membalikkan arah van lantas kembali menuruni jalan di halaman.
“Berengsek, dia enggak bakal menggigitmu lah!” Kuseru dirinya, percuma saja.
“Bagaimana aku balik nanti?” Terlambat. Lampu seinnya sudah berkedip-kedip dan
van itu pun mencium jalan raya. Sesaat aku berharap ikut kembali bersama
dirinya.
Sembari merutuki Frank, aku melanjutkan pencarian kunci.
Aku masih mencari saat sejenak kemudian Mercedes antik itu meletup-letup
menghampiri.
“Hai, Charles,” ucap Harry, seraya turun dari mobil. “Lama
enggak ketemu ya.”
“Ada gara-garanya lah, kamu cecunguk,” gerutuku pelan.
“Kenapa?”
Aku menegakkan badan dan menyorotkan tatapan dingin lagi
memperingati. Rambutnya kali ini lebih menyebalkan ketimbang yang biasa, namun
peralihan busananya tampak revolusioner. Alih-alih celana panjang tentara, ia
mengenakan pantalon necis dari wol, dan jaket kampungannya yang boyak telah
digantikan oleh rompi bermotif Aztec yang
menjijikkan. “Apaan-apaan kamu ini, keliling-keliling pakai mobil itu?” kataku.
“Cuma coba-coba,” ujarnya enteng. “Sayang saja mobil bagus
begitu dikurung di garasi sumpek.”
“Itu mobil barang antik,” sahutku. “Bukan buat
dikendarai.”
“Oh, ayolah!” ia tertawa. “Tentu saja itu mobil buat
dikendarai. Itulah gunanya mobil, bukan buat didiamkan saja di bawah terpal.”
Ia menyapukan tangannya yang bersarung dengan mesra ke sisi mobil hijau gelap
itu. “Jalannya masih bagus banget. Paling cuma perlu diutak-atik sedikit.”
“Biarkan saja seperti itulah,” ucapku tegang. “Kuberi tahu
ya itu mobil barang antik yang enggak ternilai harganya, dan aku menghendaki
mobil itu enggak diapa-apakan.”
“Terserah deh,” ia mengangkat bahu.
Aku memunggungi dia dan melanjutkan pencarianku di bawah
pot bunga.
“Kalau kamu mencari kunci, itu enggak ditaruh di situ
lagi,” katanya.
Perlahan, aku kembali berdiri sambil menggemeretakkan
gigi.
“Jangan khawatir, biar kubukakan kuncinya. Tetapi hei—kamu
belum bertemu para penghuni baru, kan ya?”
“Apa, ada tambahan Orang-orang Kurang Mampu lagi?” sahutku
ketus.
“Tunggu sebentar ya.” Ia berlari-lari kecil menuju belukar
di dekat garasi, lalu mulai menirukan bunyi kotek.
“Begini ya,” kataku, “aku rada terburu-buru nih—“ Karena,
aku hendak menjelaskan, namun kemudian merak-merak muncul mengigal dari
semak-semak, dan aku pun tercengang.
Mereka hampir-hampir tidak menyerupai makhluk berparasit
sebagaimana yang kutinggalkan. Malah, kukira baru kali ini mereka tampak begitu
indah. Setiap tulang bulu mereka yang berwarna-warni berkilauan. Setiap mata
pada buntut mereka yang mengipas berseri-seri. Selain itu, terlihat adanya
gumpalan-gumpalan debu nan lincah, wira-wiri sambil berciap-ciap di depan
merak-merak itu.
“Apa,” ucapku sangsi, “meraknya ada yang baru?”
“Bisa dibilang,” sahutnya. “Rosa menetaskannya minggu
lalu—kami menamai yang jangkung itu Rosa, dari Rosa Luxemburg[3]?”
“Dia belum pernah beranak,” kataku, sambil mengamat-amati
merak yang meragukan itu.
“Yah, sewaktu ke sini kulihat mereka rada sakit, jadi
kuubah sedikit dietnya, kubenahi kandangnya—aku mengurusi burung sewaktu
tinggal di Guatemala. Kurasa aku mesti memberi mereka suasana penuh kasih
sayang, karena setelahnya kita lihat sendiri Rosa jadi punya sepasang buntel
kecil yang riang gembira ini, Che dan Chavez kecil.”
Apa-apaan dia di rumahku?
“Ya, yah, mestinya kamu bangga sekali ya,” kataku.
“Begini, kalau kamu enggak keberatan aku mau masuk sekarang—“
“Oh, sori,” ujarnya. Ia melompat menaiki undakan dan memutar kuncinya di lubang pintu, lalu melompat lagi
menuruni undakan untuk membantuku membawa masuk
kursi roda itu. Kami meletakkan barang tersebut di sebelah dalam pintu. Aku
memandang Harry. Ia tersenyum beloon padaku.
“Dari sini aku bisa sendiri kok,” kataku.
“Oh, baik,” sahutnya. “Kalau begitu, sampai ketemu lagi
ya.”
Ia berjalan dengan santainya kembali ke pekarangan.
Sejenak aku bergeming saja di ambang pintu, memenungkan muka koridor ini.
Segalanya tampak seperti sewaktu kutinggalkan: ada tanaman kastuba, ada patung
Brancusi, ada ornamen kaca bergambar Actaeon menyorotkan hiasan lengkungnya
yang ganjil ke lantai. Namun entah mengapa ada yang berbeda—hampir-hampir tidak
meyakinkan, perasaan sumbang lagi aneh yang dialami orang ketika akhirnya
mengunjungi tempat yang sudah berkali-kali dilihatnya lewat foto. Lantas,
seakan-akan ada yang menyengajakan supaya kewaswasan ini mereda, Mbok P
bergegas keluar dari dapur dengan sebaki kue berbentuk kupu-kupu beserta kendi
berisi jus jeruk.
“Tuan Charles!” jeritnya. “Benarkah ini Tuan? Silakan,
Tuan mau ambil kue kupu-kupunya?”
“Terima kasih,” ujarku. Lumayan juga nih.
“Berapa lama Tuan menunggu untuk menjenguk saya?” omelnya.
“Mengapa Tuan lama sekali baru ke sini?”
“Oh, kamu tahulah,” sahutku sembarangan saja. “Bagaimana
keadaan di sini? Bagaimana rumah ini?”
“Ay, Tuan Charles, kami sangat merindukan Tuan,” ia mendesah,
seraya melangkah ke belakangku untuk mengambilkan mantelku. “Sekarang semua
orang bekerja, semuanya repot, tidak ada yang sempat duduk, menikmati makanan
lezat …. Tetapi Tuan juga kan, Tuan Charles, Tuan juga orang penting, eh?
Sekarang Tuan bekerja, punya uang ….”
“Enggak sepenting itu
kok,” aku meyakinkan Mbok P, sementara ia melipat mantel itu di atas lengan
bawahnya lalu membawanya ke ruang penyimpanan barang. Terdengar kertak tangga
di belakangku. Aku mengedarkan pandang—lantas diiringi sedikit sentakan gembira
kulihat Bel datang menghampiri.
“Charles!” serunya.
Tidak, tunggu, itu bukan Bel, itu Mirela yang mengenakan
kimono perak Bel. Kurasakan jantungku terlonjak mundur, seakan-akan sudah salah
belok ke jalan satu arah—
“Ya ampun, bagaimana kabarmu?”
“Apa?” sahutku bingung, sambil berusaha tidak memandangi
separuh bulan daging yang berbentuk molek tersingkap lewat lubang kimononya
ketika ia menjulurkan badan melewati susuran tangga. “Oh—lumayan baik, lumayan
baik ….”
“Coba aku tahu kamu akan datang,” katanya, seraya
melangkah menyusuri sela-sela anak tangga. “Penampilanku seperti ini. Kenapa kamu
tidak berkunjung kemarin-kemarin? Kamu lupa pada kami?”
“Oh,” aku menggaok, “tahulah ….”
“Sepertinya kehidupanmu yang baru jauh lebih menarik ya.
Tetapi kamu bisa meneleponku kan, setidaknya?”
Mesti kujelaskan bahwa sebelum kemari aku sudah
mempertimbangkan siasat jika kebetulan bertemu Mirela. Pada akhirnya aku
memutuskan untuk tidak langsung menuding dia tentang pengabaian ataupun
ketiadaan perasaannya, karena nadanya yang sopan namun dingin tak tercairkan.
Namun, rupa-rupanya kini semua jadi membingungkan, karena ia—yang berjeda tepat
di atasku sementara tangannya bertengger pada susuran tangga bak bunga tanaman
rambat yang amat elok—terlihat kukuh bahwa akulah
yang mengabaikan dia. “Kukira obrolan
kita menyenangkan pada malam sesudah sandiwara waktu itu,” ujarnya. “Tetapi
lalu kamu pergi begitu saja. Kamu bahkan tidak pamit.”
Aku cuma bisa mangap. Apa aku sudah salah tangkap? Apakah
selama ini ia langut padaku?
“Kamu tampak baik-baik saja, Charles,” ucapnya lembut,
seraya turun menjejaki anak tangga kedua dari terakhir.
“Perbanku sudah diganti,” bisikku.
Siapa yang tahu kemungkinan yang terjadi seandainya Mirela
dibiarkan menginjak ujung tangga. Namun tanpa peringatan kesyahduan kami
terburai—oleh Mbok P, yang telah kembali dari ruang penyimpanan barang lantas
berdiri di belakangku. Ia mulai mengoceh panjang lebar yang kedengarannya
merupakan ceramah sengit dalam bahasa Bosnia.
“Oh Mama, pakai bahasa Inggris dong, bisa enggak sih?”
seru Mirela. Akibatnya ceramah tersebut makin kencang saja. “Kenapa enggak
menyuruh abang saja sih? Mereka kan cuma duduk-duduk main backgammon[4].”
Mbok P melipat lengan dan memandangi putrinya lekat-lekat.
Setelah sejenak memberontak, pertahanan Mirela pun roboh. “Baiklah, baiklah,
kalau-kalau ada yang lupa ibuku itu pembantu.” Mirela berpaling padaku
sambil memohon. “Maaf, Charles. Tetapi mungkin kapan-kapan kita ada kesempatan
buat mengobrol lagi,” dan kurasakan tangannya meluncur anteng ke arah tanganku
lalu meremas jemariku, sebelum ia mendongakkan kepala lalu berderap ke koridor.
Kaki protesenya menggerantangkan pembangkangan pada lantai kayu seiring dengan
berlalunya ia.
“Mengerti maksudku?” desak Mbok P di sampingku. “Semua
orang penting!”
“Ya,” sahutku sayup, sambil mengusap jemari tangan yang
beruntung tadi. “Ya ….”
Mbok P lalu mengangkat baki kuenya. “Saya harus membawakan
ini ke yang lain. Tuan Charles, Tuan sudah makan siang?”
“Hmm? Apa itu? Makan siang?”
“Mungkin saya buatkan Tuan roti lapis?”
“Oh, enggak, Mbok P, aku baik-baik saja kok, pasti Mbok sudah cukup repot tanpa—“
“Atau keju, kalau Tuan mau?”
“Keju, eh ….” Sudah lama aku tidak makan keju yang layak.
“Yah, begini saja. Bagaimana kalau Mbok mengambilkan kejunya
sedang aku yang mengantarkan baki ini, ke mana pun itu tujuannya.”
“Ah, Tuan selalu baik hati, Tuan Charles.” Mbok P
memberitahuku kue itu buat para aktor di ruang latihan, lalu menepuk-nepuk
lenganku dan terkedek-kedek menuju dapur, dari mana Vuk dan Zoran muncul
sebentar kemudian, terbirit-birit melewatiku bak kucing habis dibanjur air
panas menuju gudang kebun.
Gara-gara Mbok P bilang begitu aku jadi merasa rada lapar. Aku pun memakan sisa roti di baki dan
meminum jus jeruknya. Kemudian aku menuju ruang resital. Kudapati hampir
seluruh kawanan binatang liar itu telah berkumpul untuk berlatih dialog. Di
satu sudut seorang lelaki pendek-gemuk beserta
seorang gadis yang mengenakan penjepit rambut tengah
memperdebatkan sebuah topi dan apakah benda itu terlihat cukup legal. Di mana-mana di sepanjang dinding
ada orang duduk dalam posisi teratai sambil memejamkan mata dan berkomat-kamit.
Namun kebanyakan tengah melangkahi lantai, sembari memberengut pada naskah yang
dibawanya dan bergumam sendiri. Agaknya ada semacam indra keenam yang menjaga
mereka supaya tidak menabrak satu sama lain. Pemandangan yang cukup luar biasa,
seperti berada di konvensi pejalan tidur.
“Sayang!” terdengar suara Bunda di belakangku. “Oh, betapa
baiknya kau telah datang dan menjengukku! Tetapi betapa pucatnya rupamu, sayangku. Duduklah dan ceritakan padaku ada
masalah apa—“
“Oh, halo Bunda, enggak ada apa-apa kok, cuma rada
kecapekan kayaknya ….”
“Apa?” Bingung ia tengadah dari lembaran yang dipegangnya.
“Oh, halo Charles, kamu sedang apa di sini?”
“Apa?” aku mengejap. “Oh … aku cuma mampir membawakan
kursi roda.”
“Kursi roda, bagus sekali! Kita mesti memberi tahu Bel,
kursi roda itu untuk perannya—Charles, mengapa kamu membawa-bawa baki kotor?”
“Mbok P yang memberiku,” kataku.
“Ck, ck,” ucap Bunda, sambil menggeleng-geleng. “Apa tidak
ada habisnya wanita itu mengambil jalan tikus? Hei, turunkan itu, sayang, kami
agak repot tetapi kamu mungkin mau minum apalah selagi di sini.”
Kutinggalkan baki di bufet lalu mengikuti Bunda ke
koridor. “Kamu tampak sehat, Charles,” tegasnya, seraya mengangguk pada
beraneka Penghuni yang lewat. “Pipimu ada ronanya.”
“Perbanku sudah diganti, kalau itu yang Bunda—“
“Ketabahan, itu
dia. Aku tahu ini akan bagus untukmu, keluar memasuki dunia nyata yang berat
lagi kacau.”
“Ya, Bunda,” seraya terseret-seret di belakangnya menuju
ruang makan.
“Bekerja dengan jujur itu menabahkan,” renungnya, seraya menuangkan segelas sherry untukku, kemudian segelas lagi
untuk dirinya sendiri, “memberikan sumbangsih, memperoleh imbalannya, pulang
naik trem dengan kepuasan karena menyadari bahwa peranan yang dimainkannya,
biarpun kecil, sangatlah dibutuhkan bagi keseluruhan. Kepuasan semacam itu
tidak ternilai, ya kan, sayang?”
“Tidak,” sahutku, “meski soal bayaran yang sebenarnya, itu sudah diatur supaya—“
“Bagus, karena itulah yang menjaga supaya seluruh dunia
terus berputar, Charles, ya kan? Kerjamu apa, persisnya? Semacam Pamong Praja kan, ya? Apakah memang menabahkan?”
“Yah, kurasa kerjaku cukup me—“
“Kamu tahu bahwa kami semua teramat bangga padamu …” gelas di tangan dicengkamnya menjauh[5].
“Meski seperti yang kukatakan di sini pun kami sangat repot, sandiwara baru
Harry akan tampil tiga minggu lagi dan kami semua bekerja sekeras orang-orang
berkulit hitam. Bukan berarti kami
menghasilkan uang dari situ—barangkali kami bisa mendaftarkanmu sebagai salah
seorang penyokong kami, Charles?”
“Ha ha,” sahutku malas, hendak menjauhi kotak Pandora yang
memuat masalah ekonomi sekaligus Oedipus-kompleks yang melekat pada gagasan
satu itu.
“Karya yang hebat, luar biasa. Bisa dibilang, anak itu
mengetahui kisah kehidupan sehari-hari, kisah Manusia Biasa. Sebab keadaannya
serbaenak bagi kita yang hidup di menara gading dan melakukan kerja Pamong Praja yang nyaman ini, Charles, namun bagaimana dengan yang
kurang beruntung? Kamu tahu kan, hidup mereka serbasusah.”
“Ya, bisa kubayangkan—“
“Karena itulah mereka sungguh beruntung memiliki penulis
seperti Harry yang memberi mereka suara. Walau aku tidak bisa menyatakan diriku
sepenuhnya netral, karena mendapatkan peran kecil, sebagai ibu yang
sakit-sakitan.” Ia tertawa, lalu meneguk sherry-nya.
Kumanfaatkan jeda itu untuk menanyakan keberadaan Bel agar bisa memberi tahu
dia aku sudah membawakan kursi rodanya.
“Oh, hanya Tuhan yang tahu,” sahut Bunda. “Sedang
terombang-ambing entah di sebelah mana lantai atas, sepertinya. Bersikaplah
yang lembut padanya, belakangan ini ia menjelma Antikristus.”
“Benarkah?” ujarku. “Kedengarannya ia baik-baik saja
sewaktu bertelepon denganku.”
“Percayalah padaku,” Bunda menyahut muram. “Lagi pula
kelakuannya itu tidak berfaedah, Charles, ketika orang hendak mengusahakan
latihan sandiwara, semuanya harus mendayung bersama-sama.” Ia mengeluarkan
desahan berat sebagaimana biasa. “Mudah-mudahan saja ia tidak terjerumus ke
kebiasaan lama, justru ketika akhirnya
ia terlihat mulai bergaul ….”
Aku jadi kecut. “Jangan bilang begitu ah,” kataku. “Mungkin saja ia cuma terlalu bersemangat,
Bunda tahu sendiri kan seperti apa dia itu ….”
“Mmm,” ragu-ragu Bunda menanggapi, sambil melekatkan
jemarinya pada gelas sherry. Aku pun
minta diri dan menaiki tangga diiringi sedikit kegentaran.
Bel berkimono di ujung koridor sebelah luar kamarnya,
sambil mondar-mandir menyeret kaki dengan kepala menunduk di atas naskah, dan
dengan ganjil menyentak-nyentakkan tangannya yang satu lagi ke samping.
“Aku tidak menghendaki kemurahan hatimu, Ann,” ia berucap.
“Malah aku muak dengan seluruh perbuatan sok sucimu. Mungkin kau benar. Mungkin
aku orang yang ketus dan egois. Namun aku bisa saja menjadi model yang sebaik kau—bahkan
lebih baik, seandainya bukan karena mobil yang menabrakku sewaktu kecil.” Ia
terdiam, seakan-akan membiarkan adanya balasan, lantas, dengan marah:
“Menolongku? Bagaimana mungkin kau menolongku? Apa kau hendak melambaikan
tongkat ajaib sehingga industri mode mau duduk dan memerhatikan kaum penyandang
cacat? Apa kau hendak mewujudkan itu sehingga ketika masyarakat melihatku,
mereka tidak sekadar mendapati kursi ini, dan mencekokiku dengan stereotip
picik mengenai sesosok oh ya Tuhan—“
saat aku menepuk bahunya dan ia pun berputar sambil mendekap naskahnya—“Apa-apaan kamu ini, mengendap-endap begitu?”
“Halo, Charles. Senang berjumpa denganmu, Charles.
Charles, betapa baiknya kamu mampir kemari selagi senggang dan membawakan kursi
roda tolol ini untuk sandiwara menjemukan kami—“
“Kamu bawa kursi roda?” sahutnya, seraya menduduki salah
satu dus berdebu yang berserakan di bordes. “Ditaruh di mana?”
“Di koridor,” ucapku. “Bunda bilang kamu mesti ingin
mengetahuinya. Kamu sedang apa sendirian saja di atas sini? Kenapa ada dus di
mana-mana?”
“Ini dari loteng. Kami mau mengubek-ubeknya kalau-kalau
ada yang bisa dimanfaatkan. Dari tadi
aku di sini supaya bisa tenang mempelajari dialogku. Tetapi rupanya aku cuma
mengecoh diri.”
“Punya Harrykah yang sedang kamu baca itu? Yang baru itu?”
"Lihat saja sendiri," katanya, seraya menyodorkan naskah padaku lalu beranjak ke kamarnya.
"Lihat saja sendiri," katanya, seraya menyodorkan naskah padaku lalu beranjak ke kamarnya.
[1] Artinya kurang lebih: “Habisi
Gelandangan”
[2] Drama gubahan A. A.
Milne, dipertunjukkan pertama kali pada 17 Desember 1929, merupakan fabel
petualangan seekor katak bernama Mr Toad
[3] Rosa Luxemburg (5 Maret
1871 – 15 Januari 1919), warga Jerman keturunan Yahudi pejuang Marxisme
[4] Sejenis permainan papan
untuk dua orang
[5] Back out, bisa berarti mundur dari komitmen yang telah dibuat,
dalam hal ini komitmen untuk mengatasi kecanduan alkohol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar