Inspektur Syarbel Barud
tengah mencungkili giginya sambil mendengarkan penjelasan para petugas damkar.
Kasus ini mulai mengusik dirinya. Selama lima hari ini ia telah menghabiskan
waktu mengunjungi warga Rabieh untuk mengumpulkan keterangan mengenai makhluk
ganjil yang tengah merebakkan kepanikan di kawasan pemukiman kalangan atas di
Gunung Lebanon. Fakta-fakta yang telah terkumpul sejauh ini belum meyakinkan.
Sebagian saksi menyatakan telah melihat naga, yang lainnya menyebut dinosaurus.
Di suatu negeri yang
mayoritas penduduknya sangat percaya takhayul dan memperlakukan ramalan bintang
bak Injil serta lebih memilih dukun ketimbang dokter, tidak mudah membedakan
antara fakta dan fiksi, maupun khayalan dengan kenyataan. Pada dasarnya ia
orang yang skeptis dan tidak mempraktikkan kepercayaan ibunya secara serius.
Ibunya menyalakan lilin supaya ia kembali dengan selamat dari penugasannya,
serta memohon dengan khusyuk pada Santo Syarbel[1]
supaya ia menemukan jodoh yang sepadan dan tidak melewatkan Rabu sebelum Paskah—disebut
juga Rabu Ayub—supaya
tidak diganyang semut saat tidur….
Inspektur Barud mengaku bangga beragama Maronit, namun ia tidak betul-betul memercayai mukjizat yang dihubung-hubungkan pada patung-patung di pedesaan yang disebut-sebut dapat mengeluarkan minyak, air, dan darah. “Itu seperti cerita tentang Loch Ness. Hal remeh kok dibesar-besarkan!” batinnya, sembari terpikir akan tayangan tentang monster Skotlandia nan misterius itu, yang baru-baru ini disiarkan di televisi. Teori terbaru menyebutkan bahwa monster itu sebetulnya gajah yang melarikan diri dari sirkus, adapun wujud yang timbul dari perairan—yang menjadi objek dalam foto yang terkenal lagi kontroversial tersebut—ternyata cuma belalai hewan berkulit tebal yang bandel itu.
Inspektur Barud mengaku bangga beragama Maronit, namun ia tidak betul-betul memercayai mukjizat yang dihubung-hubungkan pada patung-patung di pedesaan yang disebut-sebut dapat mengeluarkan minyak, air, dan darah. “Itu seperti cerita tentang Loch Ness. Hal remeh kok dibesar-besarkan!” batinnya, sembari terpikir akan tayangan tentang monster Skotlandia nan misterius itu, yang baru-baru ini disiarkan di televisi. Teori terbaru menyebutkan bahwa monster itu sebetulnya gajah yang melarikan diri dari sirkus, adapun wujud yang timbul dari perairan—yang menjadi objek dalam foto yang terkenal lagi kontroversial tersebut—ternyata cuma belalai hewan berkulit tebal yang bandel itu.
Inspektur Barud masuk
lagi ke dalam jip, membuka sebotol bir, dan memadamkan dahaganya. “Atasi
persoalan ini secepatnya,” begitu kata bosnya, Superintenden Jamil. “Atasi
persoalan ini”? Bicara memang gampang! Media lokal yang doyan sensasi
mengacaukan isu tersebut dengan mencetuskan hipotesis-hipotesis absurd, dan
lokasi tempat hewan tersebut dilaporkan pernah terlihat terlalu berjauhan antar
satu sama lain untuk memberlakukan zona aman.
Namun Inspektur Barud
bukan orang yang mudah gentar. Ia diberkahi reputasi yang hebat sebab telah
berjasa melakukan beberapa penangkapan yang spektakuler: para pengebom Zalka,
para pembunuh jauhari dari Burj Hammud, para perampok bank Qornet Syehwan…. Di
pos pemeriksaan, ia tidak ragu-ragu mengikat tangan dan kaki tersangka serta
membebatkannya pada sebuah tongkat yang dipasang melintang di antara dua kursi.
Teorinya simpel saja: seorang pelanggar hukum tidak akan pernah buka mulut jika
belum muntah darah. Menurutnya asas praduga tak bersalah itu suatu
penyimpangan, sehingga ia membalik aturan tersebut agar lebih sesuai dengan
kenyataan: “Semua orang bersalah sampai terbukti yang sebaliknya.” Karena
terkesan akan caranya yang bertangan besi, rekan-rekannya menjuluki dirinya
“Dirty Harry”. Supaya mereka tidak kecewa, ia merasa wajib untuk secepatnya
menemukan monster itu, yang telah merusaki halaman, mengotori kolam renang,
menggigiti kuda-kuda, dan mengganyang ayam-ayam.
“Inspektur Barud?” ucap
seseorang.
“Siap,” tanggapnya,
pada wanita yang baru saja memanggilnya.
“Saya rasa saya dapat
membantu Anda….”
Ia tergugah, tersadar
dan menatap wanita itu dengan saksama. Tampaknya wanita itu berusia enam
puluhan tahun. Tubuhnya sintal, tulang pipinya menonjol, dan garis lehernya
yang rendah memamerkan payudara yang membusung. Namun penampilannya yang kurang
senonoh itu diperhalus oleh rambut hitamnya yang disanggul dengan elok, serta
mata hijaunya yang indah dan berkilau cerdik.
“Silakan,” sungutnya,
seraya mengeluarkan buku catatan dan pensil.
“Itu anak laki-laki
saya, Pak Detektif. Sewaktu usianya lima belas tahun, dia membawa pulang seekor
kadal berperawakan aneh dari Indonesia dalam ranselnya.”
Sang inspektur
mengangkat sebelah alis, jelas-jelas tertarik pada cerita itu.
“Suatu hari,” lanjut
wanita itu, “hewan itu hilang di hutan Rabieh, di dekat rumah kami. Dia tidak
pernah menemukan hewan itu lagi setelah itu. Belum lama ini dia menelepon saya
dari Jerman, tempat dia tinggal saat ini, untuk
mengingatkan saya bahwa makhluk yang sedang dicari Anda itu kemungkinan kadal
miliknya, yang mestinya sudah besar sekarang.”
“Kadal raksasa! Kadal
jenis apa itu?”
Wanita itu menyusupkan
tangan ke bagian depan bajunya, lalu mengeluarkan selembar kertas dan
menyerahkan itu pada sang inspektur.
Inspektur Barud
menyipitkan mata dan membaca keras-keras.
“Biawak Komodo.”
Ia memasang raut
skeptis. Ia tidak suka mendengar nama itu. Meski begitu ia menuliskannya di
buku, mencatat alamat serta nomor telepon wanita itu, dan berpesan agar dia
berterima kasih pada anak lelakinya atas bantuannya yang baik hati. “Lain kali,
pastikan ia membeli ikan mas atau burung kenari saja.”
Malam itu, sang
inspektur buru-buru pulang untuk memeriksa ensiklopedia yang memperindah rak
bukunya. Sebelumnya ia tidak pernah sempat melihat-lihat buku itu, yang
merupakan pemberian Paman Albert pada hari kelulusannya dari SMP. Dengan suara
pelan ia membaca huruf demi huruf pada abjad untuk menelusuri letak huruf “B”,
lantas mulai mencari kata “Biawak”, sambil mengulurkan lidahnya tanda
berkonsentrasi. Lima menit kemudian ia menemukan kata tersebut. Foto
ilustrasinya menunjukkan sesosok makhluk mengerikan, perpaduan antara
dinosaurus dan buaya. Hidungnya panjang, kakinya kuat dan pendek, dan kulitnya
dilapisi sisik yang keras. Ia belum pernah melihat apa pun yang menyerupai itu
dan baru mengetahui bahwa hewan yang semacam itu dapat hidup, atau setidaknya
masih hidup pada masa kini. Buru-buru ia membaca catatan mengenai hewan itu:
Biawak (atau naga) Komodo (Varanus komodoensi) adalah spesies
kadal terbesar di dunia. Hewan yang hidup di Indonesia ini memiliki rahang yang
menakutkan, dengan enam puluh gigi bergerigi tajam. Hewan ini rata-rata
memiliki panjang 2,5 meter dan berat 165 kilogram, meski tercatat ada spesimen
yang panjangnya mencapai lebih dari 3 meter. Ketika menyerang mangsa yang
besar, Biawak Komodo mula-mula mematahkan tulang rusuk hewan tersebut dengan
giginya yang tajam. Perilakunya berbeda pada mangsa yang lebih kecil, yaitu
dengan menangkap hewan tersebut menggunakan mulut serta
mengguncang-guncangkannya dengan keras hingga tubuh mangsanya merekah. Nafsu
makannya sangat besar. Seekor Biawak seberat 52 kilogram dapat melahap 26
kilogram daging dalam 17 menit. Jikapun dapat melarikan diri dari “monster”
ini, korbannya akan mati akibat gigitannya, sebab bakteri yang terkandung dalam
liurnya sangat berbahaya sehingga menghambat pemulihan dan menyebabkan kematian
akibat keracunan darah dalam beberapa hari. Komodo dewasa memakan babi, celeng
liar, kijang, anjing, kerbau, dan kuda. Adapun komodo yang masih muda
memakan tikus, burung, kadal kecil, tikus, dan serangga.
Sang inspektur
merinding. Dengan begitu hipotesis yang diajukan wanita tadi masuk akal. Kadal
yang dibawa anak lelakinya dari Indonesia itu telah tumbuh dewasa di hutan dan,
secara alamiah, menjelma hewan raksasa yang terpaksa bertahan hidup di luar
habitat aslinya dalam suatu lingkungan yang tidak dikehendakinya. Ia melipat
halaman yang baru saja dibacanya dan, sembari mengepit ensiklopedia itu,
langsung pergi menghadap bosnya, yang tampak lebih gelisah daripada biasanya.
“Percayakah kau,
Barud,” gerutu Superintenden Jamil, “warga kita, yang lima belas tahun lamanya
bertahan dalam perang saudara, sekarang panik gara-gara mengira ada binatang
berkeliaran mencari mangsa di sekitar Rabieh. Stasiun-stasiun televisi
menyiarkan berita tentang itu, desas-desus merebak, orang-orang mengurung diri
di rumah begitu gelap, bersembunyi dari monster yang tidak jelas bentuk rupanya
itu…. Bahkan Menteri Dalam Negeri, yang rumahnya di kawasan itu, secara pribadi
memerintahkan aku supaya lekas tanggap demi kepentingan warga situ!”
“Saya tahu solusinya!”
sahut sang inspektur, seraya dengan bangga membuka ensiklopedia tersebut pada
halaman yang telah ditandai.
Inspektur Jamil mengenakan
kacamatanya dan meninjau kolom tersebut. Meski takjub, rahangnya mengendur.
“Kau … kau yakin soal
ini?” gagapnya, sembari menyeka dahi.
Sesaat Inspektur Barud
ragu. Apakah ia sungguh-sungguh meyakini hal ini? Jangan-jangan wanita bermata
hijau itu menipunya? Bagaimana jika itu ternyata cuma serigala yang kelaparan?
Sanggupkah ia mempertahankan teori Biawak ini tanpa kemungkinan keliru?
Nalurinya belum pernah salah. Sekali lagi, ia menurutinya.
“Yakin betul!” ujarnya
mantap.
Sang superintenden melompat
bangun, beranjak ke lemari, membukanya dan mengeluarkan sebuah senapan angin.
Dengan tegas dia berseru:
“E lafékkélak raébto! Akan kucekik leher
binatang itu!”
Pagi-pagi sekali keesokan harinya, perintah diberikan pada
semua unit kepolisian di Gunung Lebanon untuk menyebarkan jaring ke seluruh kawasan, dilengkapi dengan
persenjataan, untuk membunuh binatang itu tanpa peringatan. Para pemadam
kebakaran mengadakan patroli dan ronda dibantu oleh Kepanduan Lebanon,
sementara satpam-satpam ditempatkan di setiap penjuru jalan. Atas prakarsa
Superintenden Jamil, potongan-potongan daging beracun diletakkan di hutan
sebagai umpan untuk monster yang tengah berkeliaran itu. Bahkan
helikopter-helikopter angkatan darat pun didatangkan untuk mengawasi kawasan
tersebut.
Namun segala upaya itu sia-sia. Meski telah dilakukan
pencarian dengan mengerahkan sumber daya yang ada, naga Komodo itu tidak juga
ditemukan. Apakah hewan itu mati karena racun? Apakah dia pindah ke tempat yang
lebih aman? Bagaimana jika hewan itu rupanya cuma ada dalam pikiran orang-orang
iseng?
Menteri Dalam Negeri pun berang karena telah menyesatkan
penduduk akibat sekumpulan orang dungu yang tidak cakap. Ia menghukum
Superintenden Jamil dengan mengirimnya ke Nabatiyeh, perbatasan Lebanon-Israel.
Adapun “Dirty Harry” dioper ke distrik Hermel, yang merupakan benteng
pertahanan Hizbullah. Sang inspektur menjadi gelisah
tak keruan. Namun ia belum menyerahkan harapan bahwa
suatu saat misteri itu dapat dipecahkannya. Demi membalas dendam atas
kehormatannya, yang telah diinjak-injak oleh seekor kadal.[]
Cerita ini diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Laurie
Wilson dan termuat dalam Words Without
Borders edisi Maret 2008: “The Groves of
Lebanon”.
[1] Rahib dan imam Katolik Maronit berkebangsaan Lebanon (l. 1828, m. 1898)
[1] Rahib dan imam Katolik Maronit berkebangsaan Lebanon (l. 1828, m. 1898)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar