Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170806

An Evening of Long Goodbyes, Bab 11 (Paul Murray, 2003)

Bukan pidato Bel yang menggelisahkanku. Orang tidak hidup bersama Bel selama dua puluhan tahun tanpa terbiasa menjadi sasaran pidatonya sewaktu-waktu. Diusir dari Amaurot pun aku sudah terbiasa.

“Tetapi ia meminta dukunganku. Bel enggak pernah meminta dukunganku. Selama aku mengenal dia, enggak pernah sekali pun dia memintaku untuk memberi dukungan atau nasihat, bahkan bantuan untuk merakit dapur bonekanya ….” Aku memutar-mutar gelas dan memberengut pada golakan air di dalamnya. “Aku tahu ada yang aneh. Dan itu ada hubungannya dengan Harry si bangsat itu.”

“Memang dia itu biang kerok,” Frank berkomentar dari sofa.

“Bukan cuma karena dia itu biang kerok,” kataku. “Dia itu aktor. Ini musibah. Secara pribadi aku enggak memercayai aktor sama sekali. Sebab lihat saja kenyataannya. Kenyataannya Bel sudah empat tahun kenal dia tanpa ada tanda-tanda suka, lantas ketika gagasan mengadakan teater ini terwujud dengan sendirinya ia muncul lagi dengan membawa-bawa naskah dan mendadak segalanya jadi tentang Doris Day serta menara SUTET yang menyanyi dalam embusan angin. Ia juga mencocoki hidung Bunda dan mencampuri urusan rumah.” Aku melangkah ke pintu dapur. “Maksudku, belum lagi peran yang khusus dibikinnya untuk Bel.”

“Suatu saat,” ucap Frank, sembari menatap langit-langit, “dia bakal menerima akibatnya.”

“Kalau saja Bel enggak sebegitunya naif,” ujarku kesal. “Masalah pokoknya Bel tuh saking naifnya sampai-sampai ia mengira dirinya bijak. Seharusnya ia enggak boleh dekat-dekat dengan bandit seperti Harry—sialan, apa gerangan yang kupikirkan, meninggalkan Bel di sana sendirian? Bagaimana bisa aku membiarkan dia jatuh ke tangan si ular alang-alang itu?”

“Ular kan enggak punya tangan, Charlie.”

“Diam, Frank, jadilah anak baik.” Aku melintas kembali ke arah lemari laci. Frank menemukan barang itu di bak sampah. Walaupun sudah reyot, aku mulai menyenangi lemari itu dan membujuk Frank supaya tidak menjualnya. Suasana jadi tidak seberapa suram berkat keberadaan lemari serupa itu di rumah.

Aku mengisi lagi gelasku, seraya mengetuk-ngetukkan jemari pada kayu lemari. Mesti gara-gara Harry. Apa lagi yang memungkinkan keganjilan ini terjadi? Bel sudah mewujudkan teater jeleknya. Ia sudah mendapatkan peran utama. Ia pun sudah menjejali rumah dengan para penganut Marx. Satu-satunya penjelasan yang mungkin ialah cinta monyetnya kali ini entah bagaimana tidak berjalan mulus.

Kalau memang ini perkaranya, bukannya tidak ada contoh dari pengalaman yang dulu-dulu. Kisah cinta Bel selalu begini pada akhirnya—alurnya berbolak-balik, maksudku. Tahu-tahu ia bertemu dengan cowok-cowok tolol lalu jatuh cinta murni karena mereka sesuai dengan apa pun cita-cita nonpraktis yang tengah diupayakannya pada waktu itu, tanpa pikir panjang menyelam dengan kepala masuk air lebih dulu, dan ketika timbul masalah, karena mau tidak mau pasti ada, menyalahkanku berikut campur tanganku. Meski begitu, nyatanya Bel butuh ada yang campur tangan. Ia mungkin saja lepas dari kesembronoan serupa itu dengan orang berpembawaan seperti Frank, yang tidak sanggup memikirkan dua hal sekaligus tanpa harus duduk. Harry ini perkara yang sama sekali lain. Dia itu penyusun komplotan, bermuka dua, jenis orang licik yang gemar menghabiskan malam di ruang bawah tanah, menyusun kepribadian baru dari yang sudah-sudah. Namun apa gerangan yang dapat diperbuat olehku, yang terperangkap bermil-mil jauhnya di gubuk ini? Bagaimana aku dapat membantu Bel dari sini?

Beberapa hari setelah kunjunganku ke Amaurot, Bunda menelepon untuk memberitahukan bahwa Mbah Thompson sudah meninggal. Tampaknya Oliver tidak sengaja meninggalkan lelaki tua itu di beranda sementara ia pergi berbelanja. Sepulangnya, ia mendapati mbah-mbah itu sudah kaku di kursi, “beku seperti potongan ikan,” demikian yang dikatakan Bunda. Olivier histeris. Dibutuhkan tiga paramedis untuk melepaskan dia dari tubuh si mbah. Ia pun tidak boleh ikut naik ke ambulans. Bunda bilang Olivier tidak beranjak dari pekarangan hingga berjam-jam setelah ditinggal pergi. Ia berlarian sambil berteriak-teriak dan menangis dan hampir-hampir melolong pada bulan.

Maksud sebenarnya Bunda meneleponku ialah untuk menanyakan kalau-kalau aku bersedia membantu saat pertunjukan perdana Titian dua minggu lagi. Mereka hendak menjalankan gagasan Mirela dan mementaskan pertunjukan spesial yang hanya diselenggarakan sekali itu saja, di mana para investor potensial akan diundang. Bagiku rasanya cukup paradoksal menghadirkan penggalang dana di lingkungan mewah begitu, namun Bunda menjelaskan bahwa sudah umum diketahui bahwa cara terbaik untuk memperoleh uang dari orang yang lebih makmur ialah dengan bersikap seolah-olah tidak butuh. Bunda bilang, akan ada tiket cuma-cuma bagi siapa pun yang urun tangan.

Aku mengatakan bahwa meskipun tawaran Bunda menarik, mengingat arah pertemuan kami yang terakhir, mungkin lebih baik kalau sementara ini aku menghindari Bel. “Kelihatannya ia lagi rada sensitif,” kataku.

Bunda tidak mau tahu. “Sama sekali tidak ada yang salah dengan gadis itu,” ujar Bunda, “selain marah karena ia bukan lagi pusat perhatian.”

“Menurut Bunda dia enggak …?”

“Tidak sedikit pun,” Bunda menyahut mantap.

Andai saja aku bisa benar-benar yakin. Setelah kejadian di Amaurot, aku penasaran kalau-kalau kematian Thompson boleh jadi semacam pertanda. Selama hari-hari berikutnya, aku mulai merasa kegelapan nan asing tengah menindihku, dan malamnya aku merasa dapat mendengar ratapan Olivier yang serupa tangisan kuntilanak, terembus bersama angin.

Bahkan berita pada waktu itu pun terasa aneh bin ajaib: di Balkan ada mayat-mayat yang menunggu di balik lempung; di pengadilan berturut-turut para politikus bersetelan abu-abu mengungkapkan kebusukan mereka; pernah, ketika ada siaran langsung dari semacam pertikaian di suatu konvensi akuntan di Seattle, aku bersumpah menyaksikan salah seorang tukang bangunan Follyku memelesat dengan isolasi plastik kuning besar berbentuk huruf W melekat di kepalanya, sambil melenguh ribut sementara empat polisi bermasker gas menghalau dia dengan baton.

Solusinya menghampiriku pada suatu malam dari sumber yang sungguh tak disangka-sangka. Walaupun sebenarnya, selazimnya solusi terbaik, selama ini solusi tersebut ada di pelupuk mataku. Waktu itu Frank sedang di dapur mencari-cari perabot masak, Droyd pergi melapor pada pengawas bebas bersyaratnya, adapun aku duduk-duduk di kursi seperti biasa sepulang kerja, sambil mengisap pipa yang dibawa pulang Frank dalam salah satu kardus dan merenungkan betapa nahas bahwa dari semua bajingan yang ada di dunia Bel malah mendompleng Harry. Singkatnya, malam itu biasa-biasa saja, kecuali mestilah ada yang telah menata ulang rongsokan, atau kalau tidak dalam beberapa hari ini Frank habis bertemu pembeli yang lebih lugu daripada biasa, sebab tidak sewajarnya ruangan jadi berhawa lapang, bahkan beberapa bagian diberi karpet yang sepertinya baru kali ini kulihat. Selain itu, tampak bunga-bunga segar dalam vas di meja, televisi dimatikan, dan alih-alih apartemen benderang oleh petromaks bergaya tempo dulu, dikaitkan pada cantelan di langit-langit. Kini Frank masuk dan mulai mengelilingi ruangan, sambil memunguti barang dan mengerling tanpa guna ke bagian bawahnya. Sesaat kemudian aku jadi gugup dibuatnya, maka aku pun menanyakan perbuatannya.

“Enggak ke mana-mana, Charlie?” ucapnya.

“Apa?” sahutku. “Dasimu agak mencong, bung.” Frank mengenakan dasi yang dijepit yang sepertinya bonus dari apa begitu.

“Oh iya,” ujarnya, mukanya berubah gelap. “Enggak, kirain kamu mau ke mana gitu, bareng orang-orang Latvia itu atau apalah.”

Memang pada minggu itu sempat ada omong-omong di Zona Pengolahan B tentang kemungkinan berkunjung ke tempatnya Bobo untuk bermain kartu. Tetapi akhirnya aku memutuskan aku sedang kelewat sedih dan mending melalui malam di rumah saja. Demikian kusampaikan pada Frank, sambil mengimbuhkan bahwa kupikir memernis lemari lacinya nanti saja itu pun kalau ia mau.

“Oh iya,” sahut Frank lagi. Sesaat ia bergeming saja tanpa tujuan, lantas terseok-seok kembali ke dapur. Aku tidak mengacuhkan dia lagi, dan mulai membukai daftar film tak bermutu di TV:

He Got Goyim (1992): kisah nyata tentang rabi New York penakut yang hidupnya menjadi kacau ketika ia dipindahkan dari sinagogenya untuk melatih tim basket di kawasan kumuh kota.

Seketika itulah bel pintu berbunyi. Aku tidak sedang mengharapkan kedatangan siapa pun. Aku meneriaki Frank, namun tidak ada jawaban. Pasti ia sedang sibuk mengerjakan apalah yang menimbulkan bau hangus beracun dari dapur. Seraya menggerutu, aku pun bangkit dan membuka pintu, demi disambut jeritan memekakkan telinga yang terdengar akrab.

“Laura!” sahutku. “Kejutan menyenangkan.”

“Maaf, Charles,” ia tergagap-gagap. “Aku lupa terus kamu pakai …” seraya menggerak-gerakkan kedua tangan di depan wajahnya untuk memperjelas.

“Enggak apa-apa.” Aku membantu Laura berdiri dan membawakan tasnya sementara ia mengisap alat bantu bernapas. “Sebenarnya aku dan Frank baru saja mau mengudap, barangkali kamu mau ….”

Ia megap-megap berterima kasih lalu membungkuk melewati lenganku memasuki apartemen bersudut banyak itu. “Wow, ini benar-benar ….”

“Seperti dalam ceritanya Kafka, ya?” aku mengusulkan.

“Yeah, macam gayanya Laura Ashley itu, ya[1]?”

Aku mengambil mantel Laura dan menanyakan apa gerangan yang ia lakukan di daerah ini.

“Ah, lucu deh ceritanya,” ia berujar, diiringi tawa merdu. “Begini, baru saja kemarin aku kemari untuk melihat-lihat—hei, Frank, kenapa kamu enggak menceritai Charles?”

Frank tampak di lubang pintu, berhiaskan senyum memendam maksud. Celemeknya tidak tampak, begitu pula rona kemalu-maluan di wajahnya: sebagai gantinya ada warna kelabu yang mungkin akibat menghirup asap, sementara dapur terlihat hampir-hampir tidak mungkin dimasuki.

“Ini dia orangnya,” kataku. Diiringi senyum, Frank berbalik dan ditelan kepulan asap. “Maaf ya, ia bukan tuan rumah yang baik. Kamu mau minum kan?”

Aku memasuki dapur dan memberi tahu Frank aku mengajak Laura untuk makan malam bersama jika ia tidak keberatan. Laura juga boleh mengambil jatahku jika tidak ada cukup makanan. Aku ragu Frank mendengarku, sebab api mulai merembet masuk ke panci-panci dan ia sibuk memadamkannya. Aku memutuskan sebaiknya tidak mengganggu dia.

Tampaknya tidak ada anggur, namun untungnya entah dari mana muncul sebotol Rigbert’s yang belum dibuka di meja. Aku mengambil botol itu serta beberapa gelas dan menyuruh Frank supaya keluar dari dapur dan mengobrol barang sebentar bila sempat.

“Oh ya Tuhan,” Laura tertawa saat melihat botol itu. “Sebaiknya aku sama sekali enggak minum itu lagi, kali terakhir kan aku sampai enggak sadar ….”

“Nonsens, cuma pembuka ringan kok,” sahutku. “Aku kok belum dengar ya kamu bilang mau mencari apartemen di Bonetown?”

“Harga apartemen di sini kompetitif banget,” ujar Laura. “Dan modelnya bakal cantik-cantik, aku sudah lihat rancang bangunnya.”

“’Bakal’?”

“Yah, apartemennya belum pada dibangun sih, pengembangnya masih harus meruntuhkan gedung-gedung lama yang mengerikan itu. Sekarang yang bisa dilihat cuma orang-orang pada mengacungkan plakat di mana-mana.”

“Oh iya, aku heran kenapa ya itu.”

“Penghuni di sini tuh ada yang kasar banget, Charles,” sahutnya. “Bahkan ada yang menyambiti agenku pakai batu.”

“Itu mah belum apa-apa,” kataku.

“Mestinya mereka tuh senang. Maksudku, mereka kan bakal dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman, kayak di dekat pedesaan begitu? Mereka bukannya bakal dibiarkan begitu saja di pinggir jalan.”

“Tentu saja,” sahutku. “Yah, mari bersulang untuk tempat yang lebih nyaman—tos.”

Aku belum berjumpa dengan Laura sejak malapetaka pesta makan malam saat aku mencium Bel alih-alih dia, dan sejujurnya aku belum kebelet untuk berjumpa dengan dia lagi. Akan tetapi, akhirnya toh kami cukup bergembira ria. Hadirnya perempuan di apartemen ini sungguh menyegarkan, apalagi perempuan yang cantiknya spektakuler serupa Laura. Ia punya serangkaian lelucon mesum yang diperolehnya dari surel di tempat kerja. Setiap lelucon semakin tidak senonoh saja kedengarannya daripada yang sebelumnya, dan aku pasti sedang megap-megap ketika Frank akhirnya muncul dari embusan asap, seraya menyangga tiga piring yang membara.

“Mantap!” seruku, sambil bertepuk tangan dan bersuit. “Bagus sekali!”

“Kelihatannya enak,” kata Laura.

“Eh, Charlie, kamu mau duduk di kursi?”

“Tidak, tidak, bung, benar kok tidak apa-apa.” Di sofa aku sudah meringkuk dengan nyamannya di sebelah Laura, yang tengah duduk menyamping sehingga tungkainya melengkung di atas pangkuanku dan jemari kakinya—ia melepaskan sepatunya setelah dua gelas—bergoyang-goyang di lengan sofa.

Frank bergumam tidak jelas lalu duduk di kursi. Aku dan Laura berusaha menenangkan diri serta mengarahkan perhatian pada hidangan hangus Frank. Suasana jadi tenang sementara kami mengunyah makanan tidak dikenal itu tanpa suara, lantas Frank pun mulai merenungi: “Tahu enggak, rasanya adem gitu, ya, pas lagi kumpul bareng teman-teman, terus enggak ada yang berisik—“

“Taruh itu di Volvoku!” letupku menyela Frank. “Sori bung—jadi teringat pada si, si opas malang itu!”

Laura berkukuk keras dan kakinya tersentak. Frank—yang terlihat rada tidak enak badan malam ini—menatapku disertai raut bertanya-tanya, hampir-hampir tidak berkenan.

“Maksudku tuh,” Frank mencoba lagi, “dalam hidup, kadang kita ngerasa yang kita pengin tuh hal-hal penting yang nyata—“

“Kubilang, ‘Taruh itu di Volvoku!’ Oalah gusti! Jangan beri dia persen, mestinya!”

Laura memekik lantas berdiri dan menyatakan bahwa jika ia tidak ke kamar mandi sekarang juga ia akan meledak. Aku menyeka air mata lalu menepuk lutut Frank. “Mesti kuakui, rasanya sangat lezat. Salam untuk pemadam apinya ya. Eh, hidangan penutupnya bagaimana?”

Frank menunduk kesal dan diam saja.

“Cerialah, buyung. Kamu ini murung saja.”

Ia menatapku dengan raut loyo lagi kusut sehingga serta-merta aku merasa bagai bedebah. “Oh sial,” ucapku. “Maaf—“

“Frank kenapa?” tanya Laura ketika kembali. “Kamu belum minum Rigbert’s, Frank—Charles, kasih dia Rigbert’s dong.”

“Oh, dia mah begini orangnya sejak diputus Bel,” kataku.

“Dia sudah putus?” sahut Laura. “Oh, kasihan.”

Frank batuk-batuk dan mulai berceloteh tentang ketegaran pria sejati.

“Benar,” ujarku. “Ia masygul sekali. Menangis melulu, kacau begitulah. Menyetir jauh-jauh demi memandangi laut.”

Laut?” ulang Laura, diiringi belas kasihan.

Frank serta-merta menegakkan tubuh dan berkata mengapa tidak sekarang saja menonton videonya, namun mulutku jadi gatal gara-gara Rigbert’s. Aku pun mulai menceritai Laura tentang betapa Bel menyingkirkan Frank secara memalukan setelah memperoleh pencerahan nan romantis bersama Harry di atap teater. “Padahal jelas-jelas si Harry itu cuma penipu,” kataku. “Maksudku, sandiwaranya tuh muslihat belaka. Kamu menonton sandiwara yang terakhir itu kan. Itu sandiwara setan. Entah apa maksudnya yang diperkatakan orang-orang hina itu. Seperti sendratari yang dibawakan manusia gua saja. Tetapi Bel kadung tergila-gila pada Harry. Itu mah tinggal menunggu bencana saja.”

“Aku sih enggak khawatir soal Bel,” ujar Laura. “Ia bisa kok mengurus dirinya sendiri. Separuh sekolah kami dulu kayak yang takut begitu sama dia.”

“Mudah-mudahan sih begitu,” ucapku pilu. “Meskipun, sejujurnya, kalau saja kamu melihat orang-orang tolol yang dibawanya pulang sepanjang tahun kemarin—eh, enggak bermaksud meledek lo, Frank, kawan,” sembari menepuk-nepuk bahunya.

“Mungkin kamu sebaiknya menulis sandiwara,” kata Laura.

“Ha ha,” sahutku masam.

“Enggak, tetapi coba pikirkan deh. Kamu ingin kembali ke rumahmu, kan? Nah, siapa yang tinggal di sana sekarang? Para Seniman Kurang Mampu, kan?”

“Aku enggak ikut-ikutan ya,” kataku.

“Hei, maksudku kamu ini sudah terlihat Kurang Mampu, pakai celana jengki lecek begitu ….”

“Benar sih,” renungku. “Dan aku benar-benar tinggal di sini, bersama pecandu narkoba yang sudah tobat dan Frank.”

Agak mendesak Frank menyela menanyakan kalau-kalau videonya bisa ditonton sekarang.

“Sompret!” ucap Laura. “Benar-benar deh aku lupa.”

“Video apa sih?” tanyaku.

Titanic,” kata Laura, seraya mengambil kotak plastik dari tas tangannya. “Frank belum pernah menonton ini, percaya enggak sih?”

“Aku juga belum kok,” ujarku.

“Kamu belum pernah menonton ini?” Laura tercengang. “Enggak percaya deh aku!”

“Aku enggak yakin kamu suka film begituan, Charlie,” Frank menyela.

“Kalau orang suka film, mana mungkin dia enggak suka Titanic,” kata Laura pada Frank.

“Aku enggak yakin aja sih itu jenis film kesukaan Charlie,” sahut Frank.

“Yah, kita enggak harus menonton ini sekarang kan. Begini saja aku senang kok.”

“Mungkin kita bisa melakukan permainan,” usulku. “Kayak tebak kata.”

“Nonton sekarang ajalah,” tukas Frank berat.

Aku meredupkan petromaks lalu kembali menjejalkan diri di samping Laura. Frank duduk di kursinya dengan raut teramat jengkel. Barangkali ia berharap kami dapat memernis lemari laci sebagaimana yang sudah direncanakan semula tanpa ada gangguan. Aku merasa lama-lama nyaman juga berada di dekat Laura. Walau sementara ia merapat padaku, dengan paha yang menguarkan panas, sejenak aku bertanya-tanya jikalau boleh jadi aku telah gegabah melepas dia dahulu …. Namun lantas aku teringat pada tangan Mirela dalam genggamanku, dan aku pun menahan diri.

Awalnya aku tidak yakin yang dimaksud Frank dengan film ini bukan jenis kesukaanku, karena aku sendiri sangat tersentuh oleh A Night to Remember, film keluaran 1958 yang melukiskan pelayaran maut kapal Titanic—semacam lagu pujian yang mengiang-ngiang mengenai ketabahan, di mana para awak dan penumpang kapal, yang semua tampaknya berasal dari kalangan atas Inggris, tenggelam dengan amat anggunnya dan nyaris tanpa huru-hara ke dasar samudera. Akan tetapi, adegan-adegan awal Titanic tidak begitu menyerupai A Night to Remember. Memang sih, ada kapal. Tetapi alih-alih kapal itu tenggelam, agaknya penonton menghabiskan sepanjang waktu terseret-seret mengikuti sepasang remaja beloon: antara perempuan dengan kecantikan alami ala Mawar Inggris, yang dimainkan Kate Winslet, dan pelukis dungu yang dijumpainya di kapal, diperankan lelaki yang luar biasa mirip anjing berhidung penyek kesayangan janda-janda kaya. Keduanya mendatangi pesta dansa, lalu berjingkrak-jingrak di geladak bersama sekumpulan orang Irlandia. Sejenak kemudian Rigbert’s pun habis sehingga aku mulai menenggak Hobson’s dari kulkas.

Aku sangsi Honor Blackman[2] bakal membolehkan siapa pun melukis dia telanjang bulat hanya beberapa jam setelah bertemu si pelukis, dan pastinya ia tidak akan membolehkan orang tersebut menyetubuhinya di jok belakang mobil—jok belakang mobil, eh ya ampun, di atas kapal paling mahal dalam sejarah—

“Bukannya mestinya ada gunung es ya di sini?” kataku.

Laura sedang menangis diam-diam. Frank batuk-batuk gelisah dan menghindari tatapanku.

Sampai tiga jam penuh kapal terkutuk itu masih belum tenggelam juga. Ketika kapal itu akhirnya tenggelam, aku begitu terguncang sampai-sampai begitu si Mukaguguk mati aku merasa agak terhibur. Dialognya, aktingnya, kehampaan yang sungguh terlalu bagi seluruh jerih payah ini! Film begitukah yang lolos ke bioskop dewasa ini? Aku merasa seakan-akan habis dinodai, dinodai gerombolan akuntan.

Laura, yang dilumpuhkan dukacita, tergolek menangis di pangkuanku. Dalam hening Frank memandangi kredit film, yang sepanjang itu, sebagai siksaan pamungkas, diiringi lagu “My Heart Will Go On” yang kedengarannya seperti kucing sedang dicekik, dan mengandung sentimen yang saat itu tidak dapat kutanggung.

Makan beberapa menit hingga aku sanggup mengerahkan energi untuk bersuara. “Frank,” ucapku lemah. “Aku mau bobok sekarang ah.”

“Ya sudah,” sahut Frank.

“Maaf ya,” kataku. “Kurasa mataku sudah enggak kuat lagi.”

“Enggak apa-apa, Charlie,” ucap Frank ramah. “Aku mengerti kok.”

“Bagaimana dengan …?” aku menunduk pada sosok menyedihkan yang menangis di celana panjangku.

“Enggak usah khawatir, Charlie, biar sama aku aja.”

“Terima kasih, pak,” sambil menggenggam lengannya dengan lunglai. “Terima kasih.”

Setelah membebaskan diri, aku memasuki kamarku dan berbaring dalam kegelapan. Namun susah sekali untuk tidur. Film jelek yang mengerikan tersebut telah mengocok ketakutan-ketakutanku saat itu menjadi kekalutan, dan membangunkan ketakutan-ketakutan lama yang hingga saat itu berbaring diam. Kini segala ketakutan itu menggabungkan kekuatannya dengan daya sureal Rigbert’s untuk menyerbuku, bergeleparan laksana kelelawar dari dinding-dinding yang berputar. Kunaungi kepala. Kukuncupkan diri ke kepala kasur, tersiksa oleh bayangan akan keruntuhan dan malapetaka—akan Harry yang memainkan kancing rompinya yang mengilat, akan gagak-gagak besar yang bertengger di cerobong rumah, akan Bel yang terkatung-katung di atas kapal Golem itu, dikitari orang-orang sok yang merapalkan kata-kata tak bernyawa dan pasti karut-marut begitu gunung es muncul …. Aku tidak tahan. Aku tidak tahan membayangkan Bel berada di sana sendirian, sendirian!

Maka—walaupun sadar akan menyesalinya esok pagi—aku pun menjangkau benda yang, dalam keputusasaanku, tampaknya merupakan satu-satunya tali penolong yang tersisa bagiku. Aku menuju telepon, dan memutar nomor MacGillycuddy.

Saat itu malam sudah sangat larut, dan suara di ujung, ketika akhirnya telepon diangkat, jauh dari gembira karena diganggu. “Siapa nih? C, itu sampean ya?”

“Sial kamu, MacGillycuddy, aku enggak lagi pengin main-main ya. Aku punya tugas untukmu, kalau kamu ada waktu luang di sela-sela pekerjaan licikmu.”

“Sampean sudah minum?” MacGillycuddy bertanya mencela.

“Ya aku sudah minum. Nah sekarang kamu mau dengar atau tidak nih?”

Ia menguap. “Bukan Frank lagi, kan?”

“Jelas bukan Frank lah. Kalau soal Frank sih, aku—begini, ini lain daripada yang kemarin, ini soal si Harry—“

“Ia menggauli adikmu, ya?” MacGillycuddy terkikih-kikih. “Mencuri perabotmu juga?”

Diam-diam aku menyumpah dan melilitkan kabel telepon erat-erat di seputar tanganku. “Kali ini lain,” kataku lagi, sambil berusaha menjaga supaya suaraku tidak terdengar gusar. “Bel—aku khawatir dengan keadaan Bel. Kurasa boleh jadi ini gara-gara si Harry itu. Aku ingin kamu mengawasi Bel. Mengawasi Harry juga. Cari tahu siapa Harry, apa yang diinginkannya. Kali ini jangan main-main ya. Awasi mereka berdua dan pastikan tidak ada yang … mencuri-curi kesempatan.”

Dari gagang telepon terdengar suara MacGillycuddy mengisap-isap gigi. Akhirnya ia berbicara. “Enggak bisa,” sahutnya.

“Enggak bisa? Maksudnya bagaimana tuh? Mengapa kamu enggak bisa?”

“Rahasia,” sahut MacGillycuddy.

Aku terhuyung mundur. Aku sudah memperkirakan adanya perlawanan. Aku bahkan sudah memperkirakan adanya kepuasan atas penderitaanku. Namun aku tidak menduga adanya penolakan mentah-mentah. Rahasia: siapa sangka kata tersebut dapat menimpakan ketakutan dalam hati? Rahasia: itu artinya apa pun permainan gelap yang sedang berkembang di Amaurot, MacGillycuddy sudah terlibat jauh—MacGillycuddy, yang penampakannya dalam sejarah rumah baru-baru ini merupakan pertanda yang lebih buruk daripada kucing hitam, pekikan merak, ataupun cermin pecah ….

Tak pelak lagi, aku pun mendesak dia. Aku mengancam dan membujuk dia. Aku memohon-mohon padanya agar setidaknya membolehkanku mengetahui siapa yang sedang mempekerjakan dia. Ia bergeming. Yang dikatakannya hanyalah aku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun; aku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sama sekali.

Que sera sera,” ujarnya, “seperti kata lagu itu lo.”

“Apa?” bisikku. “Apa maksudmu?”

“Apa yang mesti terjadi terjadilah, Pak H. Yang mesti terjadi, terjadilah.” Ia tertawa. Lantas disertai bunyi klik sambungan pun mati.

Barangkali ia benar. Barangkali mereka semua benar. Aku membesar-besarkan persoalan saja, dan sebenarnya tidak ada yang keliru. Sungguh aku berusaha melipur diri dengan pemikiran ini. Akan tetapi Episode-episode yang dialami Bel dulu pun sama sekali bukan persoalan, begitulah yang dikatakan para dokter pada kami. Episode tersebut hanyalah fase perkembangan diri Bel, itulah yang pada dokter bilang saat membalut lukanya dan menambah dosis obatnya; penghiburan tiada guna bagi mereka yang duduk di sisi tempat tidurnya dan memegangi tangannya sementara ia berkejang-kejang, atau menggelepar-gelepar akibat kengerian khayali, atau berbaring berjam-jam memandangi kami tanpa sadar dari sisi terjauh mana pun itu tempat jiwanya pergi.

Lama aku duduk sambil membekap mulut dan menyelimuti kakiku yang bagaikan sepasang balok es. Lantas—ketika segalanya terasa di puncak kegagalan—perkataan Laura timbul kembali. Kenapa kamu enggak menulis sandiwara saja? Ia orang kedua yang mengatakannya, walaupun waktu itu Bel bersikap sarkastis, adapun Laura ya Laura, sehingga aku kurang lebih langsung menolak gagasan tersebut. Namun sekarang, ketika memikirkan itu, kiranya boleh juga ….

Aku terhuyung ke ruang duduk. Ruangannya sudah lengang. Frank mesti sudah memanggilkan Laura taksi. Aku duduk di sofa yang kosong dan memandangi kegelapan penuh tanya. Tentu saja! Menulis sandiwara! Kok baru terpikir sekarang ya? Kalau aku ini Seniman Kurang Mampu mereka pasti bakal membolehkanku pulang ke rumah itu!

Tahu-tahu terlintas olehku bahwa boleh jadi pada waktu itu Bel bukannya bersikap sarkastis saat mengajukan gagasan tersebut—boleh jadi tanpa disadari ia memaksudkannya, memintaku untuk melakukannya, demi mengembalikan Amaurot dan memulihkannya. Barangkali—gugup aku separuh bangkit, seraya merasakan kain sofa yang masih lembap oleh air mata—barangkali aku ditakdirkan untuk menulis sandiwara ini. Barangkali aku didepak dari rumah justru supaya aku bisa menulis sandiwara ini. Sandiwara yang akan meluruskan kesalahpahaman—sandiwara yang akan mengakhiri pantomim keji setengah hati Harry akan kesalahan kaum borjuis—apologia atas segala yang pernah kupikirkan ataupun kuperbuat, lagu pujian bagi cara hidup yang telah punah, amarah terhadap padamnya cahaya[3]! Pada akhirnya untuk bersuara, untuk memperlihatkan pada dunia! Aku merenggut pena dan selembar kertas dari berkas untuk monografku. Apartemen sunyi senyap. Kesunyian nan tegang menggeletar bak permukaan danau, seakan-akan alam semesta sendiri yang berucap padaku, Sekarang, sekaranglah waktunya, kita tidak bisa menunggu lebih lama—aku mengangkat pena dan, diiringi kegentaran akan sejarah yang tengah dibuat, menulis di sudut kanan atas: Charles.

Aku duduk lagi dan meninjau jerih payahku. Charles. Bagus. Aku mengetuk-ngetukkan tutup pena ke belakang gigiku dan membayangkan diriku berada kembali di ruang tamu rumah, dihiasi kalung bunga dan dikelilingi oleh wanita-wanita muda naif yang mengagumiku dan berhasrat untuk belajar dari penggubah Charles. Kuperhatikan halaman ini alangkah putihnya. Apakah kertas ini bermerek khusus, ataukah kertas senantiasa begini putihnya? Orang lain mungkin akan tercengang dibuatnya. Sekarang! Sekarang! Jangan ditunda-tunda! desak alam semesta. Sekali lagi kubenamkan ujung pena. Aku menulis oleh di depan Charles. Kemudian, setelah Charles, aku menulis Hythloday. Setelah itu aku merasa bisa beristirahat dulu, maka aku beranjak mengambil sekaleng minuman dari kulkas dan menyalakan televisi sejenak. Kemudian, ketika jam berbunyi menunjukkan pukul tiga, aku tercengkam oleh inspirasi. Secepat kilat aku menulis lima kata baru yang berlainan di samping tiga yang sudah kutulis: judulnya, judulku. Judul yang hebat, judul yang penting, yang memuat segala suka dan duka, misteri berikut kejamakan hidup. Kudapati diriku menyeka air mata.

Dengan judul seperti itu, sebagian besar karya telah purna. Namun semangatku tidak lantas mengendur. Pikiranku berkobar-kobar oleh berbagai kemungkinan, karakter-karakter jenaka, serta wawasan arif akan keadaan manusia. Mereka semua bisa masuk dalam karya ini: Laura sebagai semacam juru ulas yang ironis; Frank pada dasarnya sebagai Id yang bebas berkeliaran ke sana kemari; lalu ada Bunda (Kelancungan Wanita), Mirela (Hasrat, Kemustahilan), adapun Bel akan ditonjolkan sebagai suatu Cacat Tragis, yang melambangkan kesesatan masyarakat …. Sambil mengunyah pipa, aku mengambil selembar kertas baru, dan menulis di atasnya dengan huruf besar-besar:

PLOT




[1] Laura Ashley (7 September 1925 – 17 September 1985), perancang busana dan perabot rumah berkebangsaan Wales
[2] Aktris Inggris (l. 22 Agustus 1925) bermain dalam A Night to Remember
[3] Dari “rage against the dying of the light”, baris terkenal dalam puisi tidak berjudul karya penyair asal Wales, Dylan Thomas (1914 – 1953)

Tidak ada komentar: