Bukan pidato Bel
yang menggelisahkanku. Orang tidak hidup bersama Bel selama dua puluhan tahun
tanpa terbiasa menjadi sasaran pidatonya sewaktu-waktu. Diusir dari Amaurot pun
aku sudah terbiasa.
“Tetapi ia
meminta dukunganku. Bel enggak pernah meminta dukunganku. Selama aku mengenal
dia, enggak pernah sekali pun dia memintaku untuk memberi dukungan atau
nasihat, bahkan bantuan untuk merakit dapur bonekanya ….” Aku memutar-mutar
gelas dan memberengut pada golakan air di dalamnya. “Aku tahu ada yang aneh.
Dan itu ada hubungannya dengan Harry si bangsat itu.”
“Memang dia itu
biang kerok,” Frank berkomentar dari sofa.
“Bukan cuma
karena dia itu biang kerok,” kataku. “Dia itu aktor. Ini musibah. Secara pribadi aku enggak memercayai aktor sama
sekali. Sebab lihat saja kenyataannya. Kenyataannya Bel sudah empat tahun kenal
dia tanpa ada tanda-tanda suka, lantas ketika gagasan mengadakan teater ini
terwujud dengan sendirinya ia muncul lagi dengan membawa-bawa naskah dan
mendadak segalanya jadi tentang Doris Day serta menara SUTET yang menyanyi
dalam embusan angin. Ia juga mencocoki hidung Bunda dan mencampuri urusan
rumah.” Aku melangkah ke pintu dapur. “Maksudku, belum lagi peran yang khusus
dibikinnya untuk Bel.”
“Suatu saat,” ucap Frank, sembari menatap langit-langit, “dia bakal menerima akibatnya.”
“Kalau saja Bel
enggak sebegitunya naif,” ujarku
kesal. “Masalah pokoknya Bel tuh saking naifnya sampai-sampai ia mengira
dirinya bijak. Seharusnya ia enggak
boleh dekat-dekat dengan bandit seperti Harry—sialan, apa gerangan yang kupikirkan, meninggalkan Bel di sana
sendirian? Bagaimana bisa aku membiarkan dia jatuh ke tangan si ular
alang-alang itu?”
“Ular kan enggak
punya tangan, Charlie.”
“Diam, Frank,
jadilah anak baik.” Aku melintas kembali ke arah lemari laci. Frank menemukan
barang itu di bak sampah. Walaupun sudah reyot, aku mulai menyenangi lemari itu
dan membujuk Frank supaya tidak menjualnya. Suasana jadi tidak seberapa suram
berkat keberadaan lemari serupa itu di rumah.
Aku mengisi lagi
gelasku, seraya mengetuk-ngetukkan jemari pada kayu lemari. Mesti gara-gara Harry. Apa lagi yang
memungkinkan keganjilan ini terjadi? Bel sudah mewujudkan teater jeleknya. Ia
sudah mendapatkan peran utama. Ia pun sudah menjejali rumah dengan para
penganut Marx. Satu-satunya penjelasan yang mungkin ialah cinta monyetnya kali
ini entah bagaimana tidak berjalan mulus.
Kalau memang ini
perkaranya, bukannya tidak ada contoh dari pengalaman yang dulu-dulu. Kisah
cinta Bel selalu begini pada akhirnya—alurnya berbolak-balik, maksudku. Tahu-tahu
ia bertemu dengan cowok-cowok tolol lalu jatuh cinta murni karena mereka sesuai
dengan apa pun cita-cita nonpraktis yang tengah diupayakannya pada waktu itu,
tanpa pikir panjang menyelam dengan kepala masuk air lebih dulu, dan ketika
timbul masalah, karena mau tidak mau pasti ada, menyalahkanku berikut campur
tanganku. Meski begitu, nyatanya Bel butuh
ada yang campur tangan. Ia mungkin saja lepas dari kesembronoan serupa itu
dengan orang berpembawaan seperti Frank, yang tidak sanggup memikirkan dua hal sekaligus
tanpa harus duduk. Harry ini perkara yang sama sekali lain. Dia itu penyusun
komplotan, bermuka dua, jenis orang licik yang gemar menghabiskan malam di
ruang bawah tanah, menyusun kepribadian baru dari yang sudah-sudah. Namun apa
gerangan yang dapat diperbuat olehku, yang terperangkap bermil-mil jauhnya di
gubuk ini? Bagaimana aku dapat membantu Bel dari sini?
Beberapa hari
setelah kunjunganku ke Amaurot, Bunda menelepon untuk memberitahukan bahwa Mbah
Thompson sudah meninggal. Tampaknya Oliver tidak sengaja meninggalkan lelaki
tua itu di beranda sementara ia pergi berbelanja. Sepulangnya, ia mendapati
mbah-mbah itu sudah kaku di kursi, “beku seperti potongan ikan,” demikian yang
dikatakan Bunda. Olivier histeris. Dibutuhkan tiga paramedis untuk melepaskan
dia dari tubuh si mbah. Ia pun tidak boleh ikut naik ke ambulans. Bunda bilang
Olivier tidak beranjak dari pekarangan hingga berjam-jam setelah ditinggal
pergi. Ia berlarian sambil berteriak-teriak dan menangis dan hampir-hampir
melolong pada bulan.
Maksud sebenarnya
Bunda meneleponku ialah untuk menanyakan kalau-kalau aku bersedia membantu saat
pertunjukan perdana Titian dua minggu
lagi. Mereka hendak menjalankan gagasan Mirela dan mementaskan pertunjukan
spesial yang hanya diselenggarakan sekali itu saja, di mana para investor
potensial akan diundang. Bagiku rasanya cukup paradoksal menghadirkan
penggalang dana di lingkungan mewah begitu, namun Bunda menjelaskan bahwa sudah
umum diketahui bahwa cara terbaik untuk memperoleh uang dari orang yang lebih
makmur ialah dengan bersikap seolah-olah tidak butuh. Bunda bilang, akan ada
tiket cuma-cuma bagi siapa pun yang urun tangan.
Aku mengatakan
bahwa meskipun tawaran Bunda menarik, mengingat arah pertemuan kami yang
terakhir, mungkin lebih baik kalau sementara ini aku menghindari Bel.
“Kelihatannya ia lagi rada sensitif,” kataku.
Bunda tidak mau
tahu. “Sama sekali tidak ada yang salah dengan gadis itu,” ujar Bunda, “selain
marah karena ia bukan lagi pusat perhatian.”
“Menurut Bunda
dia enggak …?”
“Tidak sedikit
pun,” Bunda menyahut mantap.
Andai saja aku
bisa benar-benar yakin. Setelah kejadian di Amaurot, aku penasaran kalau-kalau
kematian Thompson boleh jadi semacam pertanda. Selama hari-hari berikutnya, aku
mulai merasa kegelapan nan asing tengah menindihku, dan malamnya aku merasa
dapat mendengar ratapan Olivier yang serupa tangisan kuntilanak, terembus
bersama angin.
Bahkan berita
pada waktu itu pun terasa aneh bin ajaib: di Balkan ada mayat-mayat yang
menunggu di balik lempung; di pengadilan berturut-turut para politikus
bersetelan abu-abu mengungkapkan kebusukan mereka; pernah, ketika ada siaran
langsung dari semacam pertikaian di suatu konvensi akuntan di Seattle, aku
bersumpah menyaksikan salah seorang tukang bangunan Follyku memelesat dengan
isolasi plastik kuning besar berbentuk huruf W melekat di kepalanya, sambil
melenguh ribut sementara empat polisi bermasker gas menghalau dia dengan baton.
Solusinya
menghampiriku pada suatu malam dari sumber yang sungguh tak disangka-sangka.
Walaupun sebenarnya, selazimnya solusi terbaik, selama ini solusi tersebut ada
di pelupuk mataku. Waktu itu Frank sedang di dapur mencari-cari perabot masak,
Droyd pergi melapor pada pengawas bebas bersyaratnya, adapun aku duduk-duduk di
kursi seperti biasa sepulang kerja, sambil mengisap pipa yang dibawa pulang
Frank dalam salah satu kardus dan merenungkan betapa nahas bahwa dari semua
bajingan yang ada di dunia Bel malah mendompleng Harry. Singkatnya, malam itu
biasa-biasa saja, kecuali mestilah ada yang telah menata ulang rongsokan, atau
kalau tidak dalam beberapa hari ini Frank habis bertemu pembeli yang lebih lugu
daripada biasa, sebab tidak sewajarnya ruangan jadi berhawa lapang, bahkan
beberapa bagian diberi karpet yang sepertinya baru kali ini kulihat. Selain
itu, tampak bunga-bunga segar dalam vas di meja, televisi dimatikan, dan
alih-alih apartemen benderang oleh petromaks bergaya tempo dulu, dikaitkan pada
cantelan di langit-langit. Kini Frank masuk dan mulai mengelilingi ruangan,
sambil memunguti barang dan mengerling tanpa guna ke bagian bawahnya. Sesaat
kemudian aku jadi gugup dibuatnya, maka aku pun menanyakan perbuatannya.
“Enggak ke
mana-mana, Charlie?” ucapnya.
“Apa?” sahutku.
“Dasimu agak mencong, bung.” Frank mengenakan dasi yang dijepit yang sepertinya
bonus dari apa begitu.
“Oh iya,”
ujarnya, mukanya berubah gelap. “Enggak, kirain kamu mau ke mana gitu, bareng
orang-orang Latvia itu atau apalah.”
Memang pada
minggu itu sempat ada omong-omong di Zona Pengolahan B tentang kemungkinan
berkunjung ke tempatnya Bobo untuk bermain kartu. Tetapi akhirnya aku
memutuskan aku sedang kelewat sedih dan mending melalui malam di rumah saja.
Demikian kusampaikan pada Frank, sambil mengimbuhkan bahwa kupikir memernis
lemari lacinya nanti saja itu pun kalau ia mau.
“Oh iya,” sahut
Frank lagi. Sesaat ia bergeming saja tanpa tujuan, lantas terseok-seok kembali
ke dapur. Aku tidak mengacuhkan dia lagi, dan mulai membukai daftar film tak
bermutu di TV:
He Got Goyim (1992): kisah nyata tentang rabi New York
penakut yang hidupnya menjadi kacau ketika ia dipindahkan dari sinagogenya
untuk melatih tim basket di kawasan kumuh kota.
Seketika itulah
bel pintu berbunyi. Aku tidak sedang mengharapkan kedatangan siapa pun. Aku
meneriaki Frank, namun tidak ada jawaban. Pasti ia sedang sibuk mengerjakan
apalah yang menimbulkan bau hangus beracun dari dapur. Seraya menggerutu, aku
pun bangkit dan membuka pintu, demi disambut jeritan memekakkan telinga yang
terdengar akrab.
“Laura!” sahutku.
“Kejutan menyenangkan.”
“Maaf, Charles,”
ia tergagap-gagap. “Aku lupa terus kamu pakai …” seraya menggerak-gerakkan kedua
tangan di depan wajahnya untuk memperjelas.
“Enggak apa-apa.”
Aku membantu Laura berdiri dan membawakan tasnya sementara ia mengisap alat
bantu bernapas. “Sebenarnya aku dan Frank baru saja mau mengudap, barangkali
kamu mau ….”
Ia megap-megap
berterima kasih lalu membungkuk melewati lenganku memasuki apartemen bersudut
banyak itu. “Wow, ini benar-benar ….”
“Seperti dalam
ceritanya Kafka, ya?” aku mengusulkan.
“Yeah, macam
gayanya Laura Ashley itu, ya[1]?”
Aku mengambil
mantel Laura dan menanyakan apa gerangan yang ia lakukan di daerah ini.
“Ah, lucu deh
ceritanya,” ia berujar, diiringi tawa merdu. “Begini, baru saja kemarin aku
kemari untuk melihat-lihat—hei, Frank, kenapa kamu enggak menceritai Charles?”
Frank tampak di
lubang pintu, berhiaskan senyum memendam maksud. Celemeknya tidak tampak,
begitu pula rona kemalu-maluan di wajahnya: sebagai gantinya ada warna kelabu
yang mungkin akibat menghirup asap, sementara dapur terlihat hampir-hampir
tidak mungkin dimasuki.
“Ini dia
orangnya,” kataku. Diiringi senyum, Frank berbalik dan ditelan kepulan asap.
“Maaf ya, ia bukan tuan rumah yang baik. Kamu mau minum kan?”
Aku memasuki
dapur dan memberi tahu Frank aku mengajak Laura untuk makan malam bersama jika
ia tidak keberatan. Laura juga boleh mengambil jatahku jika tidak ada cukup
makanan. Aku ragu Frank mendengarku, sebab api mulai merembet masuk ke
panci-panci dan ia sibuk memadamkannya. Aku memutuskan sebaiknya tidak
mengganggu dia.
Tampaknya tidak
ada anggur, namun untungnya entah dari mana muncul sebotol Rigbert’s yang belum
dibuka di meja. Aku mengambil botol itu serta beberapa gelas dan menyuruh Frank
supaya keluar dari dapur dan mengobrol barang sebentar bila sempat.
“Oh ya Tuhan,”
Laura tertawa saat melihat botol itu. “Sebaiknya aku sama sekali enggak minum
itu lagi, kali terakhir kan aku sampai enggak sadar ….”
“Nonsens, cuma
pembuka ringan kok,” sahutku. “Aku kok belum dengar ya kamu bilang mau mencari
apartemen di Bonetown?”
“Harga apartemen
di sini kompetitif banget,” ujar Laura. “Dan modelnya bakal cantik-cantik, aku
sudah lihat rancang bangunnya.”
“’Bakal’?”
“Yah,
apartemennya belum pada dibangun sih, pengembangnya masih harus meruntuhkan
gedung-gedung lama yang mengerikan itu. Sekarang yang bisa dilihat cuma
orang-orang pada mengacungkan plakat di mana-mana.”
“Oh iya, aku
heran kenapa ya itu.”
“Penghuni di sini
tuh ada yang kasar banget, Charles,” sahutnya. “Bahkan ada yang menyambiti
agenku pakai batu.”
“Itu mah belum
apa-apa,” kataku.
“Mestinya mereka
tuh senang. Maksudku, mereka kan bakal dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman,
kayak di dekat pedesaan begitu? Mereka bukannya bakal dibiarkan begitu saja di
pinggir jalan.”
“Tentu saja,”
sahutku. “Yah, mari bersulang untuk tempat yang lebih nyaman—tos.”
Aku belum
berjumpa dengan Laura sejak malapetaka pesta makan malam saat aku mencium Bel
alih-alih dia, dan sejujurnya aku belum kebelet untuk berjumpa dengan dia lagi.
Akan tetapi, akhirnya toh kami cukup bergembira ria. Hadirnya perempuan di
apartemen ini sungguh menyegarkan, apalagi perempuan yang cantiknya spektakuler
serupa Laura. Ia punya serangkaian lelucon mesum yang diperolehnya dari surel
di tempat kerja. Setiap lelucon semakin tidak senonoh saja kedengarannya
daripada yang sebelumnya, dan aku pasti sedang megap-megap ketika Frank
akhirnya muncul dari embusan asap, seraya menyangga tiga piring yang membara.
“Mantap!” seruku,
sambil bertepuk tangan dan bersuit. “Bagus sekali!”
“Kelihatannya
enak,” kata Laura.
“Eh, Charlie,
kamu mau duduk di kursi?”
“Tidak, tidak,
bung, benar kok tidak apa-apa.” Di sofa aku sudah meringkuk dengan nyamannya di
sebelah Laura, yang tengah duduk menyamping sehingga tungkainya melengkung di
atas pangkuanku dan jemari kakinya—ia melepaskan sepatunya setelah dua
gelas—bergoyang-goyang di lengan sofa.
Frank bergumam
tidak jelas lalu duduk di kursi. Aku dan Laura berusaha menenangkan diri serta
mengarahkan perhatian pada hidangan hangus Frank. Suasana jadi tenang sementara
kami mengunyah makanan tidak dikenal itu tanpa suara, lantas Frank pun mulai
merenungi: “Tahu enggak, rasanya adem gitu, ya, pas lagi kumpul bareng
teman-teman, terus enggak ada yang berisik—“
“Taruh itu di
Volvoku!” letupku menyela Frank. “Sori bung—jadi teringat pada si, si opas
malang itu!”
Laura berkukuk
keras dan kakinya tersentak. Frank—yang terlihat rada tidak enak badan malam
ini—menatapku disertai raut bertanya-tanya, hampir-hampir tidak berkenan.
“Maksudku tuh,”
Frank mencoba lagi, “dalam hidup, kadang kita ngerasa yang kita pengin tuh
hal-hal penting yang nyata—“
“Kubilang, ‘Taruh
itu di Volvoku!’ Oalah gusti! Jangan
beri dia persen, mestinya!”
Laura memekik
lantas berdiri dan menyatakan bahwa jika ia tidak ke kamar mandi sekarang juga
ia akan meledak. Aku menyeka air mata
lalu menepuk lutut Frank. “Mesti kuakui, rasanya sangat lezat. Salam untuk
pemadam apinya ya. Eh, hidangan penutupnya bagaimana?”
Frank menunduk
kesal dan diam saja.
“Cerialah,
buyung. Kamu ini murung saja.”
Ia menatapku
dengan raut loyo lagi kusut sehingga serta-merta aku merasa bagai bedebah. “Oh
sial,” ucapku. “Maaf—“
“Frank kenapa?”
tanya Laura ketika kembali. “Kamu belum minum Rigbert’s, Frank—Charles, kasih
dia Rigbert’s dong.”
“Oh, dia mah
begini orangnya sejak diputus Bel,” kataku.
“Dia sudah putus?” sahut Laura. “Oh,
kasihan.”
Frank batuk-batuk
dan mulai berceloteh tentang ketegaran pria sejati.
“Benar,” ujarku.
“Ia masygul sekali. Menangis melulu, kacau begitulah. Menyetir jauh-jauh demi
memandangi laut.”
“Laut?” ulang Laura, diiringi belas
kasihan.
Frank serta-merta
menegakkan tubuh dan berkata mengapa tidak sekarang saja menonton videonya,
namun mulutku jadi gatal gara-gara Rigbert’s. Aku pun mulai menceritai Laura
tentang betapa Bel menyingkirkan Frank secara memalukan setelah memperoleh
pencerahan nan romantis bersama Harry di atap teater. “Padahal jelas-jelas si
Harry itu cuma penipu,” kataku. “Maksudku, sandiwaranya tuh muslihat belaka.
Kamu menonton sandiwara yang terakhir itu kan. Itu sandiwara setan. Entah apa
maksudnya yang diperkatakan orang-orang hina itu. Seperti sendratari yang
dibawakan manusia gua saja. Tetapi Bel kadung tergila-gila pada Harry. Itu mah
tinggal menunggu bencana saja.”
“Aku sih enggak
khawatir soal Bel,” ujar Laura. “Ia bisa kok mengurus dirinya sendiri. Separuh
sekolah kami dulu kayak yang takut begitu sama dia.”
“Mudah-mudahan
sih begitu,” ucapku pilu. “Meskipun, sejujurnya, kalau saja kamu melihat orang-orang tolol yang dibawanya pulang
sepanjang tahun kemarin—eh, enggak bermaksud meledek lo, Frank, kawan,” sembari
menepuk-nepuk bahunya.
“Mungkin kamu
sebaiknya menulis sandiwara,” kata Laura.
“Ha ha,” sahutku
masam.
“Enggak, tetapi
coba pikirkan deh. Kamu ingin kembali ke rumahmu, kan? Nah, siapa yang tinggal
di sana sekarang? Para Seniman Kurang Mampu, kan?”
“Aku enggak
ikut-ikutan ya,” kataku.
“Hei, maksudku
kamu ini sudah terlihat Kurang Mampu,
pakai celana jengki lecek begitu ….”
“Benar sih,” renungku.
“Dan aku benar-benar tinggal di sini,
bersama pecandu narkoba yang sudah tobat dan Frank.”
Agak mendesak
Frank menyela menanyakan kalau-kalau videonya bisa ditonton sekarang.
“Sompret!” ucap
Laura. “Benar-benar deh aku lupa.”
“Video apa sih?”
tanyaku.
“Titanic,” kata Laura, seraya mengambil
kotak plastik dari tas tangannya. “Frank belum pernah menonton ini, percaya
enggak sih?”
“Aku juga belum
kok,” ujarku.
“Kamu belum pernah menonton ini?” Laura
tercengang. “Enggak percaya deh aku!”
“Aku enggak yakin
kamu suka film begituan, Charlie,” Frank menyela.
“Kalau orang suka
film, mana mungkin dia enggak suka Titanic,” kata Laura pada Frank.
“Aku enggak yakin
aja sih itu jenis film kesukaan Charlie,” sahut Frank.
“Yah, kita enggak
harus menonton ini sekarang kan. Begini saja aku senang kok.”
“Mungkin kita
bisa melakukan permainan,” usulku. “Kayak tebak kata.”
“Nonton sekarang
ajalah,” tukas Frank berat.
Aku meredupkan
petromaks lalu kembali menjejalkan diri di samping Laura. Frank duduk di
kursinya dengan raut teramat jengkel. Barangkali ia berharap kami dapat
memernis lemari laci sebagaimana yang sudah direncanakan semula tanpa ada
gangguan. Aku merasa lama-lama nyaman juga berada di dekat Laura. Walau
sementara ia merapat padaku, dengan paha yang menguarkan panas, sejenak aku
bertanya-tanya jikalau boleh jadi aku telah gegabah melepas dia dahulu …. Namun
lantas aku teringat pada tangan Mirela dalam genggamanku, dan aku pun menahan
diri.
Awalnya aku tidak
yakin yang dimaksud Frank dengan film ini bukan jenis kesukaanku, karena aku
sendiri sangat tersentuh oleh A Night to
Remember, film keluaran 1958 yang melukiskan pelayaran maut kapal
Titanic—semacam lagu pujian yang mengiang-ngiang mengenai ketabahan, di mana
para awak dan penumpang kapal, yang semua tampaknya berasal dari kalangan atas
Inggris, tenggelam dengan amat anggunnya dan nyaris tanpa huru-hara ke dasar
samudera. Akan tetapi, adegan-adegan awal Titanic
tidak begitu menyerupai A Night to
Remember. Memang sih, ada kapal. Tetapi alih-alih kapal itu tenggelam,
agaknya penonton menghabiskan sepanjang waktu terseret-seret mengikuti sepasang
remaja beloon: antara perempuan dengan kecantikan alami ala Mawar Inggris, yang
dimainkan Kate Winslet, dan pelukis dungu yang dijumpainya di kapal, diperankan
lelaki yang luar biasa mirip anjing berhidung penyek kesayangan janda-janda
kaya. Keduanya mendatangi pesta dansa, lalu berjingkrak-jingrak di geladak
bersama sekumpulan orang Irlandia. Sejenak kemudian Rigbert’s pun habis
sehingga aku mulai menenggak Hobson’s dari kulkas.
Aku sangsi Honor
Blackman[2]
bakal membolehkan siapa pun melukis dia telanjang bulat hanya beberapa jam
setelah bertemu si pelukis, dan pastinya ia tidak akan membolehkan orang
tersebut menyetubuhinya di jok belakang mobil—jok belakang mobil, eh ya ampun, di atas kapal paling mahal dalam sejarah—
“Bukannya
mestinya ada gunung es ya di sini?” kataku.
Laura sedang
menangis diam-diam. Frank batuk-batuk gelisah dan menghindari tatapanku.
Sampai tiga jam
penuh kapal terkutuk itu masih belum tenggelam juga. Ketika kapal itu akhirnya
tenggelam, aku begitu terguncang sampai-sampai begitu si Mukaguguk mati aku
merasa agak terhibur. Dialognya, aktingnya, kehampaan yang sungguh terlalu bagi
seluruh jerih payah ini! Film begitukah yang lolos ke bioskop dewasa ini? Aku
merasa seakan-akan habis dinodai, dinodai gerombolan akuntan.
Laura, yang
dilumpuhkan dukacita, tergolek menangis di pangkuanku. Dalam hening Frank
memandangi kredit film, yang sepanjang itu, sebagai siksaan pamungkas, diiringi
lagu “My Heart Will Go On” yang kedengarannya seperti kucing sedang dicekik,
dan mengandung sentimen yang saat itu tidak dapat kutanggung.
Makan beberapa
menit hingga aku sanggup mengerahkan energi untuk bersuara. “Frank,” ucapku
lemah. “Aku mau bobok sekarang ah.”
“Ya sudah,” sahut
Frank.
“Maaf ya,”
kataku. “Kurasa mataku sudah enggak kuat lagi.”
“Enggak apa-apa,
Charlie,” ucap Frank ramah. “Aku mengerti kok.”
“Bagaimana dengan
…?” aku menunduk pada sosok menyedihkan yang menangis di celana panjangku.
“Enggak usah khawatir,
Charlie, biar sama aku aja.”
“Terima kasih,
pak,” sambil menggenggam lengannya dengan lunglai. “Terima kasih.”
Setelah
membebaskan diri, aku memasuki kamarku dan berbaring dalam kegelapan. Namun
susah sekali untuk tidur. Film jelek yang mengerikan tersebut telah mengocok
ketakutan-ketakutanku saat itu menjadi kekalutan, dan membangunkan
ketakutan-ketakutan lama yang hingga saat itu berbaring diam. Kini segala
ketakutan itu menggabungkan kekuatannya dengan daya sureal Rigbert’s untuk
menyerbuku, bergeleparan laksana kelelawar dari dinding-dinding yang berputar.
Kunaungi kepala. Kukuncupkan diri ke kepala kasur, tersiksa oleh bayangan akan
keruntuhan dan malapetaka—akan Harry yang memainkan kancing rompinya yang
mengilat, akan gagak-gagak besar yang bertengger di cerobong rumah, akan Bel
yang terkatung-katung di atas kapal Golem itu, dikitari orang-orang sok yang
merapalkan kata-kata tak bernyawa dan pasti karut-marut begitu gunung es muncul
…. Aku tidak tahan. Aku tidak tahan membayangkan Bel berada di sana sendirian,
sendirian!
Maka—walaupun
sadar akan menyesalinya esok pagi—aku pun menjangkau benda yang, dalam
keputusasaanku, tampaknya merupakan satu-satunya tali penolong yang tersisa
bagiku. Aku menuju telepon, dan memutar nomor MacGillycuddy.
Saat itu malam
sudah sangat larut, dan suara di ujung, ketika akhirnya telepon diangkat, jauh
dari gembira karena diganggu. “Siapa nih? C, itu sampean ya?”
“Sial kamu,
MacGillycuddy, aku enggak lagi pengin main-main ya. Aku punya tugas untukmu,
kalau kamu ada waktu luang di sela-sela pekerjaan licikmu.”
“Sampean sudah
minum?” MacGillycuddy bertanya mencela.
“Ya aku sudah
minum. Nah sekarang kamu mau dengar atau tidak nih?”
Ia menguap.
“Bukan Frank lagi, kan?”
“Jelas bukan
Frank lah. Kalau soal Frank sih, aku—begini, ini lain daripada yang kemarin, ini
soal si Harry—“
“Ia menggauli
adikmu, ya?” MacGillycuddy terkikih-kikih. “Mencuri perabotmu juga?”
Diam-diam aku
menyumpah dan melilitkan kabel telepon erat-erat di seputar tanganku. “Kali ini
lain,” kataku lagi, sambil berusaha menjaga supaya suaraku tidak terdengar
gusar. “Bel—aku khawatir dengan keadaan Bel. Kurasa boleh jadi ini gara-gara si
Harry itu. Aku ingin kamu mengawasi Bel. Mengawasi Harry juga. Cari tahu siapa
Harry, apa yang diinginkannya. Kali ini jangan main-main ya. Awasi mereka
berdua dan pastikan tidak ada yang … mencuri-curi kesempatan.”
Dari gagang
telepon terdengar suara MacGillycuddy mengisap-isap gigi. Akhirnya ia
berbicara. “Enggak bisa,” sahutnya.
“Enggak bisa?
Maksudnya bagaimana tuh? Mengapa kamu enggak bisa?”
“Rahasia,” sahut
MacGillycuddy.
Aku terhuyung
mundur. Aku sudah memperkirakan adanya perlawanan. Aku bahkan sudah
memperkirakan adanya kepuasan atas penderitaanku. Namun aku tidak menduga
adanya penolakan mentah-mentah. Rahasia:
siapa sangka kata tersebut dapat menimpakan ketakutan dalam hati? Rahasia: itu artinya apa pun permainan
gelap yang sedang berkembang di Amaurot, MacGillycuddy sudah terlibat
jauh—MacGillycuddy, yang penampakannya dalam sejarah rumah baru-baru ini
merupakan pertanda yang lebih buruk daripada kucing hitam, pekikan merak,
ataupun cermin pecah ….
Tak pelak lagi,
aku pun mendesak dia. Aku mengancam dan membujuk dia. Aku memohon-mohon padanya
agar setidaknya membolehkanku mengetahui siapa yang sedang mempekerjakan dia.
Ia bergeming. Yang dikatakannya hanyalah aku tidak perlu mengkhawatirkan apa
pun; aku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sama sekali.
“Que sera sera,” ujarnya, “seperti kata
lagu itu lo.”
“Apa?” bisikku.
“Apa maksudmu?”
“Apa yang mesti
terjadi terjadilah, Pak H. Yang mesti terjadi, terjadilah.” Ia tertawa. Lantas
disertai bunyi klik sambungan pun mati.
Barangkali ia
benar. Barangkali mereka semua benar. Aku membesar-besarkan persoalan saja, dan
sebenarnya tidak ada yang keliru. Sungguh aku berusaha melipur diri dengan
pemikiran ini. Akan tetapi Episode-episode yang dialami Bel dulu pun sama
sekali bukan persoalan, begitulah yang dikatakan para dokter pada kami. Episode
tersebut hanyalah fase perkembangan diri Bel, itulah yang pada dokter bilang
saat membalut lukanya dan menambah dosis obatnya; penghiburan tiada guna bagi
mereka yang duduk di sisi tempat tidurnya dan memegangi tangannya sementara ia
berkejang-kejang, atau menggelepar-gelepar akibat kengerian khayali, atau
berbaring berjam-jam memandangi kami tanpa sadar dari sisi terjauh mana pun itu
tempat jiwanya pergi.
Lama aku duduk
sambil membekap mulut dan menyelimuti kakiku yang bagaikan sepasang balok es.
Lantas—ketika segalanya terasa di puncak kegagalan—perkataan Laura timbul
kembali. Kenapa kamu enggak menulis
sandiwara saja? Ia orang kedua yang mengatakannya, walaupun waktu itu Bel
bersikap sarkastis, adapun Laura ya Laura, sehingga aku kurang lebih langsung
menolak gagasan tersebut. Namun sekarang, ketika memikirkan itu, kiranya boleh
juga ….
Aku terhuyung ke
ruang duduk. Ruangannya sudah lengang. Frank mesti sudah memanggilkan Laura
taksi. Aku duduk di sofa yang kosong dan memandangi kegelapan penuh tanya.
Tentu saja! Menulis sandiwara! Kok baru terpikir sekarang ya? Kalau aku ini
Seniman Kurang Mampu mereka pasti bakal
membolehkanku pulang ke rumah itu!
Tahu-tahu
terlintas olehku bahwa boleh jadi pada waktu itu Bel bukannya bersikap sarkastis saat mengajukan gagasan tersebut—boleh
jadi tanpa disadari ia memaksudkannya,
memintaku untuk melakukannya, demi mengembalikan Amaurot dan memulihkannya.
Barangkali—gugup aku separuh bangkit, seraya merasakan kain sofa yang masih
lembap oleh air mata—barangkali aku ditakdirkan
untuk menulis sandiwara ini. Barangkali aku didepak dari rumah justru supaya
aku bisa menulis sandiwara ini.
Sandiwara yang akan meluruskan kesalahpahaman—sandiwara yang akan mengakhiri
pantomim keji setengah hati Harry akan kesalahan kaum borjuis—apologia atas
segala yang pernah kupikirkan ataupun kuperbuat, lagu pujian bagi cara hidup
yang telah punah, amarah terhadap padamnya cahaya[3]!
Pada akhirnya untuk bersuara, untuk memperlihatkan pada dunia! Aku merenggut
pena dan selembar kertas dari berkas untuk monografku. Apartemen sunyi senyap.
Kesunyian nan tegang menggeletar bak permukaan danau, seakan-akan alam semesta
sendiri yang berucap padaku, Sekarang,
sekaranglah waktunya, kita tidak bisa menunggu lebih lama—aku mengangkat
pena dan, diiringi kegentaran akan sejarah yang tengah dibuat, menulis di sudut
kanan atas: Charles.
Aku duduk lagi
dan meninjau jerih payahku. Charles.
Bagus. Aku mengetuk-ngetukkan tutup pena ke belakang gigiku dan membayangkan
diriku berada kembali di ruang tamu rumah, dihiasi kalung bunga dan dikelilingi
oleh wanita-wanita muda naif yang mengagumiku dan berhasrat untuk belajar dari
penggubah Charles. Kuperhatikan
halaman ini alangkah putihnya. Apakah kertas ini bermerek khusus, ataukah
kertas senantiasa begini putihnya? Orang lain mungkin akan tercengang
dibuatnya. Sekarang! Sekarang! Jangan
ditunda-tunda! desak alam semesta. Sekali lagi kubenamkan ujung pena. Aku
menulis oleh di depan Charles.
Kemudian, setelah Charles, aku
menulis Hythloday. Setelah itu aku
merasa bisa beristirahat dulu, maka aku beranjak mengambil sekaleng minuman
dari kulkas dan menyalakan televisi sejenak. Kemudian, ketika jam berbunyi menunjukkan
pukul tiga, aku tercengkam oleh inspirasi. Secepat kilat aku menulis lima kata
baru yang berlainan di samping tiga yang sudah kutulis: judulnya, judulku.
Judul yang hebat, judul yang penting, yang memuat segala suka dan duka, misteri
berikut kejamakan hidup. Kudapati diriku menyeka air mata.
Dengan judul
seperti itu, sebagian besar karya telah purna. Namun semangatku tidak lantas
mengendur. Pikiranku berkobar-kobar oleh berbagai kemungkinan, karakter-karakter
jenaka, serta wawasan arif akan keadaan manusia. Mereka semua bisa masuk dalam
karya ini: Laura sebagai semacam juru ulas yang ironis; Frank pada dasarnya
sebagai Id yang bebas berkeliaran ke sana kemari; lalu ada Bunda (Kelancungan
Wanita), Mirela (Hasrat, Kemustahilan), adapun Bel akan ditonjolkan sebagai
suatu Cacat Tragis, yang melambangkan kesesatan masyarakat …. Sambil mengunyah
pipa, aku mengambil selembar kertas baru, dan menulis di atasnya dengan huruf
besar-besar:
PLOT
[1] Laura Ashley (7 September 1925 –
17 September 1985), perancang busana dan perabot rumah berkebangsaan Wales
[2] Aktris Inggris (l. 22 Agustus
1925) bermain dalam A Night to Remember
[3] Dari “rage against the dying of the light”, baris terkenal dalam puisi
tidak berjudul karya penyair asal Wales, Dylan Thomas (1914 – 1953)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar