Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170820

An Evening of Long Goodbyes, Bab 12 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Rencana awalnya sih sandiwara itu diselesaikan dan diserahkan pada Bel sebelum pembukaan sandiwara baru Harry, dengan harapan mereka membatalkan punyanya dan alih-alih mementaskan milikku. Akan tetapi, penulisan sandiwara itu memerlukan waktu lebih lama daripada yang diperkirakan—maksudku, kalau ingin mengerjakannya betul-betul. Sebelum kami menyadari keadaan, malam pembukaan Titian sudah di hadapan.

Mereka masih kekurangan tenaga, sehingga aku menyetujui sementara waktu tidak berada di pembuangan demi bekerja sebagai Petugas Penitipan Barang pada malam itu. Dengan susah payah, aku berhasil mengajak Frank supaya serta sebagai bantuan moril. Bunda menyediakan meja kecil di ruang masuk tempat kami mengambil mantel serta menyambut tokoh-tokoh yang datang. Di luar, malam dingin menggelenyar, namun di dalam ada lilin-lilin, tangkai-tangkai bunga liar musim gugur, serta aroma hangat yang menarik tamu-tamu ke ruang resital, tempat mereka disambut dengan anggur merah Bordeaux yang dipanaskan, berikut musik pengiring yang dibawakan Vuk, Zoran, dan teman-teman mereka dari antrean di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Apa pun jampi yang dilontarkannya, agaknya tidak seorang pun sanggup menolak undangan Mirela. Satu jam sebelum pagelaran, rumah penuh sesak oleh tokoh-tokoh besar dalam dunia bisnis, yang masing-masingnya diperkenalkan Laura padaku dan Frank sementara mereka berlalu. (Laura juga bersukarela membantu, walaupun aku sudah terang-terang memberi tahu dia bahwa bantuannya tidak diperlukan. Sejak acara menonton bareng Titanic hampir setiap malam ia berkeliaran di apartemen—katanya sih membantu Frank memasang rak buku, walaupun menilai dari banyaknya cekikik yang terdengar dari kamar Frank sepertinya ia tidak membantu banyak.)

“Ada atase kebudayaan Perancis,” ucap Laura, yang muncul dengan gaun terusan gembung berbahan tafeta sambil membawa baki berisi vol-au-vent[1]. “Itu kan Roly Guilfoyle, koki itu? Itu orang dari perusahaan kacang-kacangan—oh, maaf …” ketika ada tokoh lain yang datang untuk mendaftarkan mantelnya disertai kerjap mata berulang-ulang selazimnya tamu-tamu sebelumnya, memandang ketakutan antara wajahku yang dililit perban dan wajah Frank yang sayangnya tidak dililit perban. “Terima kasih, nyonya, nomor Anda 105, lurus terus ke kanan ….”

Oh ya Tuhan, ada kepala StoneWall Friends and Mutual. Dia tuh tokoh asuransi di Irlandia. Dia ada di majalah VIP bulan kemarin, kamar mandinya kan gaya Etruscan …?”

“Hei, kenapa kamu enggak ke sana dan beri dia vol-au-vent? Kami sibuk nih—Ya, tuan, nomor 106, terima kasih. Ya, tuan, sangat aman. Ya, tuan, saya tahu ini tidak tumbuh di pohon. Anda sangat disambut, tuan—sialan kamu Frank, bisa enggak sih, enggak cemberut melulu? Kamu menakuti orang ….”

“Aku enggak cemberut, Charlie, biasa juga aku begini.”

“Kawan-kawan,” Laura berjingkat seraya berkata sembunyi-sembunyi, “kalian enggak bakal percaya siapa yang datang. Niall O’Boyle.” Ia menunjuk lelaki bersahaja yang mengenakan setelan biru. Wajah lelaki itu kelihatannya telah mengalami tahap perkembangan yang krusial.

“Siapa?”

“Niall O’Boyle? Dia tuh pemimpin eksekutif Telsinor Irlandia? Kalian pasti ingat, tahun lalu saat perusahaan telepon menjual sahamnya ke publik lalu ia mendongkrak akuisisinya bersama orang-orang Denmark itu? Ia juga memiliki stasiun radio ini dan majalah itu, ia pasti teramat kaya—oh ya Tuhan, lihat arlojinya, kayaknya itu arloji paling gede yang pernah kulihat ….”

“Begini ya,” aku mengetuk-ngetukkan stapler dengan tegas pada meja. “Aku enggak bermaksud kasar, tetapi aku dan Frank ditugaskan untuk bertanggung jawab atas mantel-mantel yang sangat bernilai, dan kami enggak bisa diganggu.”

“Baiklah, baiklah.” Laura merengut dan kembali bercampur dengan orang-orang.

“Di sini banyak bos gede ya, Charlie?”

“Menurutku sih, ini kayak pesta Illuminati.” Aku penasaran jadinya akan pendapat Bel.

Para pemain Titian sudah terlihat sedari tadi, menyambut para tamu, sembari menjelaskan tentang Arti dan Kepentingan teater ini pada siapa pun yang mau mendengarkan. Bel juga ada, mengenakan gaun panjang berwarna sampanye dan menampakkan raut permusuhan yang terang-terangan sehingga hanya tamu-tamu yang sudah sepuh atau bermental kamikaze yang berani menghampiri dia. Hingga kala itu, aku berencana tidak mengganggu dia. Akan tetapi, setelah percekcokan yang disulutnya terakhir kali, aku sadar sebaiknya mengatakan sesuatu. Begitu bel pertama berbunyi supaya tamu duduk di tempatnya masing-masing, aku memutuskan untuk melakukan penggerebekan kilat ke ruang ganti pakaian dan menyampaikan salam. Dengan begini, sekalipun aku mendapat sambutan dingin, sedikitnya ada kesempatan melihat Mirela au naturel[2]. Kutinggalkan Frank dengan pesan tegas supaya tidak merusakkan apa-apa ataupun menyerang siapa-siapa, lantas setelah memutar lewat ruang cuci piring aku memanjat tangga belakang menuju ruang ganti pakaian.

Hawa di ruang ganti pakaian pengap, panas, dan pekat oleh talk sampai-sampai napas jadi sesak. Panas memancar dari bohlam-bohlam di atas kaca meja rias, di mana para pemain pada duduk di kursi dek. Aku mendapati Bel duduk paling jauh, seraya menempelkan segelas kopi hitam yang masih utuh ke kostumnya yang usang sementara Harry meremas-remas pundaknya. Aku berusaha berjalan ke arah Bel, namun rasanya seperti berenang melawan air pasang. Setelah berkali-kali terempas balik, aku menyerah dan mundur ke tempat yang relatif sepi di dekat pintu menanti kesempatan muncul dengan sendirinya. Sementara itu, dengan pilu kupandangi Mirela, yang sedang duduk di dekatku (hélas[3]! sudah berpakaian) dikerumuni bukan hanya oleh satu melainkan tiga gadis, yang merias serta menyikat rambut hitamnya yang berkilauan.

Entah dari sebelah mana kehirukan ini kudengar Bunda mendengking: “Jadi, ia bilang apa?”

“Mungkin sebaiknya nanti saja kita bicarakan,” sahut Harry diiringi separuh senyum tersipu.

“Ah, omong kosong,” Bunda mengotot.

“Yah, ia tertarik,” Harry mengalah. Senyumnya melebar seiring dengan seisi ruangan mendengarnya dan keriuhan pun merebak. “Rupanya istrinya menonton Terbakar Habis. Maka, sekiranya ia menyukai pertunjukan malam ini ….”

Apa?” desak si gadis yang mengenakan penjepit rambut, seraya menyabet Harry dengan naskahnya.

“Ia bilang bahwa kalau ada yang mesti terus berlanjut—kalau ya—maka itu harus dengan dasar bahwa Telsinor menjadi penyokong tunggal teater ini yang berarti paket sponsor penuh ….” Harry mengangkat bahu dengan rendah hati sementara sorak dan suit menyambut kabar ini. Kemudian diangkatnya kedua tangan untuk meredakan. “Mesti kuingatkan semuanya bahwa kita ada pertunjukan lebih dahulu.”

Semua orang tertawa, kecuali Bel, yang menatap Harry dengan raut terluka. “Tetapi kukira tadinya kita enggak mau ada penyokong tunggal,” ucap Bel.

“Itu karena tadinya kita enggak menyangka bakal mendapatkan penyokong tunggal,” sahut Harry.

“Enggak. Kukira kita sudah sepakat ya bahwa kalau semua uangnya berasal dari satu sumber, maka—“

“Oh, sayang, kita kan sudah membahasnya,” Bunda memangkas. “Mana mungkin kita menunggu terus sedang pemerintah ragu-ragu. Omong-omong soal kompromi, tunggulah sampai bank datang meminta pinjamannya kembali, nanti kamu akan tahu rasa—Charles, apa-apaan kamu mengendap-endap begitu?”

“Siapa yang mengendap-endap, aku di sini terang-terangan kok.”

“Kamu kan mestinya di bawah mengurus penitipan barang. Kamu tidak meninggalkan si bocah miskin idiot itu sendirian, kan?”

“Aku cuma pengin mampir dan menyampaikan semoga sukses—“

Semuanya serempak mengerang.

“Oh, maksudku semoga celaka[4], maaf ya—“

“Charles,” Bunda mencekal sikuku kuat-kuat lantas menyeretku ke arah pintu, “kebetulan malam ini kita kedatangan tamu-tamu penting. Sekali saja cobalah kendalikan tingkah jangakmu itu.”

“Lima menit lagi!” seru si lelaki pendek-gemuk, yang muncul di pintu di belakangku. Semua orang pun cungap-cangip, dan mulai sibuk mondar-mandir lebih tergesa-gesa daripada tadi. Melalui sosok-sosok yang bergaduh, bisa kulihat kedua tangan Harry masih asyik meremas pundak Bel. Adapun Bel berpaling ke cermin dan, sambil menekankan sebelah tangan pada klavikulanya yang tidak bersalut, menatap benda itu, seakan-akan ke dalamnya ia mencari sesuatu yang telah hilang dari dirinya.

Aku pun menuruni tangga kembali ke bawah. Ruang masuk dan ruang resital lengang. Ruang penitipan barang sudah dikunci. Setelah menutup pintu berdaun ganda di belakangku, aku mengambil tempat duduk di auditorium yang sudah digelapkan.

”Semuanya beres, Charlie?” tanya Frank.

Aku merasa kehabisan napas. Aku pun cuma berdeham dan menuding ke pentas, ketika tirai terangkat dan muncul sesorot cahaya. Lalu tampak seorang gadis memutar roda kursinya.



Bel terlihat sangat gelisah sewaktu di ruang ganti pakaian tadi. Mengingat riwayat panggungnya yang berwarna-warni, orang sah-sah saja menakutkan yang terburuk. Namun, pada adegan pembuka dengan cerdas ia memanfaatkan kegelisahannya itu. Selagi ia membawa dirinya ke sana kemari sembari merajuk mengitari dapur ala rumah pinggir kota, kursi rodanya menyerupai tempurung yang menamengi dia dari sekelilingnya. Kegugupannya menjadi energi seorang yang risau lagi tidak berdaya karena yakin dirinya telah dicurangi kehidupan. Lalu Mirela masuk, dan seperti biasa, segalanya berjalan mulus.

Para gadis perias melakukan tugasnya dengan baik. Mirela tampak sungguh bersahaja sekaligus sungguh menawan. Ia bagaikan magnet, menarikmu mendekat, sehingga tahu-tahu kau tidak lagi memerhatikan dialog yang usang atau bahwa ia model yang pincang, penderita paraplegia yang kakinya terus-terusan berketuk. Lampu sorotnya sendiri agaknya ingin selalu menyinari dia. Cahaya mengilau bertubi-tubi di sekitarnya bak kupu-kupu berwarna-warni.

Penonton tidak bisa berbuat apa-apa selain bersimpati pada Mirela, yang terjebak di antara ibu yang sakit-sakitan dan kakak yang pengisap darah. Tidak ada yang dapat memuaskan Bel. Tidak putus-putusnya ia merongrong adiknya. Tidak habis-habisnya ia menuntut kebaikan dan kasih sayang adiknya. Agaknya Bel bertekad mengekang karier modeling Mirela yang menjanjikan semata-mata karena benci, bahkan bila Mirela menginginkan uang tersebut semata-mata supaya Bel dapat pergi menemui dokter yang kesohor ini, yang menguasai teknik baru yang revolusioner namun berpotensi fatal.

“Kau terlalu memanjakan kakakmu, Ann,” ucap Bunda di ranjang rumah sakit, seraya mengusap pipi Mirela (penampilan Bunda lumayan juga—kendati cuma orang kurang ajar yang akan berpendapat bahwa ia ibu yang jauh lebih meyakinkan di pentas daripada perlakuannya padaku dan Bel selama ini). “Kita terlalu memanjakan dia. Ia ingin menjengukku, katanya, tetapi tidakkah kau mengerti? Ini hanyalah cara lain untuk menyiksamu, memanipulasimu. Karena jika ia benar kakakmu, dan benar anak perempuanku, maka mestilah ia sadar bahwa cintaku mengiringinya ke mana pun. Namun ia buta. Kebutaannya akan cinta itu, Ann, merupakan persoalan penting. Ia tidak menyadari bahwa yang mesti dipasangi titian bukanlah tangga rumah sakit, melainkan hatinya. Titian itu mesti dipasangnya pada tangga keegoisan dan kebenciannya sendiri sejak ia ditabrak pada usia sangat muda dan terpenjara di kursi roda.”

“Oh, Ibu,” Mirela berpaling gundah dari ranjang Bunda dan berseru lirih dengan kedua tangannya seperti berdoa. “Mary juga anak Ibu! Mana mungkin kita berhenti memedulikan dia hanya karena tidak ada ruang bagi mereka yang kurang beruntung di dunia modern yang melaju kencang ini. Bagiku, tidak ada sukacita yang lebih besar daripada merawat dia, seraya berharap suatu saat ia dapat kembali berjalan.”

“Dia baik banget,” Frank berpaling padaku dengan mata berkaca-kaca, sembari meremas tanganku. “Kenapa Bel enggak, enggak udahan aja tampilnya?”

“Enggak tahu ah—aduh, sakit tahu,” seraya menyentakkan tanganku supaya dilepas Frank lantas memulihkannya di pangkuan. Masalahnya, aku cenderung setuju dengan Frank dan menghendaki supaya Bel harus disingkirkan, lalu ketika Harry muncul sebagai pengacara pembela keadilan, aku menyadari diriku tengah mengharap Mirela akan melarikan diri bersama Harry dan meninggalkan kesengsaraan ini. Tetapi kemudian dari bangku penuh kutu yang disediakan Bunda untuk kami di pojok belakang auditorium, sepintas kulihat Bel menunggu di sayap panggung untuk adegan berikutnya—tampak begitu gusar dan tegang pada kursi rodanya, begitu terpencil dan bersendiri, sehingga serta-merta aku merasa iba.

Adegan terakhir babak itu, ketika Bel merayu Harry dengan sebaki biskuit yang sebenarnya dipanggang untuk si pengacara oleh Mirela, menjadi topik perdebatan panas di ruang penitipan barang selama jeda pertunjukan.

“Aku enggak bilang itu enggak bagus ya,” kata Laura. “Aku enggak mengerti saja kenapa si pengacara enggak mengejar si model. Si model kan cantik banget, sedang si pengacara keren banget, mereka tuh pas banget buat satu sama lain ….”

“Enggak tahu ya soal keren,” tinjauku bersungut-sungut. “Kurasa ia terpaksa harus kelihatan keren di mana-mana, menilai dari gayanya menambahkan rompi itu ke penampilannya baru-baru ini. Lagi pula, memangnya kenapa sih Bel?”

“Halo? Dia kan pakai kursi roda?”

“Yeah, Charlie, udah gitu dia suka ngerencanain yang jelek-jelek gitulah.”

“Dia enggak seburuk itu ah,” sahutku tegas.

“Charlie,” ucap Frank serius, “kamu tahu kan Mirela yang bikinin biskuitnya.”

“Rasanya kurang meyakinkan[5] saja,” Laura mengernyit. Lantas entah karena apa mereka berdua mulai cekikikan. Capek deh, jadi aku bilang pada mereka bahwa mereka tidak tahu apa-apa soal drama lantas mengentakkan kaki untuk mengambil minuman.

Di ruang resital, Vuk dan Zoran mulai memainkan “Some Enchanted Evening”, dibantu kawan dari Tiongkok yang mengiringi dengan erhu dan ada seorang lelaki dari Mozambik yang menjaga ritme dengan djembe. Bar dikerumuni pengusaha berperut buncit. Si pengusaha telepon berambut jerami O’Boyle berada di depanku, sedang mengobrol dengan sesama pria bersetelan tentang properti di Algarve. “Pasti enak main golf di sana,” kata si pria bersetelan satunya.

“Tempatnya mewah,” Niall O’Boyle menyetujui. “Mewah.”

Ketika akhirnya aku dapat memesan minuman, bel berbunyi menandakan pertunjukan kembali dibuka, sehingga aku harus pergi, mencari Frank, dan menggiring para petaruh kembali ke auditorium. Baru saja aku menduduki tempatku ketika terdengar psst dari bawahku. Aku merunduk dan mendapati sosok bertudung meringkuk di pergelangan kakiku dalam kegelapan. “Psst!” sosok itu bersuara lagi. Awalnya kukira ada orang yang kebanyakan minum anggur terus linglung, namun kemudian sosok itu berucap, “Charles!” dan aku pun menyadari bahwa ia bukanlah orang tidak keruan, melainkan Bel.

“Kamu sedang apa?” bisikku. “Bukankah kamu seharusnya di panggung?”

“Tenanglah,” Bel mendesis. “Jangan sampai ada yang melihatku di sini.”

“Ah iya,” sahutku mafhum. Sangat penting dalam tontonan drama untuk menangguhkan rasa tidak percaya.

“Carikan MacGillycuddy dong,” bisik Bel.

Seketika aku berkeringat dingin. “Hah? Ia di sini?”

“Aku melihat dia dari panggung,” kata Bel, “di sebelah sana entah ke mana.”

“Tetapi … apa yang dilakukannya di sini? Kamu enggak mengundang dia, kan?”

“Aku enggak ada waktu untuk menjelaskan, Charles, carikan sajalah dia, dan suruh dia ke belakang panggung.”

“Bisa enggak nanti saja setelah pertunjukan?”

“Enggak,” sahutnya. “Enggak bisa.”

“Tunggu, bagaimana aku mesti—“ Namun Bel telah raib.

Aku berpaling pada Frank. “Kamu enggak membiarkan MacGillycuddy masuk, kan?”

“Apa, Charlie?”

“Enggak jadi ….”

Di panggung, kegiatan dimulai kembali. Harry tengah berada di ruangan pengadilan, berbantahan dengan lelaki yang mengenakan wig. “Anda bersikap tidak sepatutnya, pak!” si wig berkata. “Belum pernah saya saksikan pembangkangan serupa itu!”

“M?” panggilku pelan-pelan, seraya merambah dalam kegelapan di antara deretan tempat duduk. “M?”

“Diamlah,” para penonton mendesis. Ada yang berusaha menghantam kakiku selagi aku berlalu.

Ini konyol. Terlalu redup untuk dapat melihat muka siapa pun. Bel pasti berkhayal. Walau begitu, sekadar memastikan, aku kembali ke ruang resital untuk menanyakan Mbok P kalau-kalau ia melihat ada yang tidak biasa—dan di di sanalah, pada bangku yang aku yakin tidak diduduki siapa pun sepeninggalku beberapa menit lalu, ia berada: bersandar pada bar, sembari meminum segelas susu.

“Kamu,” ucapku.

“Ah, sampean toh,” sahutnya, lantas ia menyorotkan seringai tidak ikhlas padaku, tidak ayal lagi diiringi maksud mengalihkanku dari apa pun yang tengah diselipkannya kembali ke dalam amplop cokelat panjang itu, yang kemudian masuk ke balik sweternya.

“Bel ingin menemuimu,” ucapku kasar.

“Agaknya ia sudi menemuiku,” ujar MacGillycuddy diiringi desah. “Agaknya ia sudi.” Ia menusuk buah zaitun dari piring di sikunya, lalu menghela dirinya untuk berdiri. Kulontarkan tangan menyambar lengannya. “Nanti dulu,” kataku.

MacGillycuddy menatapku diiringi rasa terhibur yang samar.

“Aku ingin tahu ada apa dengan adikku,” kataku. Ia tersenyum lembut, lalu, satu demi satu, mulai melepas jemari yang mengait di seputar pergelangan tangannya.

“Kasih tahu aku, keparat!” aku megap-megap, sambil meringis kesakitan. “Dan jangan beri aku omong kosong tentang kerahasiaan, MacGillycuddy, kamu tidak bakal mengenal kerahasiaan jika itu lewat di sampingmu dan membisikkan kerahasiaan di telingamu—“

“Sampean tahu, aku tidak pernah bisa memahami apa menariknya segala urusan teater ini,” renung MacGillycuddy, seraya dengan lembut menekuk jari tengah dan telunjukku ke belakang. “Semua orang berpura-pura menjadi orang lain, mencampur-adukkan berbagai hal hingga entah siapa awalnya dia. Lain kali beri aku tayangan dokumenter yang bagus. Program sejarah yang bagus. Fakta, bu. Ya fakta.”

“Apaan yang kamu bicarakan itu?” ujarku dengan gigi gemeretak dan mata berkaca-kaca.

“Ah yeah,” langkahnya menjauh. Ia mengusap-usap tangannya yang sudah bebas sembari menerawang. “Rumah tua seperti ini mestilah kaya akan sejarah.” Sambil membalikkan punggung, ia berlama-lama di atas lantai papan berpelitur yang menuju ruang masuk. “Sampean tahu bagaimana laku sejarah, kan, C?” seraya berjeda mengamati potret Ayah. “Sejarah berulang dengan sendirinya.”

“Apa maksudmu?” dengan bingung melepaskan diri dari bar. “Ada apa?”

Tetapi, sembari mengisap-isap gigi, MacGillycuddy berlalu dari pandangan. Dari lubang pintu terlihat lukisan wajah Ayah merunduk. Bibirnya yang tipis terkatup entah mengapa, seakan-akan menyimpan pendapat bagi dirinya seorang untuk selama-lamanya. Bagai orang berjalan sambil tidur aku berbalik dan terhuyung kembali ke teater.

“Kamu dari mana aja, Charlie?” Frank mencondongkan badan padaku seketika aku kembali. “Kamu ngelewatin bagian ramenya, si hakim enggak mau titiannya dipasang soalnya dia bilang rumah sakitnya tuh bangunan bersejarah istimewa gitu jadi enggak boleh masang yang baru-baru, terus Harry mulai pidato penting gitu deh katanya gimana kalau ada orang yang enggak mampu naik tangga hukum, hukum yang harus turun ngangkat mereka.”

“Oh,” sahutku, seraya memandangi sosok-sosok di panggung diiringi perihnya perut.

“Astaga, pak!” si hakim memukulkan palunya sekuat tenaga. “Anda tidak bisa melenggang masuk kemari dan menjungkirbalikkan hukum berusia dua abad! Ada prosedur untuk menangani kasus seperti ini, sarana yang formal—“

“Klien saya sama sekali tidak berkepentingan dengan sarana formal Anda!” Jack Reynolds QC berseru, seraya menggulung lengan kemejanya. “Anda tahu sebabnya? Sebab itu hanyalah omong kosong yang telah didengarnya seumur hidup!” Bisik-bisik berpusar di set ruangan pengadilan. “Benar itu, omong kosong!” ulangnya. “Seumur hidupnya, ia didorong ke mana-mana dengan ‘sarana formal’ yang dipilihkan orang lain untuknya. Dan ia mesti gembira pergi ke mana pun ia didorong, begitulah menurut Anda! Ia mesti senang ada orang yang mendorong dia! Ia memakai kursi roda, ya kan? Ia cacat, ya kan?”

Kali ini riak kegaduhan merebak sampai ke penonton dan sejenak menenggelamkan si hakim, yang sembari memukulkan palunya, meraung, “Harap tenang! Harap tenang! Demi Tuhan, pak, jika pengadilan ini tidak dipatuhi, saya akan turun dan mengajarkannya sendiri kepada Anda!”

“Nah, begitulah yang Anda pikirkan, bukan?” Harry balas berteriak. “Begitulah yang kalian semua pikirkan, jadi mengapa tidak mengatakannya saja! Orang cacat!” Ia mengayunkan jarinya ke arah Bel, yang sedang duduk dengan suramnya di pojok seraya menatap pada gelapnya sayap panggung yang menyerupai gua, tempat MacGillycuddy akan menunggu bersama amplop cokelat panjang itu …. “Karena itulah yang kalian perbuat terhadap masyarakat, menempatkan mereka dalam kotak-kotak kecil yang rapi dan memberikan label-label kecil yang rapi, sehingga kalian tidak perlu memikirkan mereka lagi! Begitulah sistem kalian! Begitulah ‘prosedur’ kalian! Nah demi tuhan, roda-roda itu akan bergulir, entahkah kalian menyukainya atau tidak, roda Keadilan, roda Takdir—“

“Kamu mesti kasih dia respek, Charlie,” Frank berbisik. “Si Harry itu mungkin germo, tapi dia maut jadi pengacara. Pantas aja Mirela lu seneng sama dia.”

Aku tidak menyahut menghadapi bintik-bintik berwarna-warni yang melayang-layang di depan mataku, berikut kengerian karena kata-kata yang diucapkan para aktor di panggung itu bukan lagi bagian dari sandiwara, melainkan sesuatu yang lebih kelam di baliknya, yang menjalar mengisap bukan saja kami melainkan juga dinding, langit-langit, fondasi ….

Kini Harry dan Mirela berdua saja, kembali berada di ruangan Harry. “Tidak, tidak, tidak!” Mirela menangis. “Kita tidak bisa memberi tahu dia, kita tidak akan pernah bisa memberi tahu dia! Semalam itu kesalahan—kesalahan yang menakjubkan lagi menggairahkan, tetapi tak boleh terjadi lagi!”

“Oh, Ann,” Harry mendesak, “tidakkah kau mengerti. Bukan Mary yang kucinta, melainkan kasus pengadilannya. Kesempatan untuk mendukung teman-teman kita yang berkebutuhan khusus, peluang untuk memajukan kampanye kebebasan—itulah yang kucintai. Tetapi cintaku padamu hanyalah untukmu seorang—bukan hanya karena kecantikanmu, maupun kariermu yang menjanjikan sebagai model, melainkan karena kaulah yang sejati—karena hati dan jiwamu, hati dan jiwa yang mesti ditemukan Mary di dalam dirinya sendiri—“

“Kenapa, Charlie?” Frank berbisik. “Kamu kebelet?”

“Tetapi ia mencintaimu,” ujar Mirela diiringi air mata, seraya menggenggam lapel baju Harry.

“Tidak,” sahut Harry. “Mary tidak pernah belajar mencintai dengan meringkuk dalam cangkang kursi rodanya. Namun beberapa minggu ini, kasus pengadilan itu telah mengubah dia. Kita telah membimbingnya menaiki titian pemahaman diri. Barangkali ini bisa menjadi pendorong baginya untuk mendobrak batasan, menuju penyelamatan.” Ia mengulurkan sebelah tangannya dan menyusurkannya pada rambut Mirela. Mirela menyandarkan pipinya yang basah oleh air mata pada dasi Harry. Aku melompat dari bangkuku lantas meluncur ke luar ruangan.

MacGillycuddy duduk di kaki tangga belakang, sembari membentuk tusuk giginya menjadi semacam binatang. Aku melewatinya sebelum ia sempat berucap.

Ruang ganti pakaian lengang dan lantainya dari ujung ke ujung tertutupi oleh foto-foto: bidikan-bidikan hitam-putih yang mengilap, diperbesar hingga sekitar ukuran selembar kertas ketik, dan kelihatan cukup profesional. Aku mengambil salah satu foto itu. Foto itu menampakkan kamarku—terlihat dari poster tua yang dibiarkan Harry, bergambar Jimmy Stewart tengah mencium Donna Reed dalam It’s A Wonderful Life; diambil pada pagi-pagi sekali, menurut angka-angka di pojok kanan bawah. Dikaburkan oleh gerakan serta kurangnya cahaya, tertangkap rambut hitam berkilauan yang separuh terayun, tampak tubuhnya di ranjang yang tidak lebih pekat daripada asap: si jin tengah membubung dari lampu ajaibnya, berbaring di sisi orang tolol namun mujur yang membebaskannya …. Kubiarkan foto itu menggelingsir jatuh kembali bersama foto-foto yang lain. Mestilah ada tiga puluh atau empat puluh foto. Foto-foto yang bertebaran di sepanjang lantai itu menyerupai semacam mozaik. Anggota-anggota badan yang saling mengait tanpa diketahui siapa yang empunya itu mengarah pada suatu arti yang lebih besar, dan tidak tentu; dengan di sana-sini ada motif dari rompi menjuntai pada kursi di latar belakang, atau protese yang mengilap lesu bagaikan lelucon buruk. Sedikit saja yang tersisa bagi imajinasi: benar-benar keduanya telah menyajikan pertunjukan, di antara mereka dan MacGillycuddy.

Terdengar suara-suara kepedihan dari toilet di pojok ruangan. Aku berjalan hati-hati ke sana lalu mengetuk pintu. “Bel?”

Terdengar bunyi muntah-muntah, yang segera ditutupi guyuran toilet. “Pergilah,” sahut suara yang lemah itu.

“Kamu baik-baik saja?”

“Ya enggaklah,” ujar suara itu.

“Yah—kamu mau keluar enggak?”

Sejenak ia berpikir-pikir.  “Enggak,” ucapnya. “Aku enggak akan keluar.”

Bunyi tercekik pun terus terdengar. Aku kembali pada meja rias panjang, dengan bohlam-bohlam yang menyala tanpa guna, lalu menatap wajahku sendiri yang tidak terperikan. Kemudian aku memutar salah satu kursi dek dan mendudukinya. Sejenak lalu, Bunda muncul di pintu dalam kostum pasien rumah sakit. “Di mana adikmu?” desaknya.

Dengan lesu aku memberi isyarat ke arah pintu toilet yang terkunci. Bunda berderap ke situ tanpa kelihatan menyadari foto-foto yang diinjaknya. Ia menggedor sekali lalu, dengan suara yang dapat membelah logam, menyuruh Bel keluar. Hanya sebentar menunggu; kemudian kunci berputar pada lubangnya dan Bel pun muncul, tampak malu dan celemotan oleh air mata.

“Apa yang kamu pikirkan?” Bunda menjambret lengan Bel lalu menyeretnya ke pintu. “Kamu tampil di adegan selanjutnya, ayo!”

Namun Bel melawan. Ia menarik lengannya supaya bebas lalu dengan takut-takut mundur kembali ke pojok ruangan.

“Apa,” ucap Bunda amat kalemnya.

Bel mencoba berkata-kata, namun kedengarannya justru tidak jelas. Wajahnya pun memerah padam lalu merunduk.

“Bel,” ucap Bunda, “apa pun masalah yang mungkin kamu alami, nanti saja diurusnya. Kamu tidak boleh menggagalkan malam ini. Tidak boleh ya, kamu mengerti?”

“Tetapi apa Bunda enggak lihat?” kali ini Bel berhasil berbicara, seraya menunjuk lantai. “Bunda enggak lihat?”

“Yang kulihat,” sahut Bunda, seraya meninggikan suara, “ialah seorang gadis sombong lagi merepotkan yang tengah membiarkan amarahnya membahayakan segala sesuatu yang telah kita semua upayakan dengan susah payah—“

Amarah?” Sepasang bintik merah muda timbul di pipi Bel.

“Begitulah persisnya,” Bunda melanjutkan. “Barangkali itu menyinggung prinsipmu, tetapi yang kita suguhkan malam ini merupakan tali penolong—tidak saja bagi teater kita, tetapi juga bagi rumah ini, keluarga ini, supaya terangkat dan pulih, supaya Amaurot dikenal dan dipentingkan lagi, sebagaimana yang dikehendaki ayahmu—“

Keluarga ini,” Bel menyela, “Keluarga apaan? Kenapa Bunda terus berpura-pura memedulikan hal beginian, padahal semua orang juga tahu Bunda cuma ingin kembali muncul di halaman koran atau majalah, supaya orang mengundang Bunda ke acara-acara pembukaan gala lagi—“

“Christabel,” ujar Bunda dengan suara mendesis yang terkendali, “Bunda mengerti kamu ada masalah. Tetapi ada berbagai cara menghadapinya. Ada dokter—“

“—dan Bunda akan menutup mata pada apa pun yang terjadi asalkan tujuan Bunda tercapai, dan itu kan yang Ayah kehendaki?”

Bunda menampar wajah Bel dalam sekali gerak yang telak.

“Hei!” seruku, seraya meloncat dari kursi dek.

Raut wajah Bunda yang pucat kelabu cukup untuk menghentikanku seketika. Ia tampak menyerupai sesuatu yang melayang-layang keluar dari kubur. “Pertunjukannya,” pintaku, rada menciut. “Kita harus menyelesaikan pertunjukannya, kan?”

Agaknya Bunda jadi tersadar. Ia berdeham dan merapikan pakaiannya. Sekali lagi ia berpaling pada Bel—yang tengah menatap kosong dengan ekspresi yang alih-alih terkejut lebih seperti tercerahkan—dan berkata dengan nada rasional dan dingin bak air: “Charles benar. Diskusinya bisa dilanjutkan nanti. Setuju?”

Bel, yang di pipinya masih ada jejak kemerahan tangan Bunda, mengangguk bisu.

“Bagus,” sahut Bunda, seraya menegakkan diri. “Nah, kamu tampil di adegan selanjutnya. Charles, tolong serta.”

Bunda menggiring Bel dengan memegangi sikunya mengarungi lautan daging yang mengilap hitam-putih lalu keluar dari ruangan. MacGillycuddy masih duduk di tempat tadi, di kaki tangga belakang. Dua perempuan melalui dia tanpa sepatah kata pun dan terus berjalan ke arah sayap panggung. Namun aku berhenti dan memandangi dia. Akan tetapi, sebelum aku sempat berkata-kata, ia memulai pidato panjang mengandung pembenaran-diri yang secara garis besar menyatakan bahwa ia hanyalah sarana bagi klien, dan bahwa ia sekadar melakukan perintah, dan bahwa yang ditawarkannya semata-mata sedikit ketenteraman batin—

“Ketenteraman batin? Kamu menganggap berjualan foto porno pada seorang gadis galau yang malang itu ketenteraman batin?”

“Beginilah keinginannya,” MacGillycuddy bersungut-sungut. “Ini idenya, bukan ideku. Ia memintaku melakukan pekerjaan kecil untuknya, menelepon beberapa teman perempuan karib si tolol itu, mencari tahu apa yang membuat dia tergerak—aku pun melakukannya. Semua senang. Dua minggu kemudian ia kembali padaku, ia tidak yakin, dikiranya si tolol itu menyetubuhi si pengungsi, ia gelisah, ia tidak bisa tidur—apa yang mesti kuperbuat? Pekerjaanku ya menyampaikan fakta. Maksud sampean semestinya aku menolak dia?”

Serta-merta aku merasa terlalu lelah sekalipun untuk memarahi dia baik-baik. Kupejamkan mata dan kupegangi kepalaku. “Keluarlah dari sini, MacGillycuddy.”

“Bukan salahku kalau dia mirip sampean,” ujarnya, seraya mengangkat kedua belah tangannya membela diri, “kepala kok kayak semen. Aku cuma memberi dia fakta. Tidak ada yang benar atau salah menyangkut fakta. Aku tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban jika—“

Aku berpura-pura hendak menyerang dia. Ia pun melompat ke sisi, bak kucing menghindari lemparan batu, lantas menyelinap pergi ke arah pintu belakang. “Dan jangan kembali!” seruku padanya, lantas menyusul yang lain berjubel cemas di seputar sayap panggung.

Si pengacara dan si model jelita kembali berada di dapur. Mereka telah memutuskan untuk menyingkapkan hubungan rahasia mereka. Sekarang keduanya sedang menanti Bel kembali dari menjenguk Bunda sekalian titian yang baru dipasang supaya mereka dapat memberi tahu dia. Di naskah, peristiwa ini mengarahkan Bel pada pencerahan, ketika ia menyadari betapa buruk dirinya dan dengan niat untuk memulihkan keadaan ia pun memutuskan untuk menjalani prosedur baru yang revolusioner namun berpotensi fatal itu—yang tragisnya berlangsung kacau, membunuh dirinya, serta membebaskan Harry dan Mirela untuk berkawin. Namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Bel. Sekarang sudah tiga kali Mirela memberi dia isyarat, dan kedua orang itu pun mulai terlihat agak gugup.

“Kuharap ia tidak kenapa-kenapa,” ucap Mirela dari meja, seraya memandangi gua nan jauh di sisi panggung.

“Siapa yang tahu?” Harry berimprovisasi. “Barangkali pikiran untuk menentukan nasibnya sendiri, bukannya menggerakkan dia untuk menilai kembali perannya di masyarakat, malah menyebabkan mundurnya dia pada kekecutan hati.” Ia mengangkat jari bergaya menggurui. “Kalau begitu, Ann, aku dan kaulah yang harus menginsafkan dia—“

Namun menginsafkan tidaklah perlu, sebab seketika itu juga Bel melangkah keluar memasuki panggung.

Hadirin terkesiap.

“Ah, Mary,” Harry tergagap. “Mana kursi rodamu?”

Tanpa menyahut, Bel menyeberangi lantai untuk menyelip di belakang Mirela, yang duduk bergeming seraya menatap meja. Sembari membungkuk, Bel berbisik, yang cukup terdengar, di telinga Mirela: “Cuckoo[6].”

Satu-dua penonton tertawa gugup. Di sebelahku, Bunda bergumam tidak jelas. Bel memutari meja dan berjalan angkuh ke tempat Harry berdiri dengan pundaknya agak terangkat, seakan-akan mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan. Selama sejenak yang terasa lama lagi menegangkan, segala sesuatu di sekitar Harry seolah-olah mengabur jadi gelap. Bel memandang Harry dengan tatapan menyayat yang pernah disasarkannya pula padaku beberapa kali. “Golem,” Bel berucap, lantas berbalik dan berjalan dengan anggunnya ke luar dari panggung, meluncur melewati kami di sayap panggung seakan-akan kami ini tidak ada.

Hadirin berkerisik tidak nyaman. Mirela bersandar lemas pada kursinya. Sesaat rumah ini, dunia ini, terasa condong pada kekacauan total. Lantas Harry tersadar. Dengan memanfaatkan kesempatan yang mau tidak mau jadinya tampak mengagumkan, Harry menghampiri Mirela, menariknya hingga berdiri, dan berkata: “Tidakkah kau lihat yang terjadi? Kita telah menyelamatkan dia. Oh sayang—kita telah menyelamatkan dia.” Seketika, Harry mendekap Mirela dan menciumnya.

“Tirainya,” Bunda berdeguk di telingaku. “Tirainya, masyaallah—“

Aku meloncat ke arah panel, di mana manager panggung yang pendek-gemuk itu berdiri tercengang, lantas menarik tuas yang kira-kira benar. Jatuhnya tirai disambut sunyi senyap.

“Hancurlah kita!” ratap Bunda. Para pemain dan kru pun berkumpul dengan pilu, bertatapan kebingungan. Salah seorang aktor bersungguh-sungguh mengusulkan supaya kami mengambil kesempatan selagi tirai turun untuk melarikan diri dan memulai kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Yang lain ramai menyetujui. Namun sebelum aku sempat menyarankan Cile apalagi merekomendasikannya, muncul kegaduhan dari balik tirai. Kedengarannya luar biasa lagi tak keruan—bagaikan longsor salju saja, pikirku, atau robohnya seantero hutan—lantas dimulailah seruan dan sorakan. Tirai pun dikerek naik kembali hingga kami berhadapan dengan para penonton yang bertepuk tangan sambil berdiri.




[1] Kue Perancis yang bagian tengahnya berlubang dan diisi campuran lezat
[2] (Bahasa Perancis) dalam keadaan polos/telanjang
[3] (Bahasa Perancis) sayang nian!
[4] Dari “break a leg”, idiom dalam dunia teater di Inggris Raya, berdasarkan takhayul bahwa menyampaikan “semoga sukses” (good luck) pada pemain akan mendatangkan nasib buruk sehingga yang diucapkan justru sebaliknya
[5] Dari “I just find it a bit hard to swallow”. “Hard to swallow” idiom yang menyatakan kesangsian, tetapi dapat juga berkonotasi lain mengingat hubungan antara Laura dan Frank.
[6] Cuculus canorus, burung yang suka menumpangkan telurnya di sarang burung lain supaya dipelihara. Nama burung ini digunakan sebagai julukan bagi orang yang suka menumpang di rumah orang lain, atau mengambil kekasih orang lain.

Tidak ada komentar: