Rencana awalnya sih sandiwara itu
diselesaikan dan diserahkan pada Bel sebelum pembukaan sandiwara baru Harry,
dengan harapan mereka membatalkan punyanya dan alih-alih mementaskan milikku.
Akan tetapi, penulisan sandiwara itu memerlukan waktu lebih lama daripada yang
diperkirakan—maksudku, kalau ingin mengerjakannya betul-betul. Sebelum kami
menyadari keadaan, malam pembukaan Titian
sudah di hadapan.
Mereka masih kekurangan
tenaga, sehingga aku menyetujui sementara waktu tidak berada di pembuangan demi
bekerja sebagai Petugas Penitipan Barang pada malam itu. Dengan susah payah,
aku berhasil mengajak Frank supaya serta sebagai bantuan moril. Bunda
menyediakan meja kecil di ruang masuk tempat kami mengambil mantel serta
menyambut tokoh-tokoh yang datang. Di luar, malam dingin menggelenyar, namun di
dalam ada lilin-lilin, tangkai-tangkai bunga liar musim gugur, serta aroma
hangat yang menarik tamu-tamu ke ruang resital, tempat mereka disambut dengan
anggur merah Bordeaux yang dipanaskan, berikut musik pengiring yang dibawakan
Vuk, Zoran, dan teman-teman mereka dari antrean di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil.
Apa pun jampi yang
dilontarkannya, agaknya tidak seorang pun sanggup menolak undangan Mirela. Satu
jam sebelum pagelaran, rumah penuh sesak oleh tokoh-tokoh besar dalam dunia
bisnis, yang masing-masingnya diperkenalkan Laura padaku dan Frank sementara
mereka berlalu. (Laura juga bersukarela membantu, walaupun aku sudah
terang-terang memberi tahu dia bahwa bantuannya tidak diperlukan. Sejak acara
menonton bareng Titanic hampir setiap
malam ia berkeliaran di apartemen—katanya sih membantu Frank memasang rak buku,
walaupun menilai dari banyaknya cekikik yang terdengar dari kamar Frank
sepertinya ia tidak membantu banyak.)
“Ada atase kebudayaan
Perancis,” ucap Laura, yang muncul dengan gaun terusan gembung berbahan tafeta
sambil membawa baki berisi vol-au-vent[1].
“Itu kan Roly Guilfoyle, koki itu? Itu orang dari perusahaan
kacang-kacangan—oh, maaf …” ketika ada tokoh lain yang datang untuk
mendaftarkan mantelnya disertai kerjap mata berulang-ulang selazimnya tamu-tamu
sebelumnya, memandang ketakutan antara wajahku yang dililit perban dan wajah
Frank yang sayangnya tidak dililit perban. “Terima kasih, nyonya, nomor Anda
105, lurus terus ke kanan ….”
“Oh ya Tuhan, ada kepala StoneWall Friends and Mutual. Dia tuh tokoh asuransi di Irlandia. Dia ada di
majalah VIP bulan kemarin, kamar
mandinya kan gaya Etruscan …?”
“Hei, kenapa kamu enggak ke
sana dan beri dia vol-au-vent? Kami
sibuk nih—Ya, tuan, nomor 106, terima kasih. Ya, tuan, sangat aman. Ya, tuan,
saya tahu ini tidak tumbuh di pohon. Anda sangat disambut, tuan—sialan kamu
Frank, bisa enggak sih, enggak cemberut melulu? Kamu menakuti orang ….”
“Aku enggak cemberut,
Charlie, biasa juga aku begini.”
“Kawan-kawan,” Laura
berjingkat seraya berkata sembunyi-sembunyi, “kalian enggak bakal percaya siapa
yang datang. Niall O’Boyle.” Ia menunjuk lelaki bersahaja yang mengenakan
setelan biru. Wajah lelaki itu kelihatannya telah mengalami tahap perkembangan
yang krusial.
“Siapa?”
“Niall O’Boyle? Dia tuh
pemimpin eksekutif Telsinor Irlandia? Kalian pasti ingat, tahun lalu saat
perusahaan telepon menjual sahamnya ke publik lalu ia mendongkrak akuisisinya
bersama orang-orang Denmark itu? Ia juga memiliki stasiun radio ini dan majalah
itu, ia pasti teramat kaya—oh ya
Tuhan, lihat arlojinya, kayaknya itu arloji paling gede yang pernah kulihat ….”
“Begini ya,” aku
mengetuk-ngetukkan stapler dengan tegas pada meja. “Aku enggak bermaksud kasar,
tetapi aku dan Frank ditugaskan untuk bertanggung jawab atas mantel-mantel yang
sangat bernilai, dan kami enggak bisa diganggu.”
“Baiklah, baiklah.” Laura
merengut dan kembali bercampur dengan orang-orang.
“Di sini banyak bos gede ya,
Charlie?”
“Menurutku sih, ini kayak
pesta Illuminati.” Aku penasaran jadinya akan pendapat Bel.
Para pemain Titian sudah terlihat sedari tadi,
menyambut para tamu, sembari menjelaskan tentang Arti dan Kepentingan teater
ini pada siapa pun yang mau mendengarkan. Bel juga ada, mengenakan gaun panjang
berwarna sampanye dan menampakkan raut permusuhan yang terang-terangan sehingga
hanya tamu-tamu yang sudah sepuh atau bermental kamikaze yang berani
menghampiri dia. Hingga kala itu, aku berencana tidak mengganggu dia. Akan
tetapi, setelah percekcokan yang disulutnya terakhir kali, aku sadar sebaiknya
mengatakan sesuatu. Begitu bel pertama berbunyi supaya tamu duduk di tempatnya
masing-masing, aku memutuskan untuk melakukan penggerebekan kilat ke ruang
ganti pakaian dan menyampaikan salam. Dengan begini, sekalipun aku mendapat
sambutan dingin, sedikitnya ada kesempatan melihat Mirela au naturel[2].
Kutinggalkan Frank dengan pesan tegas supaya tidak merusakkan apa-apa ataupun
menyerang siapa-siapa, lantas setelah memutar lewat ruang cuci piring aku
memanjat tangga belakang menuju ruang ganti pakaian.
Hawa di ruang ganti pakaian
pengap, panas, dan pekat oleh talk sampai-sampai napas jadi sesak. Panas
memancar dari bohlam-bohlam di atas kaca meja rias, di mana para pemain pada
duduk di kursi dek. Aku mendapati Bel duduk paling jauh, seraya menempelkan
segelas kopi hitam yang masih utuh ke kostumnya yang usang sementara Harry
meremas-remas pundaknya. Aku berusaha berjalan ke arah Bel, namun rasanya
seperti berenang melawan air pasang. Setelah berkali-kali terempas balik, aku
menyerah dan mundur ke tempat yang relatif sepi di dekat pintu menanti
kesempatan muncul dengan sendirinya. Sementara itu, dengan pilu kupandangi
Mirela, yang sedang duduk di dekatku (hélas[3]! sudah berpakaian) dikerumuni bukan hanya
oleh satu melainkan tiga gadis, yang merias serta menyikat rambut hitamnya yang
berkilauan.
Entah dari sebelah mana
kehirukan ini kudengar Bunda mendengking: “Jadi, ia bilang apa?”
“Mungkin sebaiknya nanti saja
kita bicarakan,” sahut Harry diiringi separuh senyum tersipu.
“Ah, omong kosong,” Bunda
mengotot.
“Yah, ia tertarik,” Harry
mengalah. Senyumnya melebar seiring dengan seisi ruangan mendengarnya dan
keriuhan pun merebak. “Rupanya istrinya menonton Terbakar Habis. Maka, sekiranya ia menyukai pertunjukan malam ini
….”
“Apa?” desak si gadis yang mengenakan penjepit rambut, seraya
menyabet Harry dengan naskahnya.
“Ia bilang bahwa kalau ada
yang mesti terus berlanjut—kalau
ya—maka itu harus dengan dasar bahwa Telsinor menjadi penyokong tunggal teater
ini yang berarti paket sponsor penuh ….” Harry mengangkat bahu dengan rendah
hati sementara sorak dan suit menyambut kabar ini. Kemudian diangkatnya kedua
tangan untuk meredakan. “Mesti kuingatkan semuanya bahwa kita ada pertunjukan
lebih dahulu.”
Semua orang tertawa, kecuali
Bel, yang menatap Harry dengan raut terluka. “Tetapi kukira tadinya kita enggak
mau ada penyokong tunggal,” ucap Bel.
“Itu karena tadinya kita
enggak menyangka bakal mendapatkan
penyokong tunggal,” sahut Harry.
“Enggak. Kukira kita sudah
sepakat ya bahwa kalau semua uangnya berasal dari satu sumber, maka—“
“Oh, sayang, kita kan sudah
membahasnya,” Bunda memangkas. “Mana mungkin kita menunggu terus sedang
pemerintah ragu-ragu. Omong-omong soal kompromi, tunggulah sampai bank datang
meminta pinjamannya kembali, nanti kamu akan tahu rasa—Charles, apa-apaan kamu
mengendap-endap begitu?”
“Siapa yang mengendap-endap,
aku di sini terang-terangan kok.”
“Kamu kan mestinya di bawah
mengurus penitipan barang. Kamu tidak meninggalkan si bocah miskin idiot itu
sendirian, kan?”
“Aku cuma pengin mampir dan
menyampaikan semoga sukses—“
Semuanya serempak mengerang.
“Oh, maksudku semoga celaka[4],
maaf ya—“
“Charles,” Bunda mencekal
sikuku kuat-kuat lantas menyeretku ke arah pintu, “kebetulan malam ini kita
kedatangan tamu-tamu penting. Sekali saja cobalah kendalikan tingkah jangakmu
itu.”
“Lima menit lagi!” seru si
lelaki pendek-gemuk, yang muncul di pintu di belakangku. Semua orang pun
cungap-cangip, dan mulai sibuk mondar-mandir lebih tergesa-gesa daripada tadi.
Melalui sosok-sosok yang bergaduh, bisa kulihat kedua tangan Harry masih asyik
meremas pundak Bel. Adapun Bel berpaling ke cermin dan, sambil menekankan
sebelah tangan pada klavikulanya yang tidak bersalut, menatap benda itu,
seakan-akan ke dalamnya ia mencari sesuatu yang telah hilang dari dirinya.
Aku pun menuruni tangga
kembali ke bawah. Ruang masuk dan ruang resital lengang. Ruang penitipan barang
sudah dikunci. Setelah menutup pintu berdaun ganda di belakangku, aku mengambil
tempat duduk di auditorium yang sudah digelapkan.
”Semuanya beres, Charlie?”
tanya Frank.
Aku merasa kehabisan napas.
Aku pun cuma berdeham dan menuding ke pentas, ketika tirai terangkat dan muncul
sesorot cahaya. Lalu tampak seorang gadis memutar roda kursinya.
Bel terlihat sangat gelisah sewaktu di
ruang ganti pakaian tadi. Mengingat riwayat panggungnya yang berwarna-warni,
orang sah-sah saja menakutkan yang terburuk. Namun, pada adegan pembuka dengan
cerdas ia memanfaatkan kegelisahannya itu. Selagi ia membawa dirinya ke sana
kemari sembari merajuk mengitari dapur ala rumah pinggir kota, kursi rodanya
menyerupai tempurung yang menamengi dia dari sekelilingnya. Kegugupannya
menjadi energi seorang yang risau lagi tidak berdaya karena yakin dirinya telah
dicurangi kehidupan. Lalu Mirela masuk, dan seperti biasa, segalanya berjalan
mulus.
Para gadis perias melakukan
tugasnya dengan baik. Mirela tampak sungguh bersahaja sekaligus sungguh
menawan. Ia bagaikan magnet, menarikmu mendekat, sehingga tahu-tahu kau tidak
lagi memerhatikan dialog yang usang atau bahwa ia model yang pincang, penderita
paraplegia yang kakinya terus-terusan berketuk. Lampu sorotnya sendiri agaknya
ingin selalu menyinari dia. Cahaya mengilau bertubi-tubi di sekitarnya bak
kupu-kupu berwarna-warni.
Penonton tidak bisa berbuat
apa-apa selain bersimpati pada Mirela, yang terjebak di antara ibu yang
sakit-sakitan dan kakak yang pengisap darah. Tidak ada yang dapat memuaskan
Bel. Tidak putus-putusnya ia merongrong adiknya. Tidak habis-habisnya ia
menuntut kebaikan dan kasih sayang adiknya. Agaknya Bel bertekad mengekang
karier modeling Mirela yang menjanjikan semata-mata karena benci, bahkan bila
Mirela menginginkan uang tersebut semata-mata supaya Bel dapat pergi menemui
dokter yang kesohor ini, yang menguasai teknik baru yang revolusioner namun
berpotensi fatal.
“Kau terlalu memanjakan
kakakmu, Ann,” ucap Bunda di ranjang rumah sakit, seraya mengusap pipi Mirela
(penampilan Bunda lumayan juga—kendati cuma orang kurang ajar yang akan
berpendapat bahwa ia ibu yang jauh lebih meyakinkan di pentas daripada
perlakuannya padaku dan Bel selama ini). “Kita terlalu memanjakan dia. Ia ingin
menjengukku, katanya, tetapi tidakkah kau mengerti? Ini hanyalah cara lain
untuk menyiksamu, memanipulasimu. Karena jika ia benar kakakmu, dan benar anak
perempuanku, maka mestilah ia sadar bahwa cintaku mengiringinya ke mana pun.
Namun ia buta. Kebutaannya akan cinta itu, Ann, merupakan persoalan penting. Ia
tidak menyadari bahwa yang mesti dipasangi titian bukanlah tangga rumah sakit,
melainkan hatinya. Titian itu mesti dipasangnya pada tangga keegoisan dan
kebenciannya sendiri sejak ia ditabrak pada usia sangat muda dan terpenjara di
kursi roda.”
“Oh, Ibu,” Mirela berpaling
gundah dari ranjang Bunda dan berseru lirih dengan kedua tangannya seperti
berdoa. “Mary juga anak Ibu! Mana mungkin kita berhenti memedulikan dia hanya
karena tidak ada ruang bagi mereka yang kurang beruntung di dunia modern yang
melaju kencang ini. Bagiku, tidak ada sukacita yang lebih besar daripada
merawat dia, seraya berharap suatu saat ia dapat kembali berjalan.”
“Dia baik banget,” Frank
berpaling padaku dengan mata berkaca-kaca, sembari meremas tanganku. “Kenapa
Bel enggak, enggak udahan aja tampilnya?”
“Enggak tahu ah—aduh, sakit
tahu,” seraya menyentakkan tanganku supaya dilepas Frank lantas memulihkannya
di pangkuan. Masalahnya, aku cenderung setuju dengan Frank dan menghendaki
supaya Bel harus disingkirkan, lalu
ketika Harry muncul sebagai pengacara pembela keadilan, aku menyadari diriku
tengah mengharap Mirela akan melarikan diri bersama Harry dan meninggalkan
kesengsaraan ini. Tetapi kemudian dari bangku penuh kutu yang disediakan Bunda
untuk kami di pojok belakang auditorium, sepintas kulihat Bel menunggu di sayap
panggung untuk adegan berikutnya—tampak begitu gusar dan tegang pada kursi
rodanya, begitu terpencil dan bersendiri, sehingga serta-merta aku merasa iba.
Adegan terakhir babak itu,
ketika Bel merayu Harry dengan sebaki biskuit yang sebenarnya dipanggang untuk
si pengacara oleh Mirela, menjadi topik perdebatan panas di ruang penitipan
barang selama jeda pertunjukan.
“Aku enggak bilang itu enggak
bagus ya,” kata Laura. “Aku enggak
mengerti saja kenapa si pengacara enggak mengejar si model. Si model kan cantik
banget, sedang si pengacara keren banget, mereka tuh pas banget buat satu sama lain ….”
“Enggak tahu ya soal keren,”
tinjauku bersungut-sungut. “Kurasa ia terpaksa harus kelihatan keren di mana-mana, menilai dari gayanya
menambahkan rompi itu ke penampilannya baru-baru ini. Lagi pula, memangnya
kenapa sih Bel?”
“Halo? Dia kan pakai kursi
roda?”
“Yeah, Charlie, udah gitu dia
suka ngerencanain yang jelek-jelek gitulah.”
“Dia enggak seburuk itu ah,”
sahutku tegas.
“Charlie,” ucap Frank serius,
“kamu tahu kan Mirela yang bikinin biskuitnya.”
“Rasanya kurang meyakinkan[5]
saja,” Laura mengernyit. Lantas entah karena apa mereka berdua mulai cekikikan.
Capek deh, jadi aku bilang pada mereka bahwa mereka tidak tahu apa-apa soal
drama lantas mengentakkan kaki untuk mengambil minuman.
Di ruang resital, Vuk dan
Zoran mulai memainkan “Some Enchanted Evening”, dibantu kawan dari Tiongkok
yang mengiringi dengan erhu dan ada seorang lelaki dari Mozambik yang menjaga
ritme dengan djembe. Bar dikerumuni pengusaha berperut buncit. Si pengusaha
telepon berambut jerami O’Boyle berada di depanku, sedang mengobrol dengan
sesama pria bersetelan tentang properti di Algarve. “Pasti enak main golf di
sana,” kata si pria bersetelan satunya.
“Tempatnya mewah,” Niall
O’Boyle menyetujui. “Mewah.”
Ketika akhirnya aku dapat
memesan minuman, bel berbunyi menandakan pertunjukan kembali dibuka, sehingga
aku harus pergi, mencari Frank, dan menggiring para petaruh kembali ke
auditorium. Baru saja aku menduduki tempatku ketika terdengar psst dari bawahku. Aku merunduk dan
mendapati sosok bertudung meringkuk di pergelangan kakiku dalam kegelapan. “Psst!” sosok itu bersuara lagi. Awalnya
kukira ada orang yang kebanyakan minum anggur terus linglung, namun kemudian
sosok itu berucap, “Charles!” dan aku pun menyadari bahwa ia bukanlah orang
tidak keruan, melainkan Bel.
“Kamu sedang apa?” bisikku.
“Bukankah kamu seharusnya di panggung?”
“Tenanglah,” Bel mendesis.
“Jangan sampai ada yang melihatku di sini.”
“Ah iya,” sahutku mafhum.
Sangat penting dalam tontonan drama untuk menangguhkan rasa tidak percaya.
“Carikan MacGillycuddy dong,”
bisik Bel.
Seketika aku berkeringat
dingin. “Hah? Ia di sini?”
“Aku melihat dia dari
panggung,” kata Bel, “di sebelah sana entah ke mana.”
“Tetapi … apa yang
dilakukannya di sini? Kamu enggak mengundang
dia, kan?”
“Aku enggak ada waktu untuk
menjelaskan, Charles, carikan sajalah dia, dan suruh dia ke belakang panggung.”
“Bisa enggak nanti saja
setelah pertunjukan?”
“Enggak,” sahutnya. “Enggak
bisa.”
“Tunggu, bagaimana aku
mesti—“ Namun Bel telah raib.
Aku berpaling pada Frank.
“Kamu enggak membiarkan MacGillycuddy masuk, kan?”
“Apa, Charlie?”
“Enggak jadi ….”
Di panggung, kegiatan dimulai
kembali. Harry tengah berada di ruangan pengadilan, berbantahan dengan lelaki
yang mengenakan wig. “Anda bersikap tidak sepatutnya, pak!” si wig berkata.
“Belum pernah saya saksikan pembangkangan serupa itu!”
“M?” panggilku pelan-pelan,
seraya merambah dalam kegelapan di antara deretan tempat duduk. “M?”
“Diamlah,” para penonton mendesis. Ada yang berusaha menghantam kakiku
selagi aku berlalu.
Ini konyol. Terlalu redup
untuk dapat melihat muka siapa pun. Bel pasti berkhayal. Walau begitu, sekadar
memastikan, aku kembali ke ruang resital untuk menanyakan Mbok P kalau-kalau ia
melihat ada yang tidak biasa—dan di di sanalah, pada bangku yang aku yakin
tidak diduduki siapa pun sepeninggalku beberapa menit lalu, ia berada:
bersandar pada bar, sembari meminum segelas susu.
“Kamu,” ucapku.
“Ah, sampean toh,” sahutnya,
lantas ia menyorotkan seringai tidak ikhlas padaku, tidak ayal lagi diiringi
maksud mengalihkanku dari apa pun yang tengah diselipkannya kembali ke dalam
amplop cokelat panjang itu, yang kemudian masuk ke balik sweternya.
“Bel ingin menemuimu,” ucapku
kasar.
“Agaknya ia sudi menemuiku,”
ujar MacGillycuddy diiringi desah. “Agaknya ia sudi.” Ia menusuk buah zaitun
dari piring di sikunya, lalu menghela dirinya untuk berdiri. Kulontarkan tangan
menyambar lengannya. “Nanti dulu,” kataku.
MacGillycuddy menatapku
diiringi rasa terhibur yang samar.
“Aku ingin tahu ada apa
dengan adikku,” kataku. Ia tersenyum lembut, lalu, satu demi satu, mulai
melepas jemari yang mengait di seputar pergelangan tangannya.
“Kasih tahu aku, keparat!”
aku megap-megap, sambil meringis kesakitan. “Dan jangan beri aku omong kosong
tentang kerahasiaan, MacGillycuddy, kamu tidak bakal mengenal kerahasiaan jika
itu lewat di sampingmu dan membisikkan kerahasiaan di telingamu—“
“Sampean tahu, aku tidak
pernah bisa memahami apa menariknya segala urusan teater ini,” renung
MacGillycuddy, seraya dengan lembut menekuk jari tengah dan telunjukku ke
belakang. “Semua orang berpura-pura menjadi orang lain, mencampur-adukkan
berbagai hal hingga entah siapa awalnya dia. Lain kali beri aku tayangan
dokumenter yang bagus. Program sejarah yang bagus. Fakta, bu. Ya fakta.”
“Apaan yang kamu bicarakan
itu?” ujarku dengan gigi gemeretak dan mata berkaca-kaca.
“Ah yeah,” langkahnya
menjauh. Ia mengusap-usap tangannya yang sudah bebas sembari menerawang. “Rumah
tua seperti ini mestilah kaya akan sejarah.” Sambil membalikkan punggung, ia
berlama-lama di atas lantai papan berpelitur yang menuju ruang masuk. “Sampean tahu
bagaimana laku sejarah, kan, C?” seraya berjeda mengamati potret Ayah. “Sejarah
berulang dengan sendirinya.”
“Apa maksudmu?” dengan bingung melepaskan diri dari bar. “Ada apa?”
Tetapi, sembari mengisap-isap
gigi, MacGillycuddy berlalu dari pandangan. Dari lubang pintu terlihat lukisan
wajah Ayah merunduk. Bibirnya yang tipis terkatup entah mengapa, seakan-akan
menyimpan pendapat bagi dirinya seorang untuk selama-lamanya. Bagai orang
berjalan sambil tidur aku berbalik dan terhuyung kembali ke teater.
“Kamu dari mana aja,
Charlie?” Frank mencondongkan badan padaku seketika aku kembali. “Kamu
ngelewatin bagian ramenya, si hakim enggak mau titiannya dipasang soalnya dia
bilang rumah sakitnya tuh bangunan bersejarah istimewa gitu jadi enggak boleh
masang yang baru-baru, terus Harry mulai pidato penting gitu deh katanya gimana
kalau ada orang yang enggak mampu naik tangga hukum, hukum yang harus turun
ngangkat mereka.”
“Oh,” sahutku, seraya
memandangi sosok-sosok di panggung diiringi perihnya perut.
“Astaga, pak!” si hakim
memukulkan palunya sekuat tenaga. “Anda tidak bisa melenggang masuk kemari dan
menjungkirbalikkan hukum berusia dua abad! Ada prosedur untuk menangani kasus
seperti ini, sarana yang formal—“
“Klien saya sama sekali tidak
berkepentingan dengan sarana formal Anda!” Jack Reynolds QC berseru, seraya
menggulung lengan kemejanya. “Anda tahu sebabnya? Sebab itu hanyalah omong
kosong yang telah didengarnya seumur hidup!” Bisik-bisik berpusar di set ruangan
pengadilan. “Benar itu, omong kosong!” ulangnya. “Seumur hidupnya, ia didorong
ke mana-mana dengan ‘sarana formal’ yang dipilihkan orang lain untuknya. Dan ia
mesti gembira pergi ke mana pun ia didorong, begitulah menurut Anda! Ia mesti
senang ada orang yang mendorong dia! Ia memakai kursi roda, ya kan? Ia cacat, ya kan?”
Kali ini riak kegaduhan
merebak sampai ke penonton dan sejenak menenggelamkan si hakim, yang sembari
memukulkan palunya, meraung, “Harap tenang! Harap tenang! Demi Tuhan, pak, jika
pengadilan ini tidak dipatuhi, saya akan turun dan mengajarkannya sendiri
kepada Anda!”
“Nah, begitulah yang Anda
pikirkan, bukan?” Harry balas berteriak. “Begitulah yang kalian semua pikirkan,
jadi mengapa tidak mengatakannya saja! Orang cacat!” Ia mengayunkan jarinya ke
arah Bel, yang sedang duduk dengan suramnya di pojok seraya menatap pada
gelapnya sayap panggung yang menyerupai gua, tempat MacGillycuddy akan menunggu
bersama amplop cokelat panjang itu …. “Karena itulah yang kalian perbuat
terhadap masyarakat, menempatkan mereka dalam kotak-kotak kecil yang rapi dan
memberikan label-label kecil yang rapi, sehingga kalian tidak perlu memikirkan
mereka lagi! Begitulah sistem kalian! Begitulah ‘prosedur’ kalian! Nah demi
tuhan, roda-roda itu akan bergulir, entahkah kalian menyukainya atau tidak,
roda Keadilan, roda Takdir—“
“Kamu mesti kasih dia respek,
Charlie,” Frank berbisik. “Si Harry itu mungkin germo, tapi dia maut jadi
pengacara. Pantas aja Mirela lu seneng sama dia.”
Aku tidak
menyahut menghadapi bintik-bintik berwarna-warni yang melayang-layang di depan
mataku, berikut kengerian karena kata-kata yang diucapkan para aktor di
panggung itu bukan lagi bagian dari sandiwara, melainkan sesuatu yang lebih
kelam di baliknya, yang menjalar mengisap bukan saja kami melainkan juga
dinding, langit-langit, fondasi ….
Kini Harry dan Mirela berdua
saja, kembali berada di ruangan Harry. “Tidak, tidak, tidak!” Mirela menangis.
“Kita tidak bisa memberi tahu dia, kita tidak akan pernah bisa memberi tahu
dia! Semalam itu kesalahan—kesalahan yang menakjubkan lagi menggairahkan,
tetapi tak boleh terjadi lagi!”
“Oh, Ann,” Harry mendesak,
“tidakkah kau mengerti. Bukan Mary yang kucinta, melainkan kasus pengadilannya.
Kesempatan untuk mendukung teman-teman kita yang berkebutuhan khusus, peluang
untuk memajukan kampanye kebebasan—itulah yang kucintai. Tetapi cintaku padamu
hanyalah untukmu seorang—bukan hanya karena kecantikanmu, maupun kariermu yang
menjanjikan sebagai model, melainkan karena kaulah yang sejati—karena hati dan
jiwamu, hati dan jiwa yang mesti ditemukan Mary di dalam dirinya sendiri—“
“Kenapa, Charlie?” Frank
berbisik. “Kamu kebelet?”
“Tetapi ia mencintaimu,” ujar
Mirela diiringi air mata, seraya menggenggam lapel baju Harry.
“Tidak,” sahut Harry. “Mary
tidak pernah belajar mencintai dengan meringkuk dalam cangkang kursi rodanya.
Namun beberapa minggu ini, kasus pengadilan itu telah mengubah dia. Kita telah
membimbingnya menaiki titian pemahaman diri. Barangkali ini bisa menjadi
pendorong baginya untuk mendobrak batasan, menuju penyelamatan.” Ia mengulurkan
sebelah tangannya dan menyusurkannya pada rambut Mirela. Mirela menyandarkan
pipinya yang basah oleh air mata pada dasi Harry. Aku melompat dari bangkuku
lantas meluncur ke luar ruangan.
MacGillycuddy duduk di kaki
tangga belakang, sembari membentuk tusuk giginya menjadi semacam binatang. Aku
melewatinya sebelum ia sempat berucap.
Ruang ganti pakaian lengang
dan lantainya dari ujung ke ujung tertutupi oleh foto-foto: bidikan-bidikan
hitam-putih yang mengilap, diperbesar hingga sekitar ukuran selembar kertas
ketik, dan kelihatan cukup profesional. Aku mengambil salah satu foto itu. Foto
itu menampakkan kamarku—terlihat dari poster tua yang dibiarkan Harry,
bergambar Jimmy Stewart tengah mencium Donna Reed dalam It’s A Wonderful Life; diambil pada pagi-pagi sekali, menurut
angka-angka di pojok kanan bawah. Dikaburkan oleh gerakan serta kurangnya
cahaya, tertangkap rambut hitam berkilauan yang separuh terayun, tampak
tubuhnya di ranjang yang tidak lebih pekat daripada asap: si jin tengah
membubung dari lampu ajaibnya, berbaring di sisi orang tolol namun mujur yang
membebaskannya …. Kubiarkan foto itu menggelingsir jatuh kembali bersama
foto-foto yang lain. Mestilah ada tiga puluh atau empat puluh foto. Foto-foto
yang bertebaran di sepanjang lantai itu menyerupai semacam mozaik.
Anggota-anggota badan yang saling mengait tanpa diketahui siapa yang empunya
itu mengarah pada suatu arti yang lebih besar, dan tidak tentu; dengan di
sana-sini ada motif dari rompi menjuntai pada kursi di latar belakang, atau
protese yang mengilap lesu bagaikan lelucon buruk. Sedikit saja yang tersisa
bagi imajinasi: benar-benar keduanya telah menyajikan pertunjukan, di antara
mereka dan MacGillycuddy.
Terdengar suara-suara
kepedihan dari toilet di pojok ruangan. Aku berjalan hati-hati ke sana lalu
mengetuk pintu. “Bel?”
Terdengar bunyi
muntah-muntah, yang segera ditutupi guyuran toilet. “Pergilah,” sahut suara
yang lemah itu.
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya enggaklah,” ujar suara
itu.
“Yah—kamu mau keluar enggak?”
Sejenak ia
berpikir-pikir. “Enggak,” ucapnya. “Aku
enggak akan keluar.”
Bunyi tercekik pun terus
terdengar. Aku kembali pada meja rias panjang, dengan bohlam-bohlam yang
menyala tanpa guna, lalu menatap wajahku sendiri yang tidak terperikan.
Kemudian aku memutar salah satu kursi dek dan mendudukinya. Sejenak lalu, Bunda
muncul di pintu dalam kostum pasien rumah sakit. “Di mana adikmu?” desaknya.
Dengan lesu aku memberi
isyarat ke arah pintu toilet yang terkunci. Bunda berderap ke situ tanpa
kelihatan menyadari foto-foto yang diinjaknya. Ia menggedor sekali lalu, dengan
suara yang dapat membelah logam, menyuruh Bel keluar. Hanya sebentar menunggu;
kemudian kunci berputar pada lubangnya dan Bel pun muncul, tampak malu dan
celemotan oleh air mata.
“Apa yang kamu pikirkan?”
Bunda menjambret lengan Bel lalu menyeretnya ke pintu. “Kamu tampil di adegan
selanjutnya, ayo!”
Namun Bel melawan. Ia menarik
lengannya supaya bebas lalu dengan takut-takut mundur kembali ke pojok ruangan.
“Apa,” ucap Bunda amat
kalemnya.
Bel mencoba berkata-kata,
namun kedengarannya justru tidak jelas. Wajahnya pun memerah padam lalu
merunduk.
“Bel,” ucap Bunda, “apa pun
masalah yang mungkin kamu alami, nanti saja diurusnya. Kamu tidak boleh
menggagalkan malam ini. Tidak boleh ya, kamu mengerti?”
“Tetapi apa Bunda enggak
lihat?” kali ini Bel berhasil berbicara, seraya menunjuk lantai. “Bunda enggak lihat?”
“Yang kulihat,” sahut Bunda,
seraya meninggikan suara, “ialah seorang gadis sombong lagi merepotkan yang
tengah membiarkan amarahnya membahayakan segala sesuatu yang telah kita semua
upayakan dengan susah payah—“
“Amarah?” Sepasang bintik merah muda timbul di pipi Bel.
“Begitulah persisnya,” Bunda
melanjutkan. “Barangkali itu menyinggung prinsipmu,
tetapi yang kita suguhkan malam ini merupakan tali penolong—tidak saja bagi
teater kita, tetapi juga bagi rumah ini, keluarga
ini, supaya terangkat dan pulih, supaya Amaurot dikenal dan dipentingkan
lagi, sebagaimana yang dikehendaki ayahmu—“
“Keluarga ini,” Bel menyela, “Keluarga
apaan? Kenapa Bunda terus berpura-pura memedulikan hal beginian, padahal semua
orang juga tahu Bunda cuma ingin kembali muncul di halaman koran atau majalah,
supaya orang mengundang Bunda ke acara-acara pembukaan gala lagi—“
“Christabel,” ujar Bunda
dengan suara mendesis yang terkendali, “Bunda mengerti kamu ada masalah. Tetapi
ada berbagai cara menghadapinya. Ada dokter—“
“—dan Bunda akan menutup mata
pada apa pun yang terjadi asalkan tujuan Bunda tercapai, dan itu kan yang Ayah kehendaki?”
Bunda menampar wajah Bel
dalam sekali gerak yang telak.
“Hei!” seruku, seraya
meloncat dari kursi dek.
Raut wajah Bunda yang pucat
kelabu cukup untuk menghentikanku seketika. Ia tampak menyerupai sesuatu yang
melayang-layang keluar dari kubur. “Pertunjukannya,” pintaku, rada menciut.
“Kita harus menyelesaikan pertunjukannya, kan?”
Agaknya Bunda jadi tersadar.
Ia berdeham dan merapikan pakaiannya. Sekali lagi ia berpaling pada Bel—yang
tengah menatap kosong dengan ekspresi yang alih-alih terkejut lebih seperti tercerahkan—dan berkata dengan nada
rasional dan dingin bak air: “Charles benar. Diskusinya bisa dilanjutkan nanti.
Setuju?”
Bel, yang di pipinya masih
ada jejak kemerahan tangan Bunda, mengangguk bisu.
“Bagus,” sahut Bunda, seraya
menegakkan diri. “Nah, kamu tampil di adegan selanjutnya. Charles, tolong
serta.”
Bunda menggiring Bel dengan
memegangi sikunya mengarungi lautan daging yang mengilap hitam-putih lalu
keluar dari ruangan. MacGillycuddy masih duduk di tempat tadi, di kaki tangga
belakang. Dua perempuan melalui dia tanpa sepatah kata pun dan terus berjalan
ke arah sayap panggung. Namun aku berhenti dan memandangi dia. Akan tetapi,
sebelum aku sempat berkata-kata, ia memulai pidato panjang mengandung
pembenaran-diri yang secara garis besar menyatakan bahwa ia hanyalah sarana
bagi klien, dan bahwa ia sekadar melakukan perintah, dan bahwa yang
ditawarkannya semata-mata sedikit ketenteraman batin—
“Ketenteraman batin? Kamu
menganggap berjualan foto porno pada seorang gadis galau yang malang itu
ketenteraman batin?”
“Beginilah keinginannya,”
MacGillycuddy bersungut-sungut. “Ini idenya, bukan ideku. Ia memintaku
melakukan pekerjaan kecil untuknya, menelepon beberapa teman perempuan karib si
tolol itu, mencari tahu apa yang membuat dia tergerak—aku pun melakukannya.
Semua senang. Dua minggu kemudian ia kembali padaku, ia tidak yakin, dikiranya
si tolol itu menyetubuhi si pengungsi, ia gelisah, ia tidak bisa tidur—apa yang
mesti kuperbuat? Pekerjaanku ya menyampaikan fakta. Maksud sampean semestinya
aku menolak dia?”
Serta-merta aku merasa
terlalu lelah sekalipun untuk memarahi dia baik-baik. Kupejamkan mata dan
kupegangi kepalaku. “Keluarlah dari sini, MacGillycuddy.”
“Bukan salahku kalau dia
mirip sampean,” ujarnya, seraya mengangkat kedua belah tangannya membela diri,
“kepala kok kayak semen. Aku cuma memberi dia fakta. Tidak ada yang benar atau
salah menyangkut fakta. Aku tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban jika—“
Aku berpura-pura hendak
menyerang dia. Ia pun melompat ke sisi, bak kucing menghindari lemparan batu,
lantas menyelinap pergi ke arah pintu belakang. “Dan jangan kembali!” seruku
padanya, lantas menyusul yang lain berjubel cemas di seputar sayap panggung.
Si pengacara dan si model
jelita kembali berada di dapur. Mereka telah memutuskan untuk menyingkapkan hubungan rahasia mereka. Sekarang keduanya sedang menanti
Bel kembali dari menjenguk Bunda sekalian titian yang baru dipasang supaya
mereka dapat memberi tahu dia. Di naskah, peristiwa ini mengarahkan Bel pada
pencerahan, ketika ia menyadari betapa buruk dirinya dan dengan niat untuk memulihkan keadaan ia pun
memutuskan untuk menjalani prosedur baru yang revolusioner namun berpotensi
fatal itu—yang tragisnya berlangsung kacau, membunuh dirinya, serta membebaskan
Harry dan Mirela untuk berkawin. Namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Bel. Sekarang sudah tiga kali Mirela
memberi dia isyarat, dan kedua orang itu pun mulai terlihat agak gugup.
“Kuharap ia tidak
kenapa-kenapa,” ucap Mirela dari meja, seraya memandangi gua nan jauh di sisi
panggung.
“Siapa yang tahu?”
Harry berimprovisasi. “Barangkali pikiran untuk menentukan nasibnya sendiri,
bukannya menggerakkan dia untuk menilai kembali perannya di masyarakat, malah
menyebabkan mundurnya dia pada kekecutan hati.” Ia mengangkat jari bergaya
menggurui. “Kalau begitu, Ann, aku dan kaulah yang harus menginsafkan dia—“
Namun menginsafkan
tidaklah perlu, sebab seketika itu juga Bel melangkah keluar memasuki panggung.
Hadirin terkesiap.
“Ah, Mary,” Harry
tergagap. “Mana kursi rodamu?”
Tanpa menyahut, Bel
menyeberangi lantai untuk menyelip di belakang Mirela, yang duduk bergeming
seraya menatap meja. Sembari membungkuk, Bel berbisik, yang cukup terdengar, di
telinga Mirela: “Cuckoo[6].”
Satu-dua penonton
tertawa gugup. Di sebelahku, Bunda bergumam tidak jelas. Bel memutari meja dan
berjalan angkuh ke tempat Harry berdiri dengan pundaknya agak terangkat,
seakan-akan mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan. Selama sejenak yang terasa lama
lagi menegangkan, segala sesuatu di sekitar Harry seolah-olah mengabur jadi
gelap. Bel memandang Harry dengan tatapan menyayat yang pernah disasarkannya
pula padaku beberapa kali. “Golem,” Bel berucap, lantas berbalik dan berjalan
dengan anggunnya ke luar dari panggung, meluncur melewati kami di sayap
panggung seakan-akan kami ini tidak ada.
Hadirin berkerisik
tidak nyaman. Mirela bersandar lemas pada kursinya. Sesaat rumah ini, dunia
ini, terasa condong pada kekacauan total. Lantas Harry tersadar. Dengan
memanfaatkan kesempatan yang mau tidak mau jadinya tampak mengagumkan, Harry menghampiri Mirela, menariknya hingga
berdiri, dan berkata: “Tidakkah kau lihat yang terjadi? Kita telah
menyelamatkan dia. Oh sayang—kita telah menyelamatkan dia.” Seketika, Harry
mendekap Mirela dan menciumnya.
“Tirainya,” Bunda
berdeguk di telingaku. “Tirainya, masyaallah—“
Aku meloncat ke arah panel,
di mana manager panggung yang pendek-gemuk itu berdiri tercengang, lantas
menarik tuas yang kira-kira benar. Jatuhnya tirai disambut sunyi senyap.
“Hancurlah kita!” ratap Bunda. Para pemain dan kru pun berkumpul dengan pilu, bertatapan kebingungan. Salah seorang aktor bersungguh-sungguh mengusulkan supaya kami mengambil kesempatan selagi tirai turun untuk melarikan diri dan memulai kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Yang lain ramai menyetujui. Namun sebelum aku sempat menyarankan Cile apalagi merekomendasikannya, muncul kegaduhan dari balik tirai. Kedengarannya luar biasa lagi tak keruan—bagaikan longsor salju saja, pikirku, atau robohnya seantero hutan—lantas dimulailah seruan dan sorakan. Tirai pun dikerek naik kembali hingga kami berhadapan dengan para penonton yang bertepuk tangan sambil berdiri.
“Hancurlah kita!” ratap Bunda. Para pemain dan kru pun berkumpul dengan pilu, bertatapan kebingungan. Salah seorang aktor bersungguh-sungguh mengusulkan supaya kami mengambil kesempatan selagi tirai turun untuk melarikan diri dan memulai kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Yang lain ramai menyetujui. Namun sebelum aku sempat menyarankan Cile apalagi merekomendasikannya, muncul kegaduhan dari balik tirai. Kedengarannya luar biasa lagi tak keruan—bagaikan longsor salju saja, pikirku, atau robohnya seantero hutan—lantas dimulailah seruan dan sorakan. Tirai pun dikerek naik kembali hingga kami berhadapan dengan para penonton yang bertepuk tangan sambil berdiri.
[1] Kue Perancis yang bagian
tengahnya berlubang dan diisi campuran lezat
[2] (Bahasa Perancis) dalam keadaan
polos/telanjang
[3] (Bahasa Perancis) sayang nian!
[4] Dari “break a leg”, idiom dalam dunia teater di Inggris Raya,
berdasarkan takhayul bahwa menyampaikan “semoga sukses” (good luck) pada pemain akan mendatangkan nasib buruk sehingga yang
diucapkan justru sebaliknya
[5] Dari “I just find it a bit hard to swallow”. “Hard to swallow” idiom yang menyatakan kesangsian, tetapi dapat
juga berkonotasi lain mengingat hubungan antara Laura dan Frank.
[6] Cuculus canorus, burung yang suka menumpangkan telurnya di sarang
burung lain supaya dipelihara. Nama burung ini digunakan sebagai julukan bagi
orang yang suka menumpang di rumah orang lain, atau mengambil kekasih orang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar