Gemilang, begitulah yang dikatakan
ulasan-ulasan keesokan harinya: melodrama yang ramah dari Harry Little
meninabobokan audiens dengan rasa keamanan palsu, lantas melontarkan pukulan
telak, saat cinta yang bersemi di antara adiknya (Mirela Pribicevic yang
berseri) dan pengacara muda yang trendi (Little) mendorong Mary (dengan
simpatik diperankan oleh Belle Hithloday) yang terkungkung oleh kursi roda agar
secara harfiah memijakkan kakinya serta membawa langkah-langkah awalnya yang
terhuyung-huyung menuju kebebasan yang sunyi namun menebus. Apa yang pada
awalnya tampak seperti karya ringan kendati pemurah dalam menelaah
kesulitan-kesulitan yang dialami kaum dengan mobilitas rendah untuk
keluar-masuk bangunan, menyatakan diri melalui pemecahan yang bertentangan lagi
mengejutkan, hampir-hampir Lacanian pada masa prematurnya—sebagian akhir
sandiwara ini durasinya hanya tujuh belas menit—sebagai tafsir yang meledak-ledak
akan sifat kebebasan serta kekuatan cinta yang rawan namun tetap katarsis dan
begitu pula teater di dunia modern—dst, dsb.
“Ironis, ya,” kataku.
“Maksudku, agaknya sedikit épater les bourgeois[1] dari dirimu itu boleh jadi malah menjadi
penolak bala.”
“Enggak tahu ya,” sahut Bel
muram, sementara si dokter-sekaligus-pengendara-liar berjoget conga sambil membawa minuman berhiaskan
payung kecil. Pesta berlangsung meriah di sekitar kami. Bel mengamati pesta itu
sambil meringkuk. Seiring dengan berlalunya waktu, ekspresi Bel kian redup
saja, bak Cinderella yang telah melewati waktu edarnya sehingga menyaksikan
bukan hanya kereta kudanya berubah kembali menjadi labu, tetapi juga koper si
Pangeran Tampan terjatuh membuka dan memuntahkan segerombol sepatu kaca ke
lantai …. Aku membungkuk, hingga sikuku menempel ke paha, sembari mengurut
perban kepalaku. “Sial, Bel—apa sih yang kamu pikirkan waktu itu?
“Aku tuh marah waktu itu,”
ucapnya.
“Aku tahu kamu marah—bukan itu
maksudku. Maksudku tuh foto-foto yang waktu itu. MacGillycuddy. Apa sih yang merasukimu?”
“Enggak tahulah aku,” katanya nestapa. “Ia memberiku
Jaminan Keberhasilan Bersegel Emas.”
“Apaan Jaminan Bersegel Emas
MacGillycuddy itu,” sergahku. “Kamu tahu benar kan apa pun yang disentuhnya
berubah jadi bencana. Kok bisa kamu itu begitu … maksudku, aku enggak mengerti
saja.”
“Aku cuma ingin supaya
hubungan kami berhasil,” gumam Bel melalui celah di antara kedua lututnya. “Itu
kan yang kamu perbuat ketika menyukai seseorang? Kamu mencari tahu apa
kesukaannya, kamu berlagak suka juga, kamu tertawa menanggapi candaannya ….”
“Tetapi apa kamu enggak sadar?” seraya menarik-narik telingaku
frustrasi. “Apa kamu enggak sadar bedanya, antara tertawa menanggapi candaan
orang, dan—dan meminta MacGillycuddy menyelidiki orang itu? Maksudku itu
benar-benar bukan seperti dirimu ….”
“Aku enggak tahan,” ujar Bel. “Aku harus berbuat
sesuatu, kan? Kamu mah enggak tahu keadaan di sini. Mirela terus saja
menghambatku, berusaha menguasai segalanya, hampir-hampir bertelanjang di depan Harry tiap kali latihan, walaupun bukannya
dia menginginkan Harry, itu cuma supaya, cuma karena dia bisa ….” Kening Bel berkerut-merut memilukan. “Ya Tuhan, mereka
pasti melatih adegan ciuman itu ratusan kali ….”
“Buat apa juga sih
mencoba-coba dan mengada-adakan
percintaan begitu. Maksudku bagaimana bisa kamu memperkirakan apa yang akan
terjadi? Bagaimana mungkin ada kebaikan dari yang semacam ….?
“Kenyataannya begitu, kan,”
ucapnya kalem.
“Itulah,” kataku, “yang
namanya soal yang masih dapat diperdebatkan.”
“Kenyataannya memang begitu,” sahutnya mengotot,
seakan-akan bicara sendiri. “Malam itu di atas atap, segalanya begitu
sempurna.”
“Yah, kalau memang itu begitu
sempurna,” kataku masam, “kenapa kamu enggak membuntuti dia dengan kamera?”
Bel menundukkan kepala,
menggesek-gesekkan bandul yang sudah kembali melekat di lehernya. Bukan
maksudku bersikap tajam. Kukira aku sendiri merasa agak dimanfaatkan. Aku pun
mendesah. “Sekarang kamu maunya apa?”
“Aku mau,” ucapnya perlahan,
“minum lagi.” Ia menjulurkan gelasnya yang kosong.
“Baiklah ….” Aku mengambil
gelas itu dari Bel lalu menepuk-nepuk lututnya. “Jangan ke mana-mana ya—“ meski
dari tampangnya agaknya ia bakal ke mana-mana.
“Nona Bel terguncang,” kata
Mbok P, seraya menyiapkan samovar berisi teh dan menaruhnya di sisi gelas-gelas
pada baki perak. “Mestinya ia meminum ini, bukannya brendi porsi dobel.”
“Coba saja kasih tahu dia.”
Mbok P terdiam lantas
menatapku. “Ada apa, Tuan Charles?”
“Oh, enggak ada apa-apa sih,”
sergahku. “Cuma cewek lagi meluapkan emosinya. Mbok tahu kan seperti apa.”
“Mmm,” gumam Mbok P tidak
jelas, seperti biasa tanggapannya antara mengangkat bahu dan menyeringai.
“Mestinya Mbok tuh senang.
Mirela jadi terkenal.”
Mbok P memberengut ke
tengah-tengah medan, di mana putrinya dan Harry tengah berdiri larut dalam
perbincangan dengan si pengusaha telepon. “Saya akan lebih senang ketika ini
berakhir,” sahutnya. “Saya sudah tua. Sudah cukup menyaksikan pergulatan.
Permisi, Tuan Charles, saya mesti mengantarkan minuman ini.”
Pesta memanas. Tidak jauh-jauh,
Laura, yang sudah agak teler, merundung putra-putra Mbok P supaya memainkan lagu pilihannya. Frank keluar masuk ruangan, sembari memindahkan seluruh jenis
hidangan di meja prasmanan ke ruang penitipan barang, atas permintaan seseorang
yang dengan baik hati diladeninya sementara aku bersama Bel tadi. Sementara
itu, para pemain dan kru tengah membanggakan diri masing-masing. Si pengusaha
telepon, setelah menanyai wartawan pendapatnya
akan sandiwara itu, menyatakan dirinya menikmati, dan suasana pun hidup oleh
rumor: bahwa dia meminta Harry supaya menulis sandiwara baru dengan bujet yang
sangat besar; bahwa Mirela akan muncul di baliho mengiklankan Telsinor; bahwa
semua orang akan memperoleh telepon seluler gratis sebagai ganti tiang telepon yang
terpancang di kebun belakang Amaurot.
Semua orang bersikap
seakan-akan akhir sandiwara yang disabot itu memang telah direncanakan. Adapun
tentang foto-foto Mirela dan Harry, saat kami kembali ke ruang ganti pakaian
setelah kembali naik panggung untuk menerima aplaus dari penonton pada waktu
itu, telah menghilang. Kini tidak ada yang menyebut soal foto-foto itu, tidak
ada yang sekiranya merasa janggal bahwa Mirela lah, dan bukannya Bel, yang
menjelajahi ruangan sembari menggandeng Harry. Selain itu, seolah-olah dialog
sandiwaranya benar-benar telah ditulis ulang. Hanya kehadiran Bel, yang tengah
duduk sedih berjarak dari orang-orang di sekitarnya, menunjukkan adanya naskah
yang terdahulu.
Ketika sedang kembali menuju
Bel, aku berhenti sejenak untuk menguping Niall O’Boyle dan Harry, yang sedang
ditahan oleh wartawan. “Dan apa yang akan Telsinor peroleh dari investasi
tersebut?” wartawan itu bertanya.
“Ini bukan soal kami
memperoleh sesuatu dari itu,” sahut
Niall O’Boyle. “Yang kami maksudkan di sini yaitu—apa tadi katamu?”
“Sinergi,” ujar Harry. Ia
masih saja mengenakan kostum-sandiwaranya yang basi itu.
“Tepat sekali, sinergi. Kami
ini satu tim. Ini Irlandia yang baru, dan semua soal berkomunikasi. Ini soal orang-orang muda yang bercakap dengan satu
sama lain dan memutarbalikkan cara lama dalam melakukan berbagai hal. Di
Telsinor Irlandia, kami melihat diri kami sebagai penyedia sarana untuk
menciptakan visi tersebut.”
“Mediumnya adalah pesannya,”
Harry menyela.
“Dan bagaimana dengan Anda?”
Si wartawan beralih pada Harry. “Bagaimana menurut Anda mengenai percampuran
dengan perusahaan besar?”
“Yah,” Harry menyahut
lambat-lambat, “kurasa kami tidak bilang sedang mengadakan kutip depan-kutip
belakang ‘percampuran’ dengan siapa pun ….”
“Tepat sekali,” Niall O’Boyle
menyela. “Itu cara pandang yang sangat kuno. Sebab seni, begitu pula yang
disebut dengan perusahaan besar, pada akhirnya adalah soal rakyat. Misalnya saja, Marla ini,” seraya menjangkau Mirela dan
menggandengnya, memperkenalkannya pada si wartawan. “Sanggar Ralph Hythloday
dan Telsinor Irlandia adalah mengenai orang seperti Marla. Ini soal menciptakan
ruang bagi rakyat di mana mereka dapat mencapai keinginan mereka dan
menyuarakan pendapat mereka. Ini soal inklusivisme dan keragaman. Pertemuan
timur dengan barat, yang bergabung dalam harmoni dalam kedamaian, serta
anak-anak muda yang melupakan masa lalu, yang memalingkan diri dari perang
serta politik dan berkata, Sekarang giliran kami, dan kami hanya ingin
menikmati hidup. Menurut saya, itulah sebenarnya yang disampaikan pertunjukan
tersebut pada malam ini.”
“Benarkah demikian?” si
wartawan menanyakan pada Harry.
“Yah iya, bisa dibilang
begitu,” ucap Harry, “sebab untuk berkomunikasi ….”
Aku kembali pada Bel, yang
masih merosot lesu di kursinya. “Entahlah apa yang kamu lihat dari si tukang
jual obat itu,” kataku. “Ya gusti, aku jadi pengin ke sana dan menghajar dia.”
Agaknya teh sedikit
menyadarkan Bel. Ia mendongak dan mengamati langit-langit berkilat putih ketika
wartawan foto berkeliling ruangan mengambili gambar para pemain dan tamu.
“Ini bukan salah Harry,”
sahut Bel, lama kemudian.
“Begitu ya,” ucapku pahit.
“Jadi Mirela yang mengacungkan pistol ke kepala Harry dan memaksanya berbuat
begitu. Atau mungkin itu bukan gara-gara Mirela, mungkin mereka cuma kesandung
terus jatuh bareng ke kasur—“
“Gara-gara rumah ini,” ujar
Bel.
Serta-merta aku berbalik.
“Apa?”
“Rumah ini,” ulang Bel. Ia
memandang lurus-lurus ke depannya, sembari agak memberengut, seakan-akan tengah
mencoba memecahkan soal matematika yang sulit dalam kepala. Suaranya membius,
seakan-akan berasal dari kejauhan. “Rumah ini sepertinya mengubah mereka,”
ucapnya. “Sepertinya rumah ini memaksa mereka melakukan keinginannya, supaya
rumah ini bisa terus hidup.”
Aku menegakkan dudukku lantas
memutar kepala Bel sehingga aku bisa menatap matanya lekat-lekat. “Kamu
baik-baik saja? Kamu pengin aku mencarikan bantuan?” Mbok P baru saja masuk
dengan baki baru berisi kudapan. Aku melambaikan lengan pada Mbok P, namun ia
tidak melihat.
“Lihat saja,” itu saja yang
diucapkan Bel, sambil jemarinya memutar-mutar bandul.
Aku pun melihat, tanpa
mengetahui apa yang mesti kulihat. Di sebelah kanan ada kilatan, tawa, serta
sekelompok orang berpencar di hadapan kamera. “Kenapa Anda tidak berfoto bersama
anak-anak,” kudengar Niall O’Boyle. “Ambil foto wanita menawan ini bersama
anak-anak, ya? Macam foto keluarga teater.”
Sosok-sosok berpindah posisi.
Harry mengaitkan lengannya dengan lengan Bunda. Mirela melakukan hal serupa di
sisi satunya. Mereka bertiga memunggungi kami. “Siap?” tanya si fotografer.
“Tidakkah seharusnya Bel ikut
juga?” seseorang—Mirela—bertanya. Kudengar Bunda sambil lalu menjelaskan betapa
Bel, karena alasan yang hanya dipahaminya sendiri, lebih suka tidak difoto.
“Sempurna,” ucap si
fotografer. “Sekali lagi—“
“Kamu enggak mengerti ya?”
ucap Bel. “Mereka itu kita.”
“Apa?”
“Semuanya senyum ….”
“Mereka itu kita,” ucap Bel, dan seketika itu juga
kilatan padam dan, walaupun tadinya aku yakin hendak mengatakan sesuatu, cahaya
menyambar tepat di mataku, sehingga aku lupa yang mau kukatakan. Aku malah
terhuyung-huyung mundur seraya berkejap-kejap dan mengerak-gerakkan kedua
tangan—“Meski kalau begitu,” Bel bergumam diam-diam di sampingku, “siapakah
kita ini?”
Aku menarik napas dalam-dalam dan menutup mata dengan kedua belah tangan, menunggu penglihatanku pulih sebelum memberi tahu Bel bahwa yang dikatakannya itu sedikit pun tidak masuk akal dan barangkali ini waktunya untuk menghampiri Mbok P lalu rebahan di tempat tenang. Namun kemudian terdengar suara Bel di telingaku, “Aku mau minum,” dan aku pun mendongak dengan pandangan buram, melihat dia bergerak menjauh. Gaun panjang, cahaya yang menyorot tenang, serta ruangan yang penuh orang asing berpadu sehingga menampakkan dirinya seolah-olah melayang ….
Aku menarik napas dalam-dalam dan menutup mata dengan kedua belah tangan, menunggu penglihatanku pulih sebelum memberi tahu Bel bahwa yang dikatakannya itu sedikit pun tidak masuk akal dan barangkali ini waktunya untuk menghampiri Mbok P lalu rebahan di tempat tenang. Namun kemudian terdengar suara Bel di telingaku, “Aku mau minum,” dan aku pun mendongak dengan pandangan buram, melihat dia bergerak menjauh. Gaun panjang, cahaya yang menyorot tenang, serta ruangan yang penuh orang asing berpadu sehingga menampakkan dirinya seolah-olah melayang ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar