Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170813

Orang-orang yang Meninggalkan Omelas (Ursula K. Le Guin, 1973)


Festival Musim Panas hadir di Omelas, kota yang menjulang terang di dekat laut, diiringi gempita genta yang membubungkan burung-burung. Tali temali pada perahu-perahu di pelabuhan berkilauan oleh bendera-bendera. Pawai berarak di jalanan, di antara rumah-rumah beratap dan berdinding merah, di antara kebun-kebun tua berlumut dan di bawah jalur pepohonan, melewati taman-taman besar dan bangunan-bangunan umum. Sebagian di antara mereka merupakan orang-orang yang terhormat: para orang tua berjubah panjang dan berat berwarna kelabu dan lembayung muda, para ahli pembuat makam, serta para wanita penggembira yang membawa bayi mereka sambil berbincang pelan sementara berjalan. Di jalanan yang lain pawainya berupa tarian, musik berdentum lebih cepat, gong dan tamborin berkelap-kelip, dan orang-orang pun menari. Anak-anak berkeliaran, jeritan nyaring mereka melangit bak burung layang-layang yang terbang melintasi musik dan nyanyian.

Seluruh pawai itu mengulir ke utara kota. Di situ terdapat padang lamun luas yang disebut Padang Hijau, tempat pemuda dan pemudi bertelanjang dalam suasana riang. Mereka berlumuran lumpur mulai dari kaki, tumit, hingga lengan mereka yang jenjang dan lentur, melatih kuda mereka yang gelisah menghadapi balapan. Kuda-kuda itu tidak ada yang mengenakan pelana, hanya tali tanpa kekang pada leher. Rambut di tengkuk mereka dijalin dengan pita perak, emas, dan hijau. Mereka mendengus-dengus, berjingkrak-jingkrak, dan membusung pada satu sama lain. Mereka sangat bergairah. Hanya kuda satu-satunya hewan yang merasa ikut memiliki seremoni kita.

Tidak jauh di utara dan barat tegak pegunungan yang mengelilingi sebagian teluk Omelas. Di bawah langit biru yang suram suasana pagi begitu cerah, hingga salju yang masih memahkotai Puncak Delapan Belas terbakar oleh udara yang menyala putih keemasan akibat sinar mentari. Sesekali angin mengertakkan dan mengibarkan panji-panji yang menandai balapan. Dalam keheningan padang hijau nan lapang, terdengar musik mengalun melewati jalanan kota, timbul tenggelam dan terus menggapai-gapai. Terkadang, suasana yang riang menyenangkan itu sayup-sayup menggelegar dan berpadu lalu pecah dalam semarak sukacita yang mendentangkan genta-genta.

Sukacita! Bagaimana menceritakan sukacita? Bagaimana menjelaskan penduduk Omelas?

Lihatlah, mereka bukan bangsa yang terbelakang walaupun mereka bahagia. Adapun kita tidak sering lagi mengucapkan kata-kata yang ceria. Segala senyum telah ditanggalkan. Maka, dari gambaran yang seperti ini mengenai Omelas, kita cenderung membuat asumsi tertentu. Kita membayangkan adanya Raja, yang menunggangi kuda jantan nan gagah serta dikelilingi oleh para ksatrianya yang mulia, atau mungkin ia diusung dalam tandu emas oleh para budak berotot besar. Tetapi di sini tidak ada raja. Mereka tidak menggunakan pedang, ataupun memelihara budak. Mereka bukan orang yang barbar. Saya tidak tahu tentang hukum dan aturan yang berlaku dalam masyarakat ini, namun saya duga mereka itu segolongan orang yang istimewa. Selain monarki dan perbudakan, mereka juga hidup tanpa pasar bursa, iklan, agen rahasia, dan bom.

Namun, saya ulangi, mereka itu bukan bangsa yang terbelakang, gembala yang ramah, biadab yang bermartabat, ataupun pengkhayal yang lemah. Mereka tidak kalah rumitnya dari kita. Masalahnya, karena dipengaruhi orang-orang yang sok intelektual dan keduniawian, kita terbiasa memandang rendah kebahagiaan. Cuma derita yang bagus bagi intelektual, cuma yang jahat yang memikat. Ini tipu daya seniman: menyangkal bahwa kejahatan itu banal dan derita itu amatlah memuakkan. Kalau kita tidak bisa mengatasinya, maka membaurlah. Kalau itu menyakitkan, ulangilah. Padahal memuja keputusasaan itu sama saja dengan mengutuk kebahagiaan, merengkuh kekejian sama saja dengan kehilangan pegangan pada apa pun selain itu. Kita hampir saja kehilangan pegangan. Kita tidak mampu lagi merayakan kesenangan, ataupun menggambarkan orang yang bahagia.

Maka, bagaimana saya bisa menceritakan penduduk Omelas? Mereka bukanlah kanak-kanak yang naif dan periang—meskipun memang demikianlah anak-anak mereka. Mereka itu orang dewasa yang matang, cerdas, bersemangat, dan hidupnya tidaklah susah. O mukjizat! tetapi andai saja saya dapat melukiskan itu dengan lebih baik. Andai saja saya dapat meyakinkan kalian. Dalam bahasa saya, Omelas kedengarannya seperti sebuah kota dari negeri dongeng, pada zaman dahulu kala di tempat yang sangat jauh. Mungkin sebaiknya kalian membayangkannya saja sendiri sesuai dengan keinginan kalian, kalau-kalau ada hal yang pelik bila dijelaskan, sebab penggambaran saya belum tentu cocok dengan fantasi kalian semua.

Misalnya saja, bagaimana dengan teknologi? Saya rasa di sana tidak ada mobil ataupun helikopter, sebab penduduk Omelas toh sudah bahagia. Kebahagiaan itu pada dasarnya memilih secara tepat mana yang penting, mana yang tidak penting maupun yang tidak merusak, dan mana yang merusak. Tetapi, untuk kelompok yang kedua—yaitu mana yang tidak penting maupun yang tidak merusak seperti hiburan, barang mewah, dan kesenangan lainnya—mereka mungkin sekali memiliki sistem pemanasan, kereta bawah tanah, mesin cuci, dan berbagai macam alat hebat yang belum diciptakan di tempat kita, seperti sumber cahaya yang dapat mengapung, pembangkit energi bebas bahan bakar, serta obat masuk angin. Atau mereka bisa saja tidak memiliki itu satu pun. Tidak apa-apa. Sesuka kalian saja. Saya cenderung membayangkan penduduk dari kota-kota di hulu dan hilir pantai datang ke Omelas pada beberapa hari sebelum Festival menggunakan kereta kecil super cepat dan trem bertingkat dua. Selain itu, stasiun kereta di Omelas betul-betul bangunan paling indah di kota, meski masih kalah menawan dibandingkan Pasar Tani.

Tetapi sekalipun ada kereta, saya khawatir sejauh ini dalam bayangan kalian Omelas itu keterlaluan bagusnya. Senyum, genta, pawai, kuda, betapa memuakkan. Kalau begitu, cobalah tambahkan pesta seks. Kalau pesta seks belum cukup, jangan bingung. Tetapi, jangan bayangkan kuil tempat begawan-begawati nan molek dan bugil sudah setengah berahi dan siap bersanggama dengan lelaki atau perempuan mana pun, entah itu kekasihnya atau orang asing, yang mendambakan penyatuan nan khusyuk dengan ketuhanan melalui cairan tubuh, meskipun itu yang pertama-tama terpikir oleh saya. Akan jauh lebih baik jika tidak ada kuil sama sekali di Omelas—setidaknya, bukan kuil yang ada penunggunya. Agama boleh saja ada, tetapi tidak dengan kependetaan. Maka, pastilah mereka yang bugil molek itu bebas berkeluyuran, sambil menjajakan diri mereka bak kue dadar pemberian tuhan bagi fakir miskin yang kelaparan serta para penikmat daging. Biarlah mereka bergabung dengan pawai. Biarlah gemerincing tamborin meningkahi persetubuhan, dan dentuman gong memerikan semarak berahi, dan (hal ini bukannya tidak penting) biarlah buah dari ritual seronok ini dirawat dan dikasihi semua orang. Setahu saya, di Omelas tidak ada penyesalan.

Tetapi apa lagi yang semestinya ada di sana? Mulanya saya kira di sana tidak ada narkoba, tetapi masyarakat Omelas bukan puritan. Bagi mereka yang menyukai drooz, rasa manisnya yang samar-samar terus ada menimbulkan aroma harum pada jalanan kota. Mula-mula drooz membuat anggota tubuh terasa ringan dan pikiran menjadi cemerlang. Setelah beberapa jam, efeknya berupa rasa tenang yang melenakan dan pada akhirnya bayang-bayang menakjubkan akan rahasia alam semesta yang terdalam dan tersembunyi. Efeknya semenggairahkan kenikmatan seksual, melampaui segala perasaan, dan tidak menimbulkan kecanduan. Jika ingin yang lebih sederhana, saya kira mestilah ada bir. Apa lagi, apa lagi yang semestinya ada di kota bahagia ini? Perasaan berjaya, tentu saja, dan perayaan atas kedigdayaan. Namun, sebagaimana bayangan kita akan tiadanya kependetaan, begitu juga dengan ketentaraan. Kebahagiaan yang didasarkan pada suksesnya pembantaian manusia bukanlah kebahagiaan yang dapat dibenarkan. Tidak akan bisa begitu. Itu kerdil dan mengerikan. Kesenangan yang melimpah tanpa batas serta kejayaan yang luhur dapat terasakan bukan karena adanya musuh dari luar, melainkan berkat kerukunan antar jiwa yang lurus dan ulung dalam diri setiap manusia di mana saja, serta semaraknya musim panas di dunia ini. Inilah yang membesarkan hati penduduk Omelas. Kemenangan atas kehidupanlah yang mereka rayakan. Saya yakin kebanyakan dari mereka tidak membutuhkan drooz.

Sekarang hampir seluruh pawai telah sampai di Padang Hijau. Aroma masakan yang amat sedap menguar dari tenda-tenda biru dan merah yang menyediakan makanan. Wajah anak-anak kecil lembap dan berseri. Remah-remah kue pastri melekat di janggut kelabu nan lucu di wajah seorang pria. Muda-mudi telah menunggangi kuda mereka dan mulai berkumpul di sekitar garis start. Seorang wanita tua bertubuh kecil dan gendut sambil tertawa-tawa mengedarkan bunga dari sebuah keranjang, dan para pemuda jangkung menyematkan itu di rambut mereka yang berkilauan. Seorang anak berusia sembilan atau sepuluh tahun duduk sendirian di tepi kerumunan sambil memainkan suling kayu. Orang-orang berhenti sejenak untuk mendengarkan. Mereka tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa padanya, sebab anak itu terus saja bermain dan tidak sekali pun melirik pada mereka. Matanya yang gelap itu betul-betul khusyuk pada daya tarik lagu yang ia mainkan.

Ia pun berhenti dan pelan-pelan menurunkan tangannya yang memegang suling kayu itu.

Keheningan yang sesaat itu seakan suatu isyarat. Seketika sebuah terompet berbunyi dari paviliun di dekat garis start. Kedengarannya angkuh, sayu, sekaligus menyayat hati. Kuda-kuda mendompak, dan sebagian lagi menanggapi dengan ringkikan. Para penunggang muda dengan antengnya membelai leher kuda mereka seraya berbisik menenangkan, “Tenang, tenanglah, cantikku, harapanku ….” Mereka mulai membentuk barisan di sepanjang garis start. Keramaian di sepanjang lintas balapan bagai padang rumput dan bunga melambai-lambai ditiup angin. Festival Musim Panas pun dimulai.

Percayakah kalian? Bisakah kalian membayangkan festivalnya, kota itu beserta keriaannya? Tidak? Kalau begitu, biarlah saya ceritakan satu hal lagi.

Di salah satu bangunan umum yang elok di Omelas, atau barangkali di salah satu rumah pribadi yang luas, terdapat sebuah ruangan bawah tanah. Pada ruangan itu ada satu pintu yang dikunci, dan tidak ada jendela. Secercah cahaya merembes dalam debu melalui celah-celah pada papan, asalnya dari jendela yang tersaput oleh sarang laba-laba di seberang gudang tersebut. Di pojok ruangan sempit itu, di dekat sebuah ember karatan, tegak sepasang tongkat pel yang bungkulnya sudah kaku, keras, dan berbau busuk. Lantainya dari tanah, agak lembap jika disentuh, selazimnya tanah yang dijadikan gudang. Ruangan itu panjangnya sekitar tiga kaki, dan lebarnya dua kaki, sekadar lemari untuk menaruh sapu atau perkakas yang sudah tidak digunakan. Seorang anak kecil tengah duduk di ruangan itu. Entah dia laki-laki atau perempuan. Dia terlihat berusia sekitar enam tahun, tetapi sebetulnya hampir sepuluh tahun. Dia mengidap keterbelakangan mental. Boleh jadi dia sudah cacat saat dilahirkan, atau bisa pula dia menjadi imbesil karena rasa takut, kurang gizi, dan ditelantarkan. Dia mencungkili hidungnya dan sesekali meraba-raba dengan jemari kakinya atau alat kelaminnya, sementara duduk membungkuk di pojok yang berseberangan dengan ember dan kedua tongkat pel. Dia takut pada kedua tongkat pel itu. Dia merasa keduanya menyeramkan. Sekalipun dia menutup mata, dia tahu mereka masih ada di situ, sementara pintu terkunci, dan tak ada seorang pun yang akan datang. Pintu itu selalu dikunci, dan tak ada seorang pun yang pernah datang, kecuali sewaktu-waktu—anak itu tidak paham akan waktu ataupun jeda di antaranya—sewaktu-waktu pintu itu berderak kencang dan terbuka, dan muncullah seseorang, atau beberapa. Salah satu dari mereka lalu masuk dan menendang anak itu supaya berdiri. Yang lainnya tidak pernah dekat-dekat, melainkan hanya memandang ketakutan, dengan tatapan jijik. Mangkuk dan kendi untuk makanan dan air buru-buru diisi, pintu dikunci, dan berpasang-pasang mata itu pun lenyap. Orang-orang di pintu itu diam saja, namun anak itu, yang tidak biasanya tinggal di ruangan perkakas, dan masih ingat cahaya matahari beserta suara ibunya, terkadang berkata-kata. “Aku akan bersikap baik,” ucapnya. “Biarkanlah aku keluar. Aku akan bersikap baik!” Mereka tak pernah menanggapinya. Anak itu kerap menjerit minta tolong saat malam, dan menangis sejadi-jadinya, namun kini dia hanya mampu menyuarakan semacam rengekan, “eh … hee … eh … hee …,” dan semakin jarang berkata-kata. Saking cekingnya dia hingga betisnya tak ada dan perutnya buncit. Sehari-hari makanannya cuma setengah mangkuk tepung jagung dan lemak. Tubuhnya tak berkain. Bokong dan pahanya penuh luka bernanah, karena dia terus duduk di atas kotorannya sendiri.

Mereka tahu tentang anak itu, seluruh penduduk Omelas. Sebagian dari mereka pernah datang menjenguknya, dan yang lain lebih suka sekadar mengetahuinya. Mereka semua tahu anak itu harus ada di situ. Sebagian dari mereka paham sebabnya, dan sebagian lagi tidak. Namun mereka semua mengerti bahwa kebahagiaan mereka, keindahan kota mereka, kehangatan persahabatan di antara mereka, kesehatan anak-anak mereka, kearifan para cendekiawan mereka, kecakapan para pengrajin mereka, bahkan kelimpahan panen mereka dan kemurahan cuaca pada langit mereka, bergantung sepenuhnya pada penderitaan anak ini.

Penjelasan ini biasanya disampaikan pada anak-anak ketika mereka berusia delapan hingga dua belas tahun, saat mereka tampaknya sudah mampu memahami. Maka pengunjung anak itu kebanyakan kaum muda, meski sering kali ada juga orang dewasa yang menjenguk, atau datang untuk kesekian kalinya. Para penonton muda ini selalu guncang dan mual akan pemandangan itu, kendati mereka sudah diberi penjelasan dengan sebaik-baiknya. Mereka merasa muak pada pemikiran bahwa diri merekalah yang unggul. Mereka merasa gusar, biadab, dan tak berdaya. Mereka ingin berbuat sesuatu demi anak itu. Tetapi tak ada yang dapat mereka perbuat. Tentu akan baik jika anak itu dibawa keluar dari tempat yang keji itu, dimandikan, diberi makan, dan dibuat senang. Tetapi jika itu dilakukan, pada hari dan saat itu juga segala kemakmuran, keindahan, dan kesenangan yang ada di Omelas akan redup dan musnah. Begitulah sistemnya. Menukar seluruh kehidupan nan bajik dan permai di Omelas demi satu kebaikan kecil, serta menepis kebahagiaan ribuan orang demi peluang kebahagiaan seorang, sungguh itu sama saja dengan membiarkan penyesalan meresapi dinding kota.

Sistemnya memang keras dan absolut. Perkataan yang baik sekalipun tak boleh diucapkan pada anak itu.

Sering kali anak-anak muda itu pulang disertai kegusaran, ada pula yang menangis, setelah menyaksikan anak itu dan menghadapi paradoks yang mengerikan ini. Mereka mungkin akan merenungkannya sampai berminggu-minggu, atau bertahun-tahun. Tetapi, seiring dengan berlalunya waktu, mereka mulai menyadari bahwa sekalipun anak itu dapat dibebaskan, dia tidak akan mampu menikmati kebebasannya. Tentu dia dapat merasakan sedikitnya kenikmatan makanan dan kehangatan, tetapi tidak lebih dari itu. Dia imbesil dan terlalu terbelakang untuk dapat mengenali kenikmatan secara nyata. Dia sudah terlalu lama ketakutan untuk dapat terbebas dari itu. Perilakunya terlalu biadab untuk dapat menanggapi perlakuan yang manusiawi. Pastilah setelah sekian lama dilingkupi dinding, melihat kegelapan, dan menduduki tahi, hidupnya mungkin akan sulit tanpa itu semua. Air mata mereka atas ketidakadilan yang pahit itu pun mengering saat mereka mulai menyadari bahwa kenyataan itu memang adil, dan menerimanya. Barangkali air mata, amarah, cobaan atas kemurahan hati mereka, serta penerimaan atas ketidakberdayaan dirilah yang menjadi benih sejati dari kebesaran hidup mereka. Hidup mereka bukanlah kebahagiaan yang tawar dan tak beralasan. Mereka sadar bahwa mereka tidaklah bebas, seperti anak itu. Mereka mengenal rasa iba. Kemegahan arsitektur mereka, kecemerlangan musik mereka, serta kedalaman ilmu mereka menjadi mungkin berkat keberadaan anak itu, serta kuasa mereka atas dirinya. Berkat anak itulah mereka bersikap amat lemah lembut terhadap anak-anak. Mereka sadar jika anak celaka itu tidak menangis tersedu-sedu dalam kegelapan, maka anak yang lainnya, si pemain suling, tidak akan mampu memainkan musik yang nikmat sementara para penunggang muda berbaris dengan indahnya untuk balapan pada pagi yang cerah di awal musim panas.

Sekarang, percayakah kalian tentang mereka? Bukankah mereka jadi lebih meyakinkan? Tetapi ada satu hal lagi yang bisa diceritakan, dan ini sangat luar biasa.

Adakalanya salah seorang remaja perempuan atau laki-laki yang pergi melihat anak itu tidak pulang lalu menangis atau mengamuk. Malah, mereka tidak pulang sama sekali. Kadang ada juga pria atau wanita dewasa yang jadi pendiam selama satu-dua hari, kemudian meninggalkan rumah. Orang-orang ini pergi sendirian menyusuri jalanan. Mereka terus berjalan hingga keluar dari kota Omelas, melewati gerbang yang indah itu. Mereka terus berjalan melintasi lahan-lahan pertanian Omelas. Malam pun turun. Para pejalan itu mesti melalui jalanan desa, di antara rumah-rumah yang jendelanya bersinar kuning, dan terus menuju gelapnya perladangan. Sendiri-sendiri mereka menuju barat atau utara, ke arah pegunungan. Mereka terus berjalan. Mereka meninggalkan Omelas, memasuki kegelapan, dan tidak kembali. Tempat yang mereka tuju ialah sebuah tempat yang lebih sulit lagi untuk dibayangkan ketimbang kota bahagia tadi. Saya tidak bisa menggambarkannya sama sekali. Mungkin saja tempat itu tidak benar-benar ada. Tetapi tampaknya mereka tahu arah tujuan mereka, orang-orang yang meninggalkan Omelas.[]



Ursula K. Le Guin, penulis Amerika Serikat (lahir 1929) yang terkenal dalam genre fantasi dan fiksi ilmiah. Terjemahan ini berdasarkan cerpen “The Ones Who Walk Away from Omelas”, salah satu karyanya yang paling terkenal dan memenangkan penghargaan, serta telah berkali-kali diterbitkan dalam antologi.

Tidak ada komentar: