TITIAN, tertera pada halaman pertama,
berikut nama Harry dalam huruf besar di bawah judul tersebut. Pada halaman
selanjutnya terdapat PARA PELAKU:
MARY—gadis berkursi roda yang sakit hati; ANN—adiknya yang cantik dan pengasih,
model; IBU—ibu mereka; JACK REYNOLD QC—pengacara baru berjiwa sosial yang keren.
“Tentang apa nih?” tanyaku, sembari mengekori Bel ke kamar.
“Itu tentang,” Bel menerangkan, sambil mengambili penjepit
dari rambutnya lalu menaruh pernak-pernik tersebut di meja rias, “gadis yang
menggunakan kursi roda, yaitu aku, dan ibunya yang sedang sekarat karena kanker
dirawat di rumah sakit, tetapi aku enggak bisa menjenguknya karena enggak bisa
menaiki tangga gedung, sehingga aku ke pengadilan mengupayakan supaya ada titian
yang dipasang dan akibatnya terjadi pertarungan hukum yang sengit dan menarik
perhatian masyarakat luas.”
“Oh,” sahutku.
“Tentu semuanya itu kiasan saja.”
“Ya, ya,” sahutku. Walau batinku menjeritkan Ya ampun! serta Kok bisa dia terus lolos dengan karya begini? Aku pun duduk di
ranjang dan membolak-balik lembaran naskah itu. “Jadi ini peran yang
dituliskannya buatmu? Ini peran yang khusus diciptakan buatmu?”
Bel mengangguk, seraya mengambil sikat dari laci lalu mulai
mengurai kekusutan rambutnya.
“Tampaknya ada banyak adegan teriak-teriak, menilai dari
semua bagian yang dimiringkan ini,” komentarku, walau kukira ini tidak
terlampau menyimpang dari kenyataan.
“Kebetulan perannya bagus sekali,” ujarnya pada cermin,
sambil menyikat rambutnya penuh semangat. “Wataknya rumit. Jarang-jarang kamu
mendapatkan peran wanita yang rumit.” Ia menjulurkan lengan untuk melepaskan
rambut yang berbelit. “Seringnya peranmu cuma untuk tampil cantik dan menangis
sesekali.”
“Siapa yang jadi adik cantiknya? Mirela?”
“Mmm,” sahut Bel redup. “Harry pengacaranya dan Bunda, meski
aku sudah memohon-mohon padanya, jadi ibu yang sakit-sakitan.”
“Lucu juga ya kamu yang jadi gadis berkursi roda, sedang
Mirela memerankan modelnya,” candaku. “Maksudku, bila kamu ingat bahwa dia yang
kakinya cuma sebelah.”
Bel tidak menyahut, namun ia semakin garang menyikat
rambutnya hingga terdengar bunyi bekertak-kertak.
“Maksudku bila kamu memikir-mikirnya, rasanya lucu juga,”
ulangku, kalau-kalau ia tidak menangkap.
“Charles, sebenarnya aku sangat sibuk,” tegasnya ke arah cermin.
“Enggak apa-apa,” ujarku manis. “Kamu lanjutkan saja yang
sedang kamu lakukan. Jangan hiraukan aku.”
Bel memutar bola matanya dan mulai menepuk-nepuk wajahnya
dengan kapas pembersih.
Aku pun berdiri dan menghampiri jendela. Ruangan itu gerahnya
mencekik. Aku heran ia tidak menyadarinya. “Hei, enggak apa-apa kan kalau
kubuka jendelanya? Leherku rada berkeringat ….” Bel mengangkat bahu. Aku pun
menaikkan bingkai jendela dan memandang ke luar.
Saat itu musim dingin. Di luar sini kau bisa melihat
pemandangan yang lebih baik di mana ada aneka makhluk bernyawa, dan bukan
sekadar sepetak kecil langit yang dijejali awan atau kembang api. Di taman,
pepohonan menjepit kuat-kuat sisa dedaunannya, tampak sangat kemerahan bak
gadis-gadis kurus kepergok berenang telanjang. Mbah Thompson, yang terlihat
sama tua dengan dirinya jutaan tahun lalu, tengah menantang dingin di
berandanya. Kabut keperakan mulai bergulir dari laut, umpama bentangan sarang
laba-laba yang terapung-apung di atas ombak.
“Frank titip salam,” kataku, sembari menggelitik lili di
ambang jendela. “Tadinya mau masuk tetapi ia mesti terburu-buru pergi ke
manalah. Mau angkat jemuran atau apa begitu.”
“Baiklah,” gumam Bel, nadanya terdengar mantap lebih daripada
yang seperlunya. Aku pun berpaling dan dari sudut mataku mengamati ia
memberengut pada dirinya di cermin. Ia sama sekali tidak menyerupai dirinya
yang terdengar di telepon waktu itu, yang begitu bersemangat. Bunda benar. Awan
mendung menggayuti keningnya yang bukan alamat baik. Di lehernya terdapat semacam
bandul—cakram logam polos yang diberi tali, yang entah mengapa terasa agak
familier.
“Jadi bagaimana kabarmu?” tanyaku tanpa pikir panjang.
“Segalanya baik-baik sajakah?”
Ia menjatuhkan kapas pembersih ke keranjang sampah. “Semuanya
baik-baik saja,” gumamnya, sambil melepas tutup botol berisi krim aromatik,
salah satu dari barisan kecil minyak mandi, pembersih, serta salep wajah yang
menumpuk di meja rias.
“Cuma kamu tampak agak, ah, kurang sehat ….”
“Semuanya baik-baik
saja,” ia mengulangi. “Aku rada capek, itu saja. Sibuk mempersiapkan
sandiwara.”
“Begitu ya?”
“Kamu enggak tahu sih.” Sambil mencondongkan badan ke arah
cermin, ia menepukkan perona di bawah tiap-tiap matanya lalu memulaskannya ke
pipi. “Semuanya bikin repot sampai kadang-kadang aku bisa bersumpah rumah terkutuk ini melawanku,
seakan-akan dia enggak mau kami mengadakan teater. Maksudku aku tahu itu
kedengarannya konyol ….” Ia tersadar dan tertegun. Lantas, setelah
menimbang-nimbang sejenak ia berpaling dan berkata, “Tetapi aku enggak keberatan
sih dengan kesibukan ini, kayak latihan, begadang semalaman memprogram tata
cahaya, mencari perancang poster, dan melakukan dua puluh hal lain sekaligus, aku enggak apa-apa.
Masalahnya uang, itulah yang
merisaukanku. Keluhan soal uang yang enggak ada habisnya ini, sampai rasanya
enggak ada yang lebih penting lagi di dunia ini ….”
“Uang?” sahutku.
“Kami sama sekali enggak punya uang,” ujarnya. “Maksudku seharusnya kami punya cukup uang untuk
setidaknya tetap mengapung. Tetapi tiap kali aku menanyakannya pada Bunda ia
sibuk dan sewaktu aku memeriksa tagihan rumah ini kelihatannya seperti labirin, atau, atau karya seni modern atau semacam itulah. Tanpa
uang kita enggak bisa berbuat
apa-apa, kita enggak mampu mengiklankan diri, sehingga kita enggak bisa mendapatkan
penonton, dan akibatnya kita enggak bisa memperoleh hibah. Ini kayak lingkaran
setan.” Terlintas padaku bahwa satu-satunya cara mereka bisa memperoleh
penonton yang lebih banyak daripada Terbakar
Habis yaitu dengan mendatangi dermaga dan menculik para pelaut yang telah
dibikin mabuk, namun aku diam saja. “Jadinya kelas drama dan program keluar,
semuanya ditunda dulu sementara kami terus-terusan rapat, dan merapatkan soal
rapat, dan merapatkan rapat soal rapat, dan semuanya cuma omong doang tanpa ada
yang sungguh berbuat apa-apa ….”
Mendung di keningnya bertambah gelap saja pertanda buruk. “Mirela ingin supaya
ada penggalang dana buat sandiwara
berikutnya. Mengadakan acara khusus undangan di mana kita bisa membujuk sponsor
dari perusahaan.”
“Yah, kurasa Mirela mengerti soal yang dikatakannya itu,” aku
menyela. Rupanya ucapanku keliru, sebab wajah Bel seketika memerah jambu dan
mulai menceramahiku tentang betapa bank, usaha daring, perusahaan telepon dan
semacamnya justru yang semestinya ditentang oleh teater ini, dan betapa lebih
baik seluruhnya gagal ketimbang berkhianat serupa itu, dan seterusnya dan
sebagainya.
“Maksudku cuma, mengerti kan, bukankah Mirela sudah pernah
melakukan yang semacam ini dulu, dengan grupnya di Slovenia atau di mana itu?”
ujarku. “Jadi mungkin saja ia tahu bagaimana seluruh cara kerjanya, itu saja.”
“Itu mah cuma kesan yang dibuat-buat saja,” Bel menyahut
dingin.
“Bagaimana tuh maksudnya?”
Bel membuka mulut lalu menutupnya, dan membukanya lagi,
lantas berkata cepat-cepat: “Maksudnya tuh ya dia muncul seolah-olah dia ini
aktris hebat yang sudah makan asam garam, tetapi dia itu sebenarnya kopong lagi
sombong tanpa ketulusan hati, maksudku tuh yang dia lakukan cuma
keliling-keliling menyenangkan orang supaya dia bisa mendapatkan yang dia
inginkan, dan kalau kamu mau tahu seluruh kebiasaan ini jadi cukup melelahkan
….”
Aku membandingkan Mirela yang diceritakan Bel ini dengan yang
lembut, suka meremas tangan, dan mengucapkan Mungkin-nanti-kita-bisa-mengobrol-lagi yang kujumpai tadi di
tangga. Jelas-jelas versinya Bel tidak menunjang. “Omong kosong,” sahutku.
“Ini bukan omong kosong,” ujar Bel judes.
“Memangnya dia berbuat apa sih, sampai sebegitu buruknya?
Kasih aku satu contoh dia itu kopong dan hanya ingin memperoleh yang dia inginkan.”
Dari pojok kamar tempat dia berikut mendung di wajahnya
memencilkan diri, Bel bergumam soal meminjam pakaiannya tanpa permisi.
“Meminjam pakaianmu!” ulangku penuh cemooh. Aku
mengamat-amati Bel dari atas ke bawah. Ia cemberut sambil menyentak-nyentakkan
bandulnya dengan kasar. “Tahu enggak, tingkahmu ini aneh banget.”
Bel mengendus-endus memandangi lantai.
“Enggak ada yang salah kan? Hubungan dengan si Harry ini
belum kenapa-kenapa kan?”
“Oh Gusti,”
serunya, sambil merentak ke tempat tidur dan mengambil kembali naskahnya.
“Charles, kamu pernah enggak sih berpikiran bahwa masalahku enggak selalu
berkaitan dengan cowok?”
“Aku kan cuma tanya,” kataku. “Aku cuma memastikan bahwa
setiap orang sudah memikirkan segalanya dengan sebaik-baiknya, dan enggak ada
yang diam-diam mencari keuntungan—“
“Maksudku apa begitu sulit bagimu untuk percaya bahwa ada
orang yang benar-benar ingin berpacaran denganku tanpa memendam maksud,
seperti, seperti mau mencuri mebel, atau memantau kamarku—“
“Tidak, tentu saja tidak,” sahutku. “Walau sekarang
omong-omong soal itu aku hendak mengatakan bahwa kita masih punya perjanjian.
Maksudku barangkali perjanjian itu sudah tergelincir dari ingatanmu, tetapi
waktu itu kamu menyetujui bahwa ketika kamu dan Frank putus, sebagaimana yang
secara tragis telah terjadi, kamu enggak akan—“
“Charles, bau apa itu?”
“Bau apa?” ujarku. “Jangan mengubah topiknya ah.”
“Bau marsepennya
kuat sekali,” ucapnya, sembari mengendus-endus.
“Aku enggak membaui apa-apa ah.”
“Sepertinya bau itu berasal dari kamu.”
“Oh itu,” sahutku. “Gara-gara kue Batang Pohon Natal.”
“Batang Pohon Natal?”
“Baunya serasa tidak mau pergi,” ujarku nelangsa. “Bahkan
walaupun sudah mandi.”
Sekonyong-konyong kesuramannya dilampaui gemuruh tawa yang
tidak senonoh. Sekiranya aku mengindahkan, aku mungkin akan merasakan peralihan
suasana ini terlalu drastis; aku mungkin akan mendeteksi adanya nada sopran
yang tidak mengenakkan sebagaimana biasa terdengar saat ia bersukaria atas
penderitaan orang lain. Namun aku kelewat jengkel. Bau marsepen ini perkara
yang dianggap sangat serius oleh para staf Zona Pengolahan B, yang beberapa di
antaranya pernah diserang oleh gerombolan anjing pengembara yang kelaparan. Aku
menceritakan ini pada Bel, namun tawanya justru semakin parah. Ia sampai hampir
terbungkuk-bungkuk.
“Enggak lucu, tahu,” aku berkukuh. “Kalian sih serbaenak main
sandiwara dan tinggal di menara gading. Hal semacam ini yang tiap hari mesti
dihadapi kami, kaum lemah lagi papa yang tinggalnya di selokan. Terus terang
saja ya, gerombolan anjing pengembara itu baru puncak gunung es.”
“Enggak pernah kusangka akan mengalami hari ketika kamu
mengatakan aku tinggal di menara gading,” Bel terkikih-kikih sambil mengurut
diafragmanya.
“Hei, itu kenyataan ya,” ujarku berlagak budiman, lupa akan
perjanjian begitu menyadari bahwa inilah kesempatan untuk membalas dendam atas
segala perkataan mengkhotbahi yang dicekokkannya padaku bertahun-tahun ini.
“Kalian sih hidupnya enteng. Kuberi tahu ya, orang kerja itu enggak sempat
bersenang-senang. Apalagi ketika yang pertama kali didengarnya begitu tiba di
rumah yaitu perkataan Bunda betapa menabahkannya
semua itu, sejujurnya, mendengar omongannya kamu bakal mengira dunia jahanam ini
semacam klub tenis eksklusif, tempat
orang belajar mana garpu yang dipakai dan caranya menggunakan punggung tangan—“
“Mungkin kamu semestinya menulis sandiwara,” ejek Bel, seraya
memeriksa laci pakaian dalamnya.
“Mestinya kubawa Bunda ke Bonetown,” ujarku. “Biar tahu
pendapat dia soal tempat itu, bila ada Manusia Biasa yang menjambret tas tangan
sialannya—“
“Oh, demi Tuhan—aku pernah
ke Bonetown, enggak seburuk itu ah ….” Bel berhenti di hadapanku sambil
menggenggam gulungan celana dalam. “Charles, kenapa ya tiap kali aku mau ganti
baju kok selalu ada kamu di kamarku, bahkan sewaktu kamu enggak tinggal di sini
lagi?”
“Baiklah, baiklah.” Karena memaklumi maksudnya, aku pun
menarik diri ke tempat yang sepatutnya di koridor. Pintu menutup di belakangku.
Sesaat aku memandang hampa pada dus-dus itu. Kemudian aku kembali ke pintu lalu
membukanya lagi sedikit. “Lagian Bonetown memang seburuk itu kok. Segala yang
ada di sandiwara Harry soal kaum papa yang bersukaria, atau merupakan
orang-orang paling mulia di muka bumi, bikinan belaka. Kamu belum pernah kan
menyaksikan sebegitu banyaknya pengangguran jangak yang berlagak enggak mampu
bekerja. Yang mereka perbuat cuma merusak ini-itu, minum-minum, lalu mual-mual
di ambang pintu rumah kami—“
“Yah kalau begitu semestinya kamu nyaman-nyaman saja di
rumah,” terdengar jawaban, disertai suara jepitan.
“Mungkin semestinya
aku menulis sandiwara,” gerutuku. “Untuk sedikit mengguncang kalian orang-orang
yang tinggalnya di menara gading.” Kutambahkan dengan meninggikan suara, “Dan
akan kutunjukkan beberapa hal pada si tukang jual obat yang perlente itu!”
Timbul keheningan yang sarat, kemudian suara kaki telanjang
merentak melangkahi lantai, dan Bel pun muncul di pintu. “Charles, semestinya
aku enggak usah ambil pusing, tetapi asal tahu saja ya alasan Harry punya
kelebihan dibandingkan dengan kamu yaitu karena ia sudah membuka mata, ia pernah tinggal di berbagai tempat, melakukan
aneka pekerjaan, dan benar-benar berusaha untuk menyenangi orang, alih-alih menutup telinga, mengentak-entakkan
selop merah delimanya, dan berharap kembali ke Amaurot—“
“Hei, kamu enggak bakal mengerti sebelum bertemu dia hari
ini,” kataku, seraya menamengi mata dari pemandangan tungkai kaki Bel yang
polos, “meluncur ke sana kemari naik Mercedes Ayah, penampilannya sudah seperti
tuan tanah saja seolah-olah dia yang punya tempat ini—“
“Itu kostumnya,
dasar tolol, nanti kami mau ada adegan—dan satu lagi ya, aku bilang padanya ia boleh mengendarai
mobil celaka itu kalau mau. Maksudku enggak ada orang lainnya kan yang pernah
menengok mobil itu dalam dua tahun ini—“ Ia terdiam dan sesaat terkulai lemas
di kosen pintu, sembari menggosok-gosok mata dengan bagian bawah telapak
tangannya. “Konyol deh. Charles, aku enggak
mau berdebat denganmu soal siapa yang lebih terasing, kamu atau Harry—“
“Enggak, karena aku yang bakal menang,” kataku.
Diiringi gelegak marah ia bergolak masuk lagi ke kamarnya,
sambil membanting pintu. Beberapa saat kemudian pintu itu terbuka lagi. “Kamu
tahu enggak sih masalahmu?” ucapnya, yang sudah memasukkan diri ke celana jin
dan tengah mengaitkan kancingnya. “Kamu mengharapkan hidup supaya terus-menerus
seperti yang ada dalam lukisan Déjeuner sur l’Herbe[1],
dengan, dengan anggur, amuse-gueules[2],
serta para wanita bugil yang duduk bermalas-malasan, lantas ketika yang terjadi
bukan—“
“Apa yang kamu rujuk Déjeuner sur l’Herbe-nya Manet?”
“Ya, lukisannya Manet, tentu—tetapi ketika yang terjadi bukan
seperti itu kamu menyerah saja dan menganggap yang ada sudah lumayan—“
“Hei, maksudku itu,” kataku lemah lembut—sebenarnya aku agak
terkesan oleh gagasan untuk terus-menerus hidup sebagaimana dalam lukisan Déjeuner
sur l’Herbe—“hidup itu harus berarti, ya kan? Maksudku aku toh yang
hidupnya mesti celaka begitu.”
“Itu dia, Charles,” sahutnya, sambil mengibas-ngibaskan
sandal dengan bengis, “kamu mengira di sana hidupmu serbamandiri, kamu bilang aku
hidup di menara gading sementara kamu membawa-bawa menara gading itu, kamu
memanggul rumah keparat ini ke
mana-mana di dalam dirimu, dan enggak ada siapa pun yang boleh masuk, kamu juga
enggak ada firasat akan hidup orang-orang yang ada di luaran—seperti kamu
mengeluh karena harus bekerja, namun seenggaknya kamu boleh bekerja, pernahkah kamu memikirkan rasanya bagi Vuk dan Zoran,
yang bahkan enggak memperoleh izin untuk
bekerja? Pernahkah kamu memikirkan seperti apa rasanya bagi mereka, duduk-duduk
saja di sini hari demi hari, apa akibatnya itu bagi harga diri mereka?”
“Tentu saja aku …” aku memulai, lalu terdiam, teralihkan oleh
kenangan akan masa-masa indahku sendiri kala duduk-duduk atau tiduran di rumah,
dan betapa harga diri agaknya tidak pernah menyertai.
“Lagi pula bagaimana dengan semua orang di Bonetown situ,
semua orang yang datang ke negara ini untuk berusaha dan memperbaiki hidup
mereka, karena bagi mereka ini harapan?
Bagi mereka ini negeri di atas pelangi?”
“Menurutku sih mereka harus berbincang dengan agen perjalanan
mereka,” ujarku. “Hei, tunggu!” ketika disertai embusan napas Bel mendorongku
supaya menyingkir lalu menuju tangga. “Tunggu! Aku cuma bercanda—“
Setengah berlari aku mengejar dia lalu menyambar sikunya. Ia
berpaling dengan enggan dan aku terkejut mendapati matanya basah.
“Aku cuma bercanda,” ulangku.
“Enggak lucu,” sahutnya, suaranya tergelincir menjadi
bisikan. “Kamu enggak bisa begini terus, Charles. Kamu enggak bisa mampir kemari
dan mengolok-olok semuanya. Kamu persis seperti Ayah, yang kamu inginkan hanyalah
mengunci diri di ruang studi bersama khayalanmu yang indah-indah. Kamu mengerti
enggak sih, itu enggak ada gunanya
lagi buatku. Karena … karena, ya Tuhan, Charles, kebaikan itu harus ada, bukan?
Harus ada yang berharga untuk dilakukan? Kamu abangku, enggak bisa ya kamu
mendukungku saja? Enggak bisa ya kamu mengatakan aku bukan orang tolol karena
hendak mencoba? Bahkan sekalipun kamu enggak meyakini usahaku, enggak bisa ya
kamu sekadar mengucapkan itu?”
Matanya yang berpendar menyalahkan menatap mataku. Bandul
misterius itu berkelap-kelip melewati jemarinya seakan-akan hendak menyampaikan
suatu hal padaku. Aku pun menyadari bahwa pidato Bel kali ini tidak seperti
biasa. Persoalannya lebih daripada sekadar tentang kemalasanku, ataupun
sandiwara Harry. Aku teringat pada perkataan Bunda tadi. Adakah sungguh terjadi
suatu kekeliruan? Apakah sekarang Bel tengah memintaku supaya urun tangan?
“Tuan Charles!”
Namun pertanyaan-pertanyaan tersebut harus menunggu, karena
ada Mbok P di kaki tangga, membawa piring berisi kudapan secuil-secuil yang
tampaknya lezat.
“Ah, mantap, Mbok P!”
“Oh, demi Tuhan—“ Bel mengikutiku turun.
“Ada apa saja di sini?” Aku memeriksa piring besar itu. “Brie …. Gorgonzola …. Edam …
sungguh pilihan bertaraf internasional.”
“Mbok P, seharusnya jangan menunggu dia,” Bel memprotes.
“Oho, yang ini apa?”
“Saya juga menemukan sedikit Roquefort, Tuan Charles,” sahut Mbok P sambil terkikih-kikih malu.
“Ya, betul!” aku menjumput potongan mungil keju lembut
tersebut laksana pendulang dengan sebungkal emas.
“Mbok P!” Bel mengentak-entakkan kaki dengan gaya memerintah.
“Dia kan enggak tinggal di sini lagi,
mengerti enggak sih?”
“Ya, tetapi Nona Bel, kalau Tuan Charles lapar ….”
“Ya Bel, kalau Tuan Charles lapar ….”
Bel menggemeretakkan gigi. “Satu lagi ya, kukira kita telah
bersepakat enggak ada lagi urusan Tuan Charles, Nona Bel.”
“Kamerad Bel,” kikihku melalui sesuap Roquefort.
Bel mendengus. “Cukup—Charles, kurasa kamu harus pergi
sekarang.”
Aku mendongak. “Eh?” sahutku.
“Keluar, Charles. Pergilah.”
“Masak sih serius.”
“Aku sungguh serius,” ujarnya. Ia serius. Seperti sewaktu di
kamar tadi, suasana hatinya lekas berubah ibarat awan memapas matahari. Bel
yang gemetaran lagi khawatir sesaat tadi telah beralih menjadi Bel yang maju
tak gentar laksana baja, yang dengan raut mengguntur menunjuk pintu. “Kalau kamu
cuma mau menghasut dan mencoba meruntuhkan segala yang telah kami lakukan, maka
kamu memang harus pergi.”
“Boleh enggak aku menghabiskan dulu kejuku?” ujarku.
“Enggak,” ucapnya,
sambil merampas piring besar itu dari tanganku. “Pergilah.”
Kutatap Mbok P supaya mengambil tindakan waras ataupun yang
masuk akal, namun matanya dipacakkan dengan sepatutnya pada lantai. “Baiklah
kalau begitu,” ucapku, seraya menarik diri hingga berdiri tegak. “Mbok P,
tolong ambilkan mantelku.”
Mbok P berlalu mengambilkan mantelku. Bel terus menatap tajam
penuh ancaman ke arahku serupa dalam drama Der
Ring des Nibelungen[3]. Lebih baik tidak membantah. Alih-alih,
aku menanti mantelku kembali, lalu—tanpa cincong, tanpa sekali pun memandang ke
belakang—aku melangkahi koridor dengan sikap bermartabat, melewati kursi roda
yang mengedip jahat, dan keluar dari pintu depan.
Namun di situ aku terhenti. Sementara pintu di belakangku
menutup, sesaat aku berdiri saja di puncak undakan. Tanpa kentara laut menyuruh
diam pada yang di timur, kabut berputar di atas rumput. Aku bergeming, seraya
mengempotkan pipi dan memandangi kehampaan.
Setelah Daria putrinya diasingkan, Gene mulai terjun bebas
tak terkendali. Pernikahannya dengan Cassini kini terperosok habis. Kemudian ia
dirayu dan ditaklukkan oleh sederet pria terkemuka. John F. Kennedy mengunjungi
Gene di tempat pengambilan gambar Dragonwyck
(1946). Waktu itu JFK baru kembali dari Pasifik Selatan, masih lemah sehabis
keluar dari rumah sakit Angkatan Laut setelah kecelakaan torpedo patroli 109[4].
JFK hendak mencalonkan diri untuk menjadi anggota Parlemen dan serta-merta Gene
jatuh cinta padanya. Keduanya sama-sama separuh Irlandia, dan mereka berkencan
untuk pertama kali pada Hari Santo Patrick, saat JFK mengajak Gene makan siang
di New York. JFK mengenakan topi baru, yang nantinya pada malam itu tertinggal
di bar. Sejak itu ia tidak pernah mengenakan topi lagi, betapa pun para
produsen topi di negerinya memohon-mohon padanya. Demikianlah topi
berangsur-angsur menghilang dari kehidupan rakyat Amerika Serikat.
Hampir setahun Gene mengencani JFK secara tidak teratur.
Hingga JFK memberi tahu Gene secara sambil lalu, selagi menunggu teman-teman
bergabung dalam acara makan siang mereka, bahwa keduanya tidak dapat berkawin.
Semestinya Gene sudah memperkirakan itu. JFK harus memikirkan karier
politiknya, sementara ibunya tidak akan pernah merestui dia menikahi janda
cerai—yang aktris, penganut Episkopal pula! Namun Gene tidak memperkirakan itu.
Gene melambung lagi ke dalam hubungan cinta yang absurd lagi bertele-tele
dengan Aly Khan, putra Aga Khan, yang dijumpainya di Argentina selagi
pengambilan gambar Way of a Gaucho (1952).
Aly Khan belum lama bercerai dari Rita Hayworth. Bersama Aly Khan, Gene
memasuki pusaran kehidupan jetset yang norak—pertandingan polo, pesiar di
samudra, hingga perjumpaan di Riviera dengan Picasso, kehidupan foya-foya yang
dijalani dalam sorotan media dan kolom gosip.
Sulit ditentukan kapan tepatnya kehancuran mental Gene
dimulai. Pada hari kedatangannya di Hollywood, ia menderita kram perut yang
tidak mau hilang hingga ia meninggalkan dunia film sampai lama, empat belas
tahun kemudian. Sewaktu pengambilan gambar filmnya yang keempat, Bell Starr (1941), ia kena penyakit mata
yang tidak terjelaskan. Matanya bengkak dan gatal, sehingga pengambilan gambar
mesti ditunda hingga berhari-hari. (Waktu itu Cassini suka mengunjungi Gene di
trailer untuk mencium radang di kelopak matanya yang lecak dan meyakinkannya
bahwa ia masih cantik. Menurut Gene saat itulah ia pertama kali menyadari Cassini
sungguh mencintainya.) Namun orang-orang yang mengenal baik Gene merasa kali
ini penyakitnya berbeda—bahwa hubungannya dengan Aly Khan merupakan gejala
kondisi jiwa yang melilit.
Gene mulai sulit mengingat dialog. Ini tidak pernah terjadi
sebelumnya. Ia menyadari bakatnya sebagai aktris, namun ia selalu mampu
menghafalkan bagiannya. Malah ia suka mengatakan bahwa ia merasa tenteram
ketika memerankan orang lain, dan justru ketika ia menjadi dirinya sendiri
masalahnya dimulai. Kini ia menjadi agresif dan sewenang-wenang di tempat
pengambilan gambar. Suasana hatinya yang gonjang-ganjing ditandai mulai dari
meregang-regangkan badan karena lesu sama sekali hingga mengalami kilasan
kesadaran yang bukan-bukan saat ia mengatakan dirinya dapat melihat Tuhan dalam
bohlam.
Filmnya yang terakhir sebelum mengalami keguncangan mental
yaitu The Left Hand of God (1955)
bersama Humphrey Bogart. Adik Bogey sakit jiwa sehingga ia mengetahui
tanda-tandanya. Bogey pun mengunjungi studio dan memberi tahu orang-orang
tersebut bahwa Gene membutuhkan bantuan. Orang-orang studio meyakinkan Bogey
bahwa Gene Tierney itu kawakan dan tidak akan mengecewakan mereka, tidak pada
film berbiaya semahal yang satu ini.
Berkat jasa Bogey, Gene berhasil menyelesaikan film tersebut.
Pada waktu itu Bogey tengah sekarat karena kanker, walau tidak seorang pun
mengetahuinya. Sesudahnya, Gene mengenang masa pengambilan gambar film tersebut
dengan sendirinya menyerupai film bisu. Tidak ada suara ataupun kata-kata—namun
ia mengatakan pada dokternya ia dapat melihat dirinya sendiri sepanjang waktu,
seakan-akan ia melayang di luar tubuhnya sendiri, mengamati dirinya sendiri
dari jauh.
[1] Déjeuner sur l’Herbe (Makan Siang di Atas Rumput), lukisan
karya pelukis Perancis, Edouard Manet, yang dibuat pada 1863, menampilkan
seorang wanita telanjang tengah berpiknik bersama dua pria berpakaian lengkap
dengan latar seorang wanita berpakaian dalam mengambil air
[2] Makanan ringan yang lezat
sebagai hidangan pembuka
[3] Der Ring des Nibelungen (Cincin Nibelung), drama musikal karya Richard Wagner berdasarkan cerita rakyat
Skandinavia dan Jerman sebelum masuknya ajaran Nasrani, pertama kali
dipentaskan pada 1876
[4] PT 109 atau Patrol Torpedo
109, kapal Amerika Serikat yang dikaramkan Jepang pada Perang Dunia II. Di situ JFK menjabat letnan junior dan
menyelamatkan sisa awak kapal sehingga kemudian dianugerahi penghargaan sebagai
pahlawan perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar