Terus terang, pada awalnya ide ini tidak terasa meyakinkan, apalagi ketika
kami membalik saku dan mendapati hanya ada empat paun tujuh puluh delapan sen
dalam bentuk receh (dari Frank) serta sebutir koral berwarna aneh dari Pantai
Killiney (dariku) sebagai jaminan. Namun setelah kami membawa Droyd kembali ke
flat dan meletakkannya di kasur kamar Frank serta memblokade pintu dengan sofa,
lemari, dan satu set barbel yang terus saja lepas dari batangnya, lalu memberi
tahu Laura supaya jangan membolehkan dia keluar apa pun yang terjadi, aku
menggiring Frank ke van di luar untuk membahas ide tersebut. Bisa dimengerti
Frank masih terguncang oleh rangkaian peristiwa ini dan supaya bisa
berkonsentrasi mendengarkan ia bersikeras hendak merokok hasyis dulu supaya tenang,
sementara aku sendiri merasa rada butuh menenangkan diri juga, sedang aku tidak
punya tembakau, sehingga aku meminta punya Frank dan menaruhnya di pipaku.
Kemudian, setelah kami berdua sama-sama lebih tenang, aku menguraikan
rencanaku.
“Cara terbaik untuk melihatnya,” kataku, “pada dasarnya kita sudah tidak
punya apa-apa lagi untuk dikorbankan. Dengan cara begitu, berarti ada sisi
baiknya, kan? Artinya kita bisa mengambil risiko yang lebih besar, sebab,
maksudku, kemungkinan apa lagi yang bisa lebih buruk?”
“Enggak tahu, ah, Charlie,” ujarnya ragu. “Benar-benar enggak tahu aku.”
“Aku pintar dalam hal begini,” kataku. “Jujur deh. Boleh jadi ini
satu-satunya kepintaranku.”
Frank menggeleng-geleng, seraya mengepulkan gumpalan asap harum
kecil-kecil yang berlarian cepat.
“Percaya saja deh padaku,” ucapku. Lantas, diiringi erangan pelan namun
penuh perasaan, ia menyerahkan empat paun tujuh puluh delapan sen miliknya yang
penghabisan.
Bahkan sementara kami yang di dalam van menghampiri tempat itu, terlihat
bahwa ini malam yang ditakdirkan. Hujan jatuh lurus-lurus memantul pada atap
kaca, dan cahaya lampu-lampu sorot yang menerobosnya memberi lapangan balap
anjing itu semacam halo, sementara kami mendekati tempat itu, sehingga tampak berpijar, serupa kota ajaib, seakan-akan
segala yang telah terjadi dalam hidup kami tidak lebih daripada sebuah jalan
berbata kuning[1] yang membawa kami
kemari. Selagi bersiap-siap di van dalam keheningan yang leta lagi
menggelisahkan, aku mengalami perasaan aneh yang teramat sangat bahwa ada
berbagai hal yang tak biasa. Warna-warna tampak lebih terang, suara-suara
terdengar lebih keras, lebih kencang. Pikiran dan kenangan, masa lalu dan masa
depan, meruap ke luar dari kurungannya. Para wanita gipsi bergigi emas yang
menjual majalah di tempat parkir, suara dingin yang mengumumkan balapan
berikutnya lewat pengeras suara—segalanya tampak mengandung suatu penanda
rahasia, semuanya merupakan pelapis takdir.
Kali ini aku berhasil membujuk Frank supaya berjaga di bar. Sebuah meja
kecil dengan dua kursi menunggu kami tepat di sisi jendela. Di sebelah luar,
tribune penuh dan suasananya menggemparkan—bukan buatan, seakan-akan awan hitam
berkumpul dan berputar-putar di sekeliling stadion. Aku memesan segelas Tom
Collins dan mulai bekerja.
2003 Karya Agung Ivor
Biggun[2] Masalah di Surga 5/1
2018 Ibu Twink Selesai
Berkelana Pandai Berpura-pura 8/3 sedang berlangsung
2040 Flashdance Anjingku
yang Lain adalah Sebuah Mercedes Genta Kebebasan seri
Aku tak perlu banyak menerawang untuk memilih para pemenang. Kalapun ada
kekuatan-kekuatan tak wajar yang beraksi pada malam itu, sebagaimana kian
terasa, penyamaran mereka tidak begitu berhasil. Malah agaknya mereka
menggunakan pertandingan anjing ini untuk mengecualikanku serta menghinakanku
atas kesilapan pertimbanganku akhir-akhir ini. Oalah!; Ini saatnya Charlie; Aku
Keluar—di setiap pertandingan ada suatu pendakwaan yang hampir-hampir kentara,
ditujukan semata-semata untukku, dan setiap pendakwaan itu meluncur telaknya
menuju kejayaan. Uang mencurah dengan lebat dan deras, dan setelah satu
setengah jam aku menjadi amat gugup. Tidak perlu dikatakan lagi, Frank sama
sekali tidak menyadarinya.
“Oke deh, yang berikutnya,” ia mengamati daftar pertandingan. “Kayaknya
ada pertarungan langsung antara Inggris Keluar dan … Kau Menghancurkan Aku.”
Frank mendongak. “Gimana menurut lu, Charlie, Inggris Keluar atau—“
“Kau Menghancurkan Aku, sialan!” seruku nestapa. “Kau Menghancurkan Aku,
memangnya apa lagi? Seluruh acara ini bukan apa-apa melainkan suatu, melainkan suatu
perburuan penyihir …” sembari
menggosok-gosokkan bogemku ke mata.
“Kamu baik-baik aja, Charlie?”
“Ya enggaklah, aku enggak baik-baik saja, maksudku orang berbuat kesalahan
dan alih-alih membiarkan dia memperbaiki kesalahannya orang-orang malah merasa puas dan mempersalahkan.
Bagaimana dengan Harry, kok bisa dia lolos dari hukuman? Kenapa orang enggak
menamai anjing mereka dengan nama dia?”
“Charlie, kayaknya ngisep ganja bikin lu jadi parnoan.”
“Jangan absurd deh,” kusentakkan kerah bajuku. “Sialan, kenapa sih panas
banget di sini? Kamu enggak kegerahan apa? Eh, ambilkan Manhattan, dong?”
“Kayaknya mending kamu jangan minum lagi deh, Charlie.”
“Jangan sentuh minumanku, aku enggak apa-apa kok, lagian minum itu
menambah konsentrasi, aku bilang jangan sentuh
minumanku—“
Frank mengangkat bahu dan mengulum pensil lalu mengamati pertandingan
berikutnya sementara aku menjentikkan jemariku memanggil pelayan. “Baiklah ….
Bagaimana Billabong Punyamu delapan banding satu …. Pembiayaan Bersama Terbatas
McGurks lima banding satu …. Oh tunggu, Masalah Besar delapan banding dua yang
paling unggul. Masalah Besar, ha ha ….”
Kau Menghancurkan Aku menerobos finis, begitu pula Masalah Besar. Franks
bersorak lalu beranjak untuk mengumpulkan perolehan kami. Aku menatap jam di
atas bar. Mestilah saat ini mereka sudah selesai makan sup. Mungkinkah Bel
mempertanyakan keberadaan diriku? Atau mungkinkah ia justru senang aku tidak
berada di sana?
“Inget enggak terakhir kali kita ke sini, Charlie?” Frank duduk bersuka
cita dengan seberkas lagi uang kertas. “Sama Bel, asyik, ya, waktu itu?”
“Mmm.”
“Waktu itu dia lagi berusaha supaya bisa ikut main sandiwara,” Frank
mengenang. “Inget? Persetan. Dia ngotot banget bisa main di situ. Kirain dia
bakal bunuh diri waktu mereka nolak dia, dia ngebet sih.” Frank mengatur uang
menjadi tumpukan kecil lalu duduk lagi sembari melontar kedua lengannya
lebar-lebar di sandaran kursi.
“Chekhov sialan,”
kemamku.
“Enggak tahu kenapa, ya. Ceritanya tuh cuma orang-orang Rusia ngomongin
kebun buah terus-terusan terus pengin nunggangin satu sama lain. Enggak tahu
deh kenapa dia gila banget sama itu. Kamu tahu enggak kenapa dia gitu, Charlie?”
“Waktu di sekolah ia pernah memainkan itu,” gumamku seraya menyesap
Manhattan. “Ia lupa dialognya.”
“Ah yeah, maklum juga, ya. Soalnya, ya, mungkin waktu zaman dulu yang gitu
tuh bagus, kayak sebelum ada efek khusus dan semacamnya. Tapi sekarang gitu lo, maksud gue, yang gitu
tuh ngebosenin banget. Kebun Cerinya
aja enggak kelihatan. Aku mah enggak
suka yang begituan ….”
Kuabaikan Frank. Kupandangi halilintar yang bermain di sekitar bubungan
atap. Keluarga aristokrat itu kembali ke rumah tua mereka … kenangan itu
kembali padaku, rumah tua itu hendak dijual cepat, namun mereka tidak berbuat
apa-apa. Aku ingat sangat menggemari mereka. Mereka itu sekumpulan orang malas,
namun ramah dan periang terlepas dari apa pun yang terjadi—begitulah mestinya,
aku ingat berpikir demikian, memandang gelas setengah isi ….
“Yang dia omongin sandiwara itu melulu aja,” ingat Frank. “Dia bahkan
maksa aku ngapalin pidato buat ngebantuin dia, panjangnya sampai satu halaman,
edan. Apa-apaan itu?”
Saat itu musim semi. Ayah sedang tidak ada, sehingga sebagai gantinya
Bunda menyeretku. Kami duduk di kursi bersandaran kaku dalam auditorium yang beku.
Selusin parfum mahal berbaur dengan berbagai aroma sekolah yang kian tua kian
tajam yang terdiri dari ujian Natal, latihan dua kali lipat, pertemuan pagi,
serta “All Things Bright dan Beautiful”[3].
Anak-anak yang mumet berbisik-bisik. Para orang tua menggenggam stensilan
programa. Bunda duduk tegak di sisi kiriku. Mulutnya membentuk kata-kata
seiring dengan Bel kapan pun ia beraksi—ia memerankan mbok-mbok, selalu rewel,
mengomel, dan menunggu adegan mesra bersama anak perempuan lain yang mengenakan
jaring rambut serta kumis palsu—
“Berpikirlah Ania!” teriak Frank, sampai-sampai aku melonjak dari kursi. “Kakekmu
kakek buyutmu dan semua nenek moyangmu merupakan pemilik budak yang memiliki
jiwa bernyawa! Tidakkah kau melihat para manusia yang menatapmu dari setiap
daun dan batang pohon, tidakkah kau mendengar suara-suara—“
Lalu Bel lupa dialognya. Kok bisa ia sampai lupa? Bila selama dua minggu
sebelumnya ia tidak berbuat apa pun selain berkeliaran di rumah dengan handuk
membungkus kepalanya, tak putus-putusnya bergumam sendiri seperti Franny Glass[4]?
Selain itu, ia telah melalui sebagian awal tanpa masalah sama sekali. Namun di
sini ia berada di tengah panggung, dengan mulut setengah terbuka dan kedua
tangannya terentang bagaikan pelayan di toilet menunggu ada yang menyerahkan
handuk dan jelas-jelas tidak tahu bagaimana hendak melanjutkan—
“Tidakkah kau melihat para manusia yang menatapmu dari setiap pohon ceri
di kebunmu?”
Tidak lama kemudian penonton pun mafhum. Cekikik dan gelak mulai lepas
dari beberapa orang. Aku menggeliat di tempat dudukku dan merasakan wajahku
memanas serta berharap aku memiliki keberanian untuk berlari ke panggung dan deux ex machina menarik Bel dari
sandiwaranya yang kacau lantas menghilang bersama dia dalam malam. Seseorang
yang kiranya guru mendesiskan dialog dari sayap panggung, namun tampaknya Bel
tidak mendengar. Ia bergeming membeku di tempatnya, seperti kijang yang
tersorot oleh lampu mobil. Para pemain berusaha melanjutkan adegan di seputar
dia, namun mustahil, malah menggelikan—dan orang-orang pun menikmati tontonan
ini, mereka terbahak-bahak dengan sepenuh hati sementara guru tersebut terus
mendesiskan dialog, lalu ruangan penuh oleh tepuk tangan mengolok sering dengan
terburu-buru diturunkannya tirai, sedang kedua tangan Bunda bergeming sama
sekali dan pucat di atas dompetnya—
“Ya sudah jelas bahwa, untuk hidup pada masa kini,” Frank meneruskan, “yang
mesti kita lakukan pertama-tama adalah—bertobat atas masa lalu kita dan
mengakhirinya—“
“Berhentilah,” gumamku, “anak baik.”
Setelahnya ia murka, Bunda, maksudku, sekalipun sandiwaranya dimulai lagi
lima menit kemudian dan Bel, biarpun gugup, berhasil menyelesaikan dialognya
tanpa tersedak lagi, yang menurutku merupakan pencapaian baginya, dan tentu
saja hal begini memang risiko di panggung—tidak perlulah Bunda sampai
berkata-kata sebegitunya, dan menurutku bukan kebetulan bahwa pada keesokan
hari itu juga Bel sakit sehingga dokter mesti datang—
“—dan kita hanya dapat menebusnya dengan penderitaan—“
Karena persoalan sebelum pementasan itu, teriakan, serta barang pecah
belah yang hancur, yang cukup untuk menyurutkan semangat, dan ketika Ayah tidak
pulang kami diantar ke sekolah dalam keheningan yang mendesis lagi berasap.
Namun begitulah semuanya bermula, kesakitan, para dokter, kemudian Ayah juga,
lalu dua tahun yang penuh jas putih, tanpa tidur, dan obat-obatan yang namanya
sulit, serta rahang ngilu akibat menggemeretakkan gigi terus-terusan—itulah
ketika semuanya dimulai, pada pementasan celaka itu, kenapa Bel mesti terus
mengitarinya lagi, kenapa ia tidak bisa melupakannya saja?
“—dengan penderitaan melalui usaha luar biasa yang tiada henti—“
“Sialan—“
“Majulah, kawan-kawan! Jangan tertinggal!”
“Cukup—“ tanganku mendarat
begitu kerasnya hingga asbak meloncat dari meja dan berdebum di lantai.
“Astaganaga, Charlie, aku kan cuma main-main.”
“Sori,” sahutku kasar,
seraya menenggak minumanku.
“Serius deh, kamu
baik-baik aja, Charlie?”
“Enggak,” kataku. Bisa-bisanya mereka membiarkan ia pergi, tanpa mengucap
sepatah kata pun? Bisa-bisanya mereka berlagak tidak ada yang salah, membiarkan
semua ini terjadi lagi, sekadar untuk menyingkirkan dia?
“Kayaknya kamu perlu makan deh,” ujar Frank. Ia menoleh pada gadis yang
tengah berlutut membersihkan pecahan asbak dan memintanya membawakan sepuluh
bungkus kacang.
Kuembuskan napas terputus-putus. Aku merasa kecil dan habis. Aku tidak mau
memikirkan ini lagi. “Berapa sih duit buat bayar kontrakannya?” kataku, seraya
mengisyaratkan pada tumpukan uang kertas. Frank menghitung dalam kepala, lalu
mulai mencoret-coret tatakan gelas bir. Kalau begini bisa-bisa semalaman kami
di sini, pikirku dengan hati tercelus. Lalu Bel keburu pergi, pergi ke lahan
pengasingan bersalju.
Suara serupa mesin mengumumkan balapan berikutnya. Aku menghampiri bar
lalu memesan segelas Guinness untuk Frank dan martini tawar untukku sendiri,
serta seteguk Calvados sembari menunggu. Di luar langit cukup cerah sehingga
memperlihatkan sepasang bintang yang berenang-renang melenakan. Aku kembali ke
meja dan mendapati Frank bertampang janggal. “Lihat deh,” bisiknya.
Perhitungan Frank telah membawanya keluar dari tatakan gelas bir ke koran
yang tertinggal, lalu ia menunjuk satu baris di pojok: suatu hal tentang Malam
Perpisahan yang Panjang, yang samar-samar terdengar familier.
“Anjing yang waktu itu Bel pasang taruhan,” ucap Frank. “Ingat enggak
anjing yang gigit anjing lain itu?”
“Oh,” kataku. “Yang itu.
Pantas saja aku kenal namanya.”
“Lihat rasionya deh, Charlie,” bisik Frank. “Selangit.”
“Enggak heran sih, setelah aneka rupa kemarin. Aku takjub ia masih boleh
ikut balapan.”
“Tapi coba deh pikir, kalau kita pasang semua ini buat dia, kita bakal
punya cukup uang buat bayar sewa, bir, gas, terus ….”
“Iya, tetapi kamu lupa, anjing itu enggak bakal menang, mengerti, karena
itulah rasionya—“
“Tapi kalau kita pasang dua ratus aja, terus—“
“Tetapi anjing itu tuh enggak bakal
menang, sialan. Kalau anjing itu doang yang balapan ya menanglah dia. Anjing itu tuh pecundang dari lahir, mengerti enggak sih?”
Dengan raut terluka, Frank kembali pada tatakan gelas bir. Aku duduk lagi
dalam kejengkelan bersama blangko. Malam Perpisahan yang Panjang, ya.
Mempertaruhkan semua uang kami demi dia? Setelah yang terjadi kemarin? Meski begitu,
aneh juga aku baru menyadarinya sekarang …. Diiringi deham pengalih perhatian,
aku menjangkau koran yang tertinggal itu. Nah ini benar-benar ganjil. Kecuali
salah cetak, tampaknya para bandar memberi rasio yang luar biasa panjang bukan
hanya terhadap bajingan tangguh seperti Malam Perpisahan yang Panjang,
melainkan semua anjing yang berlari
di 2130, lajur satu. Anjing ini, Macan Keltik, sejauh ini merupakan favorit
sehingga keuntungan atas kemenangannya akan sangat kecil: namun pada waktu-waktu
yang sebelumnya tampak ia luar biasa lambat.
Cara yang bijaksana yaitu memperlakukan ini sebagai investasi berisiko
rendah: bertaruh atas Macan Keltik dan mendapat perolehan minimal. Akan
tetapi—aku menoleh ke belakang ke seputar bar: bisnis terlihat berlangsungseperti
biasanya—akan tetapi bagaimana kalau secara tidak sengaja kami telah menemukan semacam anomali
perjudian? Bagaimana kalau memang
akan ada sesuatu yang terjadi malam ini? Bagaimana kalau sesuatu itu—atau
seseorang—tengah mencoba untuk menggapai kami, menolong kami, melalui medium
yang tak biasa berupa Malam Perpisahan yang Panjang?
“Mikirin apa sih, Charlie?”
Kupindai lagi dan lagi tulisan kecil-kecil itu. Namun tahu-tahu intuisi
penjudiku membelot. Aku tak tahu mesti apa.
Aku menarik napas dalam-dalam. Cara yang bijaksana: biasanya—walaupun yang
kerap kali terlihat kebalikannya—aku selalu berbuat bijaksana. Aku mencengkam
berbagai hal—orang-orang, kepercayaan, cara hidup tertentu. Aku telah mencoba
untuk mempertahankan semua itu, aku telah berusaha untuk menyokongnya melawan
perubahan nasib. Apa yang aku peroleh? Segala yang telah kuupayakan untuk
bertahan telah lepas dari diriku. Barangkali rahasianya yaitu dengan berbuat
kebalikannya: barangkali untuk menjaga hal-hal yang dicintainya orang memang
harus mempertaruhkan semua itu; orang harus mengerahkan segenap hatinya,
menghayati saat yang tak terkirakan ini …. Aku meraih pensil dan mengisi slip
pertaruhan.
Ternyata begitu anjing-anjing digiring keluar memasuki lapangan kami
membuat kesalahan fatal.
Seketika stadion meledak. Nyanyi-nyanyian meluap, bendera-bendera
dilambaikan, para pecundang bergandeng lengan dan berjoget rancak, semua untuk
Macan Keltik, alias, baru kemudian kami ketahui, Keputusasaan Bandar.
“Kontol,” ucap Frank.
Diperlukan dua orang untuk mendesakkan Macan Keltik ke perangkapnya.
Anjing itu mestilah berbobot seratus pon, yang terdiri terutama dari pinggul
dan taring-taring yang bergemeretakan. Apa pun hubungan biologis anjing itu
dengan famili grehon, mestilah cukup renggang. Anjing-anjing lain, yang
terlihat berhadapan dengan anjing itu sebelumnya, anehnya tampak
tertekan—kecuali Malam Perpisahan yang Panjang, yang menatap penuh harap pada
stan jualan. Yang paling mengesankan yaitu hawa jahatnya yang tak terbendung.
Belum pernah kualami kebusukan sebesar itu dalam jarak sedekat ini, di samping
makan siang bersama Pak Apleseed. Namun, terlepas dari itu, Macan Keltik tampak
mengilhamkan kegairahan yang hampir-hampir religius. Para petaruh memandanginya
dengan pemujaan, rasa cinta sarat keputusasaan dari suatu negara gersang akan
musim hujan. “Tuhan memberkatimu, Macan Keltik,” ucap lelaki kucel di samping
kami di jendela, kedua pipinya yang aus dibasahi air mata. Aku menyadari bahwa
bagi orang-orang ini, Macan Keltik mestilah salah satu dari sedikit kepastian
dalam hidup: selain kematian, tentu saja, dan para suster. Pistol starter
terdengar dan si kelinci berlari.
Sekuat-kuatnya kami menyoraki Malam Perpisahan yang
Panjang, namun aku ragu ia dapat mendengar kami. Dalam beberapa detik saja,
Macan Keltik sudah jauh sendiri, berjingkrak-jingkrak terus menyambut
penghormatan banyak penonton, sementara anjing-anjing lain tetap di belakangnya
dalam jarak keseganan. Rasanya seperti di reli Nuremberg[5]
saja.
[1] Lihat The Wonderful Wizard of Oz (1900), L.
Frank Baum
[2] Robert "Doc"
Cox alias Ivor Biggun (lahir 1 Juli 1946) merupakan musikus dan mantan wartawan
televisi dari Inggris.
[3] Lagu Anglikan untuk
anak-anak
[4] Tokoh dalam karya J. D.
Salinger, Franny and Zooey
[5] Reli tahunan yang
diadakan Nazi di Jerman pada 1923 sampai 1938 dan merupakan acara propaganda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar