“Ini fiasko!” jeritku. “Anjing-anjing lainnya itu bahkan tidak berusaha!
Buat apa balapan kalau mereka terlalu takut untuk mengalahkan dia?”
Baru saja aku mengatakan begitu, desir kekhawatiran menyapu tribune.
Tahu-tahu salah seekor anjing terlepas dari kumpulan itu dan dengan segera
hampir menyusul—yang tidaklah sulit mengingat Macan Keltik memiliki segenap
kekuatan tank Panzer.
“Anjing yang nekat,” salah seorang petaruh di samping kami berucap segan.
“Nekat apanya,” sahut temannya. “Lebih seperti ia lupa apa yang mestinya
ia lakukan.”
“Itu dia!” Frank berbisik padaku.
Aku segera mendapati yang terjadi. Seorang bujang di baris depan ujung
tribune telah membuka sebungkus roti lapis, dan Malam Perpisahan yang Panjang
menangkap pemandangan itu. Para penonton boleh mengolok dan merutuk dia semau
mereka sekarang. Aku tahu bahwa yang dipikirkan anjing tersebut hanyalah roti
lapis itu, dan ia tidak akan teralihkan, tidak oleh para penonton, tidak pula
oleh garis finis yang tampak di depan, ataupun tatapan menakut-nakuti yang
dilontarkan si anjing yang lebih besar yang diiringinya—
“Nah, itu!” aku menghantam kaca jendela memberi dukungan, menarik tatapan
tajam dari para petaruh di sekitarku. “Begitu dong!”
—dan mengabaikan segala lagak sportivitas, Macan Keltik merekahkan
moncongnya seakan-akan itu koran lantas mengaitkan rahangnya ke tenggorokan
lawan.
“Apa!” raung Frank. “Wasit!”
Ini pertumpahan darah. Pada awalnya, sebagian petaruh yang haus darah
menyoraki peristiwa itu, namun dengan segera mereka pun berubah pucat dan
terdiam. Seluruh stadion hening kecuali dengking Malam Perpisahan yang Panjang,
serta geraman, gertakan, dan sobekan membunuh yang disuarakan oleh Macan
Keltik. “Kok enggak ada yang bertindak sih?” seruku memohon. Namun tidak
seorang pun yang berbuat. Malah Macan Keltik sudah tidak berlari. Anjing itu
diseret oleh si anjing yang lebih kecil, yang berjuang dengan gagah berani
menuju roti lapis incarannya meskipun Macan Keltik menggerendel lehernya.
Anjing-anjing lain pada mundur membentuk kumpulan kecil yang bimbang beberapa jauhnya
di ujung trek. Beberapa ada yang berbaring atau berguling. Salak menyedihkan
mereka bersambungan tanpa terusik dengan erangan Frank serta sebagian kecil
pria bodoh yang telah bertaruh atas si anjing favorit—sementara Malam
Perpisahan yang Panjang yang basah kuyup oleh darah, dengan buih bertetesan
dari mulutnya, mengeluarkan rintihan panjang nian lalu tumbang ke sisi.
Keheningan terasa kian menjadi. Para petaruh mengubur diri dalam minuman
dengan rasa bersalah. Aku tidak tahan lagi. Aku terhuyung-huyung ke bar,
berdesak masuk di samping lelaki berambut kelabu, dan dengan sejumlah kecil
uang yang tersisa aku memesan wiski tiga porsi. Cukup sudah takdir ini, batinku
getir, cukup sudah mengerahkan segenap hati. Dunia lagi-lagi telah memperdaya
kami. Kata-kata Sepupu Benny terus-terusan mengitari kepalaku: kami semua
kunyuk, kami akan selalu menjadi kunyuk.
Di jendela cungap-cangip menanjak karena entah kebengisan apa lagi di trek. Aku menelan seteguk dari gelas tanpa mengedarkan pandang, sambil meringis nikmat atas sensasi asam yang akrab ini. Persetan dengan balapan celaka itu. Wiskiku ini cukup untuk memabukkanku habis-habisan. Setidaknya ketika mabuk aku tahu tempatku berpijak, dan aku tidak membutuhkan pengarahan siapa pun untuk sampai di tempatku. Persetan dengan Frank, serta pesta makan malam yang busuk itu. Persetan pula dengan Bel. Biar saja ia pergi semau dia, biar saja ia mencoret satu orang yang benar-benar peduli padanya, yang tidak menganggap dia sebagai pasien rawat jalan abadi dengan mimpi-mimpi yang mustahil ….
Para petaruh mengaum pilu.
“Kelihatannya ada yang kalah,” lelaki berambut kelabu di sampingku
berucap.
“Selalu ada yang kalah,” gumamku tanpa mencari tahu.
“Sepertinya itu benar,” lelaki itu menyetujui.
Aku berpaling. Asap mengaburkan pandangan, dan ruangan terus berputar.
Namun ketika aku menyipitkan mata, aku bisa melihat setelan wol berpotongan
apik meski rada-rada vieux jeu[1]
berikut sepasang kacamata berbingkai kawat. Aku heran apa yang diperbuatnya di
sini bersama para rakyat jelata ini. Ia memberi isyarat pada gadis penunggu bar
untuk mengisi ulang gelas kami sambil berkata, seakan-akan menjawab
pertanyaanku: “Meskipun demikian, orang harus mengambil kesempatan yang ada,
bukankah begitu?”
“Kenapa harus,” kataku, sembari mendentingkan es batu pada gelasku.
“Ayolah, Charles,” sahutnya diiringi kekeh. “Kau tahu sebabnya.”
Ruangan mendadak tampak goyah. Dengungan panas meruap dari jari-jari
kakiku melandaku. Seketika itu banyak penonton meraung lagi sementara para
petaruh di bar bergegas ke jendela. Aku merasakan diriku terempas ke depan.
Seraya berjinjit, aku menatap muram melampaui lautan kepala.
Agaknya setelah menaklukkan lawannya, Macan Keltik belum juga melanjutkan
dan meneyelesaikan pertandingan layaknya seekor anjing yang bijaksana. Ia malah
mengalihkan perhatiannya pada para anjing yang mengelompok dengan nelangsa
kurang dari seratus meter di belakangnya.
“Kampret!” banyak penonton menjerit, sembari memegangi kepala sementara
para anjing yang pengecut berbalik arah dan mengambil langkah seribu sementara
Macan Keltik mengejar mereka. “Arah sebaliknya, dasar tolol! Lari ke arah
sebaliknya!”
“Terlalu banyak PCP[2],”
tinjau lelaki berewok bermata sayu di sampingku.
Namun bukan itu saja. Di ujung lain trek—jauh dari para pengurus
pertandingan yang berusaha menangkis Macan Keltik menggunakan galah baja—Malam
Perpisahan yang Panjang mulai bergerak-gerak. Awalnya tidak ada yang memerhatikan—semua
orang terlalu sibuk berusaha menyadarkan si favorit yang membelot untuk kembali
ke balapan—namun kemudian ada yang berteriak, “Hei! Anjing bego itu belum mati!”
Timbul jeda kemudian desir ramai, sementara orang-orang memeriksa nomor
pada programa. Lantas, secara sporadis, dari satu-dua titik di antara penonton,
bermunculan teriak-teriakan: “Malam Perpisahan yang Panjang! Malam Perpisahan
yang Panjang!”
Sekali, dua kali ekor
anjing itu menggebuk tanah.
Karena pemandangan itu, semakin banyak suara bergabung. Teriakan bertambah
kencang. “Malam Perpisahan yang Panjang! Malam Perpisahan yang Panjang!”
Lambat-lambat, yang lagi menyakitkan, si anjing mengangkat diri, sampai,
di atas kaki-kakinya yang lemah dan dan kikuk bak anak sapi yang baru lahir, dengan
hujan melekati rambut hingga kepalanya yang tirus, ia tegak sembari mengejap
keheranan pada kami.
Keriuhan memekakkan. Orang-orang berteriak, meninju kaca jendela, dan
merentak. “Begitu dong!” seru mereka. “Maju, dasar sontoloyo! Maju, Perpisahan!”
Semuanya satu suara, seakan-akan satu-satunya alasan kami semua berada di sini
adalah untuk menyemangati anjing jelek dan terlihat rada berkudis ini, yang
agaknya termakan oleh gelombang energi dan kegaduhan hebat ini lantas—seiring
dengan sorakan itu bertumbuh menjadi deru, sedang Macan Keltik digiring ke
kandang oleh dua lelaki menggunakan pecut ternak—kini mengibaskan ekornya, dan
mulai berderap menuju garis finis.
“Sprezzatura,” berkata suatu
suara di telingaku. Aku menoleh dan mendapati, di tengah-tengah gejolak para
petaruh dan kepulan asap, pancaran kelabu yang akrab. “Apa?” sahutku redup. Ia
mengulum senyum, sambil menunju pada jendela. Ketika berbalik, aku melihat
stadion yang berhujan itu diisi orang-orang yang mengenakan topi jangkung serta
jas berekor, dengan dasi kupu-kupu dan anyelir terselip di lubang kancing,
menyoraki anjing yang mereka pertaruhkan sementara suara di belakangku
bertafakur, “Apa yang pernah dikatakan Oscar? Dalam demokrasi yang baik, setiap orang dapat menjadi aristokrat.”
Aku berputar—ada begitu banyak yang ingin kutanyakan padanya, ada begitu
banyak yang tidak kumengerti. “Tunggu!” jeritku. “Kembalilah!” Namun ia sudah
separuh jalan ke pintu, sembari menaikkan ke kepalanya, sementara melebur ke
kerumunan, sesuatu yang menyerupai sombrero raksasa …. Kini, setelah
serangkaian jatuh bangun yang mengharu biru, akhirnya Malam Perpisahan yang
Panjang menyeret jasadnya melintasi garis, dan tempat itu pun menggila.
Seolah-olah kami baru saja memenangkan perang. Orang-orang bersorak dan
bernyanyi. Mereka menyobek nota taruhan mereka yang kalah lalu melontarkannya
bak konfeti. Frank muncul sembari tertawa-tawa dan menangkapku dalam pelukan
beruang. “Kita dapet hasil, Charlie!” ia berseru. “Kita dapet hasil!”
Mestilah ada yang menguping Frank, sebab sebelum aku sempat memperbaiki
kalimatnya, kami diangkat dan dipikul oleh tangan-tangan asing ke palka
taruhan. Dengan orang-orang berhimpun di belakang kami, si klerek lekas-lekas
menyetujui bahwa tidak sepantasnya menyatakan penalti atas balapan tadi lantas
membayar kemenangan kami saat itu juga. Semua orang di bar bertepuk tangan.
Frank bertanya apakah ada yang ingin minum, dan ternyata hampir semua orang
mau. Segalanya begitu menyesakkan saking menggembirakannya sampai-sampai baru
kemudian aku mendeteksi ada bunyi nada panggil yang menjengkelkan. Akhirnya aku
menyadari bahwa itu ponsel Bel. Aku membawanya karena hendak menyerahkan benda
itu pada dia nanti malam. Agakya ponsel itu sudah berbunyi sedari tadi. Aku
memencet tombol-tombol untuk menghentikannnya lalu ponsel itu mulai
berkata-kata padaku—suara perempuan, yang mencari Bel.
“Bel tidak ada di sini,” teriakku, sembari menancapkan satu jari ke
sebelah telinga. “Bel di rumah.”
“Teleponku ke rumah enggak sampai,” kata perempuan itu.
“Mereka lagi ada acara makan malam,” sahutku.
“Oh. Kalau begitu, apa aku bisa menitipkan pesan?” Suara perempuan itu
garau lagi serak, seakan-akan ia terbiasa mengisap rokok banyak-banyak. “Tolong
sampaikan pada Bel Jessica ingin supaya ia—“
“Tunggu, kamu Jessica?” aku menyela.
“Ah, kok kamu kenal aku?”
“Kurang lebih begitu,” tegasku. “Aku pengin tahu maksudmu lari bersama
adikku.”
“Aku enggak merasa lari dengan siapa-siapa tuh,” sahut perempuan itu. “Memangnya
ini siapa?”
“Ini Charles,” jawabku.
“Oh,” ucapnya. “Bel pernah cerita tentang kamu,” ia menambahkan, dengan
agak tajam.
“Itu enggak ada hubungannya, ya,” ujarku. “Sebenarnya, Bel itu jelas-jelas
enggak pas buat—apa maksud kata-katamu tadi? Ia bilang apa tentang aku?”
“Segala macam hal,” Jessica
berkata dengan nada takjub, seakan-akan masih belum percaya semua itu benar.
“Yah, biarlah kalau begitu,” gumamku tidak enak. “Masalahnya Bel ini—“
“Kamu enggak ikut makan malam?”
ia memotong. “Atau kamu masuk daftar hitam?”
“Ya, aku pergi nanti,” tukasku. “Begini, ya, sampaikan saja pesan kejimu
itu, apa?”
“Tentu saja,” ucapnya sok sopan. Ia memberitahuku bahwa penerbangan mereka
pukul tujuh, sehingga bisakah Bel memesan taksi pada pukul empat, sekalian
menjemputnya? Aku mengatakan akan menyampaikan pesan ini. Timbul jeda, dan
begitu aku hendak mencari tombol untuk mematikan, suara itu terdengar lagi: “Charles?”
“Ya?”
“Kurasa Bel enggak serius dengan
omongannya tentang dirimu.”
“Mmm,” sahutku tidak jelas.
“Eh Charles?”
“Apa?”
“Aku berjanji akan menjaganya di Rusia.”
“Oh,” aku merasa agak tersentuh. Boleh jadi ia tengah mengolokkku, namun
entah bagaimana aku tidak merasa demikian. Suaranya terdengar hangat sehingga
terasa sungguh memikat. “Ya sudah, terima kasih.”
“Sebaiknya kamu segera ke acara itu sebelum orang-orang pada tidur,”
sahutnya.
“Ya,” kataku, lalu, “Tahu enggak, bila kamu kembali barangkali kita perlu
minum bareng atau apalah. Aku menulis sandiwara dan ada bagian yang barangkali
kamu tertarik ….”
Ia tertawa, lalu mengatakan akan memastikannya. “Tetapi kita akan bertemu
lagi, Charles, entah bagaimana aku merasa yakin ….”
Aku mengamankan ponsel, seraya berseri-seri sendiri. Daya gaib Hythloday
itu lagi! Aku kembali pada diriku semula!
Sekarang sudah larut. Aku mencari Frank dan memberi tahu dia aku hendak
mencari taksi ke Amaurot. Akan tetapi ia memaksa untuk menyopiriku. Aku merasa
ini memang sikap yang sepantasnya. Selagi kami beranjak pergi aku mendapatkan
ide lagi: “Kamu tahu, kenapa kita enggak—aduh!”
“Kamu baik-baik aja, Charlie?”
“Ya jelas-jelas enggaklah, siapa sih yang menaruh tangga di sini?”
“Kayaknya dari pas kita masuk memang udah ada di sini deh.”
“Iya, sepertinya sih begitu,” aku mengakui. “Aku harap …. Aku harap mereka
belum membuka botol sampanye kedua, mungkin aku sudah agak mabuk …” sementara
ia mengangkatku dari aspal dan mendekati lingkaran bintang-bintang kartun yang
berputar indah. “’Tapi aku tuh sebenarnya mau bilang, kenapa kamu enggak ikut
makan malam juga? Maksudku, kamu enggak pakai baju formal sih, tetapi ….”
“Vannya di sebelah sana, Charlie.”
“Tetapi kamu enggak usah khawatir,” kusingkirkan persoalan itu dengan
kibasan tangan. Aku tengah merasa dermawan dan ingin memusnahkan ikon-ikon dan
mendadak tak ada rintangan yang tak dapat teratasi. “Nanti aku yang jelaskan.
Bunda tuh sebenarnya jinak kok kalau kamu tahu cara menanganinya—dan lagi pula,
aku tinggal bilang padanya kalau kamulah pendampingku,
dan seorang, seorang teman yang sangat baik hati ….”
“Terima kasih banyak, Charlie.”
“Bukan apa-apa, bukan apa-apa—eh, lihat itu. Ada jaket bulu ketinggalan.”
Lampu sorot van menyinari sisi tempat parkir yang terpencil, yang mana
pada sepetak rumput teronggok pakaian yang terbuang. Agaknya terdengar bunyi
menyedihkan dari benda itu. Aku tidak bisa mengingat apakah jaket biasanya
bersuara.
“Sebentar—“ aku keluar dan sempoyongan menapaki kerikil yang terpencar
menuju onggokan itu.
“Apaan tuh?” teriak Frank dari van.
“Hmm ….” Jaket dari bulu anak domba itu menatap padaku melalui sepasang
mata cokelat penuh pengharapan. Lidah jambon panjang ragu-ragu menjilati
tanganku. “Kayaknya ini Malam Perpisahan yang Panjang.”
“Dia dibuang,” sahut Frank, seraya menghampiri.
“Dibuang? Jangan konyol ah. Tega
amat mereka membuang dia? Ah, anjing ini kan pahlawan—pahlawan!”
“Kayaknya dia enggak bakal menang balapan lagi sih, Charlie.” Frank benar.
Kedua sisi anjing itu coreng-moreng oleh darah. Salah satu kakinya koyak. Kedua
mata serta moncongnya menampakkan bekas gigi Macan Keltik. Ia menelungkupkan
kepalanya ke tanah, terengah-engah cepat.
“Tetapi kan itu—maksudku tuh, dari semua ….” Aku menggaruk-garuk belakang
leherku dan terempas ke dasar kesunyian yang membingungkan. “Terus apa yang
mesti kita lakukan? Maksudku kita enggak bisa membiarkan dia di sini.”
“Astaga, Charlie, kirain kita buru-buru.”
Kuangkat satu jariku meminta diam. Benakku riuh hendak
menghubung-hubungkan: sesuatu tentang grehon ini serta pantulan bulan pada
kubangan panjang berbentuk ginjal ini—
“Aha!” Aku meraba-raba sakuku hingga menemukan yang kucari: lempengan
logam pucat yang pernah begitu digilai Bel. Kini aku tahu benda apa ini.
“Apaan tuh?”
“Ini tanda pengenal anjing, bung.”
“Hah, kayak yang punya tentara gitu?”
“Bukan, ini kayak punyanya anjing ….” Lempengan ini sama dengan yang
dibeli Bel menggunakan uang sakunya bertahun-tahun lampau, berikut ban leher
kulit berwarna merah dan tali kekang. Ini untuk anjing spanil yang tidak boleh
kami pelihara waktu itu, yang sering dicemaskan oleh Bel. Bel hendak
mengukirkan nama anjing itu pada lempengan tersebut, kalau kami sudah sampai
menamainya. Mestilah ada yang telah mengeduk benda ini dari loteng.
“Tapi, kenapa Bel bawa itu ke mana-mana, Charlie?”
“Shhh,” ucapku, seraya mengejapkan kabut alkohol yang melingkari otakku,
berusaha untuk memecahkan pertanyaan itu. Aku tidak tahu sebabnya Bel membawa
ini ke mana-mana. Mestilah ini mengandung suatu arti. Apakah karena ia tidak
pernah berhasil mengatasi kehilangan akan anjing spanil itu? Apakah selama ini
ia meranainya terus? Atau apakah karena sesuatu yang lebih rumit? Apakah itu
ada hubungannya dengan Bunda? Atau aku? Aku merengut, seraya terhuyung-huyung
di aspal. Pemahaman Bel akan dunia memang biasanya menjelimet, dan sering kali
berliku-liku, seperti ini itu merupakan pertanda, atau menyiratkan berbagai hal
yang bagi orang normal jelas-jelas tidak ada hubungannya. Namun kenyataannya
kini ada anjing yang disodorkan begitu saja kepada kami. Memang ia bukan anjing
spanil, dan kemungkinan butuh pembedahan minor—meski begitu, mengingat malam
yang penuh takdir ini, agaknya teledor kalau membiarkannya.
“Charlie—eh, Charlie, kamu ngapain?”
Jelaslah tidak ada waktu untuk menjelaskan ini kepada Frank.
“Eh, lu jangan masukin itu ke van gue—“
“Azimat,” gusarku, “keberuntungan—simbolis—bisa menggigit Harry—“
“Guk!” gonggong Malam
Perpisahan yang Panjang.
“Menggonggong, ya, anak baik, kita akan menaiki van Frank, iya kan? Ya,
kita akan menaikinya!”
“Kampret—“ sembari membuka kunci pintu belakang dan aku pun memasukkan
anjing itu, tempat ia bergelung dengan damainya dalam sarang dari kain altar
serta jubah pendeta yang diambil Frank dari gereja yang henda diubah menjadi
toko sepatu. “Charlie, lu kira kalau lu ngasih dia anjing Bel bakal maafin lu
karena ngegituin si cewek kaki satu itu?”
“Jangan bilang aku ngegituin dia
lah, enggak enak tahu kedengarannya.”
“Kalo gitu, karena nunggangin dia deh.”
Aku memikirkannya. “Ya,” sahutku. Aku mengamati anjing itu dari pintu. Ia
terengah-engah dengan hangatnya pada kami. “Tetapi,” sembari Frank menutup
pintunya, “kamu tahu, Malam Perpisahan yang Panjang itu nama yang berat. Kita
mesti kasih dia nama baru.”
“Yeah, aku juga mikir kayaknya itu yang bikin larinya jadi lambat, soalnya
dia sambil nyeret-nyeret namanya.”
“Ya, kurang lebih begitulah, aku memikirkan nama—Ozymandias.”
“Oz-y-mandias?”
“Kamu tahu, itu nama syair. Ozymandias, raja segala raja, pandangilah
hasil karyaku, Yang Mulia, begini begitu, aku lupa kelanjutannya—kedengarannya
agung begitu, enggak sih? Berwibawa
begitulah?”
“Enggak tahu ah, Charlie, kedengarannya rada homo.”
“Rada homo?”
“Sedikit sih.”
“Kalau begitu apa usulmu?”
“Bagaimana kalau Paul?”
“Paul? Masak anjing dinamai Paul. Kenapa juga kamu pengin namanya Paul?”
“Dulu aku punya teman namanya Paul.”
“Aku juga sih,” aku mengingat dan sesaat kami sama-sama merenungi. “Kurasa
ia memang agak kepaul-paulan. Yah, mungkin sementara waktu kita biarkan saja
dululah. Bel mungkin punya ide lain.”
Kami memasuki van. Frank menyimpan uang kemenangan kami di dasbor dan
menyalakan mesin.
“Aneh ya rasanya Bel bakal pergi, ya, enggak, Charlie?”
“Ah, enggak tahulah,” kataku. “Kurasa boleh jadi ia bakal baik-baik saja.”
Dengan pemandangan kota yang mulai membentang di jendela, serta semua uang di
dasbor, rasanya seperti masih ada waktu untuk memperbaiki berbagai hal, memutar
kembali waktu pada luka lama. Malam tampak tidak berujung dan penuh oleh
berbagai kemungkinan. Segalanya berkilauan dengan air seakan-akan baru
terlahir. “Eh siapa ini?” ketika sepotong hidung cokelat panjang menyodok di
antara bangku dan tersenyum keanjing-anjingan pada kami.
“Guk!” ucapnya, sementara kami melandas di jalur cepat dan menambah
kecepatan.
“Dia ngomong apa,
Charlie?”
“Ia bilang, ‘Majulah, kawan-kawan! Jangan tertinggal!’”
“Guk!”
“Benar begitu, bujang,” aku
tertawa, sembari menggaruki dagunya. “Benar
begitu—“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar