Kalau dilihat di peta, rute yang kami ambil tidak jauh berbeda dari
pencarian awalku yang melelahkan tadi. Tetapi kali ini rasanya seperti berada
di kota lain, yang terletak bersisian dengan kota gemerlap yang kukenal. Bagian
kota yang ini tersusun dari jalan buntu, impase, serta jalan belakang yang penuh
oleh kantung sampah, dan memiliki penghuninya tersendiri, yang hidup dengan bau
urin serta pembusukan yang permanen, dan harus disenggol bangun dengan kaki
sebelum bisa ditanyai tentang keberadaan Droyd. Adakalanya mereka terlalu mabuk
untuk bicara. Adakalanya mereka mencoba mengarang cerita dengan harapan
mendapat receh. Adakalanya mereka tidak merespons ketika disenggol dengan kaki,
sehingga kami harus membalikkan badan mereka dan menyipitkan mata pada wajah
mereka yang kotor hingga kami yakin mereka bukan Droyd. Luar biasa banyaknya
jumlah orang-orang mengenaskan ini. Ketika kami hendak pulang melewati Grafton
Street, aku menyadari bahwa orang-orang semacam itu ada di sini juga, sepanjang
waktu berada di sini, menjalani kehidupan berheroin mereka, terkulai di samping
kotak ATM, mengintai dalam kelompok-kelompok yang tampak mencurigakan di
sekitar tempat sampah, meracau pada para pekerja kantor yang berjalan
tergesa-gesa sambil pura-pura tidak mendengar, atau sekadar bergentayangan
dengan mata putih semua menembus keramaian, sambil memegang gelas McDonald dan
papan kardus yang tulisannya salah eja.
Ini pekerjaan yang lambat lagi menyiksa. Seiring dengan berlarutnya hari,
dan setumpukan kantung sampah sekali lagi menyingkapkan sesosok manusia, mulai
terasa seolah-olah hampir tidak ada orang yang tidak, bisa dibilang,
terabaikan, dan kota mulai menyerupai foto dalam suratkabar, ketika kau
melihatnya dari dekat dan sekonyong-konyong gambarnya buyar, sehingga yang
tampak berupa sekumpulan titik yang tidak ada artinya dalam ruang kosong yang
lebar, saking luasnya ruang tersebut hingga kau sama sekali lupa di sana ada
gambar. “Dia enggak ada di sini,” ujar Frank suram.
Susah payah kami berjalan di dermaga dan menaiki bis ke Bonetown. Kami
duduk di dek atas. Frank menatap lurus-lurus ke depan, sambil membuat
suara-suara hewan kecil seperti yang dilakukannya sewaktu menarik nomor Lotre.
Hari itu Laura mengambil cuti untuk menjaga apartemen kalau-kalau Droyd
muncul. Tetapi satu-satunya yang menghubungi cuma induk semang. “Aku enggak
benar-benar menangkap yang dia omongkan,” kata Laura. “Tetapi dia marah banget.
Dia terus-terusan bilang enggak ada penipu yang bisa menertawakannya.”
“Ah jancuk,” sahut Frank,
seraya ambruk ke kursinya. “Ah jancuk.”
“Kalau saja aku bisa mendapatkan kembali depositoku dari agen properti
tolol itu!” ucap Laura. “Dia enggak mau mengembalikannya padaku, Frank!”
“Itu dia,” sahut Frank. “Itu dia. Habislah kita.”
Aku menggeleng-geleng
pasrah. “Plus ça change,” kataku, “plus c’est la même chose.”
“Charlie, bisa enggak sih sekali aja kamu enggak ngomong Perancis?”
“Tentu,” sahutku penuh pengertian. “Tentu saja.”
Jelaslah tidak ada lagi yang dapat kuperbuat di sini, sementara waktu
terus berjalan. Dengan tenang aku mohon diri, meninggalkan Frank duduk di
kursinya dalam hawa hampa orang yang terhipnotis. Aku pergi ke kamarku dan
mulai mengganti pakaianku dengan pakaian malam. Baru saja aku mengalami
kesulitan yang biasa kala mengenakan dasi kupu-kupu saat ada ketukan di pintu.
Frank yang mengetuk, sambil memegang sepotong kayu.
“Aku tahu di mana dia,” kata Frank.
“Benarkah?” sahutku, seraya menguraikan simpul dasi lagi. “Eh, Laura, bisa
enggak kamu bantu aku mengenakan ini?”
“Dia sama Sepupu Benny,” kata Frank. “Aku tahu itu. Cuma itu tempat dia
mungkin berada.”
“Ah iya, Sepupu Benny yang terkenal keji itu.” Laura mengangkat daguku dan
membetulkan kerah. “Yah, sampaikan salamku padanya kalau kamu bertemu dengan
dia, katakan padanya jangan khawatirkan soal, soal perampokan—“
“Charlie,” ucap Frank. “Kamu mesti ikut sama aku.”
“Aku?” kataku.”
“Aku enggak bisa ke sana sendirian. Tempatnya di ujung jalan buntu. Aku
perlu bala bantuan.”
“Yah, aku mau saja sih membantumu, bung, cuma kenyataannya aku enggak bisa, maksudku aku harus pergi ke
pesta makan malam dan Bunda bakal murka kalau aku telat, maksudku sudah cukup
buruk aku enggak bawa teman kencan …” berangsur-angsur suaraku melemah. Sialan,
buat apa juga dia ingin aku menemaninya? Tidakkah ia mengetahui rekam jejakku
dalam baku hantam? Kok bisa ada ujung jalan buntu di Bonetown? Mata hijau teduh
Laura menatap mataku sementara ia melipat dasiku ke atas lalu ke belakang.
“Sial,” ucapku redup.
“Oke,” langkah Frank besar-besar penuh maksud ke luar pintu. Laura
mengikatkan dasiku dengan ketat dan aku merasakan ada benda yang didesakkan ke
tanganku. Rupanya raket tenis Dunlop tanpa senar. “Semoga beruntung,” katanya,
lalu membenamkan kecupan di pipiku.
Kami bergegas di jalan dengan jaket menudungi kepala kami, menari-nari di
antara aliran air berlumpur, melangkahi pelangi dari gasolin dan tanah hangus
yang serupa permukaan bulan, hingga tibalah kami di bungker beton bermutu
rendah. Daun penutup jendela yang terbuat dari baja tertutup oleh
berlapis-lapis grafiti. Lantai yang bopeng di sebelah luar dikotori puntung rokok
dan jarum patah. Aku sudah pernah ke sini.
“Kita masuk nih?” kataku. “Ke Coachman?”
Frank berpaling padaku dan memegang bahuku. “Charlie, aku pengin kamu
ngikutin aku aja dan lakuin sesuai perintahku, oke?”
“Ya,” cicitku. Aku mencengkeram raket tenisku agak lebih erat. “Baiklah.
Oke. Sekali lagi kita coba, eh, bung ….”
“Dan jangan ngomong apa-apa lagi, oke?”
Kami melalui pintu, yang rasanya tidak serta-merta mengurangi jumlah air
yang tercurah ke kepala kami. Selusin pasang mata yang tidak bersahabat menatap
kami. Aku mengedarkan pandang dengan takjub. Ini semacam tempat yang bakal jadi
mimpi buruk Egon Ronay. Lantainya yang berlapiskan linoleum melengkung,
cahayanya terlalu terang, perabotnya cuma bangku-bangku reyot tanpa sandaran
serta meja piknik dengan cap dari Kementerian Kehutanan. Di bar duduk enam pria
yang benar-benar tanpa dahi dan salah satunya menyeringai pada kami.
“Baik-baik aja?” sapa Frank. Tak seorang pun menyahut. Dengan santainya,
Frank memindahkan papannya dari satu tangan ke tangan lain seraya kami mulai
berjalan menyisi di sepanjang dinding, seakan-akan sedang menyusuri tepian
kawah berapi. Dari bar, berpasang mata itu mengikuti kami, tetapi mereka
bergeming saja. Akhirnya kami mencapai pintu bertuliskan Pria dan mendorongnya.
Kuembuskan napas lega dan serta-merta menyesal melakukanya. Tercium aroma
tengik tak terperikan yang semakin sengit saja sementara kami berjalan di
sepanjang koridor sempit hingga tiba di pintu baja dengan kisi-kisi setinggi
mata. Dengan gebrakan nyaring nan menggelegar, Frank mulai memukul-mukulkan
papannya, hingga kisi-kisi itu bergerak memperlihatkan sepasang mata hitam
berair.
“Ya?” ada suara menyahut.
“Kami cari Droyd,” Frank mengaum.
“Francy!” kata suara itu. “Itu kamu? Sebentar aku buka dulu—“ Kisi-kisi
itu bergerak menutup lagi, diiringi serentetan bunyi gembok dibuka yang
terdengar rumit. Akhirnya pintu mengayun terbuka. Kami disambut seorang pria
kurus berusia empat puluhan tahun, dengan rambut lepek, kulit jelek, serta
penampilan keseluruhan yang seperti baru kena tumpahan minyak. Beberapa puntung
rokok membara di antara apitan jari-jari tengah tangan kanannya. “Lama enggak
ketemu, Francy.” Pria itu mengangguk padaku. “Siapa nih, babu lu?”
“Kami cari Droyd,” ucap Frank sebelum aku sempat meluruskan.
“Droyd, ya?” Sepupu Benny mengusap-usap dagunya penuh pertimbangan. “Enggak
lihat tuh. Sori, ya.”
“Dia kabur bawa uang sewa tiga bulan,” Frank mengangkat papannya dengan
gaya mengancam. “Gue tahu lu masih jualan putauw sama dia.”
Tampaknya Sepupu Benny merasa ini menggelikan. “Kamu belum dengar, ya?”
ucap dia. “Droyd tuh udah bersih. Sebersih embun.” Ia bergeleng-geleng dan
berdesah. “Pada enggak tahu diuntung, bocah-bocah ini. Udah dibaik-baikin, eh
habis manis sepah dibuang ….”
Disertai degukan marah, Frank mengempaskan pria itu dari jalannya.
Kuangkat alis meminta maaf dan kuikuti Frank ke dalam.
Yang pertama-tama menyergap dari ruangan itu adalah baunya, gabungan dari
aneka macam pembusukan yang terurai—makanan, ampas tubuh, batu bara yang lapuk.
Tidak ada perabot ataupun karpet, hanya kasur, kasur berjamur bertebaran di
mana-mana. Saking gelapnya sampai-sampai perlu waktu hingga dapat terlihat
sosok-sosok tak sadarkan diri di atas kasur-kasur itu, dan selain itu mereka
kebanyakan aak-anak. Ada lima belas atau dua puluh anak, berbaring atau
bersandar di pojok, dengan kelopak mata yang berat dan kepala terangguk-angguk,
seakan-akan mereka kecapekan sepulang dari tamasya sekolah. Kuperhatikan banyak
di antara mereka yang pernah melontarkan kembang api padaku di jalan, dan
disertai perasaan mual kutatap kasur demi kasur hingga sampailah aku pada kedua
bocah troli berwajah bundar itu, terkulai dengan tangan terkunci serta sebotol
ampul di kaki mereka.
Sepupu Benny menutup pintu. Ia berdiri di samping pintu, separuh
tersembunyi oleh lentera kubur, seraya mengepulkan awan besar yang mengafani
para orang tidur. Segalanya benar-benar sunyi senyap, bak memarodikan kedamaian
secara terlalu. Aku menyadari kedua tanganku gemetar sehingga kulipat di balik
punggung. Lalu terdengar suara megap-megap. Frank, yang telah mengarung hingga
tengah-tengah lautan tubuh, berderap ke dinding seberang. Ia membungkuk
kemudian berdiri lagi dengan sesosok bersetelan olahraga tergolek lemas di
kedua lengannya. Sosok itu Droyd. Ia semaput telak, dan sungguh tak ternyana
terlihat bak keluar dari lukisan era Pra-Raphael[1].
“Pergi sana,” gumamnya mengantuk. “Pergi sana.”
Setelah jelas bahwa Droyd tidak mungkin dibangunkan, Frank mengayunkan dia
ke bahunya. Sembari terengah-engah, Frank berpaling pada Sepupu Benny di pojok.
“Gue bawa dia, Ben,” ucapnya. “Gue bawa dia.”
“Bawa aja,” kata Sepupu
Benny. Sepasang lingkaran asap berputar-putar bak jampian dari jemarinya. “Nanti
juga balik lagi.”
“Jangan halangin gue,” Frank mulai melangkah ke arah pintu yang sudah
terkupas-kupas di pojok. “Awasi dia, Charlie.” Seraya meneguk ludah, kuacungkan
raket tenisku.
Sepupu Benny tersenyum mengejek. “Mau apa dia, nolak gue masuk keanggotaan
klubnya?”
Tetapi seiring dengan terhuyungnya Frank menuju pintu, Sepupu Benny mundur
ke jarak aman. “Bawa aja,” teriaknya sepeninggalan kami. “Nanti juga balik
lagi. Kunyuk dia itu. Kalian semua cuma kunyuk. Entar dia berusaha biar bersih,
terus ada kejadian apa dia jatuh lagi, terus balik lagi ke sini bawa duit—“
Kuempaskan pintu hingga menutup di belakangku, dan puji syukur, kami pun kembali ke jalan. Frank membaringkan Droyd pada beton dan kami menghirup udara basah lagi dingin seakan-akan itu mana dari surga.
Kuperhatikan kancing mansetku yang sebelah kanan kendor. Aku mencoba
membetulkannya tetapi kedua tanganku yang celaka ini masih gemetar. Sungguh
menyebalkan sekali. Sudah begitu, jas makan malamku sekarang benar-benar basah.
Aku bersandar ke dinding dan menarik napas dalam-dalam, menunggu tanganku
berhenti gemetar. Setelah cukup reda akhirnya aku bisa membetulkan kancing
mansetku. Kemudian aku bertepuk tangan. “Baiklah,” ucapku.
Frank duduk terbungkuk dalam-dalam di samping Droyd, seraya menatap
kakinya dengan hawa kekesalan yang teramat nyata.
“Senja yang tidak begitu indah, ya,” ucapku, “tetapi kurasa pada akhirnya
seluruhnya berjalan dengan baik.”
Tidak ada yang menyahut.
“Begitulah, seluruhnya
berjalan dengan baik,” aku mengulang hati-hati.
“Charlie, terus kita mesti ngapain?” kata Frank.
“Yah, kalau aku sih sebaiknya lanjut pergi ke acara makan malam itu,”
sahutku. “Aku mau saja sih mengajakmu, cuma, mengerti kan, ini acara formal,
sedangkan—“
“Bukan itu, ini soal duit,
Charlie, soal duit sewa sialan itu.”
“Oh, ya, enggak tahu,” kataku redam. “Paling nanti juga ada jalan.”
Frank tidak tampak terbantu. Bangkitlah gelombang ketidaksabaran dari
dalam diriku. Tidak bisakah ia mengerti aku punya masalah sendiri? Tidak
bisakah ia berhenti memikirkan uang barang lima menit?”
“Yah mungkin selama ini kamu berprasangka buruk saja sama bapak kos,”
kataku. “Mungkin kalau kamu menjelaskan sama dia, dia bakal mengerti.
Menjelaskan bahwa, tahu kan, Droyd mencuri uang sewanya untuk beli narkoba dan
kamu sangat menyesal tetapi kamu akan bayar secepat mungkin. Bukannya waktu itu
kamu bilang dia mantan polisi? Mantan polisi pasti paham hal beginian, kan?”
Selama lima menit itu Frank tertawa dibuat-buat. Pelan-pelan aku mendidih,
menjejak-jejakkan tumitku, sembari memutar-mutar raket tenis Dunlop di
tanganku. Tahu-tahu Frank menjangkau dan menyambarnya. “Charlie, lu bisa cari
duit buat kita, kan?”
“Aku?” sahutku takjub. “Dari mana juga aku bisa dapat uang buat kalian?”
Frank bangkit dan berdiri membayangiku. “Charlie,” ujarnya, “ini bukan
waktunya jadi bajingan korengan.”
“Aku bukannya mau jadi bajingan apalah. Aku tuh enggak punya uang,” kataku, seraya mundur
menjauh.
“Tapi kamu mesti punya duit,” ia mengotot tanpa perasaan, mendekati seraya
mengayun-ayunkan kedua lengannya yang serupa batang pohon. “Lu kan dari
Killiney sialan itu kalian semua punya banyak duit—“
“Persetan, bisa enggak sih kamu berpikir barang dua detik saja,” seruku padanya. “Kalau memangnya aku punya uang, apa menurutmu aku bakal tinggal di sini? Di daerah kumuh? Apa menurutmu aku bakal menghabiskan hariku dengan mondar-mandir enggak keruan mengamati para pencandu heroin, atau menyereti orang keluar dari sarang opium? Aku tuh tadinya mau pindah bareng pramugari udara! Pramugari udara, Frank! Dari Swedia! Maksudku, pernah enggak sih kamu berpikiran bahwa ini tuh mungkin bukan kondisi hidup ideal bagiku, terperangkap di kampung dengan pedagang loak dan remaja nakal?”
Sejenak, aku yakin ia akan memukulku. Tetapi Frank tidak melakukannya.
Malah wajahnya terlihat agak kusut.
Seraya menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan, ia merosot kembali ke
tanah.
Serta-merta terdengar suara pelan. Rupanya hujan membangunkan Droyd. “Maaf,
ya, Frank,” kata-katanya lambat lagi tidak jelas. Ia menyentak-nyetakkan siku
Frank. “Sekarang mah sumpah mau main musik aja.”
“Kali terakhir juga lu bilang begitu, dasar lonte,” ujar Frank, seraya
menggemeretakkan gigi.
“Kali ini mah beneran,” tegas Droyd. Hujan mencurahi dahinya yang
terkelepai. “Sumpah deh. Enggak usah khawatir, Frankie, kita bakal keluar dari
sarang kecoak itu. Kita bakal ke Ibiza, duduk-duduk di pantai, ngebir seharian …
cewek-cewek bakal ngejar kita, soalnya kita pria ….”
“Diam lu, dasar cecunguk. Lu enggak lihat gue udah muak sama lu, dasar
bocah tengil,” Frank membenamkan kepala ke tangan dan menguburnya di antara
kedua belah lututnya. “Habis deh kita,” ia terisak. “Habislah kita.”
Tangan kuselipkan ke saku sementara aku mondar-mandir gelisah. Di timur
sana, di tempat yang tidak terjangkau saluran listrik, tamu-tamu mulai pada
berdatangan untuk acara makan malam itu. Kalau aku pergi sekarang, aku masih
dapat bergabung dengan mereka. Baru besoknya, mungkin aku dan Frank bisa duduk
bersama dan memikirkan rencana. Tidak ada gunanya membuang lebih banyak waktu,
sehingga berada di puncak daftar hitam Bunda. Baru aku berbalik hendak mengucap
dadah dan beranjak melintasi lahan kosong itu ketika sekonyong-konyong aku
mendapat pertanda. Sekonyong-konyong, dengan jelasnya, bisa kulihat diriku,
tengah duduk di meja makan malam dan mengisahkan petualangan hari ini pada Bel.
Aku menampilkannya sebagai semacam dongeng ala Don Kisot mengenai berbagai
kesulitan yang kualami untuk sampai di sini pada malam ini. Tetapi tampaknya
Bel tidak melihat sisi lucunya. Malah ia marah dan melabrakku selagi aku
berusaha menikmati terrine bebek. Frank kasih kamu rumah, kata Bel, dan ini
yang kamu lakukan sebagai balasannya? Kamu membiarkan Amaurot lepas dari
tanganmu, dan sekarang kamu akan membiarkan mereka mengambil Apt C Sands Villas
juga?
Aku melirik ke bawah. Droyd kembali tertidur dengan kepala menyandar pada
bahu Frank. Begini, ya, kukatakan pada si Bel-dalam-pertanda, Bunda bilang
pukul delapan tepat. Pernyataan Bunda sangat tegas, dan demi Tuhan ia
hampir-hampir mau mencabut hak warisku. Selain itu, bagaimana dengan dirimu?
Kataku, seraya menunjuk pada koper-koper-dalam-pertanda yang menanti di ruang
masuk di bawah ornamen kaca. Aku enggak mengerti kenapa kamu merasa begitu
tinggi dan hebat, sementara kamu sendiri hendak berkeliaran ke Yalta. Menurutmu
kapan Frank dan Droyd bisa pergi ke tempat seperti Yalta? Tidak akan pernah,
itulah jawabannya. Boleh jadi mereka tidak akan pernah keluar dari tempat
terkutuk ini.
Tetapi semua ini tampak tak ada artinya. Bel hanya memandangiku dengan
tatapan khasnya itu, dan aku pun merunduk pada terrine bebek imajinerku diiringi rasa bersalah.
Kemudian aku mendapatkan ide.
[1] Persaudaraan Pra-Raphael
merupakan sekelompok seniman Inggris yang dibentuk pada 1848. Kelompok itu
bertujuan memperbarui seni dengan menolak pendekatan mekanis yang pada awalnya
digunakan oleh para seniman beraliran Mannerisme yang mengikuti Raphael serta
Michaelangelo. Para anggota kelompok ini meyakini bahwa pose Klasikisme serta
komposisi elegan ala Raphael merusak pengajaran seni akademis, sehingga
dinamailah "Pra-Raphael".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar