Droyd tidak pulang malam itu, demikian pula malam berikutnya.
“Dia pasti pulang pas lapar,” kataku. “Enggak perlu galau lah.”
“Tapi jangan-jangan dia kena apalah,” sahut Frank cemas, seraya menekankan
hidungnya pada kaca yang mengalirkan air hujan.
“Memangnya dia bisa kena apa sih? Dia kan bisa jaga diri. Lagi pula, dia
sudah bukan anak-anak, maksudku dia sudah pernah dipenjara, ya kan?”
Frank tidak teryakinkan. Namun sesungguhnya, aku kurang begitu khawatir
akan kehilangan Droyd. Aku sibuk dengan kecemasanku sendiri, akibat merisaukan,
mengingat, dan menyusun rencana-rencana yang tak mungkin dijalankan. Lalu kini
aku terbangun hanya untuk mendapati tinggal satu hari lagi sebelum pesta makan malam dan keberangkatan
Bel.
Hujan masih berdentam. Tampaknya ini hari yang sempurna untuk duduk-duduk
di kursi sambil merasa sendu. Akan tetapi, aku ada janji di rumah sakit untuk
mengubah penampilanku, maka aku menaiki bis ke kota lalu duduk bermuram durja
di meja pemeriksaan sementara dokter membuka perbanku serta menusuk-nusuk
wajahku dengan berbagai peralatan tumpul dan menanyaiku kalau-kalau aku
kesakitan. Rasanya tidak menyakitkan kok. Aku terlalu larut dalam benakku
sendiri—pada langit Rusia yang kelabu, stepa liar yang tak berujung, dan
membandingkannya dengan sel-kecil-suramku di Bonetown. Maka ketika dokter
bilang lukaku sudah sembuh, butuh sejenak untuk menyadarinya.
“Tidak harus diperban lagi,” ucap dokter. “Waktunya kena udara. Sebentar
ya, saya ambilkan cermin.” Ia menghampiri lacinya dan mengambil cermin
bergagang lalu memegangkannya di depan wajahku. Charles Hythloday menatap balik
padaku. “Ada yang keliru?”
“Tidak, tidak, cuma—“ aku berdeham. “Kelihatannya saya rada menua.”
Dokter tertawa, dan mengatakan padaku bahwa wajahku akan berseri dalam
beberapa minggu, lalu ia menuliskan resep untuk salep dan tapal. “Cuacanya enak
ya[1],”
ucapnya ketika aku beranjak pergi, seraya mengangguk ke arah jendela.
Setelah tiga bulan dibekap perban yang lembap, merasakan hujan di wajahku
seharusnya merupakan peristiwa yang istimewa. Seharusnya ini merupakan
kesempatan, untuk menjadi diriku lagi
setelah selama ini sebagai Bukan Siapa-siapa. Namun yang dapat kupikirkan
hanyalah esok, dan Bel. Selagi kembali menyusuri Thomas Street, aku melatih
pidato menggugah yang mungkin perlu kusampaikan pada Bel saat acara makan
malam. Sebagian pidato itu kurasakan sungguh menyentuh sampai-sampai aku tidak
menyadari bahwa jalan pintas di balik Christchurch yang kuingat samar-samar
malah membawaku pada jaringan flat bobrok yang simpang siur. Begitu sadar dan
berhenti untuk menebak arah, aku sudah kadung tersesat.
Aku menelusuri ulang langkahku, namun selalu saja berakhir di tempat yang
sama. Segalanya tampak serupa dalam hujan begini, dan agaknya tidak ada orang
yang bisa ditanyai. Kemudian saat memerhatikan sekelilingku baik-baik, aku
mulai berharap tidak ada siapa-siapa
di sekitarku. Aku ingat cerita Pongo McGurks saat tersesat di tempat ini dan
diserbu oleh beberapa gelandangan Arab. Mereka menempelkan pisau lipat ke
tenggorokannya dan mengatakan hendak menjual organ-organ dalamnya ke Dubai.
Seketika itu juga terlintas oleh Pongo untuk mengatakan pada mereka bahwa ia
pengikut Gereja Kristus Ahli Ilmu Pengetahuan dan atas alasan religius tidak
boleh menggonta-ganti organ dalam, serta membujuk mereka supaya sebagai
gantinya mengambil arloji Cartier dan beberapa kartu kredit kepunyaan père[2] McGurks saja, hanya
Tuhan yang tahu kemungkinan yang dapat terjadi. Karena panik, aku pun asal saja
mengambil jalan, sambil mengira bahwa cara begini akan lebih berhasil daripada
sengaja berhati-hati menemukan arah keluar. Namun serta-merta rupanya aku salah
kira, dan baru saja aku berhenti lagi seraya membatin bahwa situasinya lebih
gawat daripada yang kupikir semula saat ada tangan ceking memelesat dari
kegelapan dan menarikku ke gang. Sebelum aku menyadari keadaanku, aku sudah ditelikung
ke tanah, dan sosok ceking bertudung melambung ke dadaku. “Kasih duit,” ia
mendesis.
“Jangan sakiti aku!” jeritku. “Aku orang Amish—bukan, tunggu, aku—sialan,
kamu bilang apa tadi?”
“Duit,” ia menggertak.
“Betul, betul,” aku menggagap, sambil meraba-raba mencari dompetku.
“Cepetan,” menggamparku dengan kasarnya.
“Aduh!” Aku mencucurkan air mata, sambil akhirnya menemukan si dompet
jahanam dan menyerahkannya pada orang itu—dan lalu pada detik-detik terakhir
menariknya lagi. “Tunggu dulu,” ucapku.
“Jangan macam-macam, ya,” ia memperingatkan.
Menembus hujan kusipitkan mata ke arah orang itu. “Droyd?” kataku.
Ucapanku membuatnya
terdiam. “Ya?” sosok itu menyahut waspada.
“Ini aku, dasar idiot!” desakku, sambil mendorong lututnya ke samping.
Droyd terlihat bingung sama sekali. Ia terduduk dan berkejap-kejap. Aku
menyadari bahwa ia belum pernah melihatku tanpa perban.
“Charles lo!” terangku. “Charles!”
Sejenak ia menempelkan sebelah tangan ke dahinya. “Ah taik!” serunya.
Lantas, tanpa ba-bi-bu lagi, ia kabur ke gang.
Apartemen sudah dalam
keadaan kacau-balau saat akhirnya aku berhasil pulang.
“Gara-gara bapak kos!” Laura berteriak ke telingaku dari kamar mandi yang
aman. “Ia menelepon lagi menagih uang sewa!”
Terdengar benturan keras dari ruangan sebelahnya. “Kukira kita sudah bayar
uang sewa!” aku balik berteriak.
“Ia bilang kamu mau diusir!” Laura membalas suara sofa tak berbentuk yang
terlepas dari punggungnya serta “Taik—kampungan—babi—bajingan—“ yang sepenuh hati.
“Sedang apa Frank di sana?” sambil menutup telinga dengan kedua tangan.
“Menghancurkan barang, mungkin sebaiknya kamu jangan sebut-sebut Droyd—“
Laura merendahkan suara seiring dengan kemunculan Frank yang tiba-tiba, lalu ia
mengotot ingin tahu soal Droyd.
Laura benar: kabar
tentang Droyd hampir tidak meredakan persoalan.
“Ah kacau Charlie!” Frank meraung. “Parah bener ini, parah bener.”
“Yah aku mengerti, maksudku baru juga lima menit aku menikmati kemewahan
wajahku sendiri lalu tahu-tahu ada yang meninjunya—“
“Droyd pergi ke mana tadi? Dia bilang enggak mau ke mana?”
“Ia merampokku, kami sama-sama
enggak sempat berbasa-basi.”
“Tapi, gini—“ Frank menjambaki rambutnya putus asa. “ Dia kelihatannya
kayak gimana?”
Aku mengingat-ingat. “Ia terlihat sangat fokus,” kataku. “Jelas-jelas
berkonsentrasi pada yang dia lakukan, lalu—“
“Bukan, Charlie, dia kelihatan kayak—dia kelihatan kayak lagi make?’
Entah Frank gusar gara-gara apa, dan sebelum aku dapat menduga, ia sudah
bergegas ke kamarnya, sejenak kemudian kembali terhuyung-huyung dengan membawa
selembar kaus kaki hijau-putih, untuk memberi tahu kami bahwa uangnya raib.
Malah, semua-muanya juga raib. Apartemen itu telah disapu bersih. Semua
tabungan Frank; segala barang bernilai yang dapat diambil dari hasil
penyelamatan bangunan; si bangsat itu bahkan membawa kabur celenganku.
Terlintas olehku bahwa pencurian setaraf ini mestilah telah berlangsung selama
beberapa waktu. Baru kemudian kami menyadari bahwa uang sewa bulan ini, bulan
lalu, mungkin juga bulan sebelumnya lagi tidak pernah sampai pada induk semang.
“Ah Jaysus,” Frank megap-megap seolah-olah yang terempas, terduduk ke kursi.
Telepon mulai berdering.
“Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, cerita dia tentang ada anjing yang
mencegat dia dalam perjalanan ke kantor pos, dan kabur dengan uang untuk
rekening listik? Itu juga cukup mustahil ….”
Sejenak telepon berhenti berdering, lalu mulai berbunyi lagi.
Malam itu Frank sama sekali tidak tidur. Aku tahu sebab aku juga tidak
tidur. Aku duduk di meja dapur dalam penerangan lilin dan mendengarkan Frank di
ruangan sebelah, dengan resah mendorong-dorong furnitur bak mamalia pengerat
kayu yang terlihat ketinggalan zaman, trenggiling atau kungkang berjari tiga. Naskah sandiwaraku
terbentang di hadapanku, bukannya aku masih punya harapan untuk ini. Lopakhin
telah menang, aku dan Frederick sama-sama menyadarinya. Reputasi kebun anggur
Frederick kini koyak. Lopakhin memotret Frederick yang terlihat sedang berangkulan
erat-erat dengan Babs dan menyiarkannya ke pers. Tentu saja, itu sama sekali
rekayasa. Yang sebenarnya terjadi yaitu Babs, yang meyakini Frederick akan
pergi untuk selama-lamanya, telah menyerahkan secara resmi setengah kebun
anggur warisan yang merupakan bagiannya pada Lopakhin dan kemudian saking putus
asanya ia menjatuhkan diri dari tangga. Babs pastilah sudah tewas, sekiranya
Frederick tidak kebetulan pulang lebih awal dari rapat para pembuat sumbat
botol dan menemukan dia tergeletak di ruangan itu lalu menyelamatkan nyawanya
dengan pernapasan buatan lewat mulut. Namun tindakan tanpa dosa ini, di tangan
Lopakhin dan kawan-kawan suratkabarnya yang keji, serpertinya akan cukup dapat
merusak nama Frederick, pada hari yang sama ketika Frederick hendak menyingkap
Burgundy klasik barunya pada industri anggur Perancis yang terkenal
konservatif. Kekejaman rencana Lopahin itu agaknya mengguncangkan Frederick
sampai kelengar. Sekarang yang Frederick lakukan sepanjang hari cuma
duduk-duduk di ruang studinya, menempelkan label anggur ke buku kliping, dan
bermain backgammon bersama
orang-orang Bosnia, seakan-akan sedang menandai waktu hingga akhir yang tak
terelakkan. Betapa meyedihkannya. Entah mengapa aku tidak meninggalkan naskah
sandiwara itu saja dan tidur. Mungkin aku berharap dengan terjaga entah
bagaimana aku dapat menahan laju dunia supaya tetap gelap dan hujan, dan
menghentikan datangnya hari yang menentukan itu.
Tampak siluet Laura yang berpiyama di ambang pintu. “Kok masih bangun?”
ucapnya. “Sebaiknya kamu tidur, enggak ada gunanya kalian berdua sama-sama
cemas.”
“Aku enggak cemas soal Droyd kok,” aku cemberut.
“Kamu enggak cemas sama Droyd?” ujarnya, sambil berjalan melewatiku ke
kulkas.
“Kalau menurutku sih ya, kita tuh seharusnya bersyukur,” kataku sotto voce supaya Frank tidak mendengar.
“Cuma bandit rendahan yang mencuri celengan seorang pria.”
“Apa kamu cemas soal Bel?” Laura membuka pintu kulkas dan cahaya segi
empat yang rapi terbentang di wajahnya bak halaman kosong. Aku hendak menjawab
namun tidak jadi. Entah bagaimana melintas di benakku betapa sesungguhnya,
sebenar-benarnya cantik Laura itu, dan seketika aku tercengkam oleh harapan
lama bahwa aku dapat mengejapkan mata dan memindahkan kami berdua ke dunia lain
di mana kami tidak berseberangan, dunia yang dapat menampung keindahan semacam
dia. “Kamu seharusnya senang,” ia berujar, seraya menuang segelas susu cokelat
bebas laktosa. “Ini kesempatan sekali seumur hidup. Lagi pula Bel kan sangat
menyukai sandiwara.”
“Aku senang kok,” aku berkata dengan tidak meyakinkan, mendadak dengan
suara mencicit aku berkata lagi: “Eh—kamu kenal cewek teman sekelasmu yang
bernama Kiddon? Jessica Kiddon?”
Laura mengingat-ingat, sambil menggumamkan nama itu. “Enggak tuh,”
akhirnya ia berucap. “Siapa dia?”
“Dia cewek yang akan berangkat ke Yalta bareng Bel,” ujarku, sambil
memberengut. “Kayaknya sih dia teman
sekelas Bel. Tetapi aku enggak ingat pernah melihat dia di buku tahunan.”
“Lagian sekolahnya juga gede kali, Charles. Siapa juga yang bisa mengingat
seluruh isi buku itu?”
“Mmm,” aku membuat suara berdeham yang ambigu.
“Tetapi aku yakin enggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku yakin Bel akan
baik-baik saja.”
“Mmm,” sahutku lagi, tanpa bermaksud supaya terdengar suram. Laura
melintas ke belakangku dan memegang leherku. “Charles,” ujarnya, “kamu pernah
kan mendengar, kalau kamu mencintai seseorang, maka biarkanlah dia bebas? Di
iklan es krim itu lo? Yang ada beruang bisa bicara?”
Jemarinya mengusap tengkukku. Aku menunduk dan memejamkan mata. Dapur ini
penuh dengan gerabak-gerubuk hujan pada kaca jendela.
“Seperti ketika ada yang marah pada kita,” ujar Laura, seakan-akan
berbicara sendiri. Lalu ia menjentikkan jemarinya dan berputar kembali
menghadapku. “Akhirnya aku tahu kau ini mirip siapa!” katanya.
“Apa?” kataku, kaget.
“Tanpa perbanmu—yang bikin aku gila sejak kamu balik dari rumah sakit. Lukisan
itu, kamu terlihat mirip lukisan di rumahmu itu.”
“Lukisan yang mana?” kataku. “Kan lukisannya ada banyak.”
“Kamu tahu lah, lukisan orang itu. Lukisan yang ada di ruang depan. Kamu
terlihat mirip dengan dia.” Laura tertawa lagi, senang atas hasil pengamatannya
ini, kemudian terdiam ketika Frank masuk dengan berang. Tatapan Frank liar lagi
letih dengan tampang primitif, agak menyerupai manusia gua yang ditemukan
terkurung dalam es selama bermasa-masa.
“Charlie,” ucap Frank, “ada yang harus kita lakuin.”
Kukira ini berarti akhirnya kami akan menghubungi pihak yang berwenang,
dan aku pun mulai menyusun daftar barang hilang. Tapi bukan itu yang Frank
maksud. Frank mengusulkan supaya kami sendiri yang keluar dan mencari Droyd.
“Yang benar saja ah,” sahutku.
“Kita enggak bisa ngebiarin dia di luar sana,” ujarnya. “Kita enggak bisa
ngebiarin bocah itu ngegelandang di jalan, kehujanan terus kedinginan.”
Aku memprotes. Aku menjelaskan bahwa ia memang pantas dibiarkan berkeluyur
di jalan, mengingat ia telah membohongi dan mengecoh kami, serta mencuri uang
sewa tiga bulan, dan pada dasarnya membatalkan kontrak sosial, belum lagi
celengan—
“Bisa enggak kamu lupain soal celengan!” teriak Frank. “Siapa lagi yang
mau nyariin dia kalau bukan kita? Enggak ada kan, itu dia. Kita harus menemukan
dia, atau—atau tahu-tahu dia udah dipenjara lagi!”
Ada empat tahun perjuangan dalam celengan itu, namun Frank bersikeras, dan
akhirnya aku pun luluh dan setuju membantu, kalau bukan karena ternyata Frank
tidak tahu caranya mengatur pencarian. Dikiranya mencari itu cuma keluar dan
berkeluyuran. Aku memberi tahu dia kalaupun pencarian ini memang ada gunanya,
kami harus metodis dan mendalam. Droyd terakhir kali terlihat di Christchurch,
dan aku menduga bahwa kemungkinan ia masih di dalam kota, karena di sana ada
lebih banyak nenek-nenek dan turis yang tidak waspada. Strategi jelasnya yaitu
bergerak ke arah luar dari pusat kota, tetapi karena kami hanya berdua, kami
memutuskan masing-masing mengambil sisi yang berbeda: aku Liffey sebelah
selatan, sedang Frank utara, lalu berkumpul lagi pada jam makan siang untuk
membandingkan hasil. Kami berangkat saat fajar.
Hujan masih turun, menetes dari lampu-lampu kecil yang direntangkan di
antara lampu-lampu penerang jalan, dari perada dan lampion Jepang, menjadikan
jalanan karnaval payung-payung yang bergesekkan. Betapapun waktu dan cuacanya,
gerombolan besar manusia mencurah ke jalan, dimuati kantong-kantong belanjaan
Natal. Jendela-jendela supermarket berkilauan dengan perabot dapur, pernak-pernik
elektronik, manekin-manekin indah yang diselubungi kain mahal. Suasananya
sungguh memusingkan dan ilusif hingga aku mulai rada kebingungan dan lupa siapa
yang tengah kucari. Aku terus melihat wajah Bel di mana-mana. Aku terus
berpikir bahwa orang-orang yang tergesa di Royal Hibernian Way[3]
ini mestilah tengah bersiap-siap untuk nanti malam, dan membayangkan jas untuk
acara makan malam milikku menanti di balik pintu kamar.
Walaupun demikian, pada pukul satu siang, saataku bertemu Frank sesuai
rencana di dekat patung wanita dengan gerobak ikan dan garis leher yang rendah[4],
aku dapat memberi tahu dia dengan pasti sambil mengunyah kue dadar bahwa
setelah secara komprehensif menyusuri kawasan metropolitan sebelah selatan aku
dapat menegaskan bahwa Droyd jelas tidak berada di Conrad, Westbury, ataupun
Jury’s Inns[5], begitu
pula Tie Rack[6] sepanjang
pagi ini. Rona muka Frank berubah aneh saat aku memberitahukan ini. Aku
penasaran apakah ia lapar dan aku menanyainya kalau-kalau ia mau sebagian kue
dadarku.
“Tie Rack?” ia berteriak. “Ngapain juga dia di Tie Rack?”
“Enggak tahu juga ya,” kataku. “Kupikir mungkin saja ia menghabiskan
uangnya untuk beli dasi.” Kupikir Tie Rack itu tempat orang semacam Droyd
membeli dasi.
Seketika Frank tidak sanggup lagi menahan stres. Ia mulai mengamuk.
Bahasanya tidak pantas disampaikan di sini: cukuplah dibilang ia mengatakan ini
babi itu babi, ini anjing itu anjing, mendadak semua orang jadi anjing—tetapi
garis besarnya yaitu aku mestilah menutup mata selama tiga bulan ini jika kupikir
ada anjing di Bonetown yang pernah terpanggil untuk mengenakan dasi kecuali
saat mereka ada di pengadilan, atau dalam seumur hidup mereka bisa lolos
melewati pintu Westbury, atau apa punlah yang ada hubungannya dengan benda
semacam itu; bahwa Droyd telah menghabiskan uangnya untuk heroin, bahwa di
Bonetown uang bisa habis hanya untuk heroin—“Heroin, Charlie!” teriaknya. “Heroin!
Tempat biadab gitu bisa jalan karena heroin!”
Aku tidak menyahut. Orang-orang mulai memandangi. Frank
berhenti melambai-lambaikan lengannya, dan menatapku dalam-dalam sembari
bergetar karena marah. Lantas ia merampas kue dadarku dan melemparkannya ke
tempat sampah. “Ayo,” ucapnya, seraya mengentakkan kaki ke arah aku berasal
tadi.
[1] “Nice weather for ducks,” idiom yang mengungkapkan rasa positif
terhadap cuaca hujan
[2] Sebutan Perancis bagi
pendeta Gereja Katolik Roma
[3] Kawasan perbelanjaan di
Dublin, Irlandia
[4] Patung Molly Malone,
konon lahir di jantung kota Dublin pada 1663 dan meninggal pada 1699, berjualan
ikan saat siang dan menjadi pelacur saat malam. Patung yang didirikan pada 1988
ini terletak di jalur yang dilaluinya saat berjualan.
[5] Nama-nama hotel mewah di
Dublin
[6] Toko eceran pakaian yang
pertama kali didirikan di Inggris dan kini memiliki cabang di mana-mana di
seluruh dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar