Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (271) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Eli...

20200126

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (4/7) (Paul Murray, 2003)

Droyd tidak pulang malam itu, demikian pula malam berikutnya.

“Dia pasti pulang pas lapar,” kataku. “Enggak perlu galau lah.”

“Tapi jangan-jangan dia kena apalah,” sahut Frank cemas, seraya menekankan hidungnya pada kaca yang mengalirkan air hujan.

“Memangnya dia bisa kena apa sih? Dia kan bisa jaga diri. Lagi pula, dia sudah bukan anak-anak, maksudku dia sudah pernah dipenjara, ya kan?”

Frank tidak teryakinkan. Namun sesungguhnya, aku kurang begitu khawatir akan kehilangan Droyd. Aku sibuk dengan kecemasanku sendiri, akibat merisaukan, mengingat, dan menyusun rencana-rencana yang tak mungkin dijalankan. Lalu kini aku terbangun hanya untuk mendapati tinggal satu hari lagi  sebelum pesta makan malam dan keberangkatan Bel.

Hujan masih berdentam. Tampaknya ini hari yang sempurna untuk duduk-duduk di kursi sambil merasa sendu. Akan tetapi, aku ada janji di rumah sakit untuk mengubah penampilanku, maka aku menaiki bis ke kota lalu duduk bermuram durja di meja pemeriksaan sementara dokter membuka perbanku serta menusuk-nusuk wajahku dengan berbagai peralatan tumpul dan menanyaiku kalau-kalau aku kesakitan. Rasanya tidak menyakitkan kok. Aku terlalu larut dalam benakku sendiri—pada langit Rusia yang kelabu, stepa liar yang tak berujung, dan membandingkannya dengan sel-kecil-suramku di Bonetown. Maka ketika dokter bilang lukaku sudah sembuh, butuh sejenak untuk menyadarinya.

“Apa?” kataku, tersentak sadar. “Sembuh?”

“Tidak harus diperban lagi,” ucap dokter. “Waktunya kena udara. Sebentar ya, saya ambilkan cermin.” Ia menghampiri lacinya dan mengambil cermin bergagang lalu memegangkannya di depan wajahku. Charles Hythloday menatap balik padaku. “Ada yang keliru?”

“Tidak, tidak, cuma—“ aku berdeham. “Kelihatannya saya rada menua.”

Dokter tertawa, dan mengatakan padaku bahwa wajahku akan berseri dalam beberapa minggu, lalu ia menuliskan resep untuk salep dan tapal. “Cuacanya enak ya[1],” ucapnya ketika aku beranjak pergi, seraya mengangguk ke arah jendela.

Setelah tiga bulan dibekap perban yang lembap, merasakan hujan di wajahku seharusnya merupakan peristiwa yang istimewa. Seharusnya ini merupakan kesempatan, untuk menjadi diriku lagi setelah selama ini sebagai Bukan Siapa-siapa. Namun yang dapat kupikirkan hanyalah esok, dan Bel. Selagi kembali menyusuri Thomas Street, aku melatih pidato menggugah yang mungkin perlu kusampaikan pada Bel saat acara makan malam. Sebagian pidato itu kurasakan sungguh menyentuh sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa jalan pintas di balik Christchurch yang kuingat samar-samar malah membawaku pada jaringan flat bobrok yang simpang siur. Begitu sadar dan berhenti untuk menebak arah, aku sudah kadung tersesat.

Aku menelusuri ulang langkahku, namun selalu saja berakhir di tempat yang sama. Segalanya tampak serupa dalam hujan begini, dan agaknya tidak ada orang yang bisa ditanyai. Kemudian saat memerhatikan sekelilingku baik-baik, aku mulai berharap tidak ada siapa-siapa di sekitarku. Aku ingat cerita Pongo McGurks saat tersesat di tempat ini dan diserbu oleh beberapa gelandangan Arab. Mereka menempelkan pisau lipat ke tenggorokannya dan mengatakan hendak menjual organ-organ dalamnya ke Dubai. Seketika itu juga terlintas oleh Pongo untuk mengatakan pada mereka bahwa ia pengikut Gereja Kristus Ahli Ilmu Pengetahuan dan atas alasan religius tidak boleh menggonta-ganti organ dalam, serta membujuk mereka supaya sebagai gantinya mengambil arloji Cartier dan beberapa kartu kredit kepunyaan père[2] McGurks saja, hanya Tuhan yang tahu kemungkinan yang dapat terjadi. Karena panik, aku pun asal saja mengambil jalan, sambil mengira bahwa cara begini akan lebih berhasil daripada sengaja berhati-hati menemukan arah keluar. Namun serta-merta rupanya aku salah kira, dan baru saja aku berhenti lagi seraya membatin bahwa situasinya lebih gawat daripada yang kupikir semula saat ada tangan ceking memelesat dari kegelapan dan menarikku ke gang. Sebelum aku menyadari keadaanku, aku sudah ditelikung ke tanah, dan sosok ceking bertudung melambung ke dadaku. “Kasih duit,” ia mendesis.

“Jangan sakiti aku!” jeritku. “Aku orang Amish—bukan, tunggu, aku—sialan, kamu bilang apa tadi?”

Duit,” ia menggertak.

“Betul, betul,” aku menggagap, sambil meraba-raba mencari dompetku.

“Cepetan,” menggamparku dengan kasarnya.

“Aduh!” Aku mencucurkan air mata, sambil akhirnya menemukan si dompet jahanam dan menyerahkannya pada orang itu—dan lalu pada detik-detik terakhir menariknya lagi. “Tunggu dulu,” ucapku.

“Jangan macam-macam, ya,” ia memperingatkan.

Menembus hujan kusipitkan mata ke arah orang itu. “Droyd?” kataku.

Ucapanku membuatnya terdiam. “Ya?” sosok itu menyahut waspada.

“Ini aku, dasar idiot!” desakku, sambil mendorong lututnya ke samping. Droyd terlihat bingung sama sekali. Ia terduduk dan berkejap-kejap. Aku menyadari bahwa ia belum pernah melihatku tanpa perban.

“Charles lo!” terangku. “Charles!”

Sejenak ia menempelkan sebelah tangan ke dahinya. “Ah taik!” serunya. Lantas, tanpa ba-bi-bu lagi, ia kabur ke gang.



Apartemen sudah dalam keadaan kacau-balau saat akhirnya aku berhasil pulang.

“Gara-gara bapak kos!” Laura berteriak ke telingaku dari kamar mandi yang aman. “Ia menelepon lagi menagih uang sewa!”

Terdengar benturan keras dari ruangan sebelahnya. “Kukira kita sudah bayar uang sewa!” aku balik berteriak.

“Ia bilang kamu mau diusir!” Laura membalas suara sofa tak berbentuk yang terlepas dari punggungnya serta “Taik—kampungan—babi—bajingan—“ yang sepenuh hati.

“Sedang apa Frank di sana?” sambil menutup telinga dengan kedua tangan.

“Menghancurkan barang, mungkin sebaiknya kamu jangan sebut-sebut Droyd—“ Laura merendahkan suara seiring dengan kemunculan Frank yang tiba-tiba, lalu ia mengotot ingin tahu soal Droyd.

Laura benar: kabar tentang Droyd hampir tidak meredakan persoalan.

“Ah kacau Charlie!” Frank meraung. “Parah bener ini, parah bener.”

“Yah aku mengerti, maksudku baru juga lima menit aku menikmati kemewahan wajahku sendiri lalu tahu-tahu ada yang meninjunya—“

“Droyd pergi ke mana tadi? Dia bilang enggak mau ke mana?”

“Ia merampokku, kami sama-sama enggak sempat berbasa-basi.”

“Tapi, gini—“ Frank menjambaki rambutnya putus asa. “ Dia kelihatannya kayak gimana?”

Aku mengingat-ingat. “Ia terlihat sangat fokus,” kataku. “Jelas-jelas berkonsentrasi pada yang dia lakukan, lalu—“

“Bukan, Charlie, dia kelihatan kayak—dia kelihatan kayak lagi make?’

Entah Frank gusar gara-gara apa, dan sebelum aku dapat menduga, ia sudah bergegas ke kamarnya, sejenak kemudian kembali terhuyung-huyung dengan membawa selembar kaus kaki hijau-putih, untuk memberi tahu kami bahwa uangnya raib.

Malah, semua-muanya juga raib. Apartemen itu telah disapu bersih. Semua tabungan Frank; segala barang bernilai yang dapat diambil dari hasil penyelamatan bangunan; si bangsat itu bahkan membawa kabur celenganku. Terlintas olehku bahwa pencurian setaraf ini mestilah telah berlangsung selama beberapa waktu. Baru kemudian kami menyadari bahwa uang sewa bulan ini, bulan lalu, mungkin juga bulan sebelumnya lagi tidak pernah sampai pada induk semang. “Ah Jaysus,” Frank megap-megap seolah-olah yang terempas, terduduk ke kursi.

Telepon mulai berdering.

“Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, cerita dia tentang ada anjing yang mencegat dia dalam perjalanan ke kantor pos, dan kabur dengan uang untuk rekening listik? Itu juga cukup mustahil ….”

Sejenak telepon berhenti berdering, lalu mulai berbunyi lagi.

Malam itu Frank sama sekali tidak tidur. Aku tahu sebab aku juga tidak tidur. Aku duduk di meja dapur dalam penerangan lilin dan mendengarkan Frank di ruangan sebelah, dengan resah mendorong-dorong furnitur bak mamalia pengerat kayu yang terlihat ketinggalan zaman, trenggiling atau kungkang berjari tiga. Naskah sandiwaraku terbentang di hadapanku, bukannya aku masih punya harapan untuk ini. Lopakhin telah menang, aku dan Frederick sama-sama menyadarinya. Reputasi kebun anggur Frederick kini koyak. Lopakhin memotret Frederick yang terlihat sedang berangkulan erat-erat dengan Babs dan menyiarkannya ke pers. Tentu saja, itu sama sekali rekayasa. Yang sebenarnya terjadi yaitu Babs, yang meyakini Frederick akan pergi untuk selama-lamanya, telah menyerahkan secara resmi setengah kebun anggur warisan yang merupakan bagiannya pada Lopakhin dan kemudian saking putus asanya ia menjatuhkan diri dari tangga. Babs pastilah sudah tewas, sekiranya Frederick tidak kebetulan pulang lebih awal dari rapat para pembuat sumbat botol dan menemukan dia tergeletak di ruangan itu lalu menyelamatkan nyawanya dengan pernapasan buatan lewat mulut. Namun tindakan tanpa dosa ini, di tangan Lopakhin dan kawan-kawan suratkabarnya yang keji, serpertinya akan cukup dapat merusak nama Frederick, pada hari yang sama ketika Frederick hendak menyingkap Burgundy klasik barunya pada industri anggur Perancis yang terkenal konservatif. Kekejaman rencana Lopahin itu agaknya mengguncangkan Frederick sampai kelengar. Sekarang yang Frederick lakukan sepanjang hari cuma duduk-duduk di ruang studinya, menempelkan label anggur ke buku kliping, dan bermain backgammon bersama orang-orang Bosnia, seakan-akan sedang menandai waktu hingga akhir yang tak terelakkan. Betapa meyedihkannya. Entah mengapa aku tidak meninggalkan naskah sandiwara itu saja dan tidur. Mungkin aku berharap dengan terjaga entah bagaimana aku dapat menahan laju dunia supaya tetap gelap dan hujan, dan menghentikan datangnya hari yang menentukan itu.

Tampak siluet Laura yang berpiyama di ambang pintu. “Kok masih bangun?” ucapnya. “Sebaiknya kamu tidur, enggak ada gunanya kalian berdua sama-sama cemas.”

“Aku enggak cemas soal Droyd kok,” aku cemberut.

“Kamu enggak cemas sama Droyd?” ujarnya, sambil berjalan melewatiku ke kulkas.

“Kalau menurutku sih ya, kita tuh seharusnya bersyukur,” kataku sotto voce supaya Frank tidak mendengar. “Cuma bandit rendahan yang mencuri celengan seorang pria.”

“Apa kamu cemas soal Bel?” Laura membuka pintu kulkas dan cahaya segi empat yang rapi terbentang di wajahnya bak halaman kosong. Aku hendak menjawab namun tidak jadi. Entah bagaimana melintas di benakku betapa sesungguhnya, sebenar-benarnya cantik Laura itu, dan seketika aku tercengkam oleh harapan lama bahwa aku dapat mengejapkan mata dan memindahkan kami berdua ke dunia lain di mana kami tidak berseberangan, dunia yang dapat menampung keindahan semacam dia. “Kamu seharusnya senang,” ia berujar, seraya menuang segelas susu cokelat bebas laktosa. “Ini kesempatan sekali seumur hidup. Lagi pula Bel kan sangat menyukai sandiwara.”

“Aku senang kok,” aku berkata dengan tidak meyakinkan, mendadak dengan suara mencicit aku berkata lagi: “Eh—kamu kenal cewek teman sekelasmu yang bernama Kiddon? Jessica Kiddon?”

Laura mengingat-ingat, sambil menggumamkan nama itu. “Enggak tuh,” akhirnya ia berucap. “Siapa dia?”

“Dia cewek yang akan berangkat ke Yalta bareng Bel,” ujarku, sambil memberengut. “Kayaknya sih dia teman sekelas Bel. Tetapi aku enggak ingat pernah melihat dia di buku tahunan.”

“Lagian sekolahnya juga gede kali, Charles. Siapa juga yang bisa mengingat seluruh isi buku itu?”

“Mmm,” aku membuat suara berdeham yang ambigu.

“Tetapi aku yakin enggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku yakin Bel akan baik-baik saja.”

“Mmm,” sahutku lagi, tanpa bermaksud supaya terdengar suram. Laura melintas ke belakangku dan memegang leherku. “Charles,” ujarnya, “kamu pernah kan mendengar, kalau kamu mencintai seseorang, maka biarkanlah dia bebas? Di iklan es krim itu lo? Yang ada beruang bisa bicara?”

Jemarinya mengusap tengkukku. Aku menunduk dan memejamkan mata. Dapur ini penuh dengan gerabak-gerubuk hujan pada kaca jendela.

“Seperti ketika ada yang marah pada kita,” ujar Laura, seakan-akan berbicara sendiri. Lalu ia menjentikkan jemarinya dan berputar kembali menghadapku. “Akhirnya aku tahu kau ini mirip siapa!” katanya.

“Apa?” kataku, kaget.

“Tanpa perbanmu—yang bikin aku gila sejak kamu balik dari rumah sakit. Lukisan itu, kamu terlihat mirip lukisan di rumahmu itu.”

“Lukisan yang mana?” kataku. “Kan lukisannya ada banyak.”

“Kamu tahu lah, lukisan orang itu. Lukisan yang ada di ruang depan. Kamu terlihat mirip dengan dia.” Laura tertawa lagi, senang atas hasil pengamatannya ini, kemudian terdiam ketika Frank masuk dengan berang. Tatapan Frank liar lagi letih dengan tampang primitif, agak menyerupai manusia gua yang ditemukan terkurung dalam es selama bermasa-masa.

“Charlie,” ucap Frank, “ada yang harus kita lakuin.”

Kukira ini berarti akhirnya kami akan menghubungi pihak yang berwenang, dan aku pun mulai menyusun daftar barang hilang. Tapi bukan itu yang Frank maksud. Frank mengusulkan supaya kami sendiri yang keluar dan mencari Droyd.

“Yang benar saja ah,” sahutku.

“Kita enggak bisa ngebiarin dia di luar sana,” ujarnya. “Kita enggak bisa ngebiarin bocah itu ngegelandang di jalan, kehujanan terus kedinginan.”

Aku memprotes. Aku menjelaskan bahwa ia memang pantas dibiarkan berkeluyur di jalan, mengingat ia telah membohongi dan mengecoh kami, serta mencuri uang sewa tiga bulan, dan pada dasarnya membatalkan kontrak sosial, belum lagi celengan—

“Bisa enggak kamu lupain soal celengan!” teriak Frank. “Siapa lagi yang mau nyariin dia kalau bukan kita? Enggak ada kan, itu dia. Kita harus menemukan dia, atau—atau tahu-tahu dia udah dipenjara lagi!”

Ada empat tahun perjuangan dalam celengan itu, namun Frank bersikeras, dan akhirnya aku pun luluh dan setuju membantu, kalau bukan karena ternyata Frank tidak tahu caranya mengatur pencarian. Dikiranya mencari itu cuma keluar dan berkeluyuran. Aku memberi tahu dia kalaupun pencarian ini memang ada gunanya, kami harus metodis dan mendalam. Droyd terakhir kali terlihat di Christchurch, dan aku menduga bahwa kemungkinan ia masih di dalam kota, karena di sana ada lebih banyak nenek-nenek dan turis yang tidak waspada. Strategi jelasnya yaitu bergerak ke arah luar dari pusat kota, tetapi karena kami hanya berdua, kami memutuskan masing-masing mengambil sisi yang berbeda: aku Liffey sebelah selatan, sedang Frank utara, lalu berkumpul lagi pada jam makan siang untuk membandingkan hasil. Kami berangkat saat fajar.

Hujan masih turun, menetes dari lampu-lampu kecil yang direntangkan di antara lampu-lampu penerang jalan, dari perada dan lampion Jepang, menjadikan jalanan karnaval payung-payung yang bergesekkan. Betapapun waktu dan cuacanya, gerombolan besar manusia mencurah ke jalan, dimuati kantong-kantong belanjaan Natal. Jendela-jendela supermarket berkilauan dengan perabot dapur, pernak-pernik elektronik, manekin-manekin indah yang diselubungi kain mahal. Suasananya sungguh memusingkan dan ilusif hingga aku mulai rada kebingungan dan lupa siapa yang tengah kucari. Aku terus melihat wajah Bel di mana-mana. Aku terus berpikir bahwa orang-orang yang tergesa di Royal Hibernian Way[3] ini mestilah tengah bersiap-siap untuk nanti malam, dan membayangkan jas untuk acara makan malam milikku menanti di balik pintu kamar.

Walaupun demikian, pada pukul satu siang, saataku bertemu Frank sesuai rencana di dekat patung wanita dengan gerobak ikan dan garis leher yang rendah[4], aku dapat memberi tahu dia dengan pasti sambil mengunyah kue dadar bahwa setelah secara komprehensif menyusuri kawasan metropolitan sebelah selatan aku dapat menegaskan bahwa Droyd jelas tidak berada di Conrad, Westbury, ataupun Jury’s Inns[5], begitu pula Tie Rack[6] sepanjang pagi ini. Rona muka Frank berubah aneh saat aku memberitahukan ini. Aku penasaran apakah ia lapar dan aku menanyainya kalau-kalau ia mau sebagian kue dadarku.

“Tie Rack?” ia berteriak. “Ngapain juga dia di Tie Rack?”

“Enggak tahu juga ya,” kataku. “Kupikir mungkin saja ia menghabiskan uangnya untuk beli dasi.” Kupikir Tie Rack itu tempat orang semacam Droyd membeli dasi.

Seketika Frank tidak sanggup lagi menahan stres. Ia mulai mengamuk. Bahasanya tidak pantas disampaikan di sini: cukuplah dibilang ia mengatakan ini babi itu babi, ini anjing itu anjing, mendadak semua orang jadi anjing—tetapi garis besarnya yaitu aku mestilah menutup mata selama tiga bulan ini jika kupikir ada anjing di Bonetown yang pernah terpanggil untuk mengenakan dasi kecuali saat mereka ada di pengadilan, atau dalam seumur hidup mereka bisa lolos melewati pintu Westbury, atau apa punlah yang ada hubungannya dengan benda semacam itu; bahwa Droyd telah menghabiskan uangnya untuk heroin, bahwa di Bonetown uang bisa habis hanya untuk heroin—“Heroin, Charlie!” teriaknya. “Heroin! Tempat biadab gitu bisa jalan karena heroin!”

Aku tidak menyahut. Orang-orang mulai memandangi. Frank berhenti melambai-lambaikan lengannya, dan menatapku dalam-dalam sembari bergetar karena marah. Lantas ia merampas kue dadarku dan melemparkannya ke tempat sampah. Ayo, ucapnya, seraya mengentakkan kaki ke arah aku berasal tadi.




[1]Nice weather for ducks,” idiom yang mengungkapkan rasa positif terhadap cuaca hujan
[2] Sebutan Perancis bagi pendeta Gereja Katolik Roma
[3] Kawasan perbelanjaan di Dublin, Irlandia
[4] Patung Molly Malone, konon lahir di jantung kota Dublin pada 1663 dan meninggal pada 1699, berjualan ikan saat siang dan menjadi pelacur saat malam. Patung yang didirikan pada 1988 ini terletak di jalur yang dilaluinya saat berjualan.
[5] Nama-nama hotel mewah di Dublin
[6] Toko eceran pakaian yang pertama kali didirikan di Inggris dan kini memiliki cabang di mana-mana di seluruh dunia

Tidak ada komentar: