(Adegan. Sebuah rumah kastel yang bobrok di bantaran Kali Marne. Masuk
FREDERICK, seorang Count, serta BABS, adiknya yang menyedihkan.)
FREDERICK: Aku tak peduli dengan perkataan manajer bank itu! Mungkin aku
bangkrut, tetapi aku tetap seorang Count,
dan aku akan menghadapi dunia industri anggur Perancis yang kanibal ini serta
menghasilkan Burgundy yang lumayan sekalipun aku harus menanam semua anggur
dengan tanganku sendiri!
(BABS terus saja
menangis.)
FREDERICK (merengkuh lengan adiknya):
Persetan, Babs, tidakkah kau mengerti? Yang kita miliki ini adalah sebuah
mimpi, dan selama kita bersama, tidak seorang pun manajer bank yang dapat
menyentuhnya, karena ini adalah sebuah mimpi, maksudku ini bukan sekadar—
FREDERICK: Persetan,
Babs, berhenti menangis dong
FREDERICK: Babs, kau mungkin masih bertanya-tanya soal yang semalam, yah
sebenarnya itu semua rencananya Lopakhin
FREDERICK: Persetan Babs
FREDERICK: Persetan
“Gimana sandiwaranya, Charlie?”
“Hmm? Oh, lumayan, lumayan …. Cuma istirahat sebentar kok ….”
“Oh, bagus deh,” sembari memindah-mindahkan kakinya dengan gelisah. “Eh,
soal sewa apartemen nih ….”
“Sewa apartemen?”
“Yeah, bapaknya nanyain lagi, rada-rada jengkel ….”
“Oh,” sahutku tanpa semangat, sembari memainkan tali kimono. “Yah, nanti
kubuatkan ceknya, ya?”
“Cek, oh bagus deh, hebat,” sambil berdeham hendak membuka percakapan, “gini,
aku udah ngomong ke teman yang punya gudang itu terus dia bilang ada sif kalau
kamu—“
“Ha, siapa takut!” kataku, sembari kembali memandang televisi.
“Oh, bagus deh.” Ia terus terombang-ambing di belakang. “Eh … itu kan
lipstiknya Bel?”
“Iya, memang ini lipstiknya Bel.”
“Mau diapain?”
“Oh, tahulah, dipegang saja. Supaya fokus.”
“Kamu baik-baik aja, Charlie?”
“Aku? Sangat baik. Tidak pernah sebaik ini. Tetapi, sebaiknya kembali
menulis sandiwara, tidak ada damai bagi orang fasik, ha ha ….”
“Ha ha ….”
Ternyata, penulisan sandiwaranya tidak lancar, buruk sekali. Entah
bagaimana persisnya, sekarang Lopakhin yang menjadi tokoh utama. Tiap kali aku
mengangkat pena dan berusaha memperbaiki, jadinya malah bertambah buruk.
Misalnya saja, Frederick pergi ke Monte Carlo untuk konferensi para pembuat
sumbat botol selama dua hari, namun Lopakhin memberi tahu Babs bahwa abangnya
telah menjual separuh tanah kebun lalu kabur untuk menjudikan hasilnya—dan Babs
memercayai itu, mengapa juga ia memercayai Lopakhin? Jadi sementara Frederick membuang
waktu dengan konsesi pajak demi sekelompok petani Portugis yang tamak, Lopakhin
mengasingkan adiknya serta memusingkan gadis itu dengan berbagai dusta
menjijikkan—hitam adalah putih, atas adalah bawah, Frederick itu manusia
obsesif lagi mencurigakan yang mengekang riwayat percintaan dan akting
Babs—sampai kadang aku meriang dan mesti beranjak untuk duduk dalam gelap
barang sejenak.
Biar begitu, tinggal itu yang bisa kulakukan. Aku belum menelepon Gemma
dari Sirius Recruitment. Pengalamanku di Mr Dough telah mengeruhkan bayanganku
akan bekerja. Atau itu justru berperan menguatkan dugaanku selama ini, bahwa
bekerja mencari nafkah itu usaha sia-sia. “Menurutku sih,” kataku pada yang
lain, “kalau kamu bukan orang kaya, maka kamu orang miskin, dan satu-satunya
cara untuk menjadi orang kaya itu antara kamu sudah kaya dari sananya, atau
melakukan perbuatan kriminal, seperti menyelamatkan barang dari bangunan yang
mau dihancurkan atau merampok nenek-nenek—enggak bermaksud menyinggung lo, ya.”
“Ah enggak apa-apa kok, Charlie,” sahut Frank.
“Gnnhhhrhh,” dengkur Droyd dari pingsannya di sofa.
“Atau merintis perusahaan rekrutmen,” renungku getir.
Maka, sementara jalanan di luar semakin hari semakin dingin dan gelap, dan
pesta makan malam yang menentukan itu melayang-layang di hadapanku bak jurang
yang tak mungkin untuk ditekur, aku melewatkan waktu dalam kimonoku sambil
duduk di kursi. Aku menulis baris untuk sandiwaraku lalu mencoretnya. Aku
melimpahi diriku dengan banjir kenangan yang dahsyat. Aku membuat rencana demi
rencana fantastis supaya Bel tidak pergi—termasuk, namun tidak sebatas:
menuliskan permintaan maaf yang disusun secara hati-hati dengan asap pesawat
pada langit yang terlihat dari jendela kamar Bel; berpura-pura menderita
penyakit yang mengancam jiwa; menyelesaikan naskah sandiwaraku, mengirimkannya,
dan memperoleh sambutan hebat di Teater Abbey, dengan bintangnya Bel Hythloday,
idealnya sebelum Rabu ini; menelepon Bunda dan membuktikan pada dia lewat
analisis mendalam bahwa menurut perilakunya akhir-akhir ini Bel tidak siap
untuk bepergian; benar-benar mengalami penyakit yang mengancam jiwa yakni Demam
Lassa lewat pergaulan erat dengan Boyd Snooks. Tetapi yang kulakukan
paling-paling hal yang paling pandai kulakukan, yaitu tidak melakukan apa-apa.
Adakalanya aku berpikir untuk melanjutkan monografku. Sekarang aku telah
sampai pada 1950-an. Pada masa itu semua film Hollywood berwarna menyolok
sehingga segalanya berkesan norak sekaligus melelahkan. Sudah bertahun-tahun
Gene berhenti mengenakan riasan, namun warna-warna yang berlebihan menjadikan
dirinya tampak menjenuhkan juga, menonjolkan kehampaan yang bertumbuh pada
pokok penampilannya. Jika pada film-film sebelumnya ia berusaha untuk
menyembunyikan diri, dalam empat film yang terakhir—Personal Affair, The Egyptian, Black Widow, The Left Hand of God—ia
lenyap. Bisa dibilang berjalan sambil tidur. Seluruh penampilannya menandakan
orang yang keberadaannya tidak lagi benar-benar ada—inersianya, gerakannya yang
tak berjiwa, mata indahnya yang kedap cahaya.
The Left Hand of God merupakan film terakhir
yang dibintangi Gene. Begitu pembuatan film itu selesai, ia lari dari Hollywood
dan tetirah di New York bersama ibunya. Studio segera menskors Gene atas
pelanggaran kontrak, dan di depan umum menuduhnya sebagai primadona mengamuk.
Para reporter merundunginya. Telepon berdering siang malam hingga akhirnya
ibunya memutus sambungan.
Di apartemen New York segalanya menjadi kacau balau. Gene tidur sampai
berhari-hari. Ia tidak mengenai wajah teman-temannya. Ia tidak pernah
berpolitik, namun kini terobsesi pada skema Komunis. Ia merasa Komunis berusaha
meracuninya. Ia merasa mereka mengganti kata-kata pada halaman buku yang
dibacanya. Ia berhenti makan, lalu menjalankan diet cokelat, roti, dan mentega,
dan dalam beberapa minggu bobotnya bertambah sepuluh kilogram karena ia merasa
tengah hamil sehingga makan untuk berdua. Setiap malam ia berkhayal melahirkan,
setiap malam pula Komunis menculik anaknya. Atau ia memimpikan Daria tidak lagi
berada di panti, melainkan tinggal bersama pasangan di rumah di ujung jalan.
Saudaranya acap mendapati dia menggedor pintu tetangga pada tengah malam,
menuntut supaya anaknya dikembalikan. Akhirnya ia dimasukkan ke rumah sakit
jiwa Harkness Pavilion, New York.
Terapi elektrokonvulsif—ECT—pada waktu itu dianggap sebagai terobosan
dalam pengobatan penyakit jiwa. Dengan mengatur getaran listrik langsung ke
otak, agaknya pasien dapat disentak keluar dari psikosisnya untuk sementara.
Kejutan listrik membuat pasien melupakan segala hal, dan seperti yang
diterangkan Gene, kau tidak dapat bersedih atas hal yang tidak kau ingat. Dalam
setahun tiga puluh dua kali ia diberikan pengobatan ini. Setiap kalinya ia
terjaga tanpa menyadari siapa, di mana, atau apa gerangan dirinya. Secara
berangsur-angsur, sebagian ingatannya kembali. Biasanya masa kecil dulu, lalu
masa remaja, kemudian masa pertengahan. Namun ingatan pada beberapa bulan
hingga beberapa tahun sebelum pengobatannya tidak muncul. Masa tersebut
benar-benar menghilang—tercerabut begitu saja, seakan-akan tidak pernah
terjadi. Bertahun-tahun kemudian, ketika Gene akhirnya menulis autobiografi
(dengan judul Self-Portrait, yang
berisi pencelaan diri), ia mesti berpegang pada kliping koran, surat, serta
testimoni kawan-kawannya.
Kehidupan Gene di rumah sakit jiwa menjadi kabut kelabu panjang tak
bernama, yang diselingi aliran listrik. Dalam beberapa hal, terapi itu
berhasil. Ia bersikap tenang dan patuh. Ia merajut, membuat meja, menggosok
lantai. Ia senang dibebaskan dari beban identitas dirinya. Namun sesi ECT tetap
menakutkan baginya. Ia menceritakan satu kejadian, ketika seperti biasa ia
terjaga tanpa mengetahui di mana dirinya, dan—walaupun tentu saja ia tidak
mengetahui sebabnya—tahu-tahu menjadi sangat gusar hingga menonjok rahang
perawat yang berdiri di dekat dia. Sebagai balasan, selama hari itu si perawat
memasukkan dia ke bangsal tempat menampung pasien tanpa harapan. Akan tetapi,
Gene sendiri linglung, sehingga mengira pasien di bangsalnya merupakan
aktor-aktor yang tengah memraktikkan Metode Stanislavski[1].
Ia berdiri saja dan bertepuk tangan seharian.
Baru terpikir olehku bahwa barangkali bukanlah suatu peralihan besar dari
aktris Hollywood ke pasien rumah sakit jiwa. Rumah sakit itu sama saja seperti
studio, melakukan pengawasan ketat pada setiap aspek penampilan, rutinitas,
serta cara berpikir, berbicara, dan bertingkah. Pasien itu seperti aktor yang
tersandung terlalu jauh ke dalam naskah dan tidak dapat menemukan jalan keluar.
Barangkali inilah sebabnya Gene merasa bebas ketika ia dikeluarkan. Ia tahu
cara kerja sistem tersebut. Ia tahu yang mereka inginkan. Ia memiliki sesuatu
yang disebutnya muslihat model, kemampuan mengubah penampilan demi apa pun
kebutuhan adegan. Pedagang, penjahat, Salome dari masa badai debu[2],
gadis yang tinggal di perbatasan, aristokrat, orang Arab, orang Eurasia, orang
Polinesia, orang Cina—ia tahu cara memperbarui diri sesuai dengan permintaan.
Setelah beberapa waktu, ia dapat menjadikan seolah-olah tidak ada yang salah
pada penampilannya. Selain itu, tidak seorang pun yang dapat mengetahui, atau
setidaknya terganggu oleh apa yang masih berlangsung di balik eksteriornya yang
elok.
Namun aku dapat mengetahuinya. Barangkali itulah sebabnya, seiring dengan
semakin tegangnya hari demi hari di seputar kami bagaikan jerat, kenorakan dan
plot usang pada film-film terakhirnya itu anehnya terasa sesuai dengan dunia
musim dinginku yang hitam kelabu. Penampilannya yang seperti berjalan sambil
tidur itu entah bagaimana terasa menggugah hatiku, bahkan menjadi kawan dalam duka.
Pada malam ketika Frank dan Droyd bertengkar, hujan mulai turun dan tidak
kunjung berhenti. Seakan-akan perut langit terbelah. Saking dahsyatnya air
terempas ke jendela, dunia luar tampak tersapu habis. Dinding flat bergetar dan
merintih oleh angin, dan pada suatu ketika seluruh gedung terasa doyong, hingga
sampah pada meluncur dari rak ke lantai.
Saat itu aku sedang duduk berkimono, berusaha menonton televisi. Siarannya
terus-terusan menghilang. Tiap beberapa detik salju memecah layar bak gerenyet
urat saraf. Frank sedang di kamarnya bersama Laura, mengerjakan rak buku, yang
dari gedebak-gedebuknya sih tampaknya kemajuannya sangat lambat, lagi pula
Frank kan tidak punya buku, jadi buat apa juga terburu-buru. Terdengar ketukan
di pintu, lalu entah dari mana Droyd muncul untuk menyambutnya. Tiga pemuda
serupa mayat berdiri di ruang depan.
Pada titik ini mesti kuterangkan bahwa Droyd sudah banyak berubah dari
yang tadinya orang udik tak tahu adat sewaktu pertama kali pindah kemari.
Bukannya sombong sih, atau menganggap diri sebagai pengaruh yang memperadabkan,
tetapi apa pun alasannya, agaknya Droyd sudah sepenuhnya berubah. Sekarang ini
ia sudah hampir tidak pernah memainkan musiknya lagi, dan ia jadi suka duduk di
pinggir jendela atau di depan televisi dengan damainya bak seekor anak
biri-biri. Malah, bisa dikatakan ia terlalu pendiam untuk bocah seumurannya.
Agaknya ia telah meninggalkan karier musiknya, dan juga tampak berkeringat lebih banyak daripada
biasanya. Tetapi itu bukan soal yang besar. Pokoknya sudah beberapa minggu ini
ia tidak lagi menyebutku homo atau mencoba mencuri dompetku.
Bagaimanapun juga, kembali ke saat ini dan dari pintu Droyd berteriak
padaku bahwa ia akan keluar bermain sepak bola kalau boleh, dan aku menyahut
mengapa tidak, tanpa mendengarkan maksudnya sebab orang harus berkonsentrasi
kalau ingin mendengar televisi yang siarannya bermasalah, seandainya saja Frank
tidak seketika itu juga tahu-tahu muncul dan menanyakan ada apa gerangan.
“Cuma mau main bola aja sebentar,” kata Droyd, seiring dengan pecahnya
gemuruh guntur di atap.
Awalnya kusangka Frank tidak mendengar Droyd. Lama dan tajam ia menatap
para pemuda serupa mayat itu. Tetapi kemudian Frank berkata, “Enggak boleh.”
Droyd bergumam pada kawan-kawannya, yang tanpa banyak cincong meninggalkan
ruang depan, lalu berpaling lagi kepada Frank. “’Napa?” ujarnya.
“Gue enggak pengin lu nongkrong bareng bocah-bocah itu,” kata Frank.
“’Napa?” sahut Droyd. “Emangnya
kenapa sih?”
“Karena mereka itu bajingan,” Frank menerangkan.
“Cecunguk-cecunguk itu,” kata Droyd. “Mereka teman gue.”
“Bodo’ amat,” sahut Frank. “Mereka itu bajingan.”
“Ah bangke’!” Droyd kesal dengan putusan ini. “Jadi lu penginnya gue cuma
duduk-duduk sendiri seharian? Apa sekarang gue enggak boleh punya teman lagi?”
“Ah, biarkan saja dia main, Frank,” selaku masih dari kursi. “Dosa lo
mengurung anak dalam masa pertumbuhan begitu di sini terus-terusan.”
“Dia sih enggak keberatan dikurung kalau memang pantas buat dia,” tukas
Frank. “Dia enggak keberatan duduk-duduk makan makanan gue padahal seharusnya
dia keluar cari kerja.”
Droyd bersikap gusar karena terhina. “Gue udah berusaha cari kerja kok,” katanya. “Gue kan udah bilang, sulit cari pekerjaan
sekarang ini, gara-gara semua orang asing ini. Udah enggak ada tempat lagi buat orang Irlandia. Kayak
waktu gue naik bis kemarin nih ya, gue enggak bisa duduk soalnya semua
bangkunya diambil yang ngungsi. Apa-apaan tuh, orang Irlandia kok enggak bisa
duduk di bis sendiri? Itu dia yang
harusnya kita khawatirin, kalau lu mau tahu pendapat gue. Kalau lu mau tahu
pendapat gue, mereka harusnya ngirim balik itu pengungsi ke tempat asalnya. Ya
enggak mesti orang-orang Cina yang kerja di restoran itu, atau anak-anak yang
punya warung kebab, tapi yang lain—“
“Kalau lu cuma duduk-duduk nganggur itu bukan salah orang asing,” Frank
menyela perdebatan.
“Gue bukannya enggak ngapa-ngapain!” Droyd protes. “Kan tiap hari gue
keluar ngambil metadon?”
“Itu bukan pekerjaan kali,” sahut Frank.
“Dasar kontol!” seru Droyd liar.
“Dia juga kagak kerja, kenapa lu
enggak ngomelin dia juga sekali-kali?”
“Situasinya beda, ya,” ujarku. “Kalau aku sih karena soal prinsip.”
“Lu pengin jadinya kayak
Charlie?” desak Frank, tanpa terlihat mendengar ucapanku barusan. “Lu pengin
jadinya kayak dia?”
“Minggat aja deh lu,” Droyd mencengkeram kepalanya keedanan. “Lu kayak
bokap gue aja, ngomelin gue mulu padahal dia sendiri mabuk-mabukan terus masuk
penjara—“
“Gue enggak ngomelin lu, gue cuma enggak pengin lu nongkrong bareng
anak-anak bajingan itu—“
“Lu enggak berhak nyuruh-nyuruh gue!” tandas Droyd. “Lu
juga bukan teman gue lagi. Dulu lu
asyik, tapi sekarang lu sok-sokan hidup mewah, nongkrongin itu cewek, sama—sama
dia tuh,” seraya mengangkat sebatang jarinya ke arahku. “Maksud gue bukan salah ini orang dia jadinya kayak
begitu. Dari lahirnya dia emang kayak begitu. Tapi lu sok-sokan jadi kayak dia, dan jadinya lu cuma ngebegoin diri
sendiri! Gue udah muak sama itu! Nyedihin banget sih tempat ini! Gue lebih suka
di penjara! Makan tuh kontol, Frank!”
[1] Dalam teknik yang
diperkenalkan Stanislavski ini, aktor menggunakan pengalaman pribadi dan
mengaitkannya dengan tokoh yang diperankan
[2] Badai debu (dust storm) parah terjadi di Amerika
utara pada 1930-an dan merusak ekologi serta pertanian, disebabkan oleh
kekeringan dan kesalahan metode pengolahan tanah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar